Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

PRODI : Pendidikan Sosiologi DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si.
TUGAS : Rangkuman Mata Kuliah MATA KULIAH : Sosio-Antro Pendidikan
NAMA MAHASISWA : Fitri Nurkumalasari NIM : 09413244037
BAB I
MEMAHAMI SOSIOLOGI PENDIDIKAN

A. Kajian Sosiologi Pendidikan


Kajian dan analisis sosiologi terhadap pendidikan dirintis oleh Durkheim dan Weber,
kemudian dilanjutkan murid-muridnya. Kajian sosiologi pendidikan di Indonesia sendiri
sudah cukup lama dikenalkan. Sosiologi pendidikan berfungsi menyediakan visi,
pemahaman, dan kemampuan terhadap proses pendidikan, serta kemampuan bekerja
dalam pendidikan dengan memanfaatkan dinamika struktural dan proses sosial terkait
dengan pendidikan. Hasil pendidikan sangat berguna bagi usaha perbaikan sosial
kemasyarakatan, menguatkan karakter bangsa, moral, dan memajukan kesejahteraan
umat. Dinamika masyarakat dan perubahan sosial masyarakat agraris ke industri
berimbas pada pembagian kerja yang terspesialisasi. Durkheim menggambarkan,
masyarakat mengalami perubahan karena proses pembagian kerja yang terjadi. Sosiologi
pendidikan memberi jalan kepekaan untuk melihat nilai-nilai, institusi, kebudayaan, dan
kecenderungan lainnya yang terjadi di dunia pendidikan. Sosiologi pendidikan dapat
membantu memahami perencanaan, proses implementasi, dan implikasi penerapan
program maupun kebijakan pendidikan tertentu. Sosiologi pendidikan merupakan kajian
bagaimana institusi dan kekuatan sosial mempengaruhi proses dan outcome pendidikan,
begitu juga sebaliknya. Sargent mengatakan bahwa pendidikan merupakan instrumen
untuk mengatasi kesenjangan, mencapai kesetaraan yang tinggi dan mencapai tingkat
kesejahteraan yang baik bagi siapa saja. Pilihan tindakan masyarakat berbasis
pengetahuan, menurut sejumlah ahli mengalami kecendrungan ke tradisi baru, dalam hal
ini lebih ke arah pengembangan tradisi pengetahuan ekonomi. Schumpeter mengatakan,
pengetahuan masyarakat ekonomi juga memiliki kekuatan destruktif, terutama ketika
mengedepankan kepentingan pribadi yang dampaknya mudah memunculkan pembelahan
masyarakat secara tajam. Beberapa alasan yang mendasari pengembangan pendidikan,
yang seharusnya dilandasi konsep dan teori-teori sosial. Pertama, pendidikan harus bisa
menyiapkan sebuah generasi yang siap memasuki masyarakat yang berubah menuju

1
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
masyarakat yang berbasis pengetahuan. Kedua, praktisi pendidikan dapat merumuskan
cara menetapkan orientasi yang relevan dengan dunia yang berubah di satu pihak, namun
di pihak lain dunia pendidikan tidak mengalami distorsi dan disorientasi. Ketiga,
pendidikan membutuhkan pisau analisa sosiologis, karena ia bukan sekedar mesin atau
teknologi pembelajaran ansich. Dengan bantuan perspektif sosiologis, sekolah dan guru
akan dapat memahami lingkungan sosial, proses-proses sosial. Sosiologi akan membantu
meningkatkan kepekaan budaya sehingga memungkinkan praktisi pendidikan mampu
mengelola pembelajaran berbasis multikultural, melakukan antisipasi terhadap dampak
budaya global dan arus informasi yang tanpa batas. Pendidikan yang baik mampu
mengajak siswanya menjadi orang yang peka dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi,
sehingga mereka mampu melihat ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan,
hilangnya rasa keadilan dan kesempatan bagi sebagian orang.
Suatu masyarakat tingkatan manapun berusaha memelihara keutuhannya agar ia dapat
berfungsi secara utuh, untuk memelihara kelangsungan hidup masyarakat tersebut
dengan mengusahakan suatu sistem pendidikan yang cocok dengan kebutuhan dasar
masyarakat dan kebutuhan spesifikasinya. Bagi masyarakat nasional, sistem pendidikan
yang dimaksud adalah sistem pendidikan nasional dengan sekolah sebagai komponen
utamanya. Nilai-nilai bersama masyarakat diserap individu melalui proses sosialisasi dan
pengendalian sosial sebagai mekanisme utamanya, dengan itu integrasi masyarakat dapat
dijamin. Christopher J. Hurn mengungkapkan pandangan para pengikut struktural
fungsional terhadap masyarakat yang bercirikan meritokratik dan demokratik. Hurn
menunjukkan kelemahan visi fungsionalisme terhadap pendidikan dengan menunjukkan
fenomena tidak seimbangnya dunia pendidikan dengan dunia kerja. Masyarakat yang
memiliki struktur dominasi kharisma berada pada fase tradisional, sedangkan masyarakat
pada struktur dominasi rasional dan demokratik berada pada fase modern. Sistem
pendidikan erat terkait dengan kelompok status yang dimiliki gaya konsumsi atau gaya
hidup spesifik.
B. Perspektif Sosiologi Pendidikan
Perspektif pendidikan dapat dilihat perbedaan dari sosiologi pendidikan yang
berorientasi pada dimensi kajian makro dan adapula yang ke mikro. Unit analisis
sosiologi pendidikan pada umunya berasal dari ranah objektif. Pilihan level kajian mikro
menggunakan perspektif positivistik dengan tujuan menjelaskan realitas atau data.
Perspektif kajian sosiologi pendidikan juga dipisahkan antara yang menekankan pada

2
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
ranah objektif dengan yang melakukan pendekatan pada ranah objektif. Pendekatan
objektif lebih ke kajian makro. Ketika mengkaji masalah pendidikan, sosiologi makro
akan melihat institusi, kelompok, stuktur maupun budaya pendidikan. Teori sosial yang
berada pada kajian makro seperi teori sturktural fungsional, struktural konflik, marxian,
dan teori dependencia, yang cenderung melihat bagaimana pendidikan diorganisasikan,
institusi pendidikan dibentuk, dan lain-lain. Pada level kajian mikro cenderung
menggunakan perspektif fenomenologis, dengan penekanan pada upaya memahami apa
yang terjadi dibalik fenomena, data, informasi atau realitas kehidupan individu.
Perspektif ini menekankan pada upaya memahami dunia makna yang diberikan aktor
atau individu terhadap dunia pendidikan. Teori sosial yang berada pada kajian mikro
seperti perspektif konstruksional, interaksionisme simbolik, fenomenologi, dramaturgi,
etnometodologi, dan sejumlah pemikir yang mengikuti mahzab frankurt, feminisme, dan
postmodernisme menelusuri melaui ranah mikro. Usaha pendidikan berada dalam
gerakan makro (perbaikan SDM). Untuk itu perhatian pendidikan perlu diarahkan ke
institusi pendidikan dan institusi yang memiliki dan terkait dengan pendidikan.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DALAM SOSIOLOGI PENDIDIKAN
A. Pendidikan dalam Teori dan Pandangan Tokoh Fungsionalis
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat mempengaruhi institusi pendidikan.
Beberapa teori sosiologi yang berusaha menerangkan fenomena ketidaksamaan dalam
sistem pendidikan formal diantaranya adalah teori yang berada pada paradigma fakta
sosial, seperti teori fungsional dan teori konflik. Menurut teori struktural fungsional,
masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur fungsional, masyarakat sebagai suatu
sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, dimana masing-masing
lembaga memiliki kompleksitas yang berbeda-beda pada tiap masyarakat. Semua
lembaga yang ada di masyarakat akan senantiasa saling berinteraksi satu sama lain dan
akan melaksanakan penyesuaian sehingga masyarakat akan senantiasa berada pada
keseimbangan. Murphy menunjukkan empat tema menonjol dalam teori fungsionalis
yang diterapkan dalam sosiologi pendidikan. Pertama, peran pendidikan formal dalam
evolusi masyarakat modern. Kedua, menyelidki disfungsi-disfungsi sistem pendidikan
formal untuk banyak golongan dalam meneruskan suatu ketidaksamaan. Ketiga,

3
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
perdebatan mengenai pengaruh biologis atau biopsikologis yang bertentangan dengan
tema sosial. Keempat, sebagian besar bersifat empiris.
B. Pendidikan dalam Pandangan Tokoh Fungsionalis
1. Emile Durkheim
Dalam perspektif Durkheim, masyarakat dan institusi yang ada seperti pendidikan,
kesehatan, agama, politik, dan lain-lain merupakan bagian yang saling bergantung.
Durkheim menggambarkan generasi muda memerlukan bantuan pendidikan untuk
mempersiapkan diri, memasuki kehidupan di tengah masyarakat yang memiliki tata
nilai tertentu. Menurut Durkheim, masyarakat dibangun bersama dengan cara saling
kerjasama antaranggota. Kompleksitas pembagian kerja memaksa mereka harus
saling bergantung, bersinergi, berkolaborasi, dan memberi sumbangan satu sama lain
dalam menciptakan stabilitas. Individu menurut Durkheim memang ditakdirkan lahir
menjadi makhluk asosial, sehingga di antara para warga masyarakat harus saling
bergantung. Pembagian kerja di masyarakat diakuinya sebagai sebab timbulnya
keragaman nilai dan ide. Namun ia tegaskan bahwa ilmu, ide, dan berbagai sentimen
dari dasar moralitas demokratik yang mereka berikan kepada masyarakat harus
tunduk pada konsensus nilai dan keyakinan masyarakat, kalau tidak ia tidak akan
survive. Menurut Durkheim melalui pendidika moral yang memuat sosialisasi
pengalaman diperoleh dari internalisasi masyarakat terhadap nilai dan ide sentral
masyarakat. Pendidikan oleh Durkheim dipersepsikan sebagai suatu kesatuan utuh
dari masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat
menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga
dipandang sebagai institusi yang berfungsi sebagai “baby-sitting”.
2. Talcott Parsons
Talcott Parsons adalah tokoh fungsionalis yang paling berpengaruh dalam
kajian mengenai peran utama sekolah dalam masyarakat khususnya masyarakat
Amerika serta dianggap representatif dari seluruh pendekatan fungsional, sebagai
berikut.
a. Sekolah sebagai Sarana Sosialisasi Utama
Parsons meilhat dua fungsi dari sekolah, yaitu:
1) Mengarahkan anak dari orientasi askriptif ke orientasi prestasi
2) Alokasi seleksi atau diferensial ke peran-peran dewasa yang diberi
penghargaan (hadiah) yang tidak sama.

4
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
Parsons mengungkapkan fungsi sosialisasi sebagai perkembangan individu
dari berbagai komitmen dan kapasitas yang merupakan syarat-syarat esensial dari
kegiatan peran mereka di kemudian hari. Komitmen ini adalah a) terhadap nilai-
nilai luas dalam masyarakat, dan 2) terhadap peran tertentu di dalam struktur
sosial.

b. Partikularisme-Universalisme dan Askripsi-Prestasi


Fungsi spesial dari sekolah adalah untuk mensosialisasikan anak dari orientasi
partikularisme dan askripsi ke universalisme dan prestasi. Persyaratan askripsi
dapat didasarkan pada kriteria yang umumnya diperoleh bukan sebagai hasil
usaha, tetapi diberikan kepada (seseorang) yang mungkin disebabkan hubungan
khusus seperti ras, kelas sosial, jenis kelamin. Sekolah berfungsi
mensosialisasikan anak dari orientasi-orientasi partikularisme dan askripsi yang
biasa dialaminya di rumah ke orientasi-orientasi universal dan prestasi yang
umumnya lebih diperlukan mereka dikemudian hari.
c. Seleksi dan Alokasi
Salah satu fungsi penting pendidikan adalah mempersiapkan para siswa untuk
dunia pekerjaan. Fungsi primer sekolah adalah mengantarkan siswa-siswa yang
mempunyai kemampuan dan motivasi yang lebih untuk lebih berhasil dalam
peran dewasa yang lebih penting dan lebih sulit di masyarakat.
d. Kesamaan Kesempatan
Fungsi sekolah adalah lebih pada untuk memastikan bahwa siswa
diperlakukan secara universalistis atau secara jujur dan adil memberi kesempatan
pada siswa untuk mencapai sukses pada bidang apa saja yang sesuai dengan apa
yang dikehendaki untuk dicapainya. Mereka yang mencapai tingkat keberhasilan
atau prestasi yang tinggi akan terpilih maju ke tingkat yang lebih tinggi dan
akhirnya akan memasuki berbagai pekerjaan yang lebih berprestise dalam
masyarakat.
3. Robert K. Merton
Robert K. Merton seorang ahli sosiologi kontemporer yang paling terkenal, yang
telah berhasil menjelaskan makna dan konsep.

a. Fungsi dan Disfungsi Sekolah

5
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
Merton mengungkapkan bahwa konsep fungsi mancakup sisi pandangan dari
pengamat dan tidak perlu dari segi pandangan dari peserta. Fungsi sosial
menunjukkan pada akibat-akibat yang objektif yang dapat diamati, dan bukan
disposisi-disposisi yang objektif, seperti tujuan, motif. Merton dengan hati-hati
menunjukkan bahwa umumnya masyarakat tidaklah seluruhnya sempurna
terintegrasi sehingga tiap kegiatan kultural yang terstandar dan terlembaga adalah
fungsional. Beberapa juga diantaranya disfungsional. Lembaga persekolahan
dapat memberi kemelekan huruf universal, yang memenuhi satu sasaran bagi
masyarakat umumnya, dan bersamaan dengan itu dapat melegitimasi sistem
ketidaksamaan antargenerasi yang ada. Namun dapat juga fungsi sekolah tertentu
hanya untuk golongan elit, tetapi untuk golongan lain mungkin saja disfungsi atau
berfungsi negatif. Merton juga berpendapat bahwa lembaga pendidikan bukanlah
organisasi yang esensial untuk selalu dapat memberi kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Lembaga tersebut juga dimuati oleh fungsi manifes dan
fungsi laten.
b. Fungsi Manifes dan Fungsi Laten
Fungsi manifes adalah akibat objektif yang menyumbang pada perubahan atau
adaptasi dari sistem yang ada. Hal-hal yang bersifat terbuka, disengaja, dikenal,
diakui, dan diterima adalah analisis fungsional dianggap memberi atau
menyumbang pada keseimbangan masyarakat. Fungsi laten adalah fungsi-fungsi
yang tidak disengaja maupun yang diakui. Fungsi ini lebih bersifat tertutup dan
tidak sengaja dilakukan dalam sistem yang dijalankan oleh institusi dan mungkin
saja fungsi laten ini tidak terdapat dalam setiap bagian yang dijalankan. Bila kita
telusuri mengenai fungsi manifes sekolah antara lain adalah pengajaran kognitif,
reproduksi kultural, seleksi dan alokasi produksi kultural, difusi kultural, dan
mobilitas sosial. Adapun fungsi laten sekolah antara lain adalah kontrol sosial,
fungsi pemeliharaan, melegitimasi, pemeliharaan tradisi-tradisi subgrup, berserta
peningkatan analisis kritis dari masyarakat. Mungkin aspek ini memiliki aspek
positif, namun fungsi aspek-aspek ini lebih tertutup dan tidak diakui secara
terbuka.

C. Pendidikan dalam Teori dan Tokoh Konstruksionis

6
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
Pendidikan yang dikembangkan berdasarkan perspektif konstruksionis beranggapan
bahwa perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku objek alam.
Sosiologi pendidikan yang mendasarkan pada perspektif konstruktivisme dalam hal ini
memfokuskan pada pemahaman siswa. Tugas praktisi pendidikan dengan demikian
adalah memahami faktor-faktor intrinsik yang ada dalam diri siswa dan harus dimulai
dari self concept siswa. Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran dipandang
sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Perspektif ini menekankan pada
proses pembelajaran kolaboratif, sehingga proses pembelajarannya dilakukan bersama.
Pendekatan ini menegaskan bahwa sumber belajar bukan hanya bersumber dari guru,
melainkan juga teman sepergaulan dan orang-orang sekitar. Belajar pada hakekatnya
merupakan proses merestruktur pengetahuan yang dihadapi atau tuntutan situasi seketika.
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta,
melainkan merupakan suatu proses pengembangan pemikiran dengan membuat
pengertian baru. Pendekatan konstruktivisme berpandangan bahwa learner pada awal
proses pembelajaran telah memiliki konsep kognisi, afeksi, dan kapabilitas psikomotorik
tertentu sebagai hasil belajar dan pengalaman sebelumnya. Pembelajaran dalam
paradigma konstruktivis menjadikan siswa aktif dan menentukan apa yang harus
dipikirkan dan dipelajari.
D. Pendidikan dalam Pandangan Konstruksionis
1. Max Weber
Rasionalitas instrumen akan melibatkan pertimbangan dan pilihan yang sadar
yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya. Berbeda dengan rasionalitas instrumental, rasional nilai lebih
menekankan bahwa tindakan dikendalikan oleh kesadaran akan keyakinan dan
komitmen terhadap tatanan nilai yang luhur seperti kebenaran, keindahan, dan atau
keadilan serta keyakinan kepada Tuhan. Dengan memakai pendekatan verstehen,
Weber sebenarnya mengutarakan bahwa pola-pola rasionalitas yang demikian ini
tidak sekedar bagian dari individu, namun meluas kedalam masyarakat. Tulisan
Weber yang terkenal berjudul “Class, Status, and Party”. Weber mengemukakan
bahwa stratifikasi merupakan akibat kekuatan sosial yang berasal dari tiga sumber,
yaitu kekuatan ekonomi, kekuatan prestise, dan kekuatan politik. Kekuasaan bagi
Weber merupakan kemampuan memaksakan kehendak seseorang kepada orang lain.
a. Pendidikan Merupakan Variabel Kelas atau Status

7
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
Sebagai suatu variabel status, maka pendidikan mengarah ke suatu gaya hidup
dan pola konsumtif yang berbeda dengan golongan lain (kelas buruh), membuat
golongan pendidikan ini menjadi eksklusif dan monopoli suatu gaya hidup
tertentu dan membuat batas-batas dari golongan lain tetap berada di luar
golongan ini.
b. Peran Sekolah
Peran sekolah adalah meneruskan perbedaan-perbedaan status dan gaya hidup
dari golongan-golongan berpendidikan. Paham ini juga beranggapan bahwa
lembaga pendidikan dikuasai oleh kaum elit dan menggunakannya terutama
untuk mengadakan batas-batas dari golongan lain untuk kepentingan kelasnya.
Hal ini membuat golongan kelas bawah menjadi sulit untuk mencapainya.
2. Peter L. Berger dan Thomas Luckman
Peter L. Berger dan Thomas Luckman berangkat dari premis yang menyatakan
bahwa manusia mengkonstruk realitas sosial meskipun melalui proses subjektif
namun dapat berusaha menjadi objektif. Berger dan Luckman menjelaskan bahwa
makna-makna umum yang dimiliki bersama dan diterima tetap dilihat sebagai dasar
dari organisasi sosial, namun makna yang berkembang di luar makna-makna umum
merupakan hasil manusia yang muncul dari lingkungan sosial yang diciptakannya.
Berger mengingatkan agar pendapat ide, dan persepsi personal tidak ikut mewarnai
ketika mencoba memahami realitas yang ada di hadapannya. Masyarakat termasuk di
dalamnya dunia pendidikan harus bias kita hadapi agar tidak menjadi constraining
dan penekan kebebasan. Oleh Karena itu, di dalam institusi pendidikan, masyarakat
jangan hanya dijadikan sebagai unsur dan bagian “internal” subjektivitas kita, tetapi
juga tempatkan sebagai bagian atau unsur “eksternal” kepribadian atau subjektivitas
kita. Sosiologi pendidikan dengan demikian hendaknya memfokuskan hubungan
intersubjektif masing-masing individu dengan dunia pendidikan atau sekolah dimana
mereka mengikuti proses pembelajaran. Kita ini adalah individu yang dipenjara oleh
Epoch sejarah dimana kita dilahirkan, kita adalah anak dari budaya masyarakat kita.
3. Piere Bourdieu
Salah satu kajiannya berkaitan dengan struktur dan modal sosial yang lalu
memasuki persoalan reproduksi sosial. Bourdieu lebih fokus kepada dikotomi antara
realitas objektif dengan subjektif, yang kemudian dibawa memasuki kajian dikotomi
antara struktur dan agensi. Kajian ini dibangun berdasarkan kerangka teoritik di

8
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
sekitar konsep tentang habitus, field dan modal budaya. Bourdieu mengungkapkan
habitus muncul dalam beberapa bentuk seperti:
a. Kecenderungan empiris untuk bertindak;
b. Motivasi atau preferensi, citarasa dan emosi;
c. Perilaku yang menjelma menjadi kepribadian;
d. Tantangan dunia;
e. Keterampilan dan kemampuan sosial praktis; dan
f. Aspirasi yang berkaitan dengan perubahan hidup.
Konsep tentang habitus, field, dan modal budaya dikembangkan berdasarkan
asumsi bahwa struktur objektif menentukan probabilitas peluang hidup seseorang,
melalui mekanisme habitus yang dalam hal ini individu menginternalisasi struktur
disekitarnya. Bourdieu menggunakan konsep modal budaya dalam rangka
mengeksplorasi perbedaan outcome atau prestasi siswa dari berbagai kelas yang
berbeda dalam sistem pendidikan di Perancis. Memang dengan konsep modal
budaya semacam ini memungkinkan siswa lalu memperoleh modal budaya
pendidikan yang lebih baik. Namun mereka yang tidak memiliki modal budaya
dominan, yaitu mereka yang berasal dari kelas yang tidak memiliki privilege,
menjadi pihak yang tidak diuntungkan. Oleh karena itu, Bourdieu menggambarkan
bagaimana struktur objektif memainkan peran yang begitu besar dalam menentukan
struktur prestasi siswa di sekolah secara individual.

Anda mungkin juga menyukai