Anda di halaman 1dari 6

JIKA ada umat agama besar yang bangga, senang, terharu sekaligus terhibur

mendapati kenyataan bahwa ajaran agamanya mengakomodasi pembacaan ayat-


ayat kitab suci yang dimilikinya dengan bacaan dan melodi yang khas (sekaligus
mendunia), maka tak ada penganut agama seperti itu, selain penganut Yahudi, dan
Islam.

.
.
.

I. AWAL

ADALAH bermula dari secara tidak sengaja menemukan video ini. (Silakan disimak)

[VIDEO]

Agaknya perlu sekali saya kemukakan, bahwa jika Anda menganggap apa yang saya
tampilkan dan sedang saya bahas ini, khususnya video di atas, adalah hal yang
profan alias 100% keduniawian, Anda keliru. Di sini, meskipun, tertera pada tags
bahwa inti postingan ini menyinggung soal seni, yakni seni irama/musik dan suara,
apa yang sedang saya bahas ini justru adalah sesuatu yang cukup sakral dan
berdimensi religius, yang, sayangnya, tidak disadari oleh banyak pemeluk Islam
kontemporer bahwa ia eksis dalam sejarah agama Abrahamik (Yudaisme dan Islam
sendiri) dalam kurun waktu yang lama.

Seperti yang bisa kita perhatikan, tulisan pada spanduk yang tertampil di video di
atas, di detik 00:35, tertulis ‫ברק‬-‫( המועצה הדתית בני‬Hamoatza Hadatit B'nei-B'raq) Dewan
Keagamaan Bnei Braq, sudah cukup mengkonfirmasi bahwa acara tersebut memanglah sebuah
acara kongregasi keagamaan, laiknya acara perayaan keagamaan seperti acara Maulid dalam
kultur Islam. (Bnei Braq sendiri merupakan salah satu distrik di wilayah timur Tel Aviv, pusatnya
orang-orang Yahudi paling ortodoks yang, mungkin, karena keortodoksan mereka itulah, seni
irama religius legendaris ini masih tetap lestari).

Nah, di sini saya coba mulai masuk ke bahasan. Bagi Anda yang familiar dengan pembagian
naghâm dalam dunia qirâ'at, pasti akan terhenyak menyimak video di atas. Ya... betul, sang
violinist di video tersebut menggunakan salah satu melodi paling masyhur dari semenanjung
Arab; melodi Sîkâ, melodi yang notabene lazim digunakan umat Islam dalam nada qasidah
bernuansa riang, semisal, salah satunya, pada qasidah Thala'al Badru pada perayaan Maulid
Nabi (akan sedikit saya singgung di bagian IV di bawah).

Di titik tersebut, saya belum ngeh, bahwa tausikh maqâmat atau pembagian nada dan melodi 7
yang biasa diatribusikan kepada budaya Arab-Islam (dalam seni qirâ'at atau seni baca Al-Qur'an)
itu, ternyata juga eksis di kultur Yahudi, yakni dalam pembacaan Torah (Taurat). Saya betul-betul
dibikin penasaran dan tidak tenang, dan segeralah saya melanglang-buana di belantara maya,
dan terpanalah saya ketika menemukan halaman situs [ ini ].

Terpampang jelas di page situs Pizmonim Project tersebut, ada 18 dari total 21 maqâmat yang
aktif. Dan jika Anda tengok halaman depannya, di situ ada keterangan yang lebih mengagetkan,
bahwa katanya masih ada 90 Pizmonim lain yang belum terkonservasi, itu berarti masih ada 90
melodi cabang lagi dari 7 melodi mayor. Ini jelas gila! Dari 7 melodi utama, jumlah keseluruhan
maqâmat Arab saja terkonservasi lengkap hanya ada 35, tapi orang-orang Yahudi itu malah
sudah meluaskan seni irama ini ke dalam cabang-cabang yang lebih banyak lagi. Tentu saja ini
benar-benar dahsyat, sekaligus membuat saya berdecak kagum (buat saya, tentunya!). Hal inilah
yang membuat saya menulis statemen pembuka pada paragraf pertama di atas.
Jadi, jika penganut Yudaisme melakukan pembacaan Torah dengan seni suara yang mereka
kompilasi dalam Pizmonim (the art of Torah cantillation), maka penganut Islam melakukan
pembacaan al-Qur'an dengan seni suara yang tak berbeda yang disebut Tarannum atau Qirâ'at
(the art of Qur'an recitation). Kesamaannya satu, kedua umat besar ini sama-sama
menggunakan melodi 7 yang terkenal itu sebagai melodi dasar dalam pembacaan ayat-ayat Suci
kitab masing-masing (yakni melodi Bayyâti, melodi Shabâ, melodi Hijâz, melodi Rast, melodi
Sîkâ, melodi Jihârkah/'Ajam, dan Nahâwand), sedangkan sisanya yang jumlahnya beranak-pinak
itu, adalah turunan dari 7 melodi utama. Dokumentasi penggunaan maqâmat pada resitasi
pizmonim (Genesis) bisa dilihat di halaman Pizmonim Project bagian [ ini ], sedangkan dalam
kaitannya dengan qirâ'at al-Qur'an, berikut ini, saya bahas.

.
.
.
II. PARADOKS & KEMASYGULAN

SEBETULNYA saya gamang menulis postingan ini. Gamang karena takut disebut snob, elitis,
atau apalah itu, karena di sini saya memang terkesan agak-agak menyinggung (atau
menghardik?) selera mayoritas. Tapi saya akan berusaha mengartikulasikan gagasan sesantun
mungkin, sehingga, semoga di akhir, postingan ini tidak di-cap eksklusif (walaupun pada
kenyataannya memang eksklusif, mau bagaimana lagi).

Dewasa ini, mudah sekali menjumpai orang-orang, dari tua, muda sampai masih bocah, yang
memiliki kualitas suara yang mengagumkan. Ada yang bisa bernyanyi laiknya Mariah Carey,
dengan suara dan lagam yang sama persis, bahkan sebagian ada yang melakukan improvisasi
nada dengan lebih cemerlang. Ada pula remaja yang lihai benar meliuk-liukkan suara macam
Rhoma Irama. Ada pula yang bersuara lantang namun merdu selembut suara Siti Nurhaliza,
dengan pitch-control™ dan kemampuan pengaturan nafas yang sama persis. Dan masih banyak
lagi, orang-orang, bahkan orang-orang terdekat kita, semisal teman, sahabat, kerabat dan
tetangga, yang memiliki kemampuan tarik-suara dengan begitu memukau.

Taaapiii... tapi tapi tapi... lha kok, ke-ti-ka, secara kebetulan saya mendapati salah satu, atau
salah dua dari mereka, melakukan pembacaan al-Qur'an, kok seperti orang pidato?! Ke mana itu
lagam dan nada-nada suara yang melodius dan menggetarkan itu? Ke mana pula itu nafas
panjang yang biasa dipunyai tatkala menyanyikan lagu-lagu duniawi itu? Aaa... saya akhirnya jadi
menyimpulkan satu hal dari fakta yang paradoks ini, bahwa, kemampuan (seorang muslim)
melantunkan sesuatu dalam bentuk nada, yakni dalam hal yang sifatnya profan dan hiburan,
tidak menjamin yang bersangkutan akan bisa mengaplikasikan kemampuan seni suaranya dalam
melakukan pembacaan ayat-ayat suci, paling banter dalam pengaturan nafas saja, tersendat.

Anda jangan buru-buru memvonis saya elitis dan menganggap bahwa saya sedang meng-
inferior-kan selera profan. Tenang dulu. Soal keprofanan, boleh jadi saya malah lebih profan dari
Anda. Sebagai trivia, saya menyenangi lirik-lirik Benny Pandjaitan, nyanyian Sam D'lloyd, nada-
nada Ebiet G. Ade, suara khas Siti Nurhaliza, Billy Gilman, Carrie Underwood, Barry Manilow,
Kansas, Margareth Siagian, Rama Aiphama, Opick, Tantowi Yahya, Sheila On 7, D'Masiv, ST12,
Iklim, Slam, hingga Doel Sumbang sampai Didi Kempot. Banyak yang saya suka. Nah, mung-
kin... be-da-nya, saya tidak terlampau mendikotomikan antara lagu-lagu profan dan lagu-lagu
yang digunakan dalam konteks religius.

Saya orang beriman, secuil pesan dalam ajaran keimanan saya, saya dituntut untuk bisa
seimbang dan tidak setengah-setengah apalagi berat sebelah dalam menguasai suatu keilmuan
yang berdimensi duniawi dan juga ukhrawi. Nah, logikanya, jika mi-sal-nya, saya hobi betul, dan
sok-sok bisa betul, bernyanyi dan bersuara merintih-rintih menyayat macam suara emasnya
Ebiet G Ade, lalu kenapa saya tidak bisa melakukan hal serupa yang lebih bisa menggetarkan
dan membekas di jiwa tatkala melakukan pembacaan terhadap kitab suci saya sendiri yakni Al-
Qur'an? Bukan demikian, saudara-saudara seiman?

.
.
.
III. PROYEK REVIVALISME TRADISI SENI MELAGUKAN BACAAN AL-QUR'AN

Usai memaparkan bukti bahwa masih ada kelompok Yahudi yang merawat budaya tausikh dan
tahsin qirâ'at, bahkan dalam kualitas konservasi yang wah, maka wajar, apabila sebagai umat
Islam, jiwa kompetitif saya terbakar, dan logis jika kemudian saya mewacanakan ide revivalisme
seni tahsin al-Qur'an. Dan semestinya saya menyeret potret paradoks dan kemasygulan di atas
sebagai trigger sekunder ide revivalisme ini, namun saya juga sadar, itu, mengutip istilah seorang
wartawan, merupakan sebentuk fasisme dan pemaksaan selera, maka saya belokkan sasaran
revivalisme ini kepada siapapun yang sehaluan dengan saya, yang, lantaran tiadanya lingkungan
yang kondusif dalam upaya menumbuh-kembangkan budaya seni baca al-Qur'an, jadinya
selama ini hanya menjadi silent-minority.

Saya akan mengapresiasi apresiasi yang datang dari mereka yang berlatar-belakang pesantren
dan dari keluarga yang gemar membaguskan bacaan al-Qur'an. Tapi saya akan lebih
mengapresiasi lagi sambutan dari mereka yang datang dari lingkungan non-pesantren, sebab hal
tersebut mengindikasikan bahwa yang bersangkutan pasti menjadikan kebiasaan melagukan al-
Qur'an sebagai sebuah hobi, dan mengafirmasi bahwa yang bersangkutan mempelajari seluk-
beluk kaidah memperbagus bacaan al-Qur'an secara otodidak, hasrat dari dalam diri, dan bukan
karena komando dari luar.

Pun, ajakan revivalisasi ini bisa dibilang serupa dengan kemunculan awal Jaringan Islam Liberal,
di mana ketika JIL eksis pertama kali, lambat-laun mereka-mereka yang selama ini diam-diam
bosan dengan kejumudan dan stagnasi dalam dunia Islam, tiba-tiba satu-persatu ikut
memunculkan diri ke permukaan dan bergabung ke dalam satu arus besar liberalisasi pemikiran
Islam, dan menghancurkan status-quo keagamaan yang selama ini hambar dan kering dari
kesejukan.

Nah, begitu pula proyek revivalisasi tradisi tahsin al-Qur'an ini. Diharapkan, pasca gagasan ini, di
lapangan kelak muncul gerakan-gerakan pembagusan seni baca al-Qur'an, tak peduli dari dan
oleh siapapun itu. Langkah empriknya, bisa dimulai dari inisiatif sederhana berupa perkumpulan
tahsin tingkat kecil hingga antar-regional, sehingga akan tumbuh komunitas remaja-remaja yang
sama-sama hobi melagukan bacaan al-Qur'an. Bisa pula dimulai dari perkumpulan mu'adzin
muda dan imam mesjid, sehingga kelak di mana-mana, adzan terdengar merdu di mana-mana,
sehingga bisa "menyihir" orang-orang untuk mengambil wudhu dan segera masuk ke mesjid, dan
jamaah di setiap shalat akan lebih khusyuk menghayati dan bisa sampai mengalami semacam
ekstase karena sang imam membaca ayat-ayat al-Qur'an dengan suara yang luar-biasa merdu,
nikmat, manis sendu mengalun terdengar menawan di telinga, dan menembus ke dalam
sanubari, insya Allah. Walaupun ya, mungkin, pada awalnya proses ini hanya akan berlangsung
dalam skala kecil dan terbatas, tapi sebagai permulaan, itu sudah lebih baik ketimbang tidak ada
sama sekali, toh "butterfly-effect matters".

Lalu, apa tindak konkrit paling awal dari saya sendiri selaku pencetus gerakan revivalisasi ini?
Banyak, tapi salah satunya, yang bisa saya berikan di dunia maya, adalah postingan ini, dan
wallpaper berikut ini:

[POSTER]
—Silakan di-klik, diperbesar, dan di-save jika perlu—

Ramadhan 1432 tinggal 115 hari lagi (terhitung sejak postingan ini dibuat). Harapan saya,
sebelum bulan diturunkannya al-Qur'an tersebut tiba, kunci Tausîkh Naghâmât di atas sudah bisa
membantu mengembalikan ingatan yang telah lama terbenam dan ia bisa kembali kita kuasai. 7
tausikh sudah saya cantumkan sebagaimana adanya (kecuali nada jawâbul-jawâb pada maqâm
pembuka, Bayyâti). Bagi yang berasal dari non-pesantren, tenang, Anda tidak sendirian, saya
juga bukan berasal dari rahim-pesantren, kita bisa mengandalkan bantuan dari sumber-ketiga
yang selama ini dijadikan andalan, ketimbang pusing-pusing berpaku pada kaidah 7 tausikh di
atas. Jadi masih ada opsi lain yang bisa diambil, yang lebih aplikatif dan lebih mudah dipelajari
lebih lanjut sesuai dengan style otodidak masing-masing.

.
.
.
IV. PETUNJUK TEKNIS

Ini penting saya kemukakan, agar penggunaan masing-masing nada bisa sesuai dengan karakter
nada itu sendiri, jadi agar jangan sampai terkesan terjadi ke-anakronis-an alias ketidak-
nyambungan penggunaan nada dengan ayat-ayat yang sedang dibaca.

1. Melodi Bayyâti. Gunakan nada ini di setiap pembukaan ayat. Teknis lain, gunakan nada ini di
sepanjang ayat jika mood diri sedang dalam kondisi bagus. Tidak mengapa. Ingat, kita tidak
sedang dalam rangka mengikuti kejuaraan MTQ, tapi sedang dalam proses menjadikan kegiatan
tahsin ini sebagai jalan untuk diri lebih lengket dengannya, dan menjadikan ia sebagai
kegemaran, dan menjadi sesuatu yang inheren dengan keseharian kita, sehingga membaca al-
Qur'an betul-betul dilakukan dengan penuh "passion", yang pada gilirannya menarik orang-orang
dari luar untuk ikut masuk ke dalam lingkaran revivalisasi ini. Dan irama Bayyâati ini... hmm...
nada pertengahannya sungguh, ayu sekali.

2. Nada Shabâ. Gunakan nada Shaba ini ketika menemukan ayat-ayat yang membuat batin ini
luar biasa sedih dan pilu, kalau perlu dengan nada meratap, sebenar-benarnya meratap, seperti
orang hendak menangis ketika tidak tahan menahan perasaan sakit tatkala baru ditinggalkan
oleh orang yang dicintai. Atau praktisnya, jika hati memang sedang dirundung duka lara, tidak
mengapa, gunakan saja mau ayat macam apapun, hajar saja tak usah sungkan. Kesannya apa
jika demikian? Passion-nya kena. Penghayatannya total. Meskipun yaa... kalau dipikir-pikir
memang paradoks juga, jika mendapati ayat yang seharusnya membuat gembira, malah
dibawakan dengan irama sendu menggelegak dan menyayat.

3. Irama Hijâz. Gunakan nada padang-pasir ini ketika menemukan ayat-ayat tentang kematian.
Boleh, jika diri sedang disekap rindu ingin kembali pulang ke haribaan Allah, nada Hijâz ini
digunakan di sepanjang ayat. Gunakan pula nada sendu Hijâz ini ketika membaca ayat-ayat do'a.
O iya, gunakan dengan tempo yang lambat dan santai, kalau bisa di tempat yang menimbulkan
gaung rendah, getar ekstasenya insya Allah, bisa lebih mengena.

4. Melodi Rast. Anda suka menunjukkan sisi suara maskulin Anda? Atau Anda merasa suara
Anda sedang begitu bertenaga? Gunakan nada Rast pada ayat-ayat invokasi (seruan).
Perempuan, yang notabene memiliki suara yang membuat saya iri, yakni sopran, pas sekali jika
di setiap pembacaan ayat-ayat al-Qur'an menggunakan nada ini. Sekedar informasi, irama Rast
ini acap digunakan dalam kumandang adzan Dzhuhur dan Ashar di beberapa kota Islam, sebut
saja Palembang dan Cianjur.

5. Melodi Sîkâ. Dianjurkan menggunakan nada Sîkâ jika menemukan ayat-ayat yang berbicara
tentang harapan, serta janji-janji Allah berupa surga dan pahala. Atau ketika sedang berbunga-
bunga, seperti orang yang baru saja diterima cintanya, gunakan segera nada ini (sebelum mood-
nya hilang) pada ayat-ayat cinta seperti ayat-ayat tentang penciptaan, atau ayat-ayat tentang
hakikat hidup manusia yang diciptakan saling berpasang-pasangan dan hidup berdampingan.
Nada ini lazim dijumpai pada qasidah yang memuji dan menyanjung Rasulullah.saw. Seperti
yang bisa kita nikmati pada pertunjukan musik biola kaum Yahudi Sephardis pada video di atas,
sang violinist menggunakan maqam Sîkâ, itu karena kongregasi keagamaan mereka adalah
kongregasi yang semarak dan penuh keriangan.
6. Melodi Jihârkah. Terus terang saya tidak bisa berkata banyak untuk nada yang satu ini, karena
ini satu-satunya nada tausikh yang tidak pernah saya gunakan. FYI, maqâm Jihârkah ini konon
biasa digunakan dalam acara resepsi perkawinan (tentunya dengan instrumen musik lain). Jadi
sebetulnya saya bingung sendiri, ini nada bagusnya diterapkan di ayat seperti apa. Tapi saya
amati pun, di berbagai acara pembacaan al-Qur'an baik tingkat regional maupun internasional,
tausikh ini minim sekali digunakan. Entah mungkin karena sayanya saja yang kurang aware,
wallahu a'lam.

7. Melodi Nahâwand. Ketika sampai di ayat-ayat tentang hukum dan keputusan-keputusan Allah,
para ahli qirâ'at kelas dunia biasa menggunakan nada Nahâwand. Jadi, ada baiknya jika hal
tersebut kita ikuti. Tentu saja, seperti penggunaan nada-nada sebelumnya, mood dan
penghayatan lebih berperan.

Sampel-sampel nada untuk tausikh di atas bisa disimak di page YouTube yang beralamat di
[ http://youtube.com/arisjulius ], di mana untuk melodi-melodi yang paling masyhur saya sertakan
dalam dua versi di sana, yakni sampel melodi dengan instrumen biola, dan satu lagi adalah
implementasi penggunaan nada yang bersangkutan pada pembacaan ayat al-Qur'an.

Video-video lain insya Allah segera menyusul, karena baru sebagian yang bisa saya upload,
sehingga mudah-mudahan bagi rekan-rekan yang tidak terlalu paham dengan sengkarut istilah
dan teknis maqâmat namun memiliki ketertarikan untuk ikut dalam revivalisasi pembacaan al-
Qur'an ini, bisa langsung belajar otodidak dari sana tanpa perlu terikat pada kaidah kunci 7
tausikh seperti yang ditunjukkan pada bagian III di atas. Tentunya dengan syarat sudah
menguasai kaidah Tajwid dengan baik dan benar, karena tanpa dasar-dasar tajwid, pembagusan
suara dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur'an akan menjadi sesuatu yang nothing, bahkan hanya
akan menambah dosa. Lagipula bisa dibayangkan, apa jadinya apabila al-Qur'an dibacakan
dengan suara merdu tapi tanpa patuh pada aturan panjang-pendek madd, menabrak tasydid, dan
memperkosa keseksian gunnah, wah... hancurlah sudah, dan itulah yang menurunkan derajat
keagungan (tahsin) Qur'an menjadi sejajar dengan lagu-lagu duniawi, karena justru dengan
adanya aturan khas bernama Tajwid-lah, yang membuat seni lagu dalam pembacaan al-Qur'an
tidak bisa diukur dan dirumuskan ke dalam not balok.

.
.
.
V. PENUTUP & HARAPAN-HARAPAN

Ulil Abshar-Abdalla menulis di salah satu postingan di blognya beberapa tahun silam, "Musik
adalah pertanda bahwa surga bisa diciptakan di muka bumi, saat ini juga. Musik dapat membawa
kita membumbung ke dunia lain, ke sebuah utopia, mengatasi topos dunia saat ini yang centang
perenang, dunia yang bopeng dan terpiuh. Musik membawa kita kembali ke Taman Eden, seolah
kita tidak pernah terlempar dari sana. Musik membawa kita kembali bersatu dengan dunia
primordial. Musik membuat kita utuh kembali".

Sang al-Musthafa Muhammad Rasulullah.saw yang kepada beliau al-Qur'ân diturunkan,


bersabda di salah satu hadits, " ‫( "زينوا القرآن بأصواتكم‬zuyyinuu-l qur'âna bi-ashwâtikum) —
"Hiasilah/baguskanlah/indahkanlah al-Qur'an dengan suara kalian." (Hadits Riwayat Abu Dawud,
An-Nasa'i, Hakim dll, Shahih al-Jami': 3581). Dan satu lagi sabda beliau, "‫"ليس منا من لم يتغن بالقرآن‬
(laysa minnâ man lam yataghanna bi-l qur'âni) — "Bukan termasuk golongan kami siapa yang
tidak melagukan al-Qur'an." (Hadits Riwayat Bukhari).

Musik dapat membawa kita membumbung ke dunia lain. Ulil benar. Musik-musik yang
menggetarkan telinga membawa jiwa melambung ke dimensi lain, ada semacam ekstase dan
kenikmatan ruhani terasa. Itu baru musik berskala duniawi, entah bagaimana lagi suara emas
Nabiyullah Daud.as dahulu, yang konon setiap kali melantunkan ayat-ayat Zabur, alam seketika
tenang, hewan-hewan terdiam, manusia-manusia di sekitar terpana, dan orang-orang yang
sedang terbaring sakit langsung sembuh seketika. Lalu tercatat pula dalam salah satu sirah
nabawi tatkala Rasulullah.saw melantunkan surah al-Fath dengan nada yang bergelombang dan
penuh irama, unta yang beliau naiki sampai terperanjat (note: kuat dugaan saya, Nabi
menggunakan nada semacam Nahâwand). Dan sebagaimana tercatat dalam kompilasi kitab
yang disusun Musannif Efendie (1979) dalam Berita Alam Gaib Sebelum dan Sesudah Hari
Kemudian, dikabarkan bahwa kelak, penduduk syurga akan menerima kenikmatan yang paling
besar, yakni mereka akan menikmati suara Allah Rabb-al 'Alamin membacakan surah ar-
Rahmân. Dikisahkan pula, setelah mendengar suara Allah membacakan al-Qur'an, seluruh
penduduk syurga jatuh-pingsan selama ratusan tahun karena alunan suara Allah yang tidak bisa
dilukiskan betapa hebat tiada tanding tiada banding dan akal tak sanggup melukiskannya ke
dalam bentuk verbal.

Masih banyak lagi testimoni-testimoni luar-biasa berharga yang perlu dikutip di sini, namun
bagaimanapun tulisan ini mestilah segera diakhiri, karena tuntas sudah hasrat diri menanam cita,
tinggal diri kembali melanjutkan hidup sembari membiarkan waktu membawa cita kecil ini ke arah
nasib yang entah. Kemungkinan terburuknya, mimpi ini layu lantaran tak ada yang sudi ikut
memupuki dan menyirami, jadi bukannya melihat ia tumbuh bertunas, alih-alih malah meranggas.
Dan tentulah, diri ini akan kian nestapa, karena, "it's always take two to tango", walaupun masih
memungkinkan, untuk diri... menghayati kesunyian.

.
.
.
[]
Bandung Utara, 15 Maret 2011 | 12.09 PM
Menikmati setapak-demi-setapak jalan pulang.

http://i.imgur.com/9bE4A.jpg
http://www.pizmonim.org/sources.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Arabic_maqam
http://en.wikipedia.org/wiki/Pizmonim
http://www.pizmonim.com/pizmonim.htm

Anda mungkin juga menyukai