Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirot Allah SWT, yang telah memberikan rahmat sehingga kami (penulis) bisa
menyelesaikan tugas makalah dengan judul Isu-isu Kontemporer Dalam Studi Islam.
Sholatullah wasalamuhu semoga tetap tercurahkan kepada beliau Muhammad Ibnu
Abdillah yang telah mengangkis kita semua dari alam kebodohan menuju lautan ilmu seperti
yang kita rasakan pada saat ini.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut andil
membantu demi terselesainya makalah ini, dan kepada dosen pembimbing kami Achmad Ainur
Ridho, M.S.i, yang telah ikhlas membimbing kami.
Sebagai umat manusia, yang tidak mungkin luput dari yang namanya salah, untuk itu
kami (penulis) mohon maaf apabila ada kesalahan baik dalam tulisan maupun dalam susunan.
Sekaligus harapan kami (penulis) semoga makalah ini bermanfaat dan juga bisa di
implementasikan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Dan kami (penulis) mohon juga kesedian
para pembaca untuk sudi kiranya memberikan kritik dan saran, dengan tujuan agar lebih baik
lagi dalam penyusunan makalah berikutnya.

Pamekasan, 12 Desember 2012

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 1
1.3 Tujuan Pembahasan.......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Islam Liberal..................................................................................... 1
2.2 Islam dan Terorisme.......................................................................... 8
2.3 Islam dan Pluralisme Beragama....................................................... 9
2.4 Islam dan Kesetaraan Gender......................................................... 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................22

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Penerapan Studi Islam dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu
menjadi masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh pengadilan atau mejelis hakim
senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri dari beragam kitab fiqh dari berbagai aliran pemikiran
(mazhab), yang berakibat munculnya keberagamaan keputusan pengadilan terhadap perkara
yang serupa. Hal itu sangat merisaukan para petinggi hukum, terutama dari kalangan
Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum
Islam, kekosongan hukum itu telah terisi; dan kerisauan para petinggi hukum teratasi. Tentu
saja, keseragaman keputusan pengadilan yang didasarkan pada KHI merupakan salah satu
ujian efektifitas penerapan hukum tersebut.
Makalah ini disusun, untuk melihat sejauh mana pertentangan Draf Legal Kompilasi
Hukum Islam. Dengan pembahasan sejarah dan proses lahirnya Kompilasi Hukum Islam,
kelayakan Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber pengambilan keputusan bagi para hakim
di pengadilan agama, beberapa problem yang dihadapinya dan lain sebagainya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu islam liberal?
2. Apa itu islam dan terorisme?
3. Apa itu islam dan pluralism beragama?
4. Apa itu islam kesetaraan gender?
1.3. Tujuan Pembahasan
1. Memahami islam liberal
2. memahami islam dan terorisme
3. Memahami islam dan pluralism beragama
4. Memahami islam kesetaraan gender

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Islam Liberal


Menurut Owen Chadwik Kata Liberal secara harfiah artinya bebas (free) dan
terbuka, artinya bebas dari berbagai batasan (free from restraint). Seandainya kita sifatkan
dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam memang tidak
ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. Islam itu sendiri memiliki makna
pasrah, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad
SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT,
Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau
makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu bebas dan tidak bebas.
Islam Liberal adalah istilah Charles Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal
Islam: A Source Book.(Edisi Indonesia: Wacana Islam Liberal) Penggunaan istilah ini sendiri,
seperti diakui Kurzman, pernah dipopulerkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981),
Intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950-an. Mungkin Fyzee orang pertama yang
menggunakan istilah Islam Liberal.
Entah mengapa Charles Kurzman dalam bukunya tersebut, memulai pengantarnya
dengan membantah istilah Islam Liberal yang sebenarnya adalah judul bukunya sendiri.
Menurutnya, istilah Islam Liberal mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam
peristilahan (a contradiction in terms). Tetapi diakhir tulisannya Ia bilang bahwa istilah Islam
Liberal itu tidak kontradiktif. Namun tetap saja di dalam bukunya masih ada kerancuan
disana-sini.
Banyak sekali istilah Islam Liberal beredar, namun seiring dengan banyaknya para
pemikir Islam yang memakai istilah ini, jarang sekali yang menjelaskan secara rinci apa itu
Islam Liberal. Bahkan Kurzman sendiri yang telah menulis sebuah buku dengan memakai
istilah tersebut tidak menjelaskan secara jelas apa yang Ia maksudkan dengan Islam
Liberal. Bahkan Fyzee pun mempunyai istilah lain untuk Islam Liberal yaitu Islam
Protestan. Menurut Luthfie Assyaukanie, salah seorang pengajar Universitas Paramadina
Mulya, Dengan istilah ini (Islam Protestan atau Islam Liberal), Fyzee ingin
menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain: Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke
masa depan dan bukan ke masa silam.
Menurut Luthfie juga, istilah Islam Liberal mulai dipopulerkan sejak tahun 1950an. Di Timur Tengah, akar-akar gerakan liberalisme Islam bisa ditelusuri hingga awal abad

ke-19, ketika apa yang disebut gerakan kebangkitan (harakah al-nahdhah) di kawasan itu
secara hampir serentak dimulai. Di Indonesia sendiri mulai timbul sekitar Tahun 1980-an
yang dibawa oleh tokoh utama dan sumber rujukan utama komunitas Islam Liberal Indonesia,
Nurcholish Madjid. Meski Cak Nur tidak pernah menggunakan istilah tersebut dalam
gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tetapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal.
Karna itu istilah Islam Liberal tidak beda halnya dengan gagasan-gagasan pemikiran
Islamnya Cak Nur beserta kelompoknya yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat
Islam (secara formal dalam Negara) serta yang selalu menyuarakan sekularisme, emansipasi
wanita, persamaan satu agama dengan agama yang lain (pluralisme theologies), dan lain
sebagainya.
Sampai sekarang komunitas Islam Liberal makin melebarkan sayapnya hingga ke
perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Dampak hadirnya Islam Liberal kita bisa lihat
lewat peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti penghinaan terhadap Tuhan (Allah),
penyalahgunaan tafsir alquran yang mengandalkan akal semata, sampai kesalahan dalam
menerapkan syariat Islam.
Sementara itu tokoh-tokoh yang di duga masuk dalam komunitas Islam Liberal dan
menjadi kontributor mereka (Islam Liberal) adalah :
1. Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), Intelektual Muslim-India.
2. Charles Kurzman, Univercity of North Carolina.
3. Abdallah Laroui, Muhammad V Univercity, Maroko.
4. Mohammed Arkoun, Univercity of Sorbonne, Prancis.
5. Nashr Hamid Abu Zeyd.
6. Fazlur Rahman, Direktur Lembaga Riset Islam, Pakistan.
7. Hassan Hanafi, Pemikir Kontemporer Mesir.
8. Ali Abdul Raziq, Ulama Al-Azhar (Telah dipecat oleh Haiat Kibaril Ulama, karna
bukunya yang dianggap liberal).
9. Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
10. Azyumardi Azra, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
11. Nazaruddin Umar, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
12. Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina Mulya, Jakarta.

13. Ulil Absar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.


14. Luthfie Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
15. Dan Lain-lain.
Misi Islam Liberal
Langkah awal Islam Liberal adalah mula-mula mengacaukan istilah-istilah. Mendiang
Prof. DR. Harun Nasution, direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri)
Jakarta, berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan
cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai
pembaharu. Di antaranya Rifaat At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang
menghalalkan dansa laki perempuan secara Ikhtilath), oleh Harun Nasution diangkat-angkat
sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad. Hingga posisi
penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis
(padahal penyeleweng agama). Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL
yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu
sosok penentang dan penolak syariat Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan
istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.
Islam Liberal menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu
sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama. Sekulerisme adalah faham yang
menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya.
Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya
sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak
boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham
pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar,
paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh memandang agama orang
lain dengan memakai agama yang kita peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi
faham yang disebarkan oleh komunitas Islam Liberal itu adalah agama syetan, yaitu
menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.

Penghancuran Aqidah

Kalau kita sering membuka http://www.islamlib.com, maka tampak disana-sini


banyak sekali lontaran pemikiran yang sangat bervariasi dari mulai akidah, syariah, sosial,
budaya, bahkan politik. Dalam bidang akidah, kita akan melihat bahwa Islam Liberal
mengusung teologi inklusif dan pluralis. Penyebaran pemikiran teologi inklusif dan pluralis
ini sangat fatal akibatnya jika dibiarkan begitu saja karna pemikiran ini berimbas pada
penhancuran akidah. Apalagi kalau yang mempropagandakan pemikiran tersebut adalah
tokoh-tokoh agama, cendikiawan muslim, para kiai, dan aktivis organisasi Islam.
Menurut mereka sasaran yang sangat tepat untuk menyebarkan faham ini adalah para
mahasiswa muda lewat perguruan-perguruan tinggi Islam, buktinya banyak kita lihat
mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi Islam yang sudah menerapkan pemikiran ini,
bahkan mereka menganggap pemikiran yang di usung Islam Liberal adalah pemikiran yang
harus diperjuangkan karna sesuai sekali dengan keadaan manusia jaman sekarang.
Parahnya mereka telah mengaburkan konsep tauhid Islam dengan menganggap
semua inti agama itu sama (pluralisme). Padahal alquran sudah jelas menyatakan bahwa
orang-orang kafir akan masuk neraka (Al-Bayyinah : 6), namun amatlah mengherankan kalau
mereka (Islam Liberal) mengkampanyekan bahwa inti semua agama bahkan agama itu
sendiri itu sama. Para pengusung faham persamaan agama ini biasanya menggunakan
dalil Alquran surah Al-Baqoroh ayat 62 dan Al-Maaidah ayat 69 untuk dijadikan pijakan
Sessungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orangorang Nashara, barangsiapa yang beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal sholeh,
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Bisa dilihat dalam berbagai pendapat yang diungkapkan kaum inklusif-pluralis, ayat
tersebut dianggap memberikan legitimasi, bahwa agama apa pun pada dasarnya adalah benar
dan dapat dijadikan sebagai jalan menuju keselamatan. Bahkan mereka menganggap bahwa
semua agama sama akan membawa manusia ke jalan keselamatan. Banyak sekali contohcontoh lain dalam pengkaburan konsep tauhid Islam yang dilakukan oleh Islam Liberal,
bahkan kadang lebih radikal lagi.

Penghancuran Syariat Islam

Salah satu misi penting Islam Liberal adalah penolakan syariat Islam khususnya
dalam konteks kehidupan bernegara. Merujuk pada berbagai tulisan dan komentar di
http://www.islamlib.com, dapat dipahami bahwa penolakan terhadap pemberlakuan syariat
Islam di Indonesia salah satu isu dan misi pokok yang di emban kelompok Islam Liberal.
Banyak sekali syariat-syariat Islam yang mereka rubah atas dasar tujuan mereka,
misalnya saja dalam menafsirkan ayat-ayat alquran banyak sekali yang tidak sesuai dengan
tafsir-tafsir ulama Islam lainnya, seperti menghalalkan nikah beda agama, seorang muslimah
dengan laki-laki non-muslim, padahal sudah dijelaskan dalam alquran bahwa nikah beda
agama dilarang. Parahnya lagi adalah mereka menghalalkan nikah sesama jenis dengan dalih
saling cocok. Peristiwa ini pernah terjadi dan yang menikahkan adalah salah satu dosen
perguruan tingi Islam di Indonesia.
Kalau kita sering membuka website Islam Liberal maka penyimpangan syariat Islam
akan banyak kita temui, bahkan mereka sering kali mengadakan diskusi-diskusi di berbagai
universitas misalnya, mereka menggunakan dalil-dalil yang mereka tafsirkan berdasarkan
akal semata. Dengan mudahnya mereka menafsirkan ayat-ayat alquran tanpa mengetahui hal
apa saja yang dibutuhkan seseorang dalam menafsirkan suatu ayat, sehingga menghasilkan
hukum yang tidak jelas dan mentah. Namun banyak diantara kaum muslimin yang sudah
mengadopsi dan mempraktekan syariat yang mereka buat.
Peran Ulama dalam menghadapi Islam Liberal
Ketika maraknya nama Islam Liberal, banyak sekali ulama-ulama khususnya di
Indonesia merasa diresahkan oleh kemunculan mereka, karna berbahaya sekali bagi umat
Islam apalagi masyarakat awam. Banyak sekali usaha-usaha yang dilakukan oleh para ulama
Islam. Di mesir saja contohnya, pada tahun 1992 pernah ditampilkan dalam sebuah forum
debat antara kelompok sekuler yang diwakili oleh Dr. Muhammad Khalafullah dengan
kelompok Islam yang diwakili oleh Dr. Muhammad Al-Ghazali, Dr. Muhammad Imarah.
Pada tahun 1985 pernah juga ditampilkan debat serupa antara Dr. Fuad Zakaria dengan Dr.
Yusuf al-Qaradhawi.
Di Indonesia sendiri, banyak sekali usaha-usaha ulama Indonesia dalam menghadapi
Islam Liberal, pada 1 Desember 2002 FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia) misalnya, telah
mengeluarkan pernyataan bahwa fatwa mati untuk Ulil Absar Abdalla yang telah menghina
umat islam dan memutarbalikan kebenaran agama. Ada juga KH. A. Khalil Ridwan, Majelis
Pimpinan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) menyatakan bahwa

apa yang ditawarkan Jaringan Islam Liberal hanyalah sebongkah kesesatan. Perbedaan
dengan mereka mengalami pedangkalan yang berakhir dengan kesesatan.
Selain pernyataan-pernyatan, ada juga yang berbentuk tulisan-tulisan, komentar-komentar,
seminar-seminar, dan lain-lain.
2.2 Islam Dan Terorisme
Bagaimana dalam pandangan islam, cobalah kita lihat daribeberapa ayat kitab suci
umat islam dan hadis hadis rasulullah.Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk
(menjadi)rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' : 107]Dan Kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada ummatmanusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan
sebagaipemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[QS. Saba' :
28]Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAWmemiliki sifat lemah-lembut
serta hati beliau terasa amat beratatas penderitaan yang menimpa pada manusia, maka
beliauberusaha keras untuk membebaskan dan mengangkatpenderitaan yang dirasakan oleh
manusia tersebut.Dalam kata lain perbanyaklah untuk melakukan perbuatan baik,dan
berlindung kepada Allah, bergaul dengan para ulama Al ulamawaratsatul anbiya .
Kejahatan dan perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaranIslam. Dan orang
yang paling baik Islamnya ialah yang paling baikakhlaqnya. [HR. Ahmad juz 7, hal. 410, no.
20874]Dari beberapa ayat Al Quran dan Hadis hadis rasul dapat kitalihat bagaimana islam
memandang teroris dan terorisme. Islamagama yang indah, penuh kasih cinta dan sayang.
Seperti yangdiajarkan rasulullah tuk menyayangi satu dengan yang lainnya.Maka salah jika
mengklaim islam sebagai agama teroris, dan salahbesar juga jika menghancurkan umat
beragama non muslim denganmengedepankan islam dan menancapkan kata kata Jihad
fisabilillah di hati para orang islam, seperti kasus bom Bali Amrozi,Imam Samudera dan
temannya. Dan orang orang yang berjihad dijalan kami. Sungguh kami benarbenar akan
menunjukkan mereka pada kami (QS: Al Ankabut : 69 ) Siapa siapa yang berjihad maka
sesungguhnya ia erjihad untukdirinya sendiri. ( QS: Al Ankabut : 6 ).Makna jihad sangatlah
luas jika dipandang sebelah mata. Jihadberarti berjuang dan bersungguh sungguh dengan
tujuan mendapatmaklamat disisi Allah diatas muka bumi ini, dengan pengorbanan jiwa dan
raga bahakan matipun menjadi taruhan tuk berjihad. Kalaukita lihat dan dibaca sejenak
mudah sekali kita menafsiri apa itu jihad, secara tanggap jihad seperti para teroris yang
mengklaimdirinya sendiri sebagai sosok yang sangat berharga bagi umat islamlainnya, yang
mana niat mereka ialah berjihad fi sabilillah, sepertiyang kasus Amrozi dan kawan

kawan.Kalau kita maknai jihad hanya seperti itu sangatlah salah, danfatal akibatnya bagi
pertumbuhan dan pemikiran para anak bangsayang notabenenya mayoritas beragama slam.
Kita harus mempunyailmu fiqih dan kaidah kaidah ushul fiqih yang mumpuni tukmemaknai
arti Jihad tersebut. Jihad bisa diterapkan di kehidupan masyarakat antara lain :Berbuat baik
antar sesama, saling menasihati, berperasangka baik,mengikuti aturan Allah dan Rasulullah
serta menjalankan perintahnya

2.3 Islam dan Pluralisme Beragama


Pada umumnya Islam mendefinisikan pluralitas sebagai bentuk hidup bermasyarakat
yang didalamnya terdapat berbagai keanekaragaman seperti agama, adat, dan sebagainya.
Dalam arti lain Islam memandang pluralitas sebagai toleransi antar umat beragama. Jika kita
merujuk pada pendapat pada orientalis barat yang mengartikan pluralitas dengan memandang
semua agama sama, maka definisi ini tidak sesuai dengan definisi Islam dalam memandang
sebuah pluralitas. Karena Islam adalah agama yang paling sempurna dan universal. Islam
berbeda dengan agama-agama lain. Islam adalah penyempurna agama-agama samawi
pendahulunya (yahudi dan kristen).
Jika kita membuka lembaran-lembaran para ulama klasik maupun kontemporer tidak
akan kita temukan istilah pluralisme (taaddudiyah). Namun masalah ini sama sekali tidak
berarti pluralitas agama tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam dunia Islam. Tidak
adanya terminologi pluralitas dalam Al-Quran, Sunnah maupun dalam tulisan-tulisan ulama
Islam tidak menunjukkan tidak adanya konsep tentang pluralitas dalam Islam.
Secara tidak lalngsung para ulama Islam memandang pluralitas sebagai bentuk interaksi
sosial yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus individu-individu
ataupun kelompok-kelompok yang hidup dalam suatu tatanan masyarakat yang satu. Baik
yang menyangkut hak ataupun kewajiban untuk menjamin ketenteraman dan perdamaian
umum. Jadi permasalah pluralisme lebih mengarah pada masalah-masalah sosial daripada
masalah ketuhanan atau teologi, dimana wahyu telah menuntaskan secara final dan
menyerahkan semuanya pada kebebasan dan kemantapan individu untuk memilih agama atau
keyakinan sesuai yang mereka yakini, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kafirun:
109/6 ( ) yang artinya : Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Dan juga
Allah menerangkan pada QS. Al Baqarah: 2/256

Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada
Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara Islam dan teori-teori
pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme
agama. Islam memandang pluralisme sebagai sebuah hakikat yang tidak mungkin dinafikan
lagi, sementara teori-teori pluralisme agama hanya melihat pluralisme sebagai keberagaman
yang tidak hakiki. Perbedaan metodologis inilah yang menimbulkan perbedaan dalam
menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis oleh karena lebih bersiafa
fiqhiyyah (sosial), sementara teori-teori pluralisme memberikan solusi teologis.
2.4 Islam Dan Kesetaraan Gender
Orang orang Barat yang fanatik, menyerang Islam dengan terang- terangan dan
menjadikan isu poligami sebagai bentuk penghinaan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Padahal dalam masalah poligami , Islam tidaklah sendirian, agama Yahudi sendiri justru
membolehkan poligami, bahkan tanpa batas. Para Nabi yang disebutkan di dalam Taurat
semuanya, tanpa terkecuali mempunyai isti lebih dari satu, bahkan disebutkan di dalam
Taurat bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak. Bahkan , bangsabangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami, seperti bangsa Atsin, Cina, India,
Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa tersebut poligami tidaklah di batasi
sampai empat seperti yang ada dalam ajaran Islam. Dalam perundang- undangan Bangsa Cina
dahulu, seorang laki- laki di perbolehkan berpoligami sampai 130 perempuan. Bahkan
beberapa penguasa Cina memiliki 30.000 istri. \
Bahkan dalam agama Kristen sendiri, walaupun di dalam Injil tidak di sebutkan
secara tegas konsepsi poligami ini , namun dalam surat Paulus I di dapati pernyataan bahwa
bagi seorang petingi agama diharuskan mempunyai istri satu saja. Dan ini mengisyaratkan
bahwa selain petinggi agama dibolehkan untuk beristri lebih dari satu. Ini terbukti dengan
pernyataan yang dikeluarkan oleh Wester Mark pakar yang dipercaya dalam bidang sejarah
pernikahan yang isinya : Bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada hingga abad 17 M.
Dan inipun tejadi pada keadaan- keadaan yang tidak bisa di dideteksi oleh Gereja dan Negara

Di dalam Islam , konsepsi poligami telah diatur di dalam Q.s. Al Nisa , ayat 3. Allah
berfirman :
Jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan perempuan yatim ( jika
mengawininya ) , maka nikahilah perempaun- perempuan lainnya yang kamu sukai : dua ,
tiga, empat . Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil maka kawinilah satu saja
Sebab turunnya ayat di atas :
Di sana ada beberapa sebab diturunkannya ayat di atas, diantaranya, yang paling kuat adalah
apa yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair ketika beliau bertanya kepada Aisyah ra,
tentang ayat tersebut : ( wain khiftum ala tuqsitu filyatama ) , Aisyah berkata : Wahai
anak saudaraku , ini diturunkan kepada anak perempuan yatim, yang hidup di rumah walinya,
dia ikut makan harta walinya tersebut, dan kebetulan walinya juga mengincar harta anak
yatim tadi dan terpesona dengan kecantikannya, wali tersebut hendak menikahinya tapi tidak
mau berbuat adil di dalam memberikan maharnya , dia ingin memberikan mahar sama dengan
mahar perempuan- perempuan lainnya, maka Allah melarang untuk menikahinya kecuali
kalau bisa berbuat adil di dalam memberikan mahar yang sederajat dengannya, dan
memerintahkan untuk menikahi perempuan selainnya. Berkata Urwah , berkata Aisyah:
Sesungguhnya para sahabat bertanya kepada Rosulullah saw setelah ayat ini, sehingga Allah
menurunkan ayat ( wa yastaftunaka fi nisai ) Berkata Aisyah : Adapun firman Allah (
watarghobuna an tankihuhunna ) artinya jika salah satu dari kamu tidak mau menikahi anak
yatim asuhannya, karena sedikit hartanya dan tidak cantik. Berkata Aisyah : Maka mereka
dilarang menikahi anak yatim jika hanya mengejar kecantikan dan hartanya , kecuali kalau
berbuat adil . Hal itu dikarenakan mereka tidak mau menikahinya jika mereka jelek dan
sedikti hartanya
Dalam menanggapi ayat di atas ada beberapa perbedaan pandangan :
Syekh Muhammad Thohir Asyur di dalam tafsirnya menguatkan apa yang dikatakan Aisyah
ra.. Sebelumnya, Ibnu Katsir, walaupun tidak terus terang, beliau cenderung juga untuk
membenarkan riwayat Aisyah ini, dengan bukti bahwa hanya riwayat ini saja yang
diungkapkan dalam tafsirnya dan menganggapnya riwayat yang paling shohih, padahal di
sana ada riwayat- riwayat lain.
Sayangnya sebagian orang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran yang salah.
Dengan mengikuti metode tafsir maudlui yang bersifat holistis , yaitu yang bersifat
menyeluruh, menurut anggapan mereka, maka mereka membuat komparasi tiga ayat yang

terkaitan dengan poligami. Yang pertama, adalah Qs. Al-Nisa : 3, ayat ini semacam memberi
kesempatan untuk poligami. Kedua, adalah ayat yang memberi peringatan atau warning agar
belaku adil: fain khiftum all tadil fawhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil,
satu saja). Ketiga, Q.S. Al Nisa : 129 : walan tashtat an tadil bainan nis walau
harashtum. ( kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteriisterimu,

sekalipun

engkau

berusaha

keras).

kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakanakan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami, yaitu masalah keadilan. Kalau
menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu.
Maka yang menang adalah yang dua ayat, sehingga poligami di larang dalam Islam. Bahkan
untuk memperkuat argumen tersebut, mereka menambahkan bahwa ayat yang membolehkan
poligami konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Gaya penafsiran seperti itu, walaupun ada perbedaan sedikit telah dilakukan oleh
Qosim Amin dalam bukunya Tahrir al Marah kemudian diikuti oleh DR. Nasaruddin
Umar, MA, Pembantu Rektor IV IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Faqihuddin Abdul Kodir,
MA, dosen STAIN Cirebon dan alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah,
Dra. Maria Ulfah Anshori, Ketua Umum Fatayat NU, Khofifah Indar Parawangsa, mantan
Ketua PP. Muslimat NU, M. Hilaly Basya peneliti YISC Al Azhar Jakarta , yang juga dosen
Fisip di Universitas Muhammadiyah dalam tulisannya : Dari Konsumerisme hingga
Ekstasi Seksual, Bahkan juga oleh SyafiI Maarif , Ketua Umum Muhammadiyah, dan
masih banyak lagi yang tidak mungkin bisa di sebut di sini semuanya.
Gaya penafsiran seperti itu, menurut Syekh Muhammad Muhammad Madani ,
didalam ilmumantiq disebut Safsathoh , yaitu seperti orang yang menunjuk kepada
gambar kuda, kemudian dia mengatakan : Ini kuda dan setiap kuda pasti bisa meringkik,
maka ini bisa meringkik
Lebih ironisnya lagi, cara menafsirkan ayat dengan sistem voting tersebut telah
dijadikan pijakan di dalam pelarangan poligami di Tunis, yaitu tersebut di dalam pasal yang
ke delapan belas , dan yang melanggarnya akan kena hukuman satu tahun penjara dan
membayar denda sebesar 240 ribu frank

. Ayat tersebut, menurut Pemerintahan Tunis,

merupakan bukti bahwa keadilan di dalam poligami tidak akan pernah terwujud selamalamanya.
Para ulama menyebutkan bahwa kata Adil pada ayat yang pertama ( Q.s al- Nisa : 3 )
artinya adalah keadilan di dalam nafkah dan tempat tinggal serta giliran tidur , dan juga hal

lain- lainnya yang masih di dalam kemampuan manusia. Sedang adil pada Q.s. al- Nisa :
129 : walan tastathiu an tadilu baina an nisai walau harastum ( Kamu tidak akan bisa
berbuat adil, walaupun engkau berusaha keras ) adalah adil di dalam memberikan cinta alami
yang ada dalam hati, dan ini memang di luar kemampuan manusia .
Maka dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tabiat manusia itu sendiri sesuai
dengan sifat yang diciptakannya tidak akan bisa mengendalikan kecintaannya kepada
sebagian orang saja. Penafsiran semacam ini di dukung dengan dengan hadits Rosulullah saw
, ketika beliau berdoa kepada Allah mengadu tentang perbuatannya selama ini di dalam
berpoligami : Ya Allah inilah pembagian saya ( kepada istri- istriku ) yang bisa saya
perbuat, maka janganlah Engkau cela aku pada hal- hal yang Engkau mampu sedang saya
tidak mampu ( yaitu kecintaan di dalam hati )
Ini juga di kuatkan dengan bunyi ayat berikutnya : fala tamilu kulla mail fatadzaruha kal
mualaqoh ( Maka , hendaknya janganlah engkau terlalu cintai , sehingga yang lainnya
menjadi terkatung- katung )
Ayat ini menerangkan dengan sangat jelas bahwa dalam masalah hati, Nabi
Muhammad pun tidak bisa berlaku adil, karena bagaimanapun derajatnya seseorang , dia
pasti ada kecenderungan untuk lebih mencintai kepada orang yang cocok dan sesuai
dengannya . Masing- masing dari diri kita , tidak akan mungkin bisa mengingkari hal seperti
itu, sebagaimana telah kita rasakan bersama dengan oran orang yang kita cintai. Dan inilah
fitrah manusia, dan Allah tidak akan meletakkan konsepsi yang bertentangan dengan fitroh
yang telah Ia letakkan pada diri manusia.
Karena tidak ada kemampuan untuk memaksa hatinya dan membagi rata rasa cinta tersebut ,
maka Allah mewanti- wanti rosul-Nya agar tidak terlalu cenderung sekali kepada yang di
cintainya dengan sikap yang membabi buta dan sangat menyolok , sehingga mengakibat istriistri lainnya terkatung- katung.
Kalau seandainya benar- benar Allah telah mengharamkan poligami dengan
menggabungkan dua ayat di atas, kenapa Rosululah saw membiarkan para sahabat
berpoligami dan tidak di larang sama sekali, padahal kedua ayat tersebut telah turun,
kemudian diikuti oleh mayoritas kaum muslimin sepanjang sejarah, hingga datang metode
penafsiran matematika yang unik tersebut , Ini sama saja menuduh kaum muslimin selama ini
telah melakukan bentuk kemungkaran yang di haramkan oleh Allah, yaitu poligami. Masalah
ini, nampaknya tidak pernah tersentuh oleh mereka yang mengharamkan poligami.

Keterangan di atas , paling tidak , bisa menjawab apa yang dilontarkan oleh DR.
Nasaruddin Umar dalam Desertasinya yang mengatakan bahwa ayat Q.s. Al- Nisa/ 4: 129 ini
dapat di artikan menolak poligami. Dan dari keterangan tersebut , beliau menyimpulkan
bahwa metode penafsiran maudlui lebih ketat dan lebih tegas terhadap poligami dari pada
metode tahlili . Beliau juga mengatakan bahwa metode maudlui secara umum akan
menghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat- ayat gender daripada metode
tahlili, karena- menurutnya- metode ini ( mudlui) tidak banyak mengintrodusir budaya Timur
Tengah yang cenderung memposisikan laki- laki lebih dominan daripada perempuan.
Penulis, sangat kurang sependapat dengan apa yang beliau ungkapkan, karena
terdapat kejanggalan dan kontradiksi di dalamnya. Keterangannya ada dalam beberapa point
di bawah ini :
Pertama : Metode tahlili yang dipakai jumhur ulama sebenarnya , tidak sekedar menjadikan
teks sebagai fokus perhatian saja, tanpa melihat apa dan bagaimana kasus itu terjadi. Kita
temukan dalam buku- buku tafsir yang menggunkan metode tahlili, para mufasiirun
menyebutkan juga asbanu nuzul, yang berarti memperhatikan apa dan bagaimana kasus
tersebut hingga terjadi. Hampir rata- rata buku- buku tafsir yang besar ( muthowalat ) selalu
menyebutkan asbabun nuzul, seperti tafsir at Thobari, tafsir al Qurtubi, tafsir IbnuKatsir dan
lain-lainnya. Yang tidak menyebutkan asban nuzul hanyalah tafsir tafsir yang ringkas,
seperti , atau tafsir- tafsir yang cenderung membahas bahasa. Bahkan Ibnu Katsir , walaupun
menggunakan metode tafsir tahlili, tapi dalam kenyataannya beliau juga menggunakan
metode maudlui, walau tidak secara tuntas. Para ulama sering menyebut tafsirnya sebagai
tafsir al Quran bil Quran, artinya beliau tidak terpaku pada teks yang ada, tetapi juga meihat
teks-teks lain yang terkait dengannya. Metode ini ( pendekatan tekstual dan kontekstual ) juga
di pakai oleh Imam Qurtubi , walaupun lebih cenderung kepada masalah-masalah hukum.
Mufassir kontemporer yang menggunakan metode tahlili, tapi tidak terfokus pada teks itu
saja, adalah tafsir Adwaul Bayan , karya Muhammad Amien Syenkiti. Dan banyak contohcontoh lainnya. Hal ini diakui sendiri DR. Quraisy Syihab , beliau menyakinkan kita,
sebagaimana yang di ungkap oleh DR. Siti Musdah Mulia , bahwa pada prinsipnya hampir
seluruh mufassir menggunakan pendekatan tekstual dan konstektual dalam menarik makna
dan pesan- pesan al Quran, atau upaya mereka mengistimbathkan dari teks- teks keagamaan,
yang berbeda hanyalah intensitas penggunaan kedua pendekataan tersebut.
Kedua : Gaya penafsiran yang dicontohkan oleh DR.

Nasaruddin Umar dalam membahas ayat poligami, yang menurutnya adalah metode Maudlui,
atau metode penafsiran secara holistis, yakni penafsiran al Quran secara menyeluruh , pada
hakekatnya belum memenuhi syarat dan banyak cacatnya. Karena beliau menggabungkan
dua ayat yang berbeda artinya, sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah. Itu , akibat
dari pembahasanya yang tidak menyeluruh , karena tidak menyertakan hadits yang bisa
menafsirkan ayat tersebt, sebagaimana yang di sebut di atas. Lagi pula beliau juga tidak
menggabungkan dengan ayat lain seperti dalam Qs. Al Nisa : 82 ( Apakah mereka tidak mau
tadabbur ( merenungi ) al-Quran , seandainya al-Quran tersebut bukan dari sisi Allah,
tentunya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya ) . Beliau tidak
memperhatikan , bahwa menyimpulkan dua ayat poligami tersebut dengan metode yang
beliau pakai, sebetulnya secara tidak langung menganggap ayat ayat di dalam al-Quran
saling bertentangan. Karena dalam satu ayat, Allah membolehkan poligami dengan syarat
adil, sedangkan dalam ayat lain Allah menafikan adanya keadilan. Selain itu juga, beliau
tidak memperhatikan dampak dampak sosial, moral dan psikologi manusia. Sehingga,
kesimpulan yang di dapat kurang tepat dan cenderung kontradiksi. Intinya, metode penafsiran
yang beliau anggapnya bersifat holistis ataupun mencakup secara keseluruhan , justru
kenyataannya malah parsial, sedang penafsiran para ulama dahulu yang di tuduh parsial dan
hanya terfokus pada ayat tertentu, ternyata kenyataannya justru malah holistis dan
menyeluruh.
Adapun firman Allah yang berbunyi : wain khiftum ala tuqsithu fil yatama , syarat
tersebut tidak mempunyai mafhum, sebagaiamana yang dikatakan Imam Qutubi. Artinya ,
rasa kawatir untuk tidak berbuat adil terhadap anak- anak yatim , bukanlah syarat seseorang
untuk melakukan poligami . Dan ini, menurut Imam Qurtubi sudah menjadi kesepakatan
kaum muslimin.
Yang di katakan oleh Imam Qurtubi tersebut , sesuai dengan ayat lain yang terdapat dalam
( Q.s al- Nisa , ayat : 101 ) : ( Apabila kamu bepergan di atas bumi ini, maka tidaklah
mengapa, kamu meng-qhosor sholatmu , jika kamu kawatir akan diserang orang- orang kafir
)
Syarat dalam ayat di atas, tidaklah mempunyai mafhum, artinya kekawatiran untuk di serang
orang kafir, bukanlah syarat untuk dibolehkan melakukan sholat qoshor.
Ajaran Islam yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami sampai empat istri dengan
syarat adil, bukanlah bentuk diskriminasi atas perempuan, karena ajaran tersebut merupakan
salah satu bentuk konsepsi yang diletakkan oleh Islam untuk menyeimbangkan kehidupan

sosial. Islam di dalam meletakan ajarannya, melihatnya dengan pandangan yang jauh dan
dengan pertimbangan yang bersifat universal serta mempertimbangkan segala seginya, tidak
melihatnya dengan pandangan picik dan parsial. Tidak pula dengan melihat kepentingan satu
pihak dengan mengorbanan kepentingan pihak yang lain. Artinya menghapus kebolehan
seorang laki- laki berpoligami sampai empat istri, merupakan bentuk diskriminasi terhadap
laki- laki dan mengekang kemampuan kreatifitas suami, sebaliknya membolehkan
berpoligami lebih dari empat merupakan bentuk diskriminasi dan de humanisasi perempuan
serta membunuh perasaannya yang halus.
Syarat berlaku adil untuk dibolehkannya berpoligami , seperti yang disebutkan dalam
Surat anNisa ayat : 3, nampaknya kurang cukup, menurut sebagian orang , sehingga perlu di
tambah syarat lain yaitu harus dalam keadaan darurat . Kalau diteliti secara seksama syarat
yang di usulkan untuk ditambahkan dalam berpoligami selain berbuat adil, kurang banyak
manfaatnya, karena syarat adil itu sudah mencakup ke arah tersebut. Dan sayang nya lagi
yang mengusulkan syarat baru tersebut, belum menjelaskan batasan dlarurat yang
sebenarnya.
Sebagian orang yang menolak adanya poligami, menyandarkan pendapat mereka pada
larangan Rosulullah saw kepada Ali untuk menikah lagi, dan memadu putrinya, Fatimah.
Mereka mengatakan bahwa larangan ini menunjukkan bahwa Rosulullah saw sendiri
melarang poligami.
Jadi,

metode

penafsiran

matematika

tadi

belumlah

dianggap

kuat

untuk

menumbangkan dalil- dalil dibolehkannya poligami, sehingga hadits ini , dimunculkan ke


permukaan.
Para ulama , alhamdulillah telah menerangkan kedudukan dan maksud hadits di atas. Syekh
Sayid Sabiq, memberikan judul pada hadist Fatimah tadi dengan bunyi : Hak perempuan
untuk mensyaratkan agar tidak dimadu
Artinya bahwa larangan Rosulullah kepada Ali untuk memadu Fatimah, bukan karena
Rosulullah melarang poligami. Akan tetapi Rosulullah ingin agar Ali ra menepati syarat yang
telah diajukan oleh Rosulullah saw, dalam hal ini sebagai wali Fatimah, ketika
menikahkannya dengan Fatimah. Apabila seorang wali perempuan mensyaratkan kepada
mempelai laki- laki agar anaknya tidak di madu. Apabila mempelai laki- laki setuju, maka
syarat itu syah dan wajib dilaksanakan , serta tidak boleh di langgar. Seandainya dilanggar,
maka istri berhak mengajukan gugatan untuk membatalkan pernikahan .Begitulah , kira- kira

arti dari judul yang di tulis Syekh Sayid Sabiq. Mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah
syarat tersebut disebutkan dalam akad antara Ali ra. Dengan Fatimah ra ? Jawabannya, bahwa
para Fuqoha telah menetapkan sebuah kaidah. al Masyrut Urfan kal masyrut lafdhon
( sesuatu yang di syaratkan dengan kebiasaan bagaikan syarat yang di ucapkan ) Artinya
walaupun Rosulullah saw tidak mengucapkan syarat tersebut di dalam akad nikah, akan tetapi
syarat tersebut mestinya sudah dipahami , menurut kebiasaan, bahwa putri Nabi Muhammad
saw, tidak boleh di madu. Dalam kasus ini, menurut teks hadist ini bahwa Fatimah hendak di
madu dengan anknya Abu Jahal , pentolan orang musyrik yanh menjadi musuh utama
Rosulullah saw.
Di sana ada jawaban versi lain, yaitu larangan Ali untuk memadu Fatimah berkait dengan
konspirasi politik yang ada di baliknya. Diriwayatkan, Rasulullah saw berkhutbah di hadapan
khalayak ramai, Sejumlah keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku
untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bi Abi Thalib. Ketahuilah aku tidak
mengizinkan (tiga kali). Seperti disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, larangan tersebut
karena Abu Jahal bermaksud meminang Ali untuk menikahi puterinya. Abu Jahal punya
maksud tertentu di balik perkawinan politis ini. Hal inilah yang membuat Rasulullah saw
tegas melarangnya. Tak mungkin berkumpul puteri Nabiyullah dan musuh Allah dalam satu
rumah, tegas Rasulullah saw. Seandainya larangan itu ditujukan kepada poligami, tentulah
beliau melarang para sahabatnya berpoligami. Kalau itu terjadi, tak mungkin ada sahabat
yang mau berpoligami. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Banyak para sahabat yang
berpoligami.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Islam Liberal: Menurut Owen Chadwik Kata Liberal secara harfiah artinya bebas
(free) dan terbuka, artinya bebas dari berbagai batasan (free from restraint). Seandainya
kita sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam
memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. Islam itu sendiri
memiliki makna pasrah, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang
dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk
kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan
kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu bebas dan tidak
bebas
Islam dan Terorisme: Bagaimana dalam pandangan islam, cobalah kita lihat
daribeberapa ayat kitab suci umat islam dan hadis hadis rasulullah.Dan tidaklah Kami
mengutus kamu melainkan untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' :
107]Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummatmanusia seluruhnya, sebagai
pembawa berita gembira dan sebagaipemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.[QS. Saba' : 28].
Islam Pluralisme beragama: Pada umumnya Islam mendefinisikan pluralitas sebagai
bentuk hidup bermasyarakat yang didalamnya terdapat berbagai keanekaragaman seperti
agama, adat, dan sebagainya. Dalam arti lain Islam memandang pluralitas sebagai toleransi
antar umat beragama. Jika kita merujuk pada pendapat pada orientalis barat yang
mengartikan pluralitas dengan memandang semua agama sama, maka definisi ini tidak sesuai
dengan definisi Islam dalam memandang sebuah pluralitas. Karena Islam adalah agama yang
paling sempurna dan universal. Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam adalah
penyempurna agama-agama samawi pendahulunya (yahudi dan kristen).
Islam dan Kesetaraan Gender: Orang orang Barat yang fanatik, menyerang Islam
dengan terang- terangan dan menjadikan isu poligami sebagai bentuk penghinaan dan
diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dalam masalah poligami , Islam tidaklah
sendirian, agama Yahudi sendiri justru membolehkan poligami, bahkan tanpa batas. Para
Nabi yang disebutkan di dalam Taurat semuanya, tanpa terkecuali mempunyai isti lebih dari
satu, bahkan disebutkan di dalam Taurat bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka
dan 300 budak. Bahkan , bangsa- bangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami,
seperti bangsa Atsin, Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa tersebut
poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti yang ada dalam ajaran Islam. Dalam
perundang- undangan Bangsa Cina dahulu, seorang laki- laki di perbolehkan berpoligami
sampai 130 perempuan. Bahkan beberapa penguasa Cina memiliki 30.000 istri. \

Daftar Pustaka
Sururin. 2005. Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai Gagasan Yang Berserak.
Bandung : Nuansa.
Dr. Ali, Haidar Ibrahim, Menelusuri Sejarah dan Makna Fundamentalisme, tth.
Dr. Al-Qardhawi, Yusuf, Islam Abad 21, refleksi abad 20 dan agenda masa depan, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2000, cet. 1

Http// Samantho, Ahmad , wordpres.com, Iptek -Di dunia-Islam.2007.


Poerwodarminoto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonnesia, tth.
Studi Islam IAIN SUNAN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, tth

Anda mungkin juga menyukai