Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya


cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,
sehingga terdapat pelebaran ventrikel1. Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan
antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal2. Hidrosefalus bukan suatu penyakit
yang berdiri sendiri. Sebenarnya, hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat
penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala
menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun1.
Thanman pada tahun 1984 melaporkan insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap
1000 kelahiran. Raveley tahun 1973 dan Yasa tahun 1983 di Inggris melaporkan bahwa
insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada setiap 1000 kelahiran dan 11%-43%
disebabkan oleh stenosis akuaduktus serebri. Hidrosefalus dengan meningomielokel, yaitu
antara 4 per 1000 kelahiran di beberapa negara bagian wales dan Irlandia Utara sampai
sekitar 0,2 per 1000 kelahiran di Jepang. Sedangkan insidensi hidrosefalus bentuk lainnya
sekitar 1 per 1000 kelahiran. Stenosis akuaduktus ditemukan pada sekitar sepertiga anak
dengan hidrosefalus2. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin,
juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja
dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46%
diantaranya adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan
subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior3.
Hidrosefalus dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrosefalus obstruktif (HO)
dan hidrosefalus komunikan (HK). Terapi hidosefalus adalah secara pembedahan. Hal ini
dengan menggunakan kateter ventrikular yang dimasukkan kedalam ventrikel untuk
membuat jalan pintas dari area obstruksi dan mengalirkan cairan ke bagian tubuh
berongga lainnya seperti ke area peritoneum (ventriculo-peritoneal shunt), atrium kanan
(ventriculo-atrial shunt), rongga pleural (ventriculo-pleural shunt). Teknik ini memiliki
risiko kegagalan yang tinggi dan beberapa komplikasi, seperti diskoneksi komponen alat,
jika hal ini terjadi maka cairan akan terhambat dan menimbulkan infeksi. Cairan yang
terakumulasi dapat menimbulkan gejala yang tidak nyaman pada pasien seperti, sakit
kepala, mual, muntal, fotofobia bahkan kejang. Menurut Shermann, dkk. (2007)
komplikasi pada bulan pertama mencapai 25-50%, setelah itu, pertahun 4-5 % dan setiap

1
komplikasi berarti harus dilakukan revisi. Setiap VP shunting memiliki kemungkinan
risiko revisi sekitar 3 kali dalam 10 tahun pasca operasi4.
Dengan diperkenalkannya suatu teknik neuroendoskopi, endoscopic third
ventriculostomy (ETV) lebih dipilih untuk terapi hidrosefalus obstruksi karena bersifat
minimal invasif. Operasi dengan teknik ETV prinsipnya adalah pengaliran CSS dari dasar
ventrikel III ke sisterna basalis yaitu ruang subarakhnoid di belakang sela tursika. Pada
teknik ETV tidak ada alat yang dipasang, sehingga aliran CSS dibuat hampir mendekati
aliran fisiologis menuju sistem penyerapan pada vili arakhnoid. Walaupun demikian terapi
ETV pada pasien dengan hidrosefalus komunikan belum dapat disimpulkan. Pada studi ini
akan dibahas mengenai hidrosefalus dan menganalisa penggunaan ETV pada 32 pasien
dengan hidrosefalus komunikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hidrosefalus


Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,
sehingga terdapat pelebaran ventrikel1. Pelebaran ventrikuler ini akibat
ketidakseimbangan antara produksi, aliran dan absorbsi cairan serebrospinal.
Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak.
Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi
pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun5.
Hidrosefalus harus dibedakan dengan pengumpulan cairan lokal tanpa
terkanan intrakranial yang meninggi seperti pada kista porensefali atau pelebaran
ruangan CSS akibat tertimbunnya CSS yang menempati ruangan, sesudah terjadinya
atrofi otak.

2.2. Etiologi Hidrosefalus


Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada salah satu tempat
antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi dalam
ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS di atasnya1.
Tempat yang sering tersumbat dan terdapat dalam klinik adalah foramen Monroe,
Foramen Luschka dan Magendie, sisterna magna dan sisterna basalis3. Teoritis
pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang normal akan
menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi,
misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus
koroidalis. Berkurangnya absorbsi CSS pernah dilaporkan dalam kepustakaan pada
obstruksi kronik aliran vena otak pada trombosis sinus longitudinalis. Contoh lain
ialah terjadinya hidrosefalus setelah operasi koreksi daripada spina bifida dengan
meningokel akibat berkurangnya permukaan untuk absorbsi.

3
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak antara
lain :
a) Kelainan bawaan
- Stenosis akuaduktus sylvii
Merupakan penyebab yang terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60 –
90%). Akuaduktus dapat merupakan saluran buntu sama sekali atau abnormal
lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosepalus terlihat sejak lahir atau
progresif dengan cepat pada bulan – bulan pertama setelah lahir.
- Spina bifida dan kranium bifida
Hidrosepalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan sindrom Arnold –
Chiari akibat tertariknya medulla spinalis dengan medulla oblongata dan
serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi
penyumbatan sebagian atau total.
- Sindrom Dandy – Walker
Merupakan atresia kongenital foramen Luschka dan Magendie dengan akibat
hidrosefalus abstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV
yang dapat sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di
daerah fosa posterior.
- Kista Araknoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder suatu
hematoma.
- Anomali pembuluh darah
Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya hidrosefalus akibat aneurisma arterio –
vena yang mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus
transverses dengan akibat obstruksi akuaduktus.

b) Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi
ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi
bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus
sylvii atau sisterna basalis. Lebih banyak hidrosepalus terdapat paska meningitis.
Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah
sembuh dari meningitisnya. Secara patologis terdapat penebalan jaringan piameter
dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa

4
tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna
kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta lokalisasinya
lebih tersebar.

c) Neoplasme
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS.
Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada penyebabnya dan apabila tumor tidak
mungkin dioperasi, maka dapat dilakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS
melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak yang terbanyak menyebabkan
penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus sylvii bagian terakhir biasanya suatu
glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel
III biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.

d) Perdarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak,
dapat menyebabkan fibriosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain
penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.
Selanjutnya hidrosefalus dengan penyebab pertama tersebut diatas dikelompokan
sebagai hidrosefalus kongenitus, sedangkan penyebab kedua sampai ke empat
dikelompokkan sebagai hidrosefalus akuisita. Sebab-sebab prenatal merupakan faktor
yang bertanggung jawab atas terjadinya hidrosefalus kongenital yang timbul in-utero
dan kemudian bermanifestasi baik in-utero ataupun setelah lahir. Sebab-sebab ini
mencakup malformasi (anomali perkembangan sporadis), infeksi atau kelainan
vaskuler. Pada sebagian besar pasien banyak yang etiologinya tidak dapat diketahui,
dan untuk ini diistilahkan sebagai hidrosefalus idiopatik. Dari bukti eksperimental
pada beberapa spesies hewan mengisyaratkan infeksi virus pada janin terutama
parotitis dapat sebagai faktor etiologi7.
Etiologi hidrosefalus berdasarkan proses kejadiannya dapat dikelompokkan
sebagai berikut8 :
1. Kongenital
Agenesis korpus kalosum, stenosis akuaduktus serebri, anensefali dan
disgenesis serebral, genetis.
2. Degeneratif
Histiositosis, inkontinensia pugmenti, dan penyakit Krebbe.

5
3. Infeksi
Post meningitis, TORCH, kista-kista parasit, lues kongenital.
4. Kelainan metabolisme
Penggunaan isotretionin (Accutane) untuk pengobatan akne vulgaris, antara
lain dapat menyebabkan stenosis akuaduktus, sehingga terjadi hidrosefalus
pada anak yang dilahirkan. Oleh karena itu penggunaan derivat retinol (vit.
A) dilarang pada wanita hamil9.
5. Trauma
Seperti pada perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak,
disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya
sumbatan yang mengganggu aliran CSS.
6. Neoplasma
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat
terjadi di setiap aliran CSS, antara lain tumor ventrikel III, tumor fossa
posterior, papilloma pleksus koroideus, leukemia, dan limfoma.
7. Gangguan vaskuler
Dilatasi sinus dural, trombosis sinus venosa, malformasi v. Galeni,
malformasi arteriovenosa.

2.3. Klasifikasi Hidrosefalus


Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya.
1. Gambaran klinis
Dikenal hidrosefalus yang manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus yang
tersembunyi (occult hydrocephalus). Hidrosefalus yang tampak jelas dengan
tanda-tanda klinis yang khas disebut hidrosefalus yang manifes. Sementara itu,
hidrosefalus dengan ukuran kepala yang normal disebut sebagai hidrosefalus yang
tersembunyi6.
2. Waktu pembentukan
Dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita. Hidrosefalus yang
terjadi pada neonatus atau yang berkembang selama intra uterin disebut
hidrosefalus kongenital. Hidrosefalus yang terjadi karena cedera kepala selama
proses kelahiran disebut hidrosefalus infantil. Hidrosefalus akuisita adalah

6
hidrosefalus yang terjadi setelah masa neonatus atau disebabkan oleh faktor-faktor
lain setelah masa neonatus6.
3. Proses terbentuknya hidrosefalus (waktu/onset)
Dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik. Hidrosefalus akut adalah
hidrosefalus yang terjadi secara mendadak sebagai akibat obstruksi atau gangguan
absorbsi CSS (berlangsung dalam beberapa hari). Disebut hidrosefalus kronik
apabila perkembangan hidrosefalus terjadi setelah aliran CSS mengalami
obstruksi beberapa minggu (bulan-tahun). Dan diantara waktu tersebut disebut
hidrosefalus subakut6.
4. Sirkulasi CSS (cairan serebrospinal)
Dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans. Hidrosefalus
non komunikans berarti CSS sistem ventrikulus tidak berhubungan dengan CSS
ruang subaraknoid (adanya blok), misalnya terjadi pada:
a. Kelainan perkembangan akuaduktus Silvius kongenital (disebabkan oleh gen
terangkai X resesif), infeksi virus, tertekannya akuaduktus dari luar karena
hematoma atau aneurisma kongenital
b. Atresia foramen Luschka dan Magendie (sindroma Dandy-Walker)
c. Berhubungan dengan keadaan-keadaan meningokel, ensefalokel, hipoplastik
serebelum.
Hidrosefalus komunikans adalah hidrosefalus yang memperlihatkan adanya
hubungan antara CSS sistem ventrikulus dan CSS dari ruang subaraknoid otak dan
spinal. Gangguan absorbsi CSS dapat disebabkan sumbatan sistem subaraknoid
disekeliling batang otak ataupun obliterasi ruang subaraknoid disekeliling batang
otak ataupun obliterasi ruang subaraknoid disekeliling konveksitas otak. Disini
seluruh sitem ventrikuli terdistensi2. Hal ini terjadi pada keadaan-keadaan:
a. Malformasi Arnold-Chiari dimana terjadi hambatan CSS di ruang subaraknoid
sekitar batang otak akibat berpindahnya batang otak dan serebelum ke kanalis
servikalis
b. Sekunder akibat infeksi piogenik dan meningitis sehingga terjadi fibrosis dan
perlekatan
c. Fibrosis akibat perdarahan subaraknoid
5. Pseudohidrosefalus dan hidrosefalus tekanan normal (normal pressure
hydrocephalus). Pseudohidrosefalus adalah disproporsi kepala dan badan bayi.
Kepala bayi tumbuh cepat selama bulan kedua sampai bulan ke delapan.

7
Selain itu ada beberapa istilah lainnya yang dipakai dalam klasifikasi maupun sebutan
diagnosis kasus hidrosefalus. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi
ventrikel; sedangkan hidrosefalus eksternal cenderung menunjukkan adanya pelebaran
rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan
kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor; dan hal ini dijumpai pada
sebagian besar kasus. Berdasarkan gejala yang ada dibagi menjadi hidrosefalus
simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan di mana
faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif
lagi. Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang
diakibatkan oleh atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua.

2.4. Patofisiologi
Untuk memahami kondisi hidrosefalus, sebuah pengertian dari kedinamisan CSS dan
hubungan antara bentuk ventrikular yang bervariasi dan ruang subaraknoid adalah
penting. Kedua mekanisme yang dibentuk oleh CSS antara lain sekresi pleksus koroid
dan saluran limfa oleh cairan ekstraselular otak. CSS bersirkulasi melalui sistem
ventrikular dan kemudian diserap ke dalam ruang subaraknoid oleh sebuah
mekanisme yang tidak pernah habis sama sekali.
Volume normal dari cairan serebrospinal adalah 140 ml. Cairan ini diproduksi
oleh pleksus koroid dengan tingkat pembentukan 0.4 ml per menit atau sekitar 500 ml
per 24 jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen Monro menuju
ventrikel yang ketiga, tempat dimana cairan tersebut menyatu dengan cairan yang
telah disekresi ke ventrikel ketiga. Dari sana CSS mengalir melalui akueduktus Sylvii
menuju ventrikel keempat, tempat dimana cairan lebih banyak dibentuk, kemudian
cairan tersebut akan meninggalkan ventrikel keempat melewati foramen Luschka
lateral dan garis tengah foramen Magendie dan mengalir menuju sisterna magna. Dari
sana CSS mengalir ke serebral dan ruang subaraknoid serebellum, dimana cairan akan
diabsorpsi. Sebagian besar diabsorpsi melalui villi araknoid, tetapi sinus, vena,
substansi otak dan dura juga berperan dalam absorpsi.
Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-
140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan pada prematur kecil 10-20 ml 6. Cairan
yang tertimbun dalam ventrikel biasanya antara 500-1500 ml, akan tetapi kadang-
kadang dapat mencapai 5 liter. Dalam keadaan normal tekanan likuor berkisar antara
50-200 mmH2O. Ruang tengkorak bersama dura yang tidak elastis merupakan suatu

8
kotak tertutup yang berisikan jaringan otak dan medula spinalis sehingga volume otak
total (kraniospinal) ditambah dengan volume darah dan likuor merupakan angka tetap
(Hukum Monroe Kellie). Bila terdapat peningkatan volume likuor akan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Keadaan ini terdapat pada perubahan volume likuor,
pelebaran dura, perubahan volume pembuluh darah terutama volume vena, perubahan
jaringan otak (bagian putih otak berkurang pada hidrosefalus obstruktif). Pada
umumnya volume otak serta tekanan likuor berubah oleh berbagai pengaruh sehingga
volume darah selalu akan menyesuaikan diri6.

Gambar 1. Aliran Cairan Serebrospinal

Hidrosefalus secara teoritis hal ini terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuor
3. Peningkatan tekanan sinus venosa
Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan
intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dapat dipahami secara

9
terperinci, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat
dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi
ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan
hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
1. Kompresi sistem serebrovaskuler
2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler atau
keduanya di dalam sistem susunan saraf pusat
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)
4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis (masih diperdebatkan)
5. Hilangnya jaringan otak
6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya
regangan abnormal pada sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh karena tumor
pleksus khoroid (papiloma atau karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan akan
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan keseimbangan
antara sekresi dan resorbsi likuor, sehingga akhirnya ventrikel akan membesar.
Adapula beberapa laporan mengenai produksi likuor yang berlebihan tanpa adanya
tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis.
Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus.
Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan meningkatkan
tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang
seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu
peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler
intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang
dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang
relatif tinggi.
Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians
tengkorak. Bila sutura kranial sudah menutup, dilatasi ventrikel akan diimbangi
dengan peningkatan volume vaskuler; dalam hal ini peningkatan tekanan vena akan
diterjemahkan dalam bentuk klinis dari pseudotumor serebri. Sebaliknya, bila
tengkorak masih dapat mengadaptasi, kepala akan membesar dan volume cairan akan
bertambah.

10
2.5. Manifestasi Klinis
Gejala yang tampak berupa gejala akibat tekanan intrakranial yang meninggi. Pada
bayi biasanya disertai pembesaran tengkorak sendiri, yaitu bila tekanan yang
meninggi ini terjadi sebelum sutura tengkorak menutup. Gejala tekanan intrakranial
yang meninggi dapat berupa muntah, nyeri kepala dan pada anak yang agak besar
mungkin terdapat edema papil saraf. Kepala terlihat lebih besar dibandingkan dengan
tubuh. Ini dipastikan dengan mengukur lingkaran kepala suboksipito – bregmatikus
dibandingkan dengan lingkaran dada dan angka normal pada usia yang sama. Lebih
penting lagi ialah pengukuran berkala lingkaran kepala, yaitu untuk melihat
pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari normal.
Ubun – ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya, teraba tegang
atau menonjol. Dahi tampak melebar dengan kulit kepala yang menipis, tegang dan
mengkilat dengan pelebaran vena kulit kepala. Sutura tengkorak belum menutup dan
teraba melebar. Didapatkan “cracked pot sign” yaitu bunyi seperti pot kembang yang
retak pada perkusi kepala. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan
tulang supraorbita. Sklera tampak di atas iris sehingga iris seakan – akan matahari
yang akan terbenam (sunset sign). Pergerakan bola mata yang tidak teratur dan
nigtagmus tidak jarang terdapat. Kerusakan saraf yang memberikan gejala kelainan
neurologis berupa gangguan kesadaran, motoris atau kejang, kadang – kadang
gangguan pusat vital, bergantung pada kemampuan kepala untuk membesar dalam
mengatasi tekanan intrakranial yang meninggi. Bila proses berlangsung lambat, maka
mungkin tidak terdapat gejala neurologis walaupun terdapat pelebaran ventrikel yang
hebat, sebaliknya ventrikel yang belum begitu melebar akan tetapi berlangsung
dengan cepat sudah memperlihatkan kelainan neurologis yang nyata.

2.6. Penanganan
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
1. Mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus khoroidalis dengan
tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi, akan tetapi hasilnya kurang
memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini antara lain ; diamox
(asetazolamid), isosorbit, manitol, urea, kortikosteroid, diuretik dan fenobarbital,
2. Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi
yakni menghubungkan ventrikel dengan ruang subaraknoid. Misalnya Torkildsen

11
ventrikulosisternostomi pada stenosis akuaduktus Silvius. Pada anak hasilnya
kurang baik karena sudah ada insufisisensi fungsi absorbsi
3. Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial dengan cara ;
ventrikuloperitoneal drainage, ventrikulopleural drainage, lumboperitoneal
drainage, ventrikuloretrostomi, mengalirkan kedalam antrum mastoid,
mengalirkan CSS kedalam vena jugularis melalui kateter berventil (Hoten-
velve)1.
Secara umum, penanganan untuk hidrosefalus adalah dengan pemasangan shunt atau
dilakukannya third ventriculostomy5.
a. Pemasangan shunt
Metode yang biasanya digunakan untuk mengalihkan cairan serebrospinal adalah
pemasangan ventriculoperitoneal shunt, dimana sebuah kateter ditempatkan pada
ventrikel lateral dan dihubungkan dengan subcutaneous unidirectional pressure
regulated-valve yang melekat pada kateter yang dinsersikan ke dalam rongga
peritoneum. Aliran alternatif lain seperti atrium, rongga pleura dan ureter dapat
digunakan. Beberapa komplikasi dapat terjadi pada pemasangan shunt ini
diantaranya infeksi, obstruksi pada shunt dfan perdarahan intrakranial5.

b. Third ventriculostomy
Ventriculoscopy diperkenalkan pada awal 1900-an sebagai pengobatan alternatif
untuk mengendalikan hidrosefalus. Walter E. Dandy adalah salah satu dokter
bedah pertama yang menggunakan endoskopi primitif untuk melakukan
plexectomy choroid pada pasien dengan hidrosefalus komunikan. Dia kemudian

12
memperkenalkan pendekatan sub-frontal untuk open third ventriculostomy;.
Namun, tingkat kematian tinggi dan perlunya mengorbankan saraf optik dengan
pendekatan ini membuat Dandy diminta untuk menerapkan terapi yang lain10.
Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV) pertama dilakukan oleh William
Mixter, seorang ahli urologi, pada tahun 1923. Mixter urethroscope digunakan
untuk memeriksa dan melakukan third ventriculostomy pada anak dengan
hidrosefalus obstruktif. Tracy J. Putnam kemudian meminjam urethroscope ini
dan membuat modifikasi yang diperlukan untuk menggunakan mengoptimalkan
penggunaannya pada sistem ventrikel. Ventriculoscopenya secara khusus
dirancang untuk kauterisasi pada pleksus koroid pada anak dengan hidrosefalus10.
Pada tahun 1947, HF McNickle memperkenalkan metode percutaneous third
ventriculostomy yang menurunkan tingkat komplikasi dan meningkatkan tingkat
keberhasilan. Cara ini diperkenalkan pada awal tahun 1970 untuk memperbesar
perforasi di lantai ventrikel ketiga tanpa cedera pada sekitar struktur vaskular.
Teknik-teknik perkutan ini kemudian dimodifikasi lebih lanjut setelah kedatangan
frame stereotactic10.
Endoscopic third ventriculostomy adalah suatu teknik operasi dengan membuat
perforasi minimal pada lantai tertipis dari ventrikel tiga, sehingga dapat
menyebabkan aliran CSS yang mengalami hambatan dalam sistem ventrikuler
mengalir ke basal sisterna11.

2.7. Endoscopic Third Ventriculostomy Dalam Manajemen Hidrosefalus Komunikan


Endoskopi telah merubah penerapan terapi dalam keilmuan bedah saraf. Banyak
penulis mempertimbangkan ETV sebagai terapi yang aman dan efektif untuk
hidrosefalus obstruktif, tetapi saat ini belum merupakan pilihan operatif untuk pasien
dengan hidrosefalus komunikan. Indikasi ETV secara keilmuan belum bisa diterapkan
dan masih dalam tahap penelitian12.
Mekanisme yang mendasari secara tepat suatu hidrosefalus komunikan masih
belum diketahui. Hidrosefalus komunikan yang diterapi dengan ETV tidak didukung
dengan teori lama mengenai bulk flow theory. Ransohoff dkk menyarankan perubahan
dalam nomenklature dimana hidrosefalus obstruktif disebut dengan hidrosefalus
obstruksi intraventrikular yang meliputi baik obstruksi pada akuaduktus dan
penyumbatan pada foramen outlet dari ventrikel ke empat. Semua bentuk lain dari
hidrosefalus dapat disebut hidrosefalus obstruksi ekstraventrikular dan semua

13
hidrosefalus merupakan suatu keadaan obstruktif sehingga dapat dijelaskan dengan
bulk flow theory. Rekate mengeksplorasi tempat terjadinya obstruksi dari aliran CSS
yang mengakibatkan hidrosefalus. Tempat ini meliputi tidak hanya akuaduktus dan
foramen outlet dari ventrikel empat tetapi juga basal sisterna yang menghambat aliran
CSS. Bulk flow theory yang dimodifikasi ini dapat menjelaskan efektivitas third
ventriculostomy dalam pengobatan beberapa tipe hidrosefalus komunikan seperti
posttrauma, postpendarahan dan post meningitis12.
Suatu analisis hidrodinamika intrakranial yang berhubungan dengan tekanan
nadi menunjukkan bahwa penjelasan mengenai hidrosefalus komunikan hanya dengan
teori bulk flow terlalu sederhana. Berdasarkan penelitian terbaru tentang dinamika
hidrosefalus, hidrosefalus komunikan merupakan suatu kelainan pulsasi intrakranial
karena penurunan komplians. Hasil MRI pada pasien dengan hidrosefalus komunikan
menunjukkan total stroke volume intrakranial hanya 0,5 kali dari individu normal.
Pada monitoring intracranial pressure (ICP), terdapat peningkatan tekanan CSS 6 kali
dibandingkan individu normal. Komplians intrakranial menurun pada hidrosefalus
komunikan karena komplians merupakan rasio antara perubahan volume dengan
perubahan tekanan. Penurunan komplians intrakranial membatasi ekspansi arteri
sehingga menyebabkan terjadinya mekanisme Windkessel dengan peningkatan pulsasi
dari kapiler-kapiler otak. Karena arteri tidak mengalami ekspansi, hal ini
menyebabkan penurunan aliran gelombang denyut dalam arteri. Konduksi volume
secara langsung dari arteri ke vena melalui kapiler mengalami penurunan. Untuk
mempertahankan keadaan yang seharusnya, maka diperlukan tekanan yang kuat dan
transmisi volume gelombang nadi dari arteri ke kapiler dan jaringan otak. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan serebral dibandingkan di ruang subarakhnoid.
Yang paling penting dari keadaan ini adalah adanya suatu tekanan yang abnormal dan
transmisi volume ke kapiler otak menyebabkan peningkatan tekanan nadi ventrikular,
peningkatan aliran CSS dalam akuaduktus dan menyebabkan pelebaran ventrikel12.
Tujuan dari ETV pada hidrosefalus komunikan adalah untuk meningkatkan
komplians intrakranial, dimana ETV menyebabkan peningkatan aliran sistolik dari
ventrikel dan menurunkan tekanan nadi intraventrikuler dan mempersempit ventrikel.
Efek ini menyebabkan dilatasi dari pembuluh darah yang mengalami kompresi dan
meningkatkan komplians intrakranial. Kapiler yang mengalami dilatasi meningkatkan
aliran darah dan absorpsi CSS12.

14
Dari suatu penelitian yang dilakukan pada tiga puluh dua pasien yang terdiri
dari 24 laki-laki dan 8 perempuan menjalani endoscopic third ventriculostomy (ETV)
untuk terapi hidrosefalus komunikan pada institusi penelitian antara bulan Agustus
2002 hingga Januari 2007. Rata-rata umur semua pasien adalah 61,4 tahun (rentang
umur 25-85 tahun). Gejala yang terdapat pada pasien, diantara sakit kepala pada 28
pasien, vertigo pada 32 pasien, gangguan memori pada dan disorientasi pada 31
pasien, gangguan gaya jalan pada 28 pasien dan inkontinensia urine pada 16 pasien,
termasuk didalamnya 7 pasien dengan inkontinensia permanen atau inkontinensia
urine dan alvi. Informasi dasar pasien dapat dilihat pada tabel 1.Berdasarkan hasil
preoperatif, peneliti memisahkan pasien menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama
terdiri dari 17 pasien dengan idiopathic normal pressure hydrocephalus (INPH) yang
didefinisikan sebagai hidrosefalus komunikan primer, tekanan CSS dalam batas
normal dan tanpa lesi intraserebral (infark lakunar pada MRI mungkin ada).
Kelompok kedua terdiri dari 15 pasien dengan secondary communicating
hydrocephalus (SCH) yang memiliki meningitis, ventrikulitis, pendarahan
subarakhnoid spontan dan HIH. Periode follow up adalah 2 – 53 bulan (rata-rata 14
bulan).
ETV dilakukan dengan metode freehand standard menggunakan endoskop
kaku pada semua pasien. Hasil akhir dievaluasi berdasarkan data yang dikumpulkan
selama follow up. Hasil pemeriksaan klinis diklasifikasikan berdasar Kiefer chronic
hydrocephalus grading system. Peneliti menggunakan skala RR untuk mencari
hubungan perbaikan post operatif terhadap status pre operatif: RR=(preoperatif – post
operatif Kiefer score)/preoperatif Kiefer score.
Hasil akhir didefinisikan sebagai sangat baik (RR > 7 poin), baik (RR 5-7
poin), memuaskan ( RR 2-5 poin), dan jelek (RR < 2 poin). Beberapa pasien yang
meninggal setelah menjalani ETV atau telah melakukan pemasangan shunt setelah
ETV dideskripsikan memiliki hasil akhir yang jelek. Analisis statistik dikonduksi
menggunakan software yang tersedia (SPSS, SPSS Inc.)
Dari semua proporsi didapatkan hasil akhir sangat baik dan baik sebesar
65,6%, dimana 25% sangat baik dan 40,6% baik. Empat pasien memiliki hasil akhir
memuaskan dan 7 pasien (21,9%) memiliki hasil akhir jelek. Tidak ada komplikasi
intraoperatif mayor. Satu pasien mengalami penyumbatan stoma 3 bulan postoperatif
dan telah menjalani pemasangan shunt. Komplikasi minor lainnya meliputi demam
dan muntah pada 4 pasien. Tidak ada pasien yang dilaporkan mengalami infeksi

15
akibat ETV pada kelompok pasien ini. Dua pasien meninggal (tingkat mortalitas 6%)
selama periode follow up; 1 pasien meninggal dengan HIH akibat infeksi paru-paru
dan 1 pasien meninggal mengalami gagal jantung karena penyakit jantung rematik
(pasien ini meninggal 6 bulan setelah ETV). Tidak ada pasien meninggal akibat ETV
secara langsung12.
Dari penelitian ini, skor Kiefer preoperatif dan usia pasien menentukan hasil
akhir dari ETV. Umur pasien merefleksikan kemampuan kompensasi dari parenkim
otak, sedangkan dari hasil analisis mengenai status mental pre operatif didapatkan
bahwa pasien dengan gangguan konsentrasi memiliki risiko gagal sebanyak 2 kali
dibandingkan pasien yang tidak memiliki gangguan tersebut. Adanya gangguan jalan
menunjukkan tingkat perbaikan yang paling baik diantara 2 gejala trias klasik
lainnnya. Hal ini mungkin disebabkan karena gangguan gaya jalan hanya diakibatkan
karenan gangguan lokal pada bagian korteks tertentu dan suplai darah. Status mental
merefleksikan compliance dari seluruh otak dan kerusakan parenkim yang masif12.
Pasien pada kelompok SCH memiliki hasil akhir lebih baik dibandingkan
dengan kelompok INPH. Analisis dari penelitian ini tidak dapat disimpulkan karena
beberapa alasan. Pertama, karena adanya perbedaan umur antara kedua kelompok ini
dan kedua karena pada kelompk SCH distrata dan didalamnya terdapat pasien
posttrauma dan HIH-related communicating hydrocephalus. Subkelompok posttrauma
pada kelompok SCH memiliki tingkat perbaikan yang lebih baik dibandingkan
subkelompok HIH, hal ini karena HIH berkaitan dengan gangguan pembuluh darah.
Hipertensi arteri, arteriosklerosis serebral, penyakit pembuluh darah kecil tipe
Binswanger, mikroangiopati diebetikum dan umur tua semua berhubungan dengan
HIH-related communicating hydrocephalus. Hal ini merupakan keadaan patologi
dasar yang menyebabkan kerusakan masif dan menurunnya kemungkinan perbaikan12.
Suatu studi hidrodinamika menjelaskan bahwa akuaduktus paten pasien
hidrosefalus komunikan sangat sempit untuk dilalui oleh alirah CSS. ETV
mengurangi peningkatan tekanan sistolik otak dengan mengalirkan CSS ventrikuler
melalui stoma12.
Konsep hidrodinamika baru mengenai hidrosefalus menekankan bahwa
hidrosefalus komunikan disebabkan oleh penurunan komplians intrakranial yang
meningkatkan transmisi tekanan sistolik ke parenkim otak. Peningkatan tekanan
sistolik ini menyebabkan otak mengalami distensi melawan tulang dan secara
simultan menekan region paraventrikular. Akibatnya terjadi pelebaran ventrikel dan

16
penyempitan ruang subarakhnoid. Konsep baru ini membuka peluang bagi ETV
sebagai terapi yang aman dan efektif untuk hidrosefalus komunikan. Umur pasien,
pertimbangan etiologi dan status mental pasien merupakan prediktor penting dalam
hasil akhir dari penangan hidrosefalus komunikan dengan ETV12.
Studi lebih lanjut tentang hidrodinamik diperlukan untuk memperdalam
patofisiologi hidrosefalus komunikan dan studi klinis acak juga diperlukan untuk
membandingkan ETV dengan penggunaan shunt pada terapi hidrosefalus komunikan.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,
sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan
aliran CSS pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem
ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang subaraknoid.
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu
mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus khoroidalis dengan
tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi, akan tetapi hasilnya kurang
memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini antara lain ; diamox
(asetazolamid), isosorbit, manitol, urea, kortikosteroid, diuretik dan fenobarbital,
mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi yakni
menghubungkan ventrikel dengan ruang subaraknoid. Misalnya Torkildsen
ventrikulosisternostomi pada stenosis akuaduktus silvius dan pengeluaran likuor
(CSS) kedalam organ ekstrakranial dengan cara ; ventrikuloperitoneal drainage,
ventrikulopleural drainage, lumboperitoneal drainage, ventrikuloretrostomi,
mengalirkan kedalam antrum mastoid, mengalirkan CSS kedalam vena jugularis
melalui kateter berventil (Hoten-velve) .
Banyak penulis menyarankan endoscopic third ventriculostomy (ETV) sebagai
terapi yang aman dan efektif untuk hidrosefalus obstruktif, tetapi saat ini belum
merupakan pilihan operatif untuk pasien dengan hidrosefalus komunikan.
Berdasarkan penelitian terbaru tentang dinamika hidrosefalus, hidrosefalus
komunikan merupakan suatu kelainan pulsasi intrakranial karena penurunan
compliance yang meningkatkan transmisi tekanan sistolik ke parenkim otak.
Peningkatan tekanan sistolik ini menyebabkan otak mengalami distensi melawan
tulang dan secara simultan menekan region paraventricular. Akibatnya terjadi
pelebaran ventrikel dan penyempitan ruang subarachnoid.
Tujuan dari ETV pada hidrosefalus komunikan adalah untuk meningkatkan
compliance intrakranial, dimana ETV menyebabkan peningkatan aliran sistolik dari

18
ventrikel dan menurunkan tekanan nadi intraventrikuler dan mempersempit ventrikel.
Konsep baru ini membuka peluang bagi ETV sebagai terapi yang aman dan efektif
untuk hidrosefalus komunikan. Umur pasien, pertimbangan etiologi dan status mental
pasien merupakan prediktor penting dalam hasil akhir dari penangan hidrosefalus
komunikan dengan ETV

19
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 1985. Hidrosefalus dalam Kumpulan Kuliah Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, cetakan ke IV, Jakarta. Hal : 874-8
2. Huttenlocher, P.R. 1983. Hydrocephalus in Behrman, R.E. and Vaughan, V.C.
(editor) Nelson : Textbook of Pediatrics, 12th ed, W.B. Saunders, Philadelphia.
3. Harsono. 1994. Masalah Diagnosis Epilepsi, Lab. Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal : 8-11.
4. Piatt, J. H. Jr., and Carlson, C. V. 1993. A Search for Determinants of Cerebrospinal
Fluid Shunt Survival: Retrospective Analysis of a 14 Year Institutional Experience.
Pediatr. Neurosurg, 19:233–242.
5. Andrew H Kaye. 2005. Raised Intracranial Pressure and Hydrocephalus in Essential
Neurosurgery, 3rd ed, Australia: Blackwell Publishing Asia Pty Ltd, 3:31-39.
6. Anonim, 1996, Kelainan Neurologi Hidrosefalus dalam Harsono (editor) Buku Ajar
Neurologi Klinis dan Kapita Selekta, Gadjah Mada University Press, Bulaksumur,
Yogyakarta. Hal 45-8.
7. Ngoerah, I. Gst. Ng. Gd., 1991, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf, Airlangga
University Press, Surabaya. Hal : 45-9.
8. Swaiman, K.F., and Wright, F.S. 1975. Hydrocephalus, in Farmer, T.W. (editor)
Practice of Pediatrics Neurology, vol II, C.V Mosby Co., Saint Louis, 11(2) : 111-4.
9. Lott, I. T., Bocian, M., and Leitner, M. 1984 Fetal Hydrocephalus and Ear
Anomalies, J pediatrics. 11 (3) : 173-5
10. Jallo George, Kothbauer Karl F, Abbott Rick. 2005. Endoscopic Third
Ventriculostomy. Neurosurg Focus 19 (6):E11.
11. Hydrocephalus association. 1997. Hydrocephalus, Available:
http//www.hydroassoc.org.html (Accessed: 2011, February 26).
12. Hailong Feng, Guangfu Huang, Haibin Tan, Hong Pu, Yong Cheng, Weidong Liu,
Dongdong Zhao. 2008. Endoscopic Third Ventriculostomy In The Management Of
Communicating Hydrocephalus: A Preliminary Study. J Neurosurg 109:923-30.

20

Anda mungkin juga menyukai