Anda di halaman 1dari 3

TUNTUNAN AQIQAH DALAM ISLAM Oleh: Ali Yusuf, S.Th.I. A.

Makna Aqiqah Menurut bahasa aqiqah berarti memotong, asal katanya rambut bayi pada saat dilahirkan atau kambing yang dibuat aqiqah . Berdasarkan istilah aqiqah adalah sembelihan yang dilakukan karena kelahiran seorang bayi pada hari ketujuh dari hari kelahirannya . Sembelihan tersebut dinamakan aqiqah, karena dilakukan pada waktu menggunting (mencukur) rambut bayi atau beberapa saat sebelum rambut itu dicukur. Adapun hikmah dari aqiqah adalah sebagai bentuk syukur kepada Allah atas lahirnya seorang anak dan sebagai wasilah mendekatkan diri kepada Allah didalam menjaga dan merawat anak sebagai karunia yang telah diberikan Allah SWT. B. Sejarah Aqiqah Menurut Buraidah di masa jahiliyah apabila seorang anak laki-laki dilahirkan, mereka menyembelih seekor kambing, mencukur rambut dan melumuri kepalanya dengan darah hewan yang disembelih. Kebiasaan melumurkan darah ini kemudian oleh syariat Islam diganti dengan melumurkan dengan air bunga (kumkuma) Ibnu Sakan menyatakan bahwa pada zaman Jahiliyah, kepala (ubun-ubun) si bayi diusap dengan kapas yang telah dilumuri darah hewan aqiqah. Hal ini dilarang Rasulullah kemudian diganti dengan kapas yang telah dilumuri katsuri (parfum). Dengan melihat asal-usul aqiqah ini, nyatalah bahwa tradisi aqiqah yang dikembangkan oleh syariat Islam (dengan perbaikan), merupakan penelusuran tradisi yang turun temurun Islam meneruskan tradisi ini karena merupakan cerminan luapan kegembiraan atas kelahiran seorang bayi kedunia, satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah serta membagikan kebahagian kepada para fakir miskin dan tetangga masyarakat sekitarnya. C. Hukum Aqiqah Beberapa hadis yang menjelaskan tentang aqiqah adalah . : Dari Aisyah berkata: Rasulullah SAW telah memerintahkan kami untuk menyembelih aqiqah dua ekor kambing untuk anak laki-laki, dan seekor kambing untuk anak perempuan(HR. Ibnu Majah, hadis ini dishahihkan oleh al-Bani) Setiap bayi laki-laki ada aqiqahnya, karena itu sembelihan aqiqah untuknya, hilangkanlah kotoran dari tubuhnya (cukurlah rambutnya) (HR. Bukhori dari Salman bin Amer) Setiap bayi laki-laki yang baru dilahirkan terikat dengan aqiqah yang disembelih pada hari ketujuh kelahirannya, pada hari itu rambutnya dicukur dan dia beri nama(HR.Ibnu Majah dari Samurah). Juga hadis Nabi dari Samuroh bin Jundab

" : Rasulullah SAW bersabda: setiap bayi laki-laki adalah tergadai dengan aqiqahnya, disembelih aqiqah pada hari ketujuh disertai mencukur rambut dan di beri nama (HR. Abu Daud, hadis shahih menurut Al-Bani) Dari hadis-hadis tersebut jelas bahwa aqiqah adalah termasuk perbuatan yang di syariatkan, akan tetapi mengenai hukum aqiqah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama , seperti: a. Imam Malik, Syafii, Abu Tsaur dan mayoritas uluma (Jumhur) termasuk pendapat Ahmad mengatakan aqiqah adalah perbuatan sunah yang dikuatkan (sunah muakad). Malik menambahkan bahwa aqiqah sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan walaupun tidak berdosa jika ditinggalkan. b. Buraidah, al-Hasan al-Bisrhry, Abu az-Zinad, Daud dan satu riwayat Ahmad mengatakan bahwa aqiqah itu wajib dilaksanakan. Mereka beralasan bahwa dalil-dalil yang menjelasakan tentang aqiqah adalah shahih bisa diterima dan diamalkan. Aqiqah juga merupakan tradisi yang sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, Sahabat dan Tabiin. diantara para sahabat yang melaksanaan aqiqah adalah Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abas, Fathimah dan Buraidah alAslamy, sedangkan diantara Tabiin yang melaksanakan aqiqah adalah al-Qosim ibn Muhammad, Urwah ibn Zubair, Az-Zuhry, Atha dan Abu az-Zinad. c. Ibnu Sirin berpendapat bahwa yang wajib di aqiqahi hanyalah anak laki-laki saja hal ini tidak diwajibkan bagi anak perempuan. Sebagaiamana hadis HR. Bukhori dari Salman bin Amer bahwa setiap bayi laki-laki ada aqiqahnya. d. Muhammad ibn al-Hasan mengatakan bahwa kewajiban aqiqah itu telah di mansukh oleh dalil perintah udhhiyah (sembelihan qurban). D. Waktu Penyembelihan Aqiqah Beberapa pandangan para ulama tentang kebolehan menyembelih diantaranya: a. Malik ibn Anas berkata bahwa aqiqah itu dilakukan pada hari ketujuh setelah anak dilahirkan, tidak boleh sebelum dan sesudahnya. b. Ibnu Hazm berpendapat aqiqah tidak boleh dilakukan sebelum pada hari ketujuh tetapi jika ada halangan pada hari tersebut boleh kita menyembelih pada hari yang lain karena aqiqah tidak gugur dengan sudah lewatnya hari ketujuh. c. Asy-Syafii membolehkan menyembelih aqiqah itu sebelum atau sesudah hari ketujuh asalkan anak tersebut belum baligh

d. Abu Abdilah al-Wasyanji berpendapat aqiqah boleh dilaksanakan pada hari ke empat belas, atau hari kedua puluh satu jika tidak dapat dilaksanakan pada hari ketujuh. Menurut atTirmidzi pendapat inilah yang banyak dipakai oleh para ulama, sebagaimana hadis dari Aisyah } { Dan hendaklah aqiqah itu dilaksanakan pada hari ketujuh, jika tidak bisa maka pada hari ke empat belas dan jika tidak bisa maka dilaksanakan pada hari ke dua puluh satu (HR. Hakim, hadis ini shahihul isnad)

Anda mungkin juga menyukai