Anda di halaman 1dari 3

Trilyun, Nama Si Mbok

“Sri, mbok itu dikupas singkongnya, kamu tidur saja kerjaannya,” Si Mbok terlihat berkacak
pinggang. Aku mengucek mata, masih mengantuk, tapi Si Mbok terus mengomel. Aku harus
bangun dan menimba air. Mandi dulu baru mengupas singkong. “Kamu nggak tahu apa udah
siang, subuhan dulu, nanti baru kupas singkong.”

“MasyaALLAH, Buk, jangan dibentak-bentak gitu to, si genduk. Wong ya masih jam lima kok
dibilang siang. Kamu ini mbok jangan berlebihan,” Bapak membelaku, Si Mbok menyuguhkan
kopi setengah dibanting. “Bapak ini yang berlebihan, hari ini aku nggak ke pasar, nggak jualan,
gara-gara apa? Gendhukmu iki kesiangan.” Si Mbok akhir-akhir ini linu dengkulnya, jad aku
harus menggantikannya berjualan gethuk di pasar, mumpung sekolah lagi libur. Aku dengar juga
hari ini anak-anak baru sedang orientasi, wah, senangnya punya adik kelas baru. Semoga saja
tidak dikerjai sama seniornya. Meski aku kelas dua belas, aku tidak suka berlagak sok senior
karena aku pernah dihukum berjemur di lapangan sampai pingsan. Gara-gara itu, aku jadi tidak
bisa membantu si Mbok di pasar hingga sore karena harus istirahat dua jam. Tapi ngomong-
ngomong, aku juga suka tertawa kalau mengingat adik kelasku yang bertanya, ”kakak ngapain di
pasar siang-siang begini” dan aku jawab “jualan gethuk” dan dia tidak tahu itu karena memang
baru pindah dari Jakarta. Aku menjelaskan bahwa “gethuk itu kue yang dibuat dari singkong,
enak rasanya” dan dia baru paham setelah aku memberinya secara cuma-cuma. Gethuk memang
jarang ada di kota, kecuali kotanya ndeso hhahaha….

“Heh! Mringis wae! Cepet mandi!”

Pasar hari itu ramai sekali. Mungkin karena mendekati lebaran, jadi orang-orang sibuk
menghabiskan uang untuk menyambut tetamu. Mereka pasti kedatangan banyak tamu. Aku tidak
tahu bagaimana rasanya menerima tamu sebanyak tamu Bu Kaji Kasan yang setiap tahun selalu
memesan hiungga seratus gethuk untuk suguhan. Berbeda dengan rumah kami yang selalu sepi,
karena kami tidak punya uang untuk menyuguhkan makanan enak. Paling-paling kripik dan
gethuk, juga singkong rebus. Untungnya, Si Mbah sering datang bersama keponakan-keponakan
karena kami tidak punya cukup waktu dan ongkos untuk pulang kampung. Setidaknya kami
punya alasan untuk membuka sebotol sirup yang tiap tahun diberi Bu Kaji sebagai bonus karena
gethuk yang dipesan selalu tepat waktu.

Aku jualan gethuk di Pasar Ar-Rahmat, seberang masjid dengan nama yang sama. Ibu-ibu
dengan gelang emas besar mendatangiku sambil memesan sepuluh gethuk di-take away. Apa itu?
Dia bilang, bungkus. Anaknya senyum-senyum kearahku. Katanya, mbak itu cantik ya bu, kayak
sinden. Pasti gara-gara kebaya yang aku pakai, sebenarnya ini juga kebaya Si Mbok, hari itu
kaosku sedang dicuci, beberapa sudah dibuat gombal oleh Si Mbok. Ibunya tidak peduli dan
bilang itu hanya fatamorgana karena dia sedang puasa. Aku tertawa dalam hati sambil
menyumpah ibu-ibu itu. Begini-begini aku pernah nolak mas Joko lo!

“Ayo, Hastah, kita Pulang. Dek, ambil saja kembaliannya, itung-itung sedekah,” Ibu itu pergi
sambil memberiku dua lembar sepuluh ribuan. Aku tertawa dalam hati, disedekahi seperti orang
miskin saja, padahal kami punya TV.

“Mbak. Minta gethuk, ya” Kali ini ada pria muda, gondrong, dengan celana bolong-bolong. Aku
mengangguk dan menawarinya gethuk secara cuma-cuma, kasihan, karena beberapa hari lalu
juga ada gelandangan yang lapar dan minta gethuk. Ia malah mengeluarkan lima puluh ribuan.
Banyak sekali uangnya! “Semuanya diborong deh, kamu manis sih,” katanya. Aku tersipu,
sambil menunduk, aku membungkus semua gethuk yang ada di tampah. Ia bersama kawan-
kawannya terlihat ramai sekali, lebih ramai dari pedagang ikan di sebelah yang lagi merayu
pembelinya supaya tidak menawar harga, memang sembako lagi naik, dan pendapatan kami pas-
pasan. Mereka terlihat membawa jaket hijau dengan tulisan Universitas Merdeka.

“Kalau hari ini aksi kita tidak digubris, ya, besok kita bawa massa lebih banyak,” Pria gondrong
itu menanggapi pertanyaan kawannya yang berkacamata. Mereka bertiga sama-sama gondrong,
bedanya hanya kulit mereka, putih-agak hitam- hitam. Diantara mereka juga ada yang giginya
maju dua seperti kelinci.

“Jon, DPR kali ini sudah keterlaluan. Bangun gedung 1,6 Triliyun! Bayangkan! Itu kalau dipakai
membiayai jaminan kesehatan rakyat miskin, bisa buat 22 juta orang, boy! Setahun!”
Aku tertawa dalam hati. Mereka menyebut-nyebut nama si Mbok. Triliyun. Nama Si Mbok
Triliyunah, tapi bude-bude memanggilnya Triliyun, kadang juga dipanggil ‘Tril’. Pasti mereka
berniat mengejek Si Mbok karena menurutku, ‘Tril’ memang nama yang aneh didengar.

Pria satunya yang agak tinggi dan berkumis lele menanggapi dengan wajah serius. Seperti polisi
yang sering aku temui di perempatan sepulang dari pasar.

“Ndah, kau tau awak sepakat dengan kau. Tapi kita tidak bisa hanya aksi damai terus. Kita bakar
ban saja di depan gedung, bakar mobil mereka kalau perlu. Biar mereka tidak main-main dengan
duit rakyat!”

“Dod! Kita mahasiswa intelek, jangan lah kamu ikut-ikut aksi anarkis. Kita bisa repot, kita bawa
almamater. Mbak, gethuknya sudah belum?” Pria dengan celana bolong-bolong itu akhirnya
ingat bahwa ia memesan gethuk, padahal sudah aku bungkus dari tadi. Aku juga tidak mau
memotong pembicaraan mereka, karena sepertinya seru. Di TV, aku sering melihat demo, tapi
aku belum pernah melihat pendemo senyata ini. Menurutku mereka keren, seperti satria baja
hitam yang sering kutonton sewaktu kecil, pembela keadilan. Tapi Si Mbok selalu mencibir dan
bilang orang demo itu kurang kerjaan, seharunya mereka sekolah saja yang benar daripada mati
digebukin polisi. Aku tertawa dan bilang kalau Si Mbok terlalu banyak nonton sinetron.

“Manis, lain kali jualan di dekat kampus kami saja ya,” Pria dengan kumis lele itu menggodaku.
Aku hanya tertawa dan melenggang pergi karena daganganku sudah habis. Aku berencana
melewati perempatan yang biasa, kali ini dengan semangat sekali, karena aku ingin memastikan
bahwa wajah polisi yang serius itu jangan-jangan bisa lucu juga. Apalagi jika dia
memperlihatkan senyumnya. Konon, dua gigi depan polisi itu terbuat dari emas, dan itulah harta
yang paling berharga baginya, karena bayarannya juga nggak seberapa. Itu yang aku dengar dari
ibu-ibu rumpi tiap ada jeda ketika berjualan di pasar.

Oleh Rengget Geni Matari

Surabaya, September

Anda mungkin juga menyukai