Anda di halaman 1dari 2

Kekejian Berupa Memakan Bangkai Daging Sendiri

Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi

Ghibah atau membicarakan orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang
‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena
memang setan telah menghiasi perbuatan ini sehingga nampak indah dan menyenangkan. Tahukah anda
bahwa Allah mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?

Abu Ad-Darda berkata: “Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya
bertambah atau berkurang. Dan termasuk dari barakah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui
darimana setan akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatul Iman, hal. 10)
Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan.
Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Serta betapa berat untuk
diajak berdzikir kepada Allah. Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim: “Lisan memiliki
peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan
minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar
sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan sangat tanggap pula bila mata melihat suatu
kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang
menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang.”
bersabda:Rasulullah SAW
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah z)
Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran.
“Setan bisu” itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau
menyuarakan kebenaran.

Makna Ghibah
Bila tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah, ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka
tidak akan terlepas dari menjelaskan penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah
memaknai ghibah ini dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih
tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang dia tidak sukai.” Dikatakan
kepada beliau: “Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?” Beliau
menjawab: “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika
apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.”(Shahih, HR. Muslim no.
2589, Abu Dawud no. 4874, dan At-Tirmidzi no. 1435)

Ghibah adalah Dosa Besar


Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada
orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa
yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya
lebih besar dari yang pertama.
Ghibah jelas perbuatan terlarang. Bahkan Allah berfirman:termasuk perbuatan dosa besar.

www.asysyariah.com
“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian
memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)

dan bersabda Rasulullah :


“Ketika saya dibawa naik, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya
mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya:’Hai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril
menjawab: ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak
kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari shahabat Anas bin Malik dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4082 dan dalam Ash-Shahihah no. 533)

Masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa
besar.

Kapan Boleh Mengghibah


Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai
tujuan tersebut melainkan dengannya.”

Dibolehkah ghibah pada enam perkara:


1. Ketika terdzalimi.
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang Diperbolehkan untuk Ghibah”)

Cara Bertaubat dari Ghibah


Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t,, orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan
taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala
kebaikannya di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu
Abdillah Al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hal. 31).

Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?


Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut
meminta kehalalannya (minta maaf).
Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-
kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.
Al-Qahthani t dalam kitab Nuniyyah beliau (hal. 39) menasihati kita:
“Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu
adalah dua keaiban.”
Wallahu a’lam.

www.asysyariah.com

Anda mungkin juga menyukai