Anda di halaman 1dari 5

Hak Asasi Manusia dalam Kebebasan Berpendapat di Media Online

Negara kita adalah Negara yang demokratis, bahkan bisa dibilang sangat demokratis.
Semua orang dari lapisan mana saja mendapat kebebasan dalam mengeluarkan
pendapat. Semua bebas berunjuk rasa mengeluarkan segala aspirasinya.
Namun sayang, aksi ini kadang dilakukan dengan anarkis. Tadinya unjuk rasa
dilakukan untuk membela kepentingan rakyat, tetapi akhirnya malah merugikan
rakyat sebab fasilitas public menjadi rusak.
Dikalangan elit pejabat, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat juga sangat bebas.
Saking bebasnya mereka saat ini tidak lagi memikirkan tentang etika politik dan cara
bertuturkata dalam suatu rapat.
Hal ini tentu saja memberikan dampak yang negative. Salah satunya adalah tingkat
kepercayaan masyarakat menjadi menurun. Sebaiknya dalam mengeluarkan pendapat,
kita tentu harus memperhatikan cara penyampaian dan dampak yang akan terjadi.
Bila lebih banyak negative daripada positivenya, maka kita perlu mempertimbangkan
pendapat tersebut. Jangan karena bebas berpendapat kita menjadi egois dan
mementingkan kepentingan pribadi atau golongan saja lalu kepentingan orang banyak
(masyarakat) jadi dikesampingkan.

A.Latar Belakang
Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering dibicarakan dan dibahas terutama
dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi di era reformasi ini daripada
sebelum era reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup
tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain.
Dalam era globalisasi sekarang ini, peradaban manusia sudah mencapai kemajuan
yang begitu pesat. Teknologi dan bidang-bidang lainnya juga pesat berkembang.
Tanpa kita sadari kemajuan di berbagai bidang tersebut memberikan pengaruh
langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi manusia baik secara positif
maupun secara negative
Kebebasan berpendapat merupakan hak dasar setiap manusia. Kebebasan ini
merupakan wujud penyampaian ekspresi baik secara lisan maupun tulisan melalui
media apa saja tanpa kekangan dari pihak manapun. Seiring perkembangan teknologi,
kebebasan berpendapat melalui media tidak hanya mencakup media cetak dan media
penyiaran saja, tapi juga melalui media online.

PEMBAHASAN
Manusia terlahir kedunia oleh Tuhan dikaruniai sesuatu yang orang lain tidak dapat
mengusiknya, yaitu yang lebih kita kenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”
Salah satu dari hak tersebut adalah kemerdekaan, dimana manusia diberi kebebasan
untuk mempertahankan hidupnya dengan berbagai cara dan upaya, tentunya dalam
rangka mencapai tujuan hidupnya dengan terjadinya interaksi antara manusia satu
dengan yang lainnya. Dalam berinteraksi tentunya akan muncul gagasan atau pikiran
yang akan disampaikan kepada orang lain. Penyampaian atau pengungkapan inilah
yang yang dimaksud dengan penyampaian pendapat.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu karunia Tuhan yang
sangat berharga. Sepatutnya kita pahami bersama bahwa setiap orang mempunyai
kepentingan untuk dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa adanya
tekanan dari pihak manapun. Sebab adanya batasan atau tekanan orang akan merasa
khawatir atau takut untuk menyampaikan pendapatnya, dan hal ini merupakan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 19 UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat atau
mengeluarkan pendapat; hal itu meliputi kebebasan mempertahankan pendapat
dengan tanpa gangguan, serta mencari, menerima, dan meneruskan segala informasi
dan gagasan, melalui media apapun dan tanpa memandang batas”.
Apabila kebebasan berpendapat dikekang, maka akan timbul gejolak-gejolak ataupun
ganjalan-ganjalan dalam hati banyak orang, yang suatu ketika dapat meledak dalam
bentuk sikap-sikap dan perbuatan yang tidak baik. Meskipun kita memiliki hak
kebebasan dalam mengeluarkan pikiran ataupun pendapat, namun kebebasan itu
bukan kebebasan mutlak yang tanpa batas. Kebebasan yang kita jalani adalah
kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang
lain, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Kita tidak boleh memaksakan kehendak dan pendapat kita.
Pembatasan terhadap hak dan kebebasan menyampaikan pendapat khususnya di
media berbasis IT memang menjadi satu ganjalan, bahwa seakan-akan masyarakat
tidak dibenarkan menyampaikan kritikan dan sumbang saran yang nyata-nyata akan
memojokkan pihak tertentu, padahal jika kita mengkaji lebih jauh bahwa peran
masyarakat sebagai social controle sangat penting sebagai sebuah indikator berhasil
atau tidaknya pembangunan dan kualitas pembangunan yang dilakukan pemerintah,
jadi kita berharap sekiranya ini tidak menjadi penghalang bagi setiap warga untuk
dapat menyatakan pendapat dan buah pemikiran mereka, tetaplah pada koridor yang
benar bahwa tujuan kita menyampaikan informasi yang sebenarnya untuk
kepentingan bersama.
Kasus Prita Mulyasari, boleh dikatakan merupakan isu mengenai kebebasan
berpendapat yang paling menghentak tahun 2009 lalu. Awalnya, ibu muda ini hanya
bermaksud mengutarakan keluh kesahnya melalui email kepada teman-temannya.
Siapa yang menduga, curahan hatinya ini justru menggiringnya ke jeruji besi. OMNI
International Hospital sebagai pihak yang dikritik oleh Prita merasa tidak terima
dengan keluhan Prita. Pencemaran nama baik pun, menjadi alasan ampuh yang
digunakan Rumah Sakit OMNI untuk merumahkan Prita ke sel tahanan. Pasal 27
Ayat (3) Undang-undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi salah
satu senjata yang digunakan OMNI selain Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP terkait
pencemaran nama baik. Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE disebutkan bahwa, “setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Setelah Prita, giliran artis Luna Maya yang menjadi ‘tumbal’ UU ITE. Umpatan yang
dilakukannya melalui Twitter secara spontan, mengundang amarah kalangan
infotainment. Dalam kasus ini lagi-lagi pasal 27 ayat (3) digunakan sebagai tali
penjerat. Ancaman hukum sebagai akibat dari pasal ini adalah pidana penjara paling
lama enam tahun atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Bisa dikatakan, jerat
hukum ITE yang menimbulkan ketakutan berbagai pihak untuk berbicara melalui
internet ini menjadi ganjalan penegakkan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Alpanya Aturan Negara
Pengekangan kebebasan berpendapat di Indonesia ini, bukan kali pertama terjadi
dalam sejarah bangsa kita. Dari rezim ke rezim, Indonesia mengalami jalan cukup
panjang dan terjal mengenai penegakkan kebebasan berpendapat ini. Meskipun secara
jelas aturan mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tercantum dalam
piagam PBB, pada kenyataannya untuk menegakkannya dalam sebuah negara
tidaklah mudah. Rezim yang berkuasa berikut aktor dan sistem yang juga berkuasa
menjadi faktor penentu bagaimana kebebasan tersebut ditegakkan. Pasalnya,
merekalah yang menjadi penentu kebijakan atas kebebasan berpendapat ini.
Sejarah pemerintahan Indonesia menjadi gambaran yang cukup kongkrit betapa
kebebasan berpendapat di Indonesia dari rezim ke rezim menjadi perjuangan yang
belum sepenuhnya menyuarakan semangat demokrasi. Masa orde lama dan orde baru,
karena pada masa itu keberadaan media hanya terbatas pada media cetak dan media
penyiaran, maka pemerintah memberikan kekangan yang cukup ketat untuk dua
media ini.
Kini, saat media semakin berkembang luas dan internet hadir sebagai ajang untuk
menyampaikan pendapat juga, pemerintah lagi-lagi berusaha ikut campur untuk
mengaturnya. Di satu sisi, pemerintah berdalih bahwa mereka harus melindungi
kepentingan publik yang cukup heterogen dari terpaan negatif media. Namun di sisi
lain pemerintah juga mengekang kebebasan berpendapat yang dimiliki publik.
Internet, telah menjadi salah satu media alternatif bagi publik untuk mengutarakan
pendapatnya secara bebas. Hal ini dikarenakan media-media mainstreem seperti
media cetak dan media penyiaran yang seharusnya menjadi ‘mulut dan telinga’ publik
telah dikuasai oleh pihak-pihak yang berdekatan dan beroposisi dengan pemerintah.
Tak jarang mereka telah ditunggangi kepentingan politik tertentu yang tidak berpihak
kepada publik.
Kebebasan berpendapat sendiri di Indonesia memang memiliki aturan yang terbatas.
Selama ini koridor mengenai kebebasan berpendapat hanya diatur melalui Undang-
undang Pers No.40 tahun 1999 saja yang notabene lebih banyak mengatur mengenai
pers cetak. UU ini belum akomodatif untuk media penyiaran dan media massa
lainnya. Maka dari itu bisa dikatakan, media online belum mempunyai aturan
mengenai kebebasan pers. Tak heran, aturan-aturan mengenai media online dicomot
secara parsial melalui UU yang berkaitan dengan media online. Padahal belum tentu
aturan dalam UU tersebut mewakili semangat demokrasi dan kebebasan berpendapat
yang digaungkan sebagai hak asasi manusia.
Merujuk pada aturan yang lebih universal. Secara luas, dunia memberikan pengakuan
atas kebebasan untuk mencari, mengumpulkan, dan untuk menyebarluaskan
informasi sebagaimana yang disuarakan dalam piagam PBB ini mengandung arti
bahwa setiap orang bisa mengutarakan pendapat dan ekspresinya dalam bentuk
apapun dan melalui media apapun. Sebagai pembatas agar kebebasan ini tidak
kebablasan, secara lebih lanjut piagam PBB mengemukakannya dalam Pasal 29 yang
menyatakan :
(1) Everyone has duties to the community in which alone the free and full
development of this personality possible
(2) In the exercise of the rights and freedom, everyone shall be subject to such
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due
recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just
requirements of morality, public order, and the walfare in democratic society
Dari sini dapat dilihat bahwa yang akan menjadi batasan atas kebebasan berpendapat
ini adalah undang-undang setempat, jiwa, masyarakat, ketertiban sosial dan politik
masyarakat demokratis. Undang-undang, ketertiban sosial, dan politik sebagaimana
tertulis dalam piagam PBB ini memang menjadi pembatas yang dalam pengelolaan
kebebasan berpendapat. Namun demikian, bukan berarti undang-undang yang
menjadi dasar hukum dalam suatu negara akan menjadi pengekang. Undang-undang
akan menjadi koridor pembatas saja agar kebebasan pendapat yang diperjuangkan
tidak kebablasan.
Beda Media Beda Batasan
Melihat dari berbagai pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa kebebasan
mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan merupakan hak semua orang.
Setiap individu yang hidup dalam suatu negara hukum, mempunyai kebebasan yang
sama dalam berpendapat. Hanya saja ketika diterapkan dalam setiap media,
kebebasan berpendapat ini akan mempunyai implikasi yang berbeda, tergantung sifat
medianya. Namun, bukan berarti hal ini akan menjadi alasan untuk mengekang
kebebasan berpendapat dalam masyarakat.
Secara lebih lanjut, untuk menjelaskan bahwa perbedaan mempunyai implikasi dalam
sifat media, yang menyandingkan pers cetak dan pers penyiaran. Secara prinsip
jurnalistik pers cetak dan penyiaran memiliki prinsip-prinsip yang sama. Namun
dalam konteks hukum pers cetak berbeda dengan pers penyiaran. Dalam pers cetak
tidak boleh ada ketentuan yang bersifat prior restraint atau hambatan sebelum
dilakukannya penerbitan. Sedangkan dalam media penyiaran, ketentuan prior restraint
terdapat dalam peraturan bahwa mendirikan radio atau TV harus memiliki izin dari
yang berwenang. Lembaga izin inilah yang bersifat prior restraint. Secara prinsip, hal
ini bertentangan dengan kebebasan pers yang tidak menghendaki adanya campur
tangan dalam penyampian pendapat. Namun, penggunaan frekuensi yang merupakan
milik publik dan harus berizin merupakan ketentuan yang secara jelas terdapat dalam
undang-undang penyiaran. Inilah yang menjadi titik lemah dari aturan mengenai
kebebasan pers di Indonesia ketika menyandingkan dua jenis media massa ini. Lalu,
bagaimana dengan media online yang memiliki sifat yang berbeda sekaligus sama
dengan media cetak dan media penyiaran.
Ketika aturan prior restraint diberlakukan dalam media online, akan terjadi semacam
kerancuan. Pertama, karena dalam media online tidak ditemukan aturan pembatasan
frekuensi. Kedua, dalam media online terdapat prinsip-prinsip media cetak yang
diadaptasi dalam media online. Jadi, terdapat dualitas antara media cetak dan media
penyiaran yang berbaur. Lalu, bagaimana kebebasan pers berwujud dalam media
online?
Selama ini, media online atau yang lebih dikenal sebagai internet tidak dimasukkan
dalam kategori komunikasi massa. Dalam kajian komunikasi Internet lebih sering
dimasukkan pada kategori new media. Hal ini karena internet mempunyai sifat dari
semua media massa yang ada dan mengacu pada konsepnya yang interaktif. Media
baru yang dibentuk oleh komputer adalah media dalam pengertian yang sangat luas,
yaitu bukan media massa, seperti surat kabar, radio, televisi, dan film. Pengertian ini
secara implisit menyebutkan bahwa media tersebut terbentuk karena komputer dan
wujudnya berbeda dengan media massa.
Dengan pengertian ini memberikan batasan kebebasan berpendapat pada internet
tidak bisa dilakukan sebagaimana melakukan pembatasan dalam media massa
lainnya. Dalam piagam PBB dikatakan bahwa kebebasan berpendapat hanya dapat
dibatasi oleh undang-undang setempat, jiwa (morality) masyarakat, ketertiban sosial
(public order) masyarakat yang demokratis. Tiga hal inilah yang berdasarkan piagam
PBB menjadi batasan yang cukup akomodatif dalam mengelola kebebasan
berpendapat dalam sebuah negara.
Untuk memberikan batasan kepada pers dalam piagam PBB adalah melalui jiwa
masyarakat (morality). Hal ini jelas membutuhkan kemampuan tiap-tiap individu
untuk mengelola kemampuan pribadinya ketika berhadapan dengan media. Dalam hal
ini kemampuan komunikasi intrapersonal tiap-tiap individu yang menjadi
tumpuannya. Kasus-kasus penculikan pacar oleh pacar yang terjadi melalui facebook
beberapa saat lalu bisa dikatakan merupakan bukti lemahnya kemampuan manajemen
morality dari individu untuk membatasi dirinya ketika berhadapan dengan media
berikut terpaannya.
Cara lain yang digariskan dalam piagam PBB adalah melalui public order. Kasus
terakhir yang terekspose media mengenai hal ini adalah dikeluarkannya empat orang
siswa SMA di wilayah Tanjung Pinang akibat memposting status di facebook yang
oleh sekolah dinilai tidak menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa masyarakat
ikut menjadi penentu dan pembatas penyampaian pendapat di muka umum. Norma
yang berlaku dalam masyarakat akan menjadi pagar pembatas bagi mereka yang
kebablasan ketika berpendapat di internet.
Dalam tataran Indonesia, negara kita memilih menggunakan undang-undang untuk
membatasi kebebasan pendapat yang terjadi di dunia maya. Undang-undang ITE yang
menjadi punggawa utamanya. Meskipun sudah ‘memakan’ sejumlah korban,
pemerintah masih urung untuk menilik atau mencabut kembali undang-undang ini.
Meski norma dan manajemen pribadi menjadi dua hal yang tidak diabaikan pula di
negara kita, namun sepak terjang dari UU ITE-lah yang paling nampak. Dalam
penerapannya, undang-undang ini dinilai sangat membatasi kebebasan pers karena
hanya menghasilkan pasal-pasal karet yang berakibat bui. Prita salah satu contoh
paling nyata. Bisa dikatakan, untuk media online penerapan undang-undang bukanlah
solusi paling ampuh untuk Indonesia.
Perkembangan terbaru yang terjadi dalam kebebasan pers pada media online adalah
dikeluarkannya Peraturan Menkominfo pada bulan Februari 2010 ini yang mengatur
mengenai pengamanan pemanfaatan jaringan telekomunikasi berbasis protokol
internet. Aturan ini dikeluarkan oleh Menkominfo sehubungan dengan makin
meningkatnya penyalahgunaan internet untuk hal-hal yang tidak diinginkan dan
mempunyai implikasi negatif. Sampai hari ini aturan ini masih menuai banyak pro
dan kontra. Di satu sisi Menkominfo memncoba memberikan pagar bagi pengguna
media online yang sudah kebablasan agar berjalan pada koridornya. Di sisi lain,
terdapat sejumlah aturan dalam Permen ini yang dikhawatirkan hanya akan
menghadirkan pasal karet-pasal karet yang baru.

PENUTUP

Kesimpulan
Perjalanan kebebasan pers di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan internet
sebagai new media, bisa dikatakan masih jauh dari semangat demokratisasi
sebagaimana yang dijunjung dalam piagam PBB. Secara hukum Indonesia memang
sudah memiliki UU ITE yang menjadi dasar hukum. Faktanya, aturan hukum yang
berlaku di Indonesia justru menjadi jerat mematikan, bukan batasan yang bijak bagi
mereka yang mengeluarkan pendapat dalam media online. Yang jelas, koridor hukum
ini harus segera diperbaiki di Indonesia agar tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa
dirugikan oleh hukum yang pada awalnya dimaksudkan oleh pemerintah untuk
melindungi masyarakatnya.
Pertama, hakikat kebebasan pers dalam media online menjadi persoalan utama yang
harus segera dipecahkan. Sifat internet yang mewadahi media interpersonal maupun
media massa menjadikan internet mempunyai sifat yang sangat berbeda. Akibatnya,
hukum atas internet pun seharusnya berbeda. Inilah yang harus dipahami oleh
pemerintah sebagai penentu kebijakan dan masyarakat sebagai pengguna media.
Kedua, kebebasan berpendapat merupakan hak semua masyarakat, namun ketika
berpendapat melalui internet mempunyai implikasi hukum yang berat akan
menimbulkan ketakutan berpendapat dalam masyarakat. Bisa jadi hal ini justru
menciptakan pemberontak-pemberontak yang akan menambah kericuhan dunia maya.
Inilah persoalan kedua yang harus diatur oleh pemerintah, membuat masyarakat
media dan berkesadaran media sehingga masyarakat akan bisa menggunakan media
secara lebih bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai