Anda di halaman 1dari 5

Perkembangan terakhir konflik Kamboja-Thailand adalah sikap Thailand yang menolak intervensi

pihak ketiga, dalam hal ini ASEAN, di dalam penyelesaian konflik perbatasan. Sikap Thailand ini
dapat memberikan gambaran apa yang sesungguhnya terjadi di kawasan Asia Tenggara,
khususnya di dalam tubuh negara-negara anggota ASEAN. Dimana pada akhirnya fenomena
tersebut dapat menjelaskan mengapa upaya kerjasama ASEAN yang lebih erat sulit untuk
dijalankan.

Perspektif-Perspektif Dominan di dalam Hubungan Internasional


Pola interaksi sebuah negara ditentukan oleh bagaimana cara pandang negara tersebut dalam
melihat sistem internasional. Ini artinya, bagaimana sebuah negara bertindak ditentukan oleh
perspektif apa yang digunakan oleh negara tersebut untuk memandang atau menilai dinamika
internasional yang berkembang. Dimana pada akhirnya, hasil penilaian tersebut akan
diimplementasikan oleh negara dalam bentuk kebijakan luar negeri.

Di dalam Ilmu Hubungan Internasional dikenal 2 perspektif dominan yang mempengaruhi negara
dalam menyusun kebijakan luar negerinya. Kedua perspektif ini memiliki pandangan yang saling
bertolak belakang satu sama lain.

Perspektif pertama adalah Perspektif Realis. Perspektif ini menyatakan bahwa 1) state of nature
dari sistem internasional adalah anarki atau tidak adanya satu otoritas pun yang mampu
mengatur negara negara dan memiliki kedudukan di atas negara; 2) Dengan demikian negara
memiliki kedaulatan mutlak di dalam sistem internasional; 3) Pendekatan militer merupakan
metode penyelesaian utama di dalam setiap konflik yang terjadi, dan; 4) Persepektif Realis tidak
mempercayai kerjasama internasional.

Perspektif kedua adalah Perspektif Liberalis. Berbeda dengan Realisme, Liberalisme


menyatakan bahwa 1) di dalam sistem internasional terdapat norma dan hukum yang mengatur
aktivitas negara-negara; 2) Dialog atau diplomasi merupakan metode penyelesaian konflik yang
utama, dan; 3) Perspektif Liberalis mempercayai bahwa kerjasama internasional memberikan
hasil yang positif bagi negara dan sistem internasional.

Konflik Thailand-Kamboja dan ASEAN Charter


Perkembangan terakhir dari konflik Thailand-Kamboja adalah penolakan Thailand bagi
keterlibatan pihak ketiga di dalam penyelasaian konflik. Thailand menginginkan konflik
diselesaikan secara bilateral antara Thailand dan Kamboja saja. Tidak dapat disangkal kebijakan
Thailand ini bersumber dari pandangannya bahwa keterlibatan pihak ketiga akan mengancam
kedaulatan Thailand sebagai sebuah negara.

Melalui sikap Thailand tersebut dapat dilihat perspektif apa yang digunakan oleh Thailand dalam
menyusun kebijakan luar negerinya, yaitu perspektif realis yang menempatkan kedaulatan
sebagai hak mutlak sebuah negara dimana keterlibatan pihak lain dalam penyelesaian masalah
dianggap sebagai ancaman atas kedaulatan negara.

Diantara negara-negara ASEAN, Thailand bukanlah negara satu-satunya yang menggunakan


Realisme sebagai perspektif luar negerinya, melainkan seluruh negara anggota ASEAN.
Realisme merupakan perspektif dominan yang digunakan oleh negara-negara anggota ASEAN
dalam menyusun kebijakan luar negerinya. Hal ini dapat dilihat dari kesepakatan negara-negara
anggota menerapkan prinsip non-intervensi di dalam mekanisme kerjasama ASEAN. ASEAN
tidak diperbolehkan ikut campur di dalam penyelesaian masalah (konflik) yang dihadapi oleh
negara-negara anggotanya. Campur tangan ASEAN dipandang sebagai campur tangan pihak
ketiga yang mengancam kedaulatan negara.

Salah satu mimpi besar ASEAN saat ini adalah mewujudkan regionalisme di kawasan Asia
Tenggara. Upaya ini salah satunya dilakukan dengan menyusun Piagam ASEAN (ASEAN
Charter) yang akan digunakan sebagai landasan penyatuan kerjasama ASEAN yang lebih erat.

Jika kita berbicara mengenai kerjasama multilateral ataupun regionalisme maka hal itu pasti erat
kaitannya dengan perspektif Liberalis yang mengakui keberadaan kerjasama internasional dan
memandang bahwa kerjasama internasional akan memberikan sumbangan positif bagi negara.
Dengan kata lain, kerjasama multilateral/regionalisme merupakan produk dari perspektif Liberalis.

Pandangan liberalis ini bertolak belakang dengan pandangan Realis yang melihat sebaliknya.
Bagi realisme, kerjasama internasional, apapun bentuknya, tidak akan memberikan keuntungan
bagi sebuah negara dan juga tidak akan memberikan sumbangan apapun bagi sistem
internasional karena di dalam sistem internasional yang anarki, prinsip yang berlaku adalah self
help, yaitu setiap negara hanya akan mementingkan dirinya masing-masing dan berbagai hal
hanya dapat diusahakan oleh negara bersangkutan itu sendiri. Dengan kata lain, bagi perspektif
Realis, kerjasama multilateral/regionalisme dilihat sebagai ancaman dibandingkan peluang.

Dengan perbedaan pandangan yang sedemikian jauh sangat sulit dibayangkan bahwa negara-
negara yang mengadopsi prinsip-prinsip realis dapat membangun dan menjalin kerjasama yang
erat di antara mereka. Namun kondisi inilah yang terjadi di Asia Tenggara. Dengan fakta yang
demikian sangat sulit mengharapkan kerjasama yang lebih erat akan tercapai di antara negara-
negara anggota ASEAN sekalipun Piagam ASEAN telah diberlakukan. Piagam ASEAN yang
berciri liberalis akan selalu berbenturan dengan kebijakan negara-negara anggotanya yang
bercirikan realis.

Dengan demikian upaya selanjutnya yang harus menjadi prioritas ASEAN, setelah menyusun
Piagam ASEAN, adalah membongkar pola pikir negara-negara anggotanya untuk lebih liberalis
sehingga mau melepaskan sebagian kedaulatannya kepada entitas yang lebih tinggi (ASEAN)
dan menjalin kerjasama yang lebih erat diantara negara-negara anggota.
wendy a. prajuli
Diposting oleh wendy prajuli di 7:40 AM
Label: kajian asia tenggara

11 KOMENTAR:

verdinand said...

nice articles..
lagi mau apply asean secretariat jadi lagi banyak2 baca tentang asean
kalau menurut gue wendie,
perspektif liberalis itu bisa efektif dengan beberapa syarat. Dan sayangnya, keadaan-
keadaan untuk terjadinya kerjasama yang menguntungkan tidak ada di antara negara
asean. Coba, mana mungkin terjadi perdagangan bebas antara indonesia laos? pasti
laos merasa rugi banget karena merasa sudah ketinggalan jauh dengan indonesia.
Yahh pesimis juga sih melihat regionalisasi asean. Apalagi dengan adanya konflik
Thailand kamboja ini.

3:45 PM

calvinms said...

secara historis, asean nyaris tidak pernah jadi mediator. tipis bedanya antara "unik" dan
"tak berguna" tapi begitulah faktanya, negara2 anggota asean lebih menekankan
penyelesaian secara bilateral daripada mediasi.

tinggal tiga negara lagi untuk ratifikasi, moga2 impian kita tidak kandas karena
nasionalisme sempit para pembuat keputusan.

4:31 PM

wendy a. prajuli said...


cb perhatikan, 3 negara yg lom ratifikasi it adl negara2 asean yg sdh demokratis pdhl isi
piagam asean ttg ham, demokrasi dll. paradoks kan?

asean mang aneh...

4:44 PM

calvinms said...

seaneh2nya asean lebih aneh liga arab dan asteng sih. Setidaknya kita sudah mencapai
tahap mau berintegrasi seperti ini, apapun kekurangannya, kita harus mengapresiasi
yang ada karena masa depan dunia ada di asia, dan asean merupakan bagian dari asia.

tiga negara mungkin belum meratifikasi piagam karena sibuk dengan masalah domestik.

10:35 AM

Ksatrio Mbojo Ireng said...

Jadilah 'role-model' dalam perihal yang satu ini, dimana Indonesia juga bisa terus
menjalankan peranan pentingnya tidak hanya di Asean, namun bisa merambah keluar
seeprti di konflik Israel- Palestina dan mungkin ke Afrika.

Moga2 pemimpin kita faham.

5:20 PM

Dodi said...

Permasalahan ini sudah dibahas dalam pertemuan sampingan di 41st AMM dan akan
dibahas lagi perkembangannya dalam 14th Summit akhir tahun. Dapat kita tangkap
bahwa masalah ini tidak segenting yg digambarkan selama ini.
Selain itu, kita dapat melihat para petinggi negara yg berkumpul di 41st AMM di
Singapura percaya pada kemampuan kedua negara untuk menahan diri dan
mengupayakan penyelesaian secara damai.

6:47 PM

majesty said...

sebenernya sama aja si Liberalis atau Realis... dua duanya sama sama over simplifikasi
sesuatu yang sebenernya kompleks...

ASEAN emang dibentuk dengan Piagam yang mencerminkan Liberal Idealis... tapi disisi
laen ASEAN juga dibentuk sebagai langkah preventif/balance of power saat perang
dingin (realis banget kan, makannya banyak yang mulai mempertanyakan
relevansinya)...

Jadi cara paling mudah untuk membuat integrasi ASEAN atau menumbuhkan semangan
Liberalis adalah dengan meningkatkan atau paling tidak melebih-lebihkan ancaman dari
luar ASEAN... soalnya dalam Realis kerjasama internasional itu bisa terjadi sebagai
bentuk balance of power...

Perkembangan terakhir konflik Kamboja-Thailand adalah sikap Thailand yang menolak intervensi
pihak ketiga, dalam hal ini ASEAN, di dalam penyelesaian konflik. Sikap Thailand ini menunjukan
bahwa prinsip non-intervensi masih tertanam kuat di dalam benak negara-negara anggota
ASEAN.

Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa masih tidak mudah bagi ASEAN untuk mewujudkan
mimpi mengintegrasikan negara-negara anggotanya ke dalam kerjasama multilateral yang lebih
erat meskipun telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mendukung, seperti penyusunan
Piagam ASEAN (ASEAN Charter).

Perspektif Realis hingga saat ini masih menjadi pendekatan dominan di dalam interaksi antar
negara-negara anggota ASEAN. Hal ini berbeda dengan kasus Eropa dimana negara-negara di
kawasan tersebut cenderung lebih berperspektif Liberalis, sehingga memudahkan bagi terbentuk
kerjasama multilateral yang lebih erat (regionalisme).

Anda mungkin juga menyukai