Anda di halaman 1dari 2

SEPERTI BARU KEMARIN

Di langit, cahaya bulan direnggut lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan
berlubang, sesekali berkilau tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing.
Hanya sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang
sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan. Tiang listrik di ujung
jalan menjadi satu-satunya penerang jalan itu.
Malam itu terasa dingin dan sunyi. Seorang dengan kain sarung menyelimuti tubuhnya
berlari menuju rumah dekat tiang istrik di ujung jalan. Namanya Husen. Seperti biasa, setiap sore
Ia dan teman-temannya pergi mengaji ke Ustadz Andi di mushola, jauh diseberang jalan. Ustadz
Andi mengajarkan mereka dengan ikhlas, tanpa memungut biaya apapun. Namun, kadang ada
orang yang berbaik hati memberikan sedikit rejekinya untuk Ustadz Andi. Maklumlah, Ia hidup
hanya ditemani anaknya, Nina. Istrinya meniggal beberapa tahun yang lalu akibat sakit komplikasi.
Esok harinya..
Ditengah jalan sehabis pulang dari sekolahnya, Husen melihat seorang anak yang memaki-
maki Ibunya karena Ibunya tak bisa memberikan apa yang diinginkan anaknya.
“Hmm, kenapa bisa yah seorang anak berbuat seperti itu kepada Ibunya sendiri, bukankah
itu dosa?” gumam Husen dalam hati. Akhirnya, Ia pun memutuskan untuk pergi ke rumah Pak
Ustadz, barangkali Pak Ustadz bisa memberikan pencerahannya.
“Assalamu’alaikum, Pa..k Us..tadz..” sahut Husen dengan nafas yang terengah-engah.
“Wa’alaikum salam.. pulang sekolah langsung ke rumah Pak Ustadz, ada apa sen?” jawab
Pak Ustadz dengan tenang.
“Enggak, tadi Husen liat ada seorang anak yang memarahai Ibunya, bukannya kita harus
patuh pada orang tua ya?” Tanya Husen.
“Benar sekali.. bahwasannya Rasululloh SAW. bersabda, bahwa kita harus patuh pada
Ibumu, Ibumu, Ibumu, kemudian Ayahmu.” Terang Pak Ustadz.
“Ooh, begitu ya Ustadz? Mulai saat ini, Husen akn lebih sayang lagi pada orang tua Husen”
sahut Husen.
“Alhamdulillah.. dan jangan lupa untu selau mendoakan orang tua kita, karena doa anak
yang soleh dapat menyelamatkan orang tuanya di akhirat kelak.” Timpal Pak Ustadz.
“Terima kasih Ustadz.. Husen pulang dulu, Asslamu’alaikum..” kata Husen.
“Wa’alaikum salam..” jawab Ustadz Andi. Husen pun bergegas pulang kerumah, karena
nanti sore Ia harus pergi lagi ke mushola.
Sesampainya di rumah, Husen melihat Ibunya sedang mebereskan rumahnya. Sementara,
Ayahnya bekerja di pabrik roti. Teringat perkataan Pak Ustadz tadi, Ia pun berinisiatif membantu
Ibunya membereskan rumah. Setelah sekian lama, akhirnya selesai juga.
“Melelahkan juga..” gumam Husen.
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat, sudah waktunya Husen untuk pergi ke mushola,
tak lupa Ia juga mengajak teman-temannya. Dalam perjalanan, perasaan Husen mulai tidak enak.
Entah ada angin apa yang membuatnya begitu risau. Tak lama, mereka sampai di mushola.
“Asslamu’aikum..” seru Husen dan teman-temannya.
“Wa’alaikum salam..” jawab orang-orang yang ada di mushola. Husen melihat ke sekeliling,
tak nampak Pak Ustadz yang selalu mengajari mereka mengaji.
“Pak Ustadz sedang sakit, beliau tak bisa mengajari kalian mengaji untuk sementara waktu”
kata Pak Usman, pengurus mushola di sana. Akhirnya, mereka belajar mengaji dengan Pak Usman.
Husen dan teman-temannya merasa khawatir dengan keaadaan Pak Ustadz. Mereka berencana
untuk menjenguk Pak Ustadz besok.
Sehabis Isya, mereka pulang ke rumah mereka masing-masing. Perasaan cemas terus
menyelimuti Husen yang dari tadi seolah kebingungan harus berbuat apa. Baginya, Pak Ustadz
sudah Ia anggap sebagai orang tua.
Esok hari sehabis pulang sekolah, Husen dan teman-temannya pergi ke rumah Pak Ustadz.
“Asslamu’aikum..” seru Husen dan teman-temannya.
“Wa’alaikum salam.. silakan masuk!” jawab Nina, anaknya Ustadz Andi.
“Bagaimana keadaannya Nin?” Tanya Husen.
“Begitulah” jawab Nina sambil menunjuk ayahnya yang terbaring lemas di atas tempat
tidurnya.
“Kenapa tak di bawa ke Dokter” Tanya Danu, teman Husen.
“Kami tak punya uang untuk membayar Dokter, lagian rumah sakit juga terlalu jauh dari
sini” lirih Nina.
Husen hanya bisa terdiam melihat Ustadz Andi terbaring tak sadarkan diri. Ia hanya bisa
membantu lewat doa. Ia pun tak mengerti kenapa Pak Ustadz bisa sakit dan, apa penyakitnya?
Tanyanya dalam hati. Padahal, baru saja kemarin Ia datang ke rumah Ustadz. Entahlah, semua
yang terjadi adalah kehendak-Nya.
Mereka pun berpamitan, hanya harapan yang ada dakam diri mereka…

Hari-hari erus berganti, keadaan Ustadz semakin parah. Suatu ketika, saat Husen dan
teman-temannya sedang asyik bermain, suara speaker dari mushola seperti menusuk hatinya.
“Assalamu’alaikum.. Inalillahi wa innalillahi raajiun, … …” deru Pak Usman mengumumkan
bahwa Ustadz andi telah tiada.
Husen pun menangis dan berlari tak tentu arah, seolah tak percaya dengan apa yang di
dengarnya, seorang guru yang sudah Ia anggap sebagai orang tuanya telah pergi untuk selamanya
dan tak mungkin bisa kembali lagi.
Ia merasa, baru saja kemarin Ia bertemu dengannya, dan ingin lebih lama lagi. Namun, Ia
teringat kata Pak Ustadz dulu, bahwa semua makhluk yang bernyawa pasti akan mati. Manusia
harus bisa ikhlas dengan apa yang terjadi, karena itu memang sudah kehendak-Nya.
Jauh dalam lubuk hatinya, Ia masih ingin bertemu dengan Ustadz Andi di surga kelak,
berkumpul bersama keluarga dan saudara-saudaranya..
Subhanalloh…

Nama: Aji Najib N.


Kelas : X.1
No. Absen: 01

Anda mungkin juga menyukai