Pengalaman Sufistik
Muhammad Saw
Saw..
(Tinjauan Normatif-Historis)
Pendahuluan
Dalam perbincangan mengenai spiritualitas Islam atau lazim disebut
tasawuf, kajian mendalam tentang pengalaman sufistik yang dialami Nabi
Muhammad merupakan kajian yang agak terlupakan, terlebih mengenai
proses spiritualitas Nabi yang radikal seperti yang pernah dialami para
sufi kontroversial semacam al-Bustami, al-Hallaj maupun Ibn al-Arabi.
Hal ini boleh jadi selain karena adanya keyakinan bahwa Nabi
Muhammad adalah sosok manusia sempurna yang tidak layak
dibandingkan dengan manusia lain, dominasi “tasawuf sunni” atau
“tasawuf ortodoks” sejak abad III Hijriyah dan munculnya gerakan
purifikasi (pemurnian) ajaran-ajaran Islam sejak abad VII Hijriyah
agaknya telah menempatkan kajian tentang pengalam sufistik
Muhammad saw. sebagai sesuatu yang tabu dibicarakan.
Pengalaman Sufistik...Oleh Safrodin Halimi
karena beliau adalah salah satu hamba Allah SWT yang mulia. Ia bukan
pula jelmaan atau makhluk adikodrati, melainkan seorang manusia yang
telah dicintai-Nya sehingga Allah SWT menjadi pendengarannya,
penglihatannya, dan kekuatan yang selalu melingkupi setiap gerak anggota
badannya. Keistimewaannya tercermin dari hak istimewa yang
dianugerahkan secara khusus oleh Allah SWT seperti menikahi lebih
banyak istri daripada yang diizinkan oleh hukum Islam kepada para pria
muslim lainnya. Tentu saja hak istimewa ini sekaligus mengandung
tanggung jawab yang amat besar, sebagaimana yang dimaksudkan pepatah
Barat “no-blesse oblige”.7 Nabi Muhammad memikul tanggung jawab yang
tidak akan dapat dipahami oleh orang lain betapa pun luar biasanya ia.
Hak istimewa tersebut merupakan lambang keunggulannya dalam tatanan
manusia, tidak saja dari segi hak istimewa itu, tetapi juga dari segi
tanggung jawabnya yang sangat besar.
Keistimewaan lain yang ada pada Nabi Muhammad adalah proteksi
kenabian [‘ismah] yang melekat pada dirinya secara otomatis, sehingga
ia terjaga (ma’sum) dari kekeliruan manusiawi yang dilakukan berdasar
kesadaran antropologis. Setiap kali ia melakukan kekeliruan, wahyu selalu
datang untuk meluruskannya.
Misalnya Nabi Muhammad pernah ditegur oleh Allah SWT berkaitan
dengan sikapnya saat menyambut orang buta, Ibn Ummi Maktum yang
ingin diajari tentang Islam. Tatkala ia datang, Nabi sedang menemui
para pemuka kafir Quraisy. Nabi tidak menyambut dengan baik
kedatangan Ummi Maktum itu, tetapi justru beliau bermuka masam dan
berpaling darinya.8 Karena itu, turunlah surat ‘Abasa sebagai pelurusan
terhadap perilaku Nabi yang muncul dari kesadaran antropologis
(kesadaran manusia biasa) tersebut.
Pada kasus lain, Nabi Muhammad juga ditegur Allah SWT dengan
surat at-Tahrim berkaitan dengan keputusannya mengharamkan dirinya
menggauli salah satu budak perempuan demi keridaan istrinya yang
cemburu padanya. Suatu ketika salah satu istri Nabi menemukan Nabi
bersama budak perempuannya (jâriyah) di kamarnya, sehingga istri Nabi
tersebut memprotesnya. Menghadapi hal itu, Nabi meminta agar kejadian
tersebut tidak diceritakan kepada yang lain seraya Nabi mengharamkan
budak perempuan itu bagi dirinya untuk selamanya. Istri Nabi itu
tersentak dan kemudian bertanya, “Bagaimana engkau mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah SWT padamu?” Karena itu, Allah SWT
menurunkan surat at-Tahrim.9
Umar ibn al-Khaththab pernah mengusulkan untuk membunuh
(menghukum mati) para tawanan perang Badar. Tetapi setelah meminta
pendapat dari para sahabat, Nabi lebih memilih untuk melepaskan para
tawanan tersebut dengan imbalan tebusan atau memberikan pengajaran
kepada penduduk Madinah bagi tawanan yang pandai menulis dan
membaca. Tetapi tidak lama kemudian turunlah wahyu, surat al-Anfal
ayat 67 yang tidak membenarkan adanya tebusan dari tawanan. Demikian
juga, tatkala Nabi hendak mengabulkan permohonan seorang anak tokoh
munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, Umar menentangnya. Tetapi, Nabi
tetap pada pendiriannya dan menshalatkan jenazah Abdullah. Tidak lama
kemudian turunlah wahyu surat at-Taubah ayat 84 yang melarang Nabi
menshalati orang-orang munafiq dan berdiri di atas kuburannya.10
Kasus-kasus tersebut di atas merupakan putusan-putusan Nabi yang
dilakukan atas kesadaran antropologis. Dengan demikian, dalam diri
Muhammad masih terdapat kesadaran antropologis yang mempengaruhi
perilaku-perilaku yang secara antropologis (dalam ukuran manusia
normal) dapat dibenarkan, tetapi secara nubuwwah (wahyu) belum tentu
benar. Di sinilah letak keistimewaan Nabi dari spiritualis lainnya. Nabi
selalu dilindungi Allah SWT dengan proteksi kenabian (wahyu) dalam
perjalanan mistiknya, sementara para spiritualis lainnya tidaklah demikian,
sekalipun mereka kadangkala memperoleh perlindungan Tuhan dalam
bentuk yang lain.
Nabi berkata, “Saya tidak melihat seorang tuan yang berbuat kebohongan
sehingga orang-orang memukul dengan kulit”.19
Dalam suatu riwayat Abu Hurairah, dituturkan bahwa Nabi pernah
bermimpi seakan di tangannya terdapat dua gelang emas. Dia merasa
gelisah dengannya sehingga ia diberi wahyu untuk menyebulnya.
Kemudian Nabi menyebulnya dan kedua gelang tersebut pun terbang.
Nabi menafsirkannya akan adanya dua orang pembohong yang muncul
setelahnya, yaitu Musailamah dan al-Ansy.20
Mimpi yang benar (ar-ru’yâ as-sâdiqah) juga dipandang oleh Nabi
sebagai suatu peristiwa yang dapat terjadi pada manusia muslim pada
umumnya. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri memandang mimpi yang
benar merupakan bagian dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai
nikmat dari Allah SWT kepada orang muslim yang menerimanya dan
juga pengganti dari sifat kenabian yang telah dicabut setelah Nabi
Muhammad.
perjalanan Nabi pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada
Allah SWT.
Pada salah satu malam yang ganjil bertepatan dengan sepuluh hari
akhir dari bulan ramadhan, Nabi Muhammad secara mukjizat dibawa
dari Mekkah ke Jerussalem dan dari sana melakukan mi’râj atau naik ke
seluruh tingkat sampai mencapai jagat yang paling ujung (as-sidrah al-
muntaha) bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah SWT,
yang digambarkan sebagai lingkungan “berjarak dua busur panah”. Dalam
perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh
malaikat Jibril. Al-Qur’an mengungkapkan perjalanan malam ini dengan
mengatakan “Maha suci Allah SWT, yang membawa perjalanan hamba-
Nya malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, yang Kami
berkati sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya beberapa tanda
(kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha
Melihat.”28 Pengalaman sufistik Nabi Muhammad yang demikian penting
dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan contoh kualitas
spiritual tertinggi dan teladan bagi kedalaman kehidupan beragama.
“Malam kenaikan” disejawatkan dengan “malam kekuasaan”, karena Al-
Qur’an juga diwahyukan pada bagian penghujung akhir bulan suci
Ramadhan.
Cerita tradisi mi’râj, secara ringkas, dapat dikemukakan sebagai
berikut. Setelah menyelesaikan perjalanan dari Mekkah sampai
Jerussalem, Nabi Muhammad melakukan perjalanan spiritual ke langit
bersama Jibril. Pada langit pertama Nabi melihat Isma’il, malaikat, dan
meteor-meteor yang dengannya syaitan-syaitan ditolak untuk tinggal di
sana. Nabi Muhammad dan Isma’il bertemu, saling mengucapkan salam
dan saling mendoakan.29
Dengan cara ini Nabi melintas dari derajat makhluk yang satu ke
derajat makhluk yang lain, lewat dari keadaan neraka melalui berbagai
langit yang masing-masing dijaga oleh seorang Nabi dan sepasukan
malaikat sampai langit yang ketujuh, dan bayt al-ma’mûr, tempat Nabi
bersembahyang dua rakaat. Ia melihat pohon surga, shajarah at-tuba, lalu
terus ke ambang jagat paling ujung sidrah al-muntaha dan akhirnya sampai
ke hadirat Allah SWT.
Setelah itu, Nabi dibawa sampai singgasana (‘Arsy). Untuk menuju
singgasana, Nabi didekati sehelai raf-raf (permadani) hijau yang
diturunkan kepadanya. Jibril mendudukkan Nabi di atasnya, seraya
akan dapat terlihat bukan dengan mata kepala, tetapi dengan suatu daya
yang terdapat pada manusia atau daya baru yang akan diciptakan, yang
mungkin ditempatkan dalam hatinya. Jadi, dalam perspektif ini, Allah
SWT hanya dapat dilihat oleh manusia dengan mata hatinya (al-basîrah)
bukan dengan mata kepala. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
Nabi Muhammad melihat atau menyaksikan Allah SWT sebagai suatu
kekhususan yang berlaku padanya, sebagaimana kekhususan yang terjadi
pada Nabi Musa sehingga bisa berbicara (takallama) dengan Allah.
Beberapa sufi menyatakan bahwa malam itu Nabi Muhammad benar-
benar melihat Allah SWT. Kelompok ini berpegangan pada salah satu
hadis mengenai pengakuan Nabi Muhammad bahwa beliau telah melihat
Tuhan. Hadis tersebut meriwayatkan pertanyaan Abu Dzar kepada Nabi
Muhammad, “Apakah engkau melihat Tuhan?” Rasulullah menjawab,
“Telah kulihat cahaya terang di mana aku melihat Dia, atau kulihat Dia
cahaya terang di mana aku melihat Dia”. Sementara kelompok ulama
lainnya memandang bahwa Nabi telah menyaksikan Allah SWT dengan
mata hatinya, bukan dengan mata kepalanya. Dalam hal ini, mereka
berargumentasi dengan sebuah ayat Al-Qur’an yang artinya “tidaklah
hati itu berbohong terhadap apa yang ia lihat”. 35
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para sufi -atas dasar
peristiwa mistik mi’râj Nabi-menganggap ar-ru’yah dan al-mushâhadah telah
memperoleh pijakannya, baik itu dengan mata, hati, maupun roh. Hal
itu juga menjadi dasar bagi mereka untuk memasukkannya dalam
perbincangan sufistik sekitar mukâshafah, futûhât, mushâhadah dan kondisi
naiknya seorang sufi dari ‘âlam shahâdah ke ‘âlam malakût maupun jabarût.
Mereka juga menjadikan roh, hati, dan rahasia-rahasia rohaniah lainnya
sebagai media yang sesuai untuk memperoleh pengetahuan ma’rifah.
Di sisi lain, terdapat pula perbedaan pandangan mengenai
pengalaman isrâ’–mi’râj, apakah dilakukan dalam mimpi atau dalam
kondisi sadar. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Nabi melakukan
perjalanan isrâ’–mi’râj dalam kondisi sadar, bukan mimpi. Pandangan ini
berdasarkan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Nabi dibangunkan
ketika hendak melakukan perjalanan isrâ’ –mi’râj itu, sehingga ia
mengalaminya dalam kondisi sadar yang sempurna, tidak dalam mimpi.
Sedangkan riwayat hadis yang menceritakan perjalanan isrâ’ –mi’râj dalam
mimpi oleh para ulama dianggap lemah, karena terdapat perawi yang
sering melakukan kesalahan dalam periwayatannya. Perawi tersebut
adalah Syarik bin Abdullah, yang oleh Imam Muslim dan Imam Nawawi
dinilai hafalannya agak kacau.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai isrâ’–mi’râj Nabi dengan
badan-roh atau roh saja. Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf telah
menyepakati bahwa pengalaman isrâ’ –mi’râj dilakukan dengan jasad dan
roh Nabi Muhammad. Imam Nawawi, dalam hal ini, menegaskan bahwa
pendapat yang benar menurut kebanyakan kaum muslim; ulama salaf,
fuqaha’, ahli hadis, serta ahli ilmu kalam ialah bahwa Nabi melakukan
perjalanan isrâ’–mi’râj dengan jasad dan rohnya sekaligus. Karena semua
nash, secara tekstual menunjukkan pengertian tersebut.
Ibn Hajar dalam kitab sharh-nya terhadap Sahîh al-Bukhari
menyatakan hal serupa. Menurutnya, pengalaman isrâ’–mi’râj terjadi
dalam satu malam, dalam keadaan sadar, dengan jasad dan roh Nabi.
Karena semua makna tekstual dari hadis-hadis sahih menunjukkan
pengertian tersebut, dan tidak ada dasar atau dalil untuk memberi makna
yang lain. Pandangan ini antara lain didasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, sesungguhnya pengalaman isrâ’–mi’râj dengan badan adalah
sesuatu yang masuk akal, dan hal itu telah ditunjukkan oleh teks wahyu
Al-Qur’an, “asrâ bi ‘abdihi”, bukannya; “birûhi ‘abdihi”. Kata “al-‘abd” di
sini berarti seorang hamba yang terdiri dari roh dan badan. Di antara
dasar-dasar agama yang telah ditetapkan dalam Islam adalah bahwa setiap
makna yang ditunjukkan oleh teks tertulis dari wahyu dan tidak
bertentangan dengan akal itu wajib diimani. Kedua, apabila isrâ’–mi’râj
itu dilakukan Nabi Muhammad hanya dengan roh saja, maka hal itu
bukanlah sesuatu yang menakjubkan. Padahal peristiwa tersebut
merupakan bagian dari Mu’jizat Nabi, sebagaimana tersirat dalam kalimat,
“subhâna al-ladzî bi ‘abdihi”. Makna tasbih dan ta’ajjub dari kalimat itu
hanya menunjukkan sesuatu yang besar dan luar biasa. Karenanya, bila
isrâ’–mi’râj itu dilakukan dengan roh saja atau dalam mimpi, maka hal
itu tidak istimewa atau biasa saja. Ketiga, sesungguhnya isrâ’–mi’râj dengan
roh dan badan sekaligus menunjukkan bahwa manusia itu harus beramal
untuk kehidupannya, baik yang bersifat materi maupun spiritual,
bukannya hanya salah satu dari keduanya. Keempat, pernyataan dalam
beragam hadis yang menyebutkan bahwa Nabi melakukan isrâ’–mi’râj
dengan menaiki Buraq merupakan petunjuk yang jelas bagi
ketidakmungkinan isrâ’–mi’râj dengan roh saja. Karena isrâ’–mi’râj
dengan roh saja tentu tidak memerlukan kendaraan seperti Buraq
Penutup
Muhammad merupakan orang yang sarat dengan pengalaman sufistik.
Pengalaman sufistik ini dialaminya baik sebelum maupun setelah
penobatannya menjadi nabi dan rasul. Predikat kenabian yang melekat
padanya justru menjadikan dia sebagai seorang yang hampir separo
hidupnya dipenuhinya dengan kualitas sufistik. Pengalaman sufistik
Muhammad dalam sejarah hidupnya secara tidak langsung memberikan
pijakan tersendiri bagi pengalaman sufistik yang dialami para sufi.
Pengalaman sufistik Muhammad yang paling mencolok dalam sejarah
hidupnya antara lain adalah pengalaman sufistik di gua Hira, al-ru’yâ as-
sâdiqah, pewahyuhan, mushâdahah pada malam isrâ’-mi’râj, dan kondisi
fanâ’.
Pengalaman-pengalaman sufistik Muhammad itu dapat dipandang
sebagai implementasi (pelaksanaan) tajalli yang ia alami setelah melalui
proses takhalli (pengosongan dari kesadaran nilai-nilai yang secara sosiologis
melingkupi) dan tahalli (pengisian). Pada proses takhalli, Muhammad telah
berupaya untuk kembali kepada Tuhan melalui khalwah (menyendiri,
bersemedi) yang secara terus menerus ia lakukan di gua Hira selama
kurang lebih tujuh tahun.
Sementara upaya Muhammad untuk menyempurnakan perilaku
hidupnya ini bisa kita sebut sebagai proses pengisian atau tahalli pada
dirinya. Pada proses tahalli itu, potensi-potensi berakhlak luhur yang ada
pada dirinya mengalami penyempurnaan. Penyempurnaan ini ditandai
dengan sifat keagungan, kemuliaan, kejujuran, serta kesadarannya yang
sampai pada tahap kesadaran spiritual yang amat tinggi. Dari situlah,
kemudian Muhammad dapat bertajalli (dirinya termanifestasi dalam
pengetahuan ketuhanan), suatu tingkatan di mana ia memperoleh
pengalaman-pengalaman sufistik bersama Allah.[]
Catatan Akhir:
7
Sayyed Hossein Nasr, op. cit., h. 11-12
8
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an, juz.29 (Mesir:
Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi, tt.), h. 50-51
9
Al-Tabari, Ibid., juz. 26, h. 156
10
Munawir Sadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997)
h. 42-43
11
Majid Ali Khan, Muhammad saw Rasul Terakhir (Bandung: Pustaka,
1980), h. 57.
12
Sayyed Hossein Nasr, op.cit., h. 14-15
13
Muhammad bin Yusuf as-Shâmi, Subul al-Hudâ wa ar-Rashâd fî Sîrah
Khair al-‘Ibâd, juz 2 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), h. 233
14
M. Abu Zahwu, al-Hadits wal-Muhaddithûn (Beirut: Dâr al-Kitâb al-
Arabi, tt.), h. 12
15
Muhammad bin Yusuf as-Shâmi, op.cit., h. 232
16
Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmudhi, al-Jâmî’ as-Shahîh, juz 4
(Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), h. 467
17
Ibid., Juz. 4, h. 467. Hadits di atas oleh Abu Isa dinilai sebagai hadits
yang berkualitas sahih
18
Ibid., Juz 4. h. 469. Hadits yang diriwayatkan Ibn Umar tersebut
oleh Abu Isa diniali sebagai hadits hasan-shâhih-gharîb.
19
Ibid.
20
Ibid., Juz. 4, h. 470. Hadits yang diriwayatkan Ibn Umar tersebut
oleh Abu Isa dinilai sebagai hadits shahih-hasan-gharib.
21
Muhammad Abduh, Risâlah at-Tawhîd (Beirut: Dâr as-Shurûq, 1994),
h. 101
22
Muhammad Abduh membagi wahyu dalam tiga bentuk. Pertama;
wahyu yang ditujukan baik untuk kaum khawash (kaum tertentu;
istimewa, seperti keleompok intelektual-filosof) maupun kaum awam.
Dan wahyu macam ini merupakan bagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an.
Kedua, wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum awam, dan jumlahnya
sedikit. Ketiga, wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum khawash,
dan wahyu macam inilah yang paling sedikit jumlahnya. Pembagian wahyu
dalam pola ini oleh Muhammad Abduh, didasarkan atas analisisnya bahwa
wahyu itu sendiri berisikan ajaran-ajaran yang disampaikan dalam
beragam bahasa menurut tingkatan-tingkatan akal manusia baik dari
kalangan khawash, maupun ‘awam. Lihat mislanya pada: Harun Nasution,
DAFTAR PUSTAKA