Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika dari tumbuhan bunga pacar air merah (anonim, 2005) adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Klass : Magnoliopsida

Ordo : Ericales

Famili : Balsaminaceae

Genus : Impatiens

Spesies : Impatiens balsamina Linn

2.1.2 Sinonim

Sinonim : Impatiens cornuta Linn, Impatiens hortensis Desf, Impatiens

mutila D.C., Balsamina mutila DC

2.1.3. Nama Daerah

Nama daerah dari bunga pacar air merah : lahine (Nias), pacar banyu

(Jawa), pacar cai (Sunda), paru inai (Sumbar), pacar toya (Belitung) (Hariana, Arief,

2007).

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Morfologi

Pacar air berasal dari india. Di Indonesia ditanam sebagai tanaman hias,

kadang-kadang ditemukan tumbuh liar. Terna berbatang basah dan tegak ini

mempunyai tinggi 30-80 cm dan bercabang. Daun tunggal, bertangkai pendek.

Helaian daun bentuk lanset memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi,

pertulangan menyirip, dan warnanya hijau muda. Bunga keluar dari ketiak daun tanpa

daun penumpu, Bunga bewarna cerah, ada beberapa macam warna. Seperti merah,

merah jingga, ungu, putih, dll. Ada yang “engkel” dan ada yang “dobel”. Buahnya

buah kendaga, bila masak akan membuka menjadi 5 bagian yang terpilin.

2.1.5 Kandungan Kimia dan Efek Farmakologis

Kandungan kimia: Bunga: antosianin yaitu: cyanidin, delphinidin,

pelargonidin, dan malvidin, kaempherol, quercetin; Akar: cyanidin mono glycoside.

Efek farmakologis pacar air diantaranya melancarkan peredaran darah dan

melunakkan masa/benjolan yang keras. Efek farmakologis akar pacar air diantaranya

peluruh haid (emenagog), anti inflamasi (anti radang), rematik, kaku leher, kaku

pinggang, sakit pinggang (lumago), dan lain-lain. Efek farmakologis bunga pacar air

di antaranya peluruh haid, tekanan darah tinggi (hipertensi), pembengkakkan akibat

terpukul (hematoma), bisul (furunculus), rematik sendi, gigitan ular tidak berbisa, dan

radang kulit (dermatitis). Efek farmakologi daun pacar air di antaranya mengobati

keputihan (leucorrhoea), nyeri haid (dysmenorrrhoea), radang usus buntu kronis

(cronic appendicitis), anti radang, tulang patah atau retak (fraktur), radang kulit, dan

radang kuku. Sementara biji pacar air memiliki efek farmakologismeluruhkan haid

Universitas Sumatera Utara


(emegog), terlambat haid (amenorrhoeae), mempermudah persalinan (paturifasien),

dan mengobati kanker saluran pencernaan (Hariana, Arief, 2007).

2.2 Uraian Kimia

2.2.1 Flavonoida

Senyawa Favonoida adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom

karbon, terdiri dari dua cincin benzena tersubstitusi yang dihubungkan oleh satu

rantai alifatik yang mengandung tiga atom karbon. Kerangka dasar dari struktur

flavonoida adalah sistem C6-C3-C6 (Manitto, 1981;Robinson, 1995;

Sastrohamidjojo, 1996).

Gambar 1. Kerangka dasar struktur flavonoida

Penggolongan flavonoida dapat dibedakan berdasarkan cincin

heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola

yang berlainan. Cincin A umumnya memiliki karakteristik pola hidroksilasi

floroglusinol atau resorcinol sementara cincin B biasanya katekol atau fenol. Gugus-

gugus hidroksil tersebut merupakan tempat berikatannya berbagai gula yang

meningkatkan kelarutan flavonoida dalam air. Sistem penomoran pada struktur

dasar flavonoida sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


5 4
Gambar 2. Sistem penomoran pada struktur dasar flavonoida

Cincin A dan oksigen cincin tengah berdasarkan alur biosintesisnya terbentuk

melalui jalur poliketida. Sedangkan cincin B dan tiga atom karbon cincin tengah

menunjukkan flavonoida yang berasal dari jalur sikimat (Manitto, 1981 dan

Salisbury, 1992).

Aglikon flavonoida pada umumnya terdapat dalam berbagai bentuk

struktur molekul dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida, sehingga dalam

menganalisis flavonoida lebih baik memeriksa aglikon yang telah dihidrolisis

dibanding dengan bentuk glikosida, karena stukturnya yang rumit dan kompleks.

Modifikasi flavonoida dapat terjadi dengan berbagai tahap dan menghasilkan

penambahan (pengurangan) hidroksilasi, metilasi gugus hidroksil atau inti

flavonoida, metilenasi gugus orto-dihidroksil, dimerisasi (pembentukan

biflavonoida), dan yang terpenting glikosilasi gugus hidroksil (pembentukan

flavonoida O-glikosida) atau inti flavonoida (pembentukan flavonoida C-

glikosida) (Harborne, 1987 dan Markam, 1988).

Menurut Robinson (1995), senyawa golongan flavonoida dapat diklasifi-

kasikan sebagai berikut:

1. Flavon dan flavonol

Universitas Sumatera Utara


Flavon dan flavonol merupakan senyawa yang paling tersebar luas dari

semua pigmen tumbuhan berwama kuning. Dari segi struktumya, flavon berbeda

dengan flavonol, dimana pada flavonol terdapat gugus keton dan alkohol yakni

gugus keton pada posisi 4 dan hidroksi pada posisi 3 sehingga berpengaruh

terhadap serapan ultraviolet, gerakan kromatogram dan reaksi warnanya.

Sedangkan flavon hanya memiliki gugus keton yakni pada posisi 4 dan umumnya

terdapat sebagai glikosida pada posisi 7-glikosida. Gula yang terikat biasanya

glukosa, galaktosa, dan ramnosa. Aglikon flavonol yang umum dijumpai yaitu

kaemferol dan kuersetin yang berkhasiat sebagai antioksidan pada penyakit

kanker dan antiinflamasi (Harborne, 1987 ; Hemani dan Rahardjo, 2005 ; Miller,

2005 ; Robinson, 1995 dan Sastrohamidjojo, 1996).

OH

flavon flavonol

Gambar 3. Struktur flavon dan flavonol

2. Isoflavon
Isoflavon merupakan golongan flavonoida yang jumlahnya sangat sedikit, dan

sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun, tetapi

Universitas Sumatera Utara


beberapa isoflavon berwarna biru muda bila dilihat dibawah sinar ultraviolet

setelah diberi uap amonia (Harborne, 1987).

Menurut Hernani dan Rahardjo (2005), senyawa isoflavon mempunyai

aktivitas sebagai antioksidan yang dapat mengurangi resiko penyakit kanker,

jantung koroner, dan osteoporosis. Senyawa ini mempunyai aktifitas biologis

sebagai penangkap radikal bebas penyebab kanker. Aktifitas biologis senyawa

isoflavon telah diteliti dan menunjukkan bahwa aktifitas isoflavon berkaitan

dengan struktur dan gugus-gugus yang berikatan pada struktur molekulnya.

Adanya gugus OH ganda, gugus OH pada atom C3 ataupun C5 yang berdekatan

dengan gugus C=O pada struktumya berhubungan terhadap aktifitas biologisnya

(Pawiroharsono, 2004)

Gambar 4. Struktur isoflavon

3. Flavanon dan Flavanonol

Kedua senyawa ini terdapat sedikit sekali di alam bila dibandingkan

dengan golongan flavonoida yang lain. Pada struktur flavanon dan flavanonol tidak

dijumpai adanya ikatan rangkap pada posisi 2 dan 3. Perbedaannya terletak pada

adanya gugusan alkohol di posisi 3 pada flavanonol (3-hidroksi flavanon). Glikosida

flavanon (dihidroflavon) yang umum seperti hesperidin dan naringin yang terdapat

Universitas Sumatera Utara


pada buah jeruk berkhasiat sebagai antioksidan. Polihidroksi flavanon dapat

dideteksi dengan pereduksi magnesium dalam asam klorida yang memberikan warna

merah atau lembayung. Flavanonol merupakan flavonoida yang kurang dikenal dan

tidak diketahui apakah senyawa ini terdapat sebagai glikosida. Beberapa

senyawanya yang diasetilasi dikenal karena rasanya yang sangat manis (Bruneton,

1995 ; Hernani dan Rahardjo, 2005 ; Robinson, 1995).

OH
o o
flavanon flavanonol

Gambar 5. Struktur flavanon dan flavanonol

4. Antosianin

Antosianin adalah pigmen berwaraa merah, ungu, dan biru yang terdapat

pada seluruh tumbuhan kecuali fungus. Sebagian besar antosianin dalam bentuk

glikosida, biasanya mengikat satu atau dua unit gula seperti glukosa, galaktosa,

ramnosa, dan silosa. Jika monoglikosida, maka bagian gula hanya terikat pada

posisi 3, dan pada posisi 3 dan 5 bila merupakan diglikosida dan bagian

aglikionnya disebut antosianidin. Sebagian besar antosianin berwarna kemerahan

dalam larutan asam, tetapi menjadi ungu dan biru dengan meningkatnya PH yang

akhirnya rusak dalam larutan alkali kuat (Sastrohamidjojo, 1996; Salisbury,

1992).

Universitas Sumatera Utara


5 4

Gambar 6. Struktur antosianin

5. Auron dan Khalkon

Auron berupa pigmen kuning yang terdapat pada bunga tertentu dan

Bryofita. Dikenal hanya lima aglikon, tetapi pola hidroksilasinya serupa dengan

pola pada flavonoida lain begitu pula bentuk yang dijumpai adalah bentuk

glikosida dan eter metil. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah rosa.

Auron ditandai dengan adanya struktur 2-benzilidenekumaranon. Khalkon tidak

mempunyai inti pusat heterosiklik tetapi ditandai oleh adanya 3 rantai karbon

dengan gugus keton dan a,p tidak jenuh (Bruneton, 1995; Robinson, 1995).

Gambar 7. Struktur auron dan khalkon

2.2.2 Glikosida

Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis akan

menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula

yang disebut aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida ialah

Universitas Sumatera Utara


glukosa (Lewis, 1977). Glikosida dihidrolisis dengan cara pendidihan dalam asam

encer dan secara kimia maupun fisiologi, glikosida alam cenderung dibedakan

berdasarkan bagian aglikonnya (Robinson, 1995).

Berdasarkan hubungan ikatan antara glikon dan aglikonnya, glikosida

dapat dibagi menjadi empat (Farnsworth, 1966), yaitu :

1 . O-glikosida, jika ikatan antara glikon dan aglikon dihubungkan oleh atom

O, contohnya: salisin

Salisin

2. S-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom

S. contohnya: sinigrin.

3. N-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom

N, contohnya: krotonosida

Universitas Sumatera Utara


4. C-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom

C, contohnya: barbaloin.

Bentuk O-glikosida sangat mudah terurai oleh pengaruh asam, basa,

enzim, air, dan panas. Semakin pekat kadar asam atau basa maupun semakin

panas lingkungannya maka glikosida akan semakin mudah dan cepat terhidrolisis.

Gula yang sering berikatan pada glikosida adalah P-D-glukosa. Tetapi ada juga

mengandung gula lain misalnya galaktosa, ramnosa, digitoksosa, dan simarosa.

Glikosida berbentuk kristal atau amorf yang umumnya larut dalam air atau etanol

encer (kecuali pada glikosida resir). Oleh karena itu, umumnya sediaan farmasi

yang mengandung glikosida diberikan dalam bentuk eliksir, ekstrak, tingtur

dengan kadar etanol yang rendah. Secara umum, kegunaan glikosida dalam dunia

pengobatan diantaranya sebagai obat jantung, pencahar, pengiritasi lokal, dan

analgetikum (Farnsworth, 1966; Gunawan dan Mulyani, 2004).

Universitas Sumatera Utara


2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa

aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan

minyak atsiri, alkaloida, flavonoida, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa

aktif ysng dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara

ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Pembagian metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu :

A. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan

kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan terpekat didesak

keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan

didalam dan diluar sel.

Maserasi adalah proses penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang

mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air,

etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi berarti dilakukan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana yang mudah diusahakan.

Universitas Sumatera Utara


2. Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan

penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Proses perkolasi terdiri dari

tahapan pengembang bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

B. Cara panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur tititk didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik.

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang pada umumnya

dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan dan jumlah

pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

3. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur

yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada

temperatur 40-500 C.

4. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik

didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000 C.

Universitas Sumatera Utara


2.4 Kromatografi

kromatografi adalah metode pemisahan berdasarkan proses migrasi dari

komponen-komponen senyawa di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak.

Fase gerak membawa zat terlarut melalui media sehingga terpisah dari zat terlarut

lainnya yang terelusi lebik awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa

melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang

disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai penjerap, seperti alumina dan silika

gel, atau dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase

diam dan fase gerak. Dalam proses ini suatu lapisan cairan pada penyangga yang inert

berfungsi sebagai fase diam (Ditjen POM, 1995)

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah kromatografi adsorbsi dimana

adsorben bertindak sebagai fase diam. Empat macam adsorben yang umum dipakai

ialah silika gel, alumina, kieselguhr, dan selulosa. Zat-zat penyerap ini dibuburkan

dengan air lalu dibuat lapisan tipis yang merata pada lempeng kaca. Plat yang telah

kering dipanaskan/diaktifkan dengan memanaskannya pada suhu kira-kira 1000 C

selama 30 menit. Campuran senyawa yang akan dipisahkan terlebih dahulu dilarutkan

dalam pelarut yang mudah menguap lalu ditotolkan pada plat menggunakan pipet

mikro. Kemudian dimasukkan kedalam bejana tertutup rapat berisi larutan

pengembnag yang cocok (fase gerak) (Adnan, 1997 dan Sastrohamidjojo,1991).

Universitas Sumatera Utara


Kromatografi lapis tipis termasuk kromatografi adsorpsi (serapan), dimana

sebagai fase diam digunakan zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase

gerak adalah zat cair yang disebut dengan larutan pengembang.

Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk dua tujuan, yaitu :

1. Sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, dan preparatif.

2. Mencari sistem pelarut yang akan dipakai dalam kromatografi kolom

Pemilihan sistem pelrut (fase gerak) pada pengembangan didasarkan atas

prinsip like disolves like berati untuk memisahkan campuran yang bersifat non polar

digunakan sistem pelarut yang non polar dan sebaliknya. Fase gerak yang dipakai

umumnya berupa campuran beberapa pelarut. Proses pengembangan akan lebih baik

bila bejana pengembang telah jenuh dengan uap fase gerak (Adnan, 1997; Gritter,

dkk., 1991).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan

harga Rf = jarak perambatan bercak dari titik penotolan

Jarak perambatan pelarut dari titik penotolan

Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat

bercak dengan harga Rf berada antara 0,00-1,00. harga Rf ini sangat berguna untuk

mengidentifikasi suatu senyawa (Eaton, 1989).

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah sebagai berikut

(Sastrohamidjojo, 1991) :

1. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan

2. Sifat penyerap

3. Tebal dan kerataan lapisan penyerap

Universitas Sumatera Utara


4. Pelarut dan derajat kemurniannya

5. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana

6. Teknik percobaan

7. Jumlah cuplikan yang digunakan

8. Suhu

2.4.2 Kromatografi kertas

Kromatografi kertas merupakan partisi dimana fase geraknya adalah air yang

disokong oleh molekul-molekul selulosa dari kertas. Kertas yang digunakan adalah

kertas Whatman No. 1 dan kertas yang lebih tebal Whatman No. 3 biasanya untuk

pemisahan campuran dalam jumlah yang lebih besar karena dapat menampung lebih

banyak cuplikan (Sastrohamidjojo, 1991).

Fase gerak yang digunakan biasanya campuran dari satu komponen organik

yang utama, air dan berbagai tambahan seperti asam-asam, basa atau pereaksi-

pereaksi kompleks dengan tujuan untuk memperbesar kelarutan dari beberapa

senyawa atau untuk mengurangi kelarutan yang lainnya (Sastrohamidjojo, 1991).

Menurut Sastrohamidjojo (1991), kromatografi kertas dapat dikembangkan

dengan cara:

1. Menurun (desendens)

Dilakukan dengan membiarkan fase gerak merambat turun pada kertas

kromatografi. Kertas digantungkan dalam bejana menggunakan batang kaca dan

batang kaca lain menahan ujung atas kertas yang tercelup dalam fase gerak. Setelah

bejana ditutup, fase gerak dibiarkan merambatturun pada kertas (Depkes, 1979).

Universitas Sumatera Utara


2. Menaik (asendens)

Kertas digantung pada penggantung berbentuk kail yang dipasang pada

penutup bejana kromatografi. Pelarut diletakkan pada bagian bawah dari bejana lalu

ujung bawah kertas dicelupkan ke dalam fase gerak sehingga fase gerak merambat

naik pada kertas.

3. Mendatar

Kertas yang digunakan berbentuk bulat dan ditengahnya diberi lubang tempat

untuk meletakkan sumbu yang terbuat dari gulungan kertas atau benang. Fase gerak

akan naik membasahi kertasdan merambat melingkar memisahkan senyawa yang

ditotolkan.

Kromatografi kertas merupakan metode yang sering digunakan dalam hal

analisis senyawa polar (falvonoida). Untuk tujuan isolasi, hanya memerlukan

sejumlah bahan yang sedikit. Komponen senyawa flavonoida umumnya mudah

dipelajari dengan metode kromatografi karena sifatnya yang menghasilkan warna dan

hubungan sifat kelarutannya. Adapun kelebihan kromatografi kertas yaitu senyawa

flavonoida dapat menghasilkan warna alami dari berbagai komponen senyawa bila

dilihat dibawah sinar ultraviolet yang mudah diamati pada kertas. Kedua tekniknya

mudah dipelajari, memberikan hasil yang cepat dan memerlukan peralatan yang tidak

mahal. Selain itu, metode kromatografi kertas merupakan cara terbaik untuk

mengidentifikasi campuran senyawa flavonoida dengan jumlah yang sedikit

(Geissman, 1962).

Universitas Sumatera Utara


2.5 Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri ultraviolet adalah suatu metode spektrofotometri serapan

dengan cara mengukur radiasi elektromagnetik suatu larutan pada panjang gelombang

tertentu. Spektrum ultraviolet digambarkan sebagai hubungan antara panjang

gelombang (frekuensi serapan) dengan intensitas serapan (transmitansi atau

absorbansi) (Depkes, 1979 dan Sastrohamidjojo, 1985).

Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, maka didalam molekul

tersebut terjadi perpindahan dan transisi tingkat energi elektron-elektron ikatan di

orbital molekul paling luar daari tingkat energi yang lebih rendah (orbital ikatan π *).

Dalam praktek, spektrofotomeri ultraviolet digunakan terbatas pada sistem-sistem

terkonjugasi. Keuntungan dari serapan ultraviolet adalah selektivitasnya dimana

gugus-gugus yang khas dapat dikenal dalam molekul-molekul yang sangat kompleks

(Noerdin, 1985; Sastrohamidjojo, 1985 dan silverstein, dkk., 1986).

Spektrum ultraviolet dari suatu senyawa biasanya diperoleh dengan

melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu (cahaya monokromatis)

melalui larutan encer senyawa tersebut.

Sistem (gugus atom) yang menyebabkan terjadinya absorbsi cahaya disebut

kromofor. Kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi σ → σ* ialah senyawa

yang mempunyai elektron pada orbital molekul σ, yaitu molekul organik jenuh yang

tidak mempunyai atom dengan pasangan elektron sunyi. Senyawa yang mempunyai

transisi σ → σ* mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang sekitar 150 nm.

Universitas Sumatera Utara


Kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi π→ π* ialah senyawa yang

mempunyai transisi π→ π* mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang sekitar

200 nm.

Kromofor yang menyebabkan n→ π* ialah senyawa yang mempunyai orbital

molekul n, yaitu senyawa yang mengandung atom yang mempunyai pasangan

elektron sunyi. Senyawa yang mempunyai transisi n→ π* mengabsorbsi cahaya pada

panjang gelombang 200-400 nm (Creswell, et al., 1982; Geissman, 1977).

Istilah-istilah dalam spektrofotometri ultraviolet menurut Noerdin (1985) dan

silverstein, dkk (1986) yaitu :

1. Khromofor adalah gugus fungsi berupa ikatan tak jenuh yang menyerap radiasi

didaerah ultraviolet dan daerah tampak. Contoh : C=C, C≡C, dan C=O.

2. Auksokrom adalah gugus fungsi dengan ikatan jenuh dan mengandung elektron

tidak berpasangan yang tidak menyerap radiasi pada panjang gelombang yang

lebih besar dari 200 nm tetapi apabila terikat pada gugus khromofor maka akan

merubah panjang gelombang dan intensitas serapan dari khromofor. Contoh : -

OH, -NH2, -Cl.

3. Pergeseran batokromik (pergeseran merah) adalah pergeseran serapan ke arah

pnjang gelombang yang lebih panjang akibat adanya substitusi gugus khromofor

atau pengaruh pelarut.

4. Pergeseran hipsokromik (pergeseran biru) adalah pergeseran ke arah panjang

gelombang yang lebih pendek akibat adanya substitusi gugus khromofor atau

pengaruh pelarut.

Universitas Sumatera Utara


5. efek hiperkromik adalah kenaikan dalam intensitas serapan.

6. Efek hipokromik adalah penurunan dalam intensitas serapan.

Spektroskopi serapan adalah cara yang berguna untuk menganalisis struktur

flavonoida. Cara tersebut digunakan untuk mambantu mengidentifikasi jenis

flavonoida dan menentukan pola oksigenasi. Disamping itu kedudukan gugus

hidroksil fenol bebas pada inti flavonoida dapat ditentukan dengan penambahan

pereaksi geser kedalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan

yang terjadi (Markham, 1988).

Spektrum falvonoida biasanya ditentukan dalam pelarut metanol. Spektrum

khas terdiri atas dua maksimal pada rentang 240-285 nm (pita II) 300-350 (pita I)

(Markham, 1988)

2.5.1 Spektrum Natrium Metoksida

Natrium metoksida adalah merupakan basa kuat yang dapat mengionisasi

hampir semua gugus hidroksil yang terdapat pada inti flavonoida. Spektrum ini

biasanya merupakan petunjuk sidik jari pola hidroksilasi. Degradasi atau

pengurangan kekuatan spektrum setelah waktu tertentu merupakan petunjuk baik

akan adanya gugus yang peka terhadap basa. Pereaksi pengganti natrium metoksida

adalah larutan natrium hidroksida 2M dalam air (Markham, 1988)

2.5.2 Spektrum Natrium Asetat

Natrium asetat adalah basa yang lebih lemah dan hanya menyebabkan

pengionan yang berarti pada gugus hidroksil flavonoida yang lebih asam. Natrium

Universitas Sumatera Utara


asetat digunakan terutama untuk mendeteksi adanya gugus 7 hidroksil (Markham,

1988).

2.5.3 Spektrum natrium asetat/ asam borat

Menjembatani kedua gugus kedua gugus hidroksil pada gugus orto-dihidroksi

dan digunakan untuk mendeteksinya (Markham, 1988).

2.5.4 Spektrum AlCl3/HCl

Karena membentuk kompleks antara gugus hidroksil dan keton yang

bertetangga dan membentuk kompleks tidak tahan asam dengan gugus orto-

dihidroksil, pereaksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kedua gugus tersebut. Jadi

spektrum AlCl3 merupakan penjumlahan pengaruh semua kompleks terhadap

spektrum, sedangkan spektrum AlCl3/HCl hanya merupakan pengaruh kompleks

hidroksiketo (Markham, 1988).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai