Anda di halaman 1dari 24

KEJUTAN CINTA1

WARNA WARNI KONTESTASI PLURASLISME HUKUM


Oleh M. Rawa El Amady2

Abstrak

1. Pintu Masuk

Pemilihan tema ini berdasarkan pertimbangan bahwa fenomena kawin campur


antar bangsa --dalam hal ini antara perempuan Indonesia dengan lelaki asing--
merupakan salah satu pintu masuk (entry point) yang baik untuk memahami
pluralisme hukum perspektif global3. Aktor pluralisme hukum perspektif global
adalah individu-individu yang memiliki mobilitas lintas antar negara yang cukup
tinggi, seperti profesional expatriate, aktivitis NGO, dan keluarga antar bangsa --
yang melakukan perkawinan campur4 dengan orang asing. (Sulistyowati Irianto,
2007).

Sally E Merry (2005) meletakan pluralisme sebagai interaksi berbagai sistem


hukum, maka interaksi dalam keluarga kawin campur meliputi interaksi antar
pluralisme hukum masing-masing aktor. Pada suami dan isteri melekat beberapa
sistem hukum yang berfusi lalu berinteraksi dengan hukum negara, adat istiadat
dan kebiasaan. Keduanya berinteraksi membangun suatu pluralisme hukum
perspektif global.

Konsepsi pluralisme hukum diatas merupakan implementasi dari konsep


pluralisme hukum yang dikemukakan oleh Franz von Benda-Backmann (Silistyowati
Irianto,2003) sebagai interaksi antar sistem hukum yang beraneka ragam dan yang
saling mempengaruhi pada satu lapangan sosial dan kajian tertentu. Pengertian ini
meletakan individu sebagai subjek pluralisme hukum, satu individu menjadi subjek
lebih dari satu sistem hukum. Definisi ini menurut Benda-Beckmann meletakan
1
Kalimat “Kejutan CInta” diambil dari Judul Resensi Buku Love and Shock yang ditulis oleh Efendi terdapat di
Blogspot.com Efendi Membaca. Mei 2008.
2
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Anita bendahara Srikandi yang memberi kesempatan kepada
saya untuk hadir dan pertemuan Srikandi dan memberi ruang untuk mewawancarai informan dan
mempertemukan saya dengan Ibu Ries, Ibu Amelia dan anggota Srikandi lainnya. Tanpa bantuan Ibu Anita
tulisan ini tidak bisa terlaksana. Terima kasih juga kepada informan yang bersedia menyediakan waktu untuk
penelitian ini.
3
Perlu disadari manusia tidak hanya diatur oleh hukum formal yang dibuat oleh negara, tetapi juga berlaku
hukum-hukum lain seperti hukum adat, kebiasaan, agama, kesepakatan dan hukum hybrid (campuran).
Antara sistem hukum tersebut berkembang berinteraksikan satu sama lain untuk menyesuaikan kompleksitas
yang hadapi masyarakat, yang lebih dikenal dengan pluralisme hukum.
4
Kawin campur pada artikel ini mengacu pada UU NO 1 tahun 1975 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan
antara perempuan Indonesia dengan lelaki asing.

1
proposisi normative dan proposisi kognetif dianut bersama secara universal yang
dalam kenyataannya bisa beragam. Oleh karenanya sistem hukum berkembang
mengikuti dinamika kehidupan manusia.

Meinzen-Dick dan Pradhan (2002) menformulasi pluralisme hukum dari


Merry yang mengambarkan bahwa pada setiap orang menerapkan pluralisme
hukum, sebagai berikut;

Skema 1 : Pluralisme Hukum pada Setiap Invidu

Hukum Adat Lokal dan Norma

internasional

Kesepakatan2
Hukum Agama

Hukum Negara

Figur1 : Satu set paradigma pluralimse hukum aktor diambil dari Ruth S. Meinzen-Dick and
Rajendra Pradhan (2002) yang semula hanya dimaksudkan interaksi antar sistem hukum
saja, lalu saya adaptasi ke pluralisme hukum individu.

Berdasarkan skema diatas, maka seorang individu akan berinteraksi dengan


beberapa pluralisme hukum, khususnya dalam keluarga kawin campur tersebut.
Pertama, berinteraksi dengan suami atau isteri dengan satu tujuan membangun
rumah tangga yang bahagia dan berkelanjutan. Dalam konteks ini interaksi antar
satu set sistem hukum cenderung membentuk hybrib law (2007) dan bisa juga fusi
(Twining, 2005)5.

5
Twining lebih memilih berfusi daripada berinterkasi, berkontestasi atau berkompetitif dengan satu
argument pentingnya bahwa manusia sebagai subjek hukum menjadikan hukum sebagai alat untuk mencapai

2
Kedua, aktor pelaku pluralisme hukum berinteraksi dengan lingkungan
hukum ditempat yang baru dia tinggal. Lingkungan hukum dimaksud adalah
berbagai sistem hukum yang hidup di lokal, agama, negara, internasional, norma
dan kesepakatan yang beradaptasi dilingkungan yang baru tersebut.

Ketiga, interaksi aktor dengan dengan hukum negara yang mengatur hak-
hak warga negara. Satu keluarga akan merumuskan strategi hukum agar
keluarganya bisa bertahan pada satu negara yang mempunyai akibat hukum
karena menikah dengan bangsa lain.

Konsep interaksi antar sistem hukum dirumuskan oleh Moores (1987) secara
jelas, melalui empat kemungkinan, integrasi (integrate) yaitu penggabungan
sebagian hukum negara dan hukum keluarga, inkoorporasi (incoorporate) yaitu
penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum keluarga atau sebaliknya,
konflik (conflict) yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum
negara dan hukum keluarga dimaksud saling bertentangan, dan menghindar
(avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari keberlakukan hukum lain.

Namun satu hal penting yang perlu dicatat bahwa pluralisme hukum
perspektif global ini memposisikan hukum yang bergerak yang melewati batas
negara ini akan berinterkasi pada beberapa sistem hukum dimana aktornya
berdomisili. Oleh karena itu pluralisme hukum dalam keluarga kawin campur itu
sangat kaya dengan berbagai pluralisme hukum karena pergerakan aktornya
tersebut.

Hidup yang selalu bergerak pada keluarga kawin campur antar bangsa ini
membuat plurarisme hukumnya juga bergerak mengikuti pergerakannya. Jika tetap
mempertahankan satu set pluralisme hukumnya saja akan menimbulkan kesulitan
berinteraksi dilingkungan yang baru. Untuk mempertahankan agar pluraslime
hukum pada lingkungan asalnya mereka tetap membangun relasi kepada
lingkungan asal dari pluralisme hukum tersebut.

Salah satu konsekwensi dari pergerakan pelaku kawin campur adalah


sebagaimana ditulisan Schiller (2005) tentang warga negara lintas batas, melalui
konsep warga negara sosial, warga negara kultural dan warga negara
transnasional. Untuk mengambarkan bahwa interaksi antar sistem hukum tersebut
sangat luas dan tidak terbatas. Walaupun penelitian Schiller tidak sama subjek
riset tetapi aktor pelaku kawin campur justeru menerapkan warga negara
transnasional terutama anak-anaknya. Konsep Schiller in bisa membantu
memahami bagaimana interaksi antar pluralisme sistem hukum asal masing-masing
aktor dilaksanakan dalam keluarga mereka terutama terhadap anak-anak.

Selain itu, Schiller juga memperkenalkan praktek kewarganegaraan lintas


batas ini dengan tiga bentuk, yaitu pertama, nasionalisme jarak jauh, dari negara

kesejahteraanya. Oleh sebab itu antar sistem hukum tidak mungkin berkompetitif tetapi berbagai sistem
hukum itu akan saling melengkapi untuk membentuk satu sistem hukum yang sempurna.

3
tempatnya berada memperjuangkan satu cita-cita dan idiologi politik untuk suatu
perubahan yang lebih baik di negaranya. Ketiga, di negara mereka berada, tradisi
bangsa, nasional, lokal dan agama diaktualisasikan secara terbuka yang menjadi
satu tempat menyuarakan nasionalisme. Ketiga, membangun sebuah identitas
baru jaringan internasional yang bersumber dari tempat asalnya. Samia Bano
(2005) memberi contoh pada merujuk kepada sistem hybrid law sebagai
mekanisme penyelesaian masalah perkawinan perempuan Pakistan di Britain.

Tulisan ini menganalisis interaksi pluralisme pada keluarga kawin campur


dengan menggunakan analisis kontestasi. Aktor berkontestasi dengan merumuskan
pilihan strategisnya yang bisa dilakukannya. Pilihan-pilhan resistensi6 dengan
mengikuti sistem hukum suami atau isteri tetapi tetap menjalankan sistem hukum
yang diyakininya benar. Mekanisme penyelesaian ini membuat satu sistem hukum
yang hybrid atau campuran. Asumsinya masing-masing aktor akan berkontestasi,
titik kompromi kontestasi tersebut adalah hybrid law.

2. Masalah Penelitian

Berdasarkan pemaparan interaksi dan proses berlakunya pluralisme hukum


diatas maka penelitian ini mengajukan pertanyaan penelitian;
Pertama, bagaimana proses munculnya hybrid law dalam hubungan-hubungan
perkawinan campur antar bangsa tersebut?
Kedua, bagaimana strategi keluarga kawin campur antar bangsa ini berinteraksi
dengan hukum formal negara Indonesia?
Lingkup penelitian ini dibatasi pada pengalaman pribadi perempuan
Indonesia yang menjalani kawin campur antar bangsa tersebut dan menjadi
informan pada penelitian ini. Meliputi pengalamannya dalam menghadapi tekanan
hukum dan pengalamannya berumah tangga terutama dalam proses adaptasi tata
nilai dan norma antar dua bangsa tersebut. Strategi menghadapai tekanan hukum
formal negara, meliputi pluralisme hukum pada kewarganegaraan anak,
sponsorship suami oleh isteri, kepemilikan harga, aktivitas ekonomi (bisnis).
Penelitian ini baru bisa mencapai tujuannya apabila mampu mengungkapkan
dan memahami berlakunya pluralisme hukum pada keluarga kawin campur pada
dan strategi menghadapi tekanan hukum formal negara. Bukan hanya itu, penelitian
ini akan lebih baik jika mampu mengungkapkan pengalaman dan suara-suara
perempuan dalam pluralisme hukum. Pluralisme hukum perspektif global hendaknya

6
Resistensi yang dimaksud disini adalah masing-masing aktor menuruti keinginan suami atau isteri tertapi
tetap menjalankan apa yang menjadi konsepsinya. Istilah ini meminjam konsep Scott sebagai teknik
perlawanan tanpa kekerasan atau menghindari berkonflik, Scott (2000) Senjata Orang-Orang Kalah: Bentuk-
bentuk Pelawanan sehari-hari Kaum Tani (terjemahan) Jakarta Yayasan Obor.

4
menjadi alat perjuangan perempuan Indonesia melepaskan diri dari pola relasi
kekuasaan yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.

3. Metodologi

Saya memerlukan waktu yang lumayan panjang untuk dapat akses ke


informan. Sejak diisyaratkan agar membuat riset untuk artikel akdemik awal April
2008, penulis langsung mencari informasi melalui internet. Di internet penulis
menjumpai website organisasi Srikandi yang merupakan organisasi ibu-ibu yang
bersuamikan orang asing. Lalu saya membuka kontak melalui E-mail kepada
pengurus Srikandi dan mengirim SMS (Short massage service) ke nomor telepon
genggam yang tertera disitu.

Saya mendapat jawaban via e-mail yang dikirim oleh ibu DT sekretaris
Srikandi menyarankan agar saya kirim kuesioner via e-mail saja karena alasan
kesibukan. E-mail tersebut saya jawab, saya ingin berjumpa langsung, tetapi e-mail
tidak ada balasan lagi. Sementara dari sms saya mendapat jawaban dari Ibu AN
yang memberi nomor telepon genggam ibu MY. Saya mengontak ibu MY, tetapi
beliau menyarankan ke ibu RS dan ibu AM. Sayapun memberanikan diri menelepon
Ibu AN untuk menjelaskan rencana penelitian saya tapi karena dia sedang online
dengan Singapura pembicaraan terhenti.

Sampai seminggu kemudian, Ibu AN menghubungi saya via sms menanyakan


tentang kelanjutan riset saya di Srikandi. Waktu itu saya jawab, sudah ada jawaban
via e-mail dan menyarankan penelitiannya via e-mail saja. Tetapi saya
berkeberatan karena saya harus berjumpa langsung dengan subjek yang saya teliti,
maksud saya agar saya bisa mengunjungi rumah salah satu atau dua orang yang
saya teliti. Lalu Ibu AN menjanjikan untuk mengajak saya hadir dalam pertemuan
mereka. Jalanpun terbuka untuk bertemu dengan para informan.

Senin 21 April 2008, saya mendapt SMS dari Ibu AN lagi yang berisi undangan
untuk menghadiri pertemuan pada 24 april 2008 di wisma Subud, walaupun
pertemuan itu khusus bahas kecantikan. Saya nyatakan ke Ibu AN saya akan hadir.
Lalu saya dapat balasan yang mengembirakan bahwa saya ditunggu kehadirannya.
Sayapun hadir dalam pertemuan perawatan kecantikan bagi perempuan tersebut.

Proses wawancara berjalan unik. Saya dipanggil oleh Ibu DT untuk keluar dari
ruangan tepat ketika dokter kecantikan membahas tentang bagian sensitif tubuh
wanita. Peristiwa tersebut memberi kesan bermakna bagi saya ternyata adat
ketimuran para ibu-ibu ini masih sangat kental walaupun mereka bersuami pria
asing.

Di luar, saya dan ibu DT mulai berdiskusi tentang hubungannya dengan


hukum formal Indonesia yang mengatur para perempuan yang kawin dengan pria
asing. Tetapi diskusi ini menjadi seru, karena Ibu AN yang mengundang saya,
memperkenalkan teman-temannya kepada saya dan membuka diskusi dengan

5
teman-temannya tentang apa yang akan saya lakukan. Saya dikerumini 9 ibu-ibu
dan 6 diantaranya berbicara saling menimpali. Fokus bahasannya tentang UU
kewarganegaraan, UU Pokok Agraria, UU Perkawinan, pengalaman berhubungan
dengan imigrasi yang korup, pengajian agama islam dan pandangan para suami
terhadap penangkapan koruptor oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Untungnya saya membawa alat rekam. sehingga diskusi yang begitu cepat tersebut
bisa saya rekam. Diskusi berjalan cukup lama dari jam 11 sampai jam 13.00 siang.
Lalu masing-masing mereka bubaran.

Dua jam dikerumuni ibu-ibu bersuami pria asing ini, tidak sedikitkan ada
aroma asing yang saya rasakan pada ibu-ibu tersebut. Mereka sangat Indonesia,
bahasa yang dipakaipun tidak pernah menggunakan bahasa Inggeris, atau bergaya
kebarat-baratan.

Di ruang pertemuan, ketua Srikandi ibu AM dan beberapa orang masih


berkonsultasi tentang kecantikan. Saya menunggu dengan sabar untuk bisa
mengobrol dengan Ibu AM ini. Lalu ibu AN mengambil peran agar saya bisa
berdiskusi dengan ibu AM. Sambil berdiskusi tentang kecantikan Ibu AM memberi
waktu kepada saya untuk wawancara. Mulailah saya wawancara dengan Ibu AM
disela-sela konsultasi kecantikan yang sudah akan berkahir. Melalui diskusi dengan
ibu AM ini, pertanyaan penelitian bisa terkuak lebih jelas. Akhirnya dokter kecantikan
pergi yang tinggal saya, ibu AM, Ibu DW dan Ibu NN. Ketiganya bersuamikan pria
Amerika Serikat yang menikah lebih dari 10 tahun dan semuanya menetap di
Indonesia.

Diskusi yang tadinya lebih berbentuk wawancara menjadi diskusi yang


bersifat obrolan melalui penuturan pengalaman masing-masing. Diskusi ini
berlangsung lama mulai dari jam 13.30 sampai jam 5.00 sore. Berpindah dari
ruangan pertemuan ke restoran. Fokus diskusi lebih banyak pengalaman pribadi
tentang penerapan hukum dalam rumah tangga mereka. Namun ketika saya
menawarkan diri untuk berkunjung ke rumah mereka tidak satupun yang bersedia.

Sebelum pulang ibu AN menjanjikan saya untuk berkomunikasi dengan ibu


RS. Tapi belum memberi nomor telepon genggam yang dimaksud. Setelah malam,
ibu AN mengirimkan nomor telepon genggam ibu RS dan menyatakan bahwa Ibu
RS bersedia dikunjungi ke rumah tetapi sekarang dia sedang berada di Malaysia,
seminggu kemudian ibu RS baru bisa dihubungi. Akhir April saya berhasil
menghubungi Ibu RS dan membuat janji untuk bertemu, pada senin 5 Mei 2008 di
rumahnya. Saya disambut dengan bahasa minang, lalu ngobrol di ruang tamu. Saya
melihat rumah Ibu RS sangat Indonesia tidak tersedia dapur kering di ruang
keluarga, sekat-sekat rumah layaknya sebagaimana rumah warga Indonesia.

Tiba waktu makan siang, diskusi berlanjut di meja makan mendiskusikan


pengalamannya berkeluarga dengan pria asing dari Inggeris. Setelah selesai
makan, saya diajak keliling melihat rumahnya, dan saya berjumpa dengan
martuanya dari Inggeris yang sudah pikun dijaga seorang baby syster. Saya

6
meminta ke ibu RS agar diskusinya dilanjutkan keesokan harinya, tapi karena dia
harus keluar kota dan banyak kesibukan lain akhirnya pertemuan hanya terlaksana
satu kali itu saja.
Saya masih sangat ambisi untuk mengunjungi rumah keluarga pelaku kawin
campur antara bangsa ini. Tetapi selain ibu RS, belum ada yang menyatakan
bersedia rumahnya saya kunjungi. Beruntugnya saya bisa komunikasi dengan Ibu
TR yang menjalani bisnis mandiri (multi level marketing – MLM) lalu saya ditawari
untuk mendapat tukar pikiran mengenai bisnisnya dan sayapun diperbolehkan
mengunjungi rumahnya pada awal bulan Mei. Rumah ibu TR memang agak
berbeda dengan kebayakan rumah orang Indonesia, ruang tamu hingga ke dapur,
ruang kerja terbuka dan bisa diakses, dapurnya sangat dekat dengan ruang tamu
yang ternyata memang sangat kering. Sayangnya saya belum penah melihat dapur
kering sebelumnya. Tapi ketika ditanyakan dapur kering ke Ibu TR, dia mengelak
menyebut dapur kering, menurutnya dapur tersebut bersih dengan standar asing.

Semula saya mengajaknya beridiskusi tentang pengalamanya menikah


dengan lelaki asing, tetap dia menolak dan lebih memilih menjelaskan bisnisnya.
Namun saya sangat beruntung karena saya diberi kesempatan untuk melihat
langsung dapur, kamar mandi dan tepat pencuciannya. Dalam persepsi saya, rumah
ibu TR dibangun mengabungkan filosofi barat dan timur, dia sendiri membantah
pendapat saya itu.

Selain mengunjungi rumah dan berdiskusi dengan pelaku kawin campur


tersebut, secara rutin saya juga selalu mencari informasi di internet. Di internet saya
mendapati organisasi PKC Melati yang ternyata lebih aktif dari Srikandi dilihat dari
agenda kerjanya, juga mendapati MC Indo (Mixed Couple Indonesia), organisasi-
oganisasi berdasarkan negara asal suami, organisasi para suami sendiri dan
kelompok Pelangi Antar Bangsa sebuah konsorsium yang berhasil
memperjuangkan dwi kewarganegaraan anak terbatas. Saya mencoba
menghubungi PKC Melati tetapi tidak mendapat balasan dari e-mail yang saya kirim.

Saya juga mencari buku, yang diterbitkan tentang kawin campur antar
bangsa ini walau hampir tidak dijumpai. Saya keperpustakaan pusat UI, ternyata
tersedia beberapa tesis kajian hukum tentang UU Kewarganegaraan yang fokus
membahas perkawinan campur antar bangsa dan tesis studi perempuan yang juga
membahas hal yang sama.

Saya mengakui, bahwa sumber informasi yang saya ambil sangat terbatas
terutama studi kasusnya terhadap pelaku kawin campur. Ini semua selain
disebabkan padat kegiatan para isteri pria asing tersebut yang selalu bergerak ke
luar negeri, juga jadwal kuliah yang juga padat. Walaupun demikian dengan sumber
informasi yang ada laporan ini saya tulis semaksimal mungkin, untuk menyiasati
kekurangan informasi ini draf artikel ini saya kirimkan ke pelaku kawin campur
melalui e-mail untuk mendapat tanggapan mereka. Sayangnya hanya dua orang
yang merespon tulisan saya ini dari 15 orang yang saya kirim.

7
4. Finding : Menumpang di Negeri Sendiri

Berbagai negara menanggapi kawin campur ini secara berbeda, Amerika


Serikat pada awalnya melarang perkawinan campur, terutama atas alasan warna
kulit. Kitano, Fugino, and Sato (Leila Mona Ganiem, 2008) dalam risetnya
menyimpulkan bahwa masalah rasial lebih banyak pada mereka dibandingkan pada
kelompok etnis lain di Amerika. Dulu, hukum yang melarang perkawinan antar ras
orang Asia dan Kaukasia cukup umum di Amerika. Misalnya ditahun 1901,
California memperpanjang Undang-undang Peraturan Perkawinan tahun 1850
dengan memasukkan orang Mongolia (China, Jepang, Korea) dan tahun 1933,
undang-undangnya diperpanjang dengan memasukkan orang Melayu (misalnya
Philipina) Undang-undang tersebut, telah berubah.

UU no 62 tahun 1968 tentang kewarganegaraan Indonesia sebelumnya


secara implisit menghambat perkawinan campur antara perempuan Indonesia
dengan lelaki asing. Pasal-pasal dalam UU tersebut mengurangi hak perempuan
sebagai warga negara untuk kawin dengan orang asing. Implikasi kawin campur
dengan warga negara asing pada UU ini adalah masalah anak yang menjadi warga
negara suami, kepemilikan properti, dan penurunan warisan. Perempuan yang
kawin dengan lelaki asing kehilangan hak-haknya sebagai warga negara. Walaupun
UU tersebut telah diganti dengan UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan,
namun perubahan hanya terjadi pada status anak saja.

Berhadapan dengan undang-undang tersebut perempuan pelaku kawin


campur antar bangsa bagaikan anak tiri dalam satu keluarga kaya. Di rumahnya
sendiri haknya masih dipertanyakan. Jerih payahnya jarang dihargai,
keberhasilannya diragukan. Perempuan yang kawin dengan pria asing, betapaun
menjadi duta budaya, duta bangsa dan memasukan devisa bagi negara tetap saja
dia tidak bisa menikmati hak yang sama dengan lelaki bahkan sesama perempuan
yang menikah dengan lelaki WNI. Pelaku kawin campur sebelum tahun 2006 hanya
mengandung anak warga negara asing. Selain itu, sampai saat ini mereka tetap
tidak bisa mempunyai hak milik properti kalau tanpa surat perjanjian pra nikah, dan
hanya bisa mensponsori suami yang sudah lansia.

Ketika saya menghadiri pertemuan Srikandi ada empat tema besar yang
muncul. Pertama, hak kepemilikan properti. Kedua, sponsorship anak dan suami
pada usia produktif. Ketiga, pandangan negatif sesama warga bangsa terhadap
mereka. Keempat, eksploitasi oknum imigrasi yang korup. Keempat issu tersebut ini
juga menjadi pembahasan pada diskusi-diskusi di internet antar mereka.

“Saya berfikir, negeri ini akan menjadi tempat penampungan bule yang
sudah lansia. Karena kalau tidak lansia kami tidak bisa mensponsori suami kami”

8
Ibu DW menyampaikan itu sambil tertawa kecil lalu disambut oleh ibu AM, “saya
sedih bangat, anak saya mau pulang dan berjumpa mamanya harus bayar visa
sama dengan orang asing. Padahal di luar negeri dia menjadi duta bagi bangsa
Indonesia”

Perkumpulan Aliansi Pelangi antar Bangsa pada siaran pers-nya menyatakan


bahwa lahirnya UU nomor 62 tahun 1958 yang berakibat hilanngya bagi hak-hak
perempuan yang kawin dengan lelaki asing karena kekhawatiran terhadap deklerasi
Mao Zendong yang mengemukan setiap warga Tionghoa di dunia adalah warga
negara Cina. Menurut saya, kekhawatiran dipandang tidak logik karena negara-
negara seperti Amerika Serikat dan Malaysia belum dijumpai ancaman negara oleh
warga negara sendiri yang karena kelahirannya.

Selain itu, kawin campur ini tidaklah semudah dibayangkan. Pelaku kawin
campur ini menghadapi tekanan hukum negara, tekanan sosial dan tekanan
kebudayaan. Pelaku kawin campur akan kehilangan hak kepemilikan properti,
bahkan bisa kehilangan kewarganegaraan dan akses pinjaman ke bank.
(wawancara dengan informan, Mei 2008).

Secara sosial, mereka mengalami persepsi negatif dari warga negara sendiri
dan warga negara asing. Diskusi pelaku kawin campur antara bangsa ini di internet
dengan jelas memaparkan pandangan negatif tersebut, sebagaimana petikan
berikut yang diambil dari salah satu perserta dari 129 perserta diskusi;

“Kita kayaknya kejepit di tengah2 deh 'yen, di negeri sendiri diomongin


baik miring maupun yg positif, disini juga diomongin, kita pernah ngobrol ama
temen si abang tentang Asian women yg married ama Americans, katanya
kebanyakan bule-bule yang mau married ama kita-kita karena kita ini lebih
obedient, lebih gampang diatur dan manut-manut aja, lha kok....dan
sebaliknya asians mau maried ama americans karena mau nyari kehidupan
yang lebih baik dan anggapan mereka tuh kita-kita mau morotin hartanya aja
dgn istilah "dollar goes further to her family", ini juga penghinaan yg yg
hantam kromo, padahal ngga semuanya begitu kan.....” (tangapan Ime
terhadap tulisan Yen, Multiply, blog Sunny Life November 2005)

Kutipan diatas mengambarkan bahwa perkawinan antara perempuan


Indonesia dengan warga negara asing ternyata mengandung demensi relasi
kekuasaan perempuan dan lelaki yang tidak seimbang. Berkembang stereotipe
pada masyarakat umum, terutama dari masyarakat Indonesia yang berpersepsi
negatif terhadap perempuan pelaku kawin campur ini tidak lepas dari dominasi
pemikiran yang bias jender. Perempuan yang berada dibawah kekuasaan lelaki
asing (dalam hal ini bule) atas alasan ekonomi. Begitu juga, sebagian pria asingpun
menikahi perempuan Indonesia karena sifatnya yang penurut dan mudah diatur.
Suatu pemikiran yang sangat bias jender.

9
Tekanan yang berat ini diperkirakan akan memperkaya pluralisme hukum
perspektif global, karena mendorong masing-masing subjek hukum melakukan
kontestasi atau bahkan bergabung menjadi hukum baru tanpa nama. Kontestasi
dengan hukum formal ke dua negara, antara norma, adat-istiadat, kebiasaan yang
hidup pada suami-isteri.

Apakah benar kawin dengan pria bule merupakan tujuan? Srikandi sendiri
didirikan secara eksternalnya untuk menjawab tuduhan dari sesama anak bangsa
atas tuduhan miring seperti itu. “Secara eksternal Srikandi didirikan untuk memberi
gambaran bahwa kami yang menikah dengan bule ini tidak seperti yang mereka
bayangkan” kata Ibu RS saat saya mewawancarainya di rumahnya yang sangat
Indonesia. Semua informan mengakui pernah dilecehkan oleh pejabat imigrasi,
anggota DPRD dan masyarakat umumnya karena bersuamikan pria asing. Apalagi
sudah munculnya sindikat pemburu bule di café, mal dan kelab malam. Ibu RS, Ibu
AN, Ibu DW, Ibu NN dan Ibu AM mengakui adanya sebagian wanita yang
melakukan hal itu. Di internet juga dapat dijumpai kelab-kelab pemburu bule dan
secara perorangan mengiklankan diri ingin bersuami pria asing dari barat.

Ibu FT, Ibu RS, Ibu AM, Ibu NR, Ibu DW, Ibu AN dan Ibu NN menceritakan
bahwa mereka berjumpa suaminya yang pria asing benar-benar diluar kemampuan
mereka alias jodoh yang diberikan Tuhan. Ibu FT dan Ibu AN mencontohkan dia
menjumpa suaminya karena sama-sama satu kantor, begitu juga Ibu NR dan yang
lainnya. Mereka tidak mencari dan tidak berfikir untuk bertemu dengan pria asing
bahkan sudah hampir menikahpun masih bingung dan ragu, menikah atau tidak.
Hartati Nurwijaya (2007) menuliskan bahwa dari enam informan ternyata semuanya
kenal dari ceting (chating) dan sahabat pena. Begitu juga penuturan di website Indo-
MC umumnya perjumpaan mereka melalui ceting (chating) dan wanita karir pada
posisi menengah keatas.

Untuk sampai kepada kesimpulan apakah menikah dengan pria asing


sebagai tujuan atau tidak, langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengetahui
faktor yang mendorong terjadinya pernikahan. Ibu RS, Ibu AN dan Ibu NR, Ibu AM
dan Ibu DW memberi dua contoh, perkawinan wanita Singkawang dengan lelaki
Taiwan merupakan contoh bahwa menikah dengan lelaki asing merupakan tujuan
utama, karena faktor ekonomi keluarga. Itupun yang menetapkan tujuan bukan
sepenuh keinginan gadis yang dinikahkan tetapi lebih kepada tujuan ayah dan
ibunya karena mau perbaikan ekonomi rumah tangga. Selain di Singkawang
menurut Ibu RS lagi dapat dilihat dari perbedaan usia yang mencolok. Lelakinya
sudah 60-an wanita nya masih 20-an dengan pakaian yang menyolok. Selain dari
tiga ciri yang melekat tersebut, menurut Ibu AM dan Ibu RS perkawinan dengan pria
asing sama seperti perkawinan sesama bangsa karena cinta dan jodoh.

10
“Gak banget sama bule karena hartanya, saya kawin sama suami saya sama
dari nol, kita bangun ekonomi bersama” kata ibu DW yang dibenarkan juga Ibu NN
dan Ibu AM. Begitupun Ibu RS, bercerita bahwa dia berjumpa dengan suaminya
masih volunteer di Unicef. Bahkan Dalinda (Hartati, 2007) mengungkapkan bahwa
suaminya hanya menganggur di rumah sementara dia yang bekerja.

Salah seorang pelaku kawin campur yang enggan ditulis inisialnya menjawab
merespon e-mail dari saya sebagai berikut :
“Mengenai 'faktor keuangan'. Memang sekarang saya melihat tidak jarang
orang-orang yang menikah dengan orang asing, hanya mengejar kekayaan,
terutama yang ketemunya di club-club malam atau di jalan.

Mereka selalu melihat bule banyak uang. Padahal belum tentu, karena saya
baru menikah dengan suami, beberapa bulan kemudian suami saya tidak bekerja
karena kontraknya habis. Tapi karena saya juga ketemu dengan suaminya saya
di kantor, walaupun dia tidak bekerja satu kantor dengan saya, dan saya masih
punya pekerjaan, jadi saya anggap wajar saja, kalau saya juga ikut berpartisipasi
dalam membiayai keluarga sampai suami saya bekerja lagi. Tetapi ada beberapa
orang yang tidak suka cara seperti ini dan mereka akhirnya berpisah.

Yang sangat buruk terjadi dan yang membuat istri-isteri orang asing menjadi
tidak percaya dengan wanita Indonesia, karena wanita-wanita di club malam atau
di jalan dengan gencarnya untuk menggaet laki-laki asing tanpa melihat apakah
dia sudah beristri atau belum dan apakah dia bisa berbahasa asing dengan fasih
atau tidak. Hal ini dialami oleh beberapa teman saya yang suami istri orang
asing yang akhirnya salah satu dari mereka suaminya menikah dengan wanita
Indonesia bulan September tahun lalu dan melahirkan anaknya bulan Oktober
tahun lalu juga. Padahal si suami asing itu sudah mempunyai 2 anak laki-laki
dan perempuan 10 tahun dan 7 tahun. Sekarang mereka bercerai dan tinggal di
Australia.”

Alasan ibu tersebut anonim untuk menjaga perasanaan teman-temanya dan


sehingga tetap terbina hubungan yang baik. Saya pikir pilihan yang diambilnya
sangat Indonesia yang tentu saja bertolak belakang dengan budaya barat yang
mengungkapkan secara terbuka.

Sebagai pertimbangan untuk tidak menghukum perempuan Indonesia yang


kawin dengan pria asing baiknya kita ketahui beberapa faktor yang mendorong
terjadinya kawin campur antar bangsa7, yaitu;

Pertama, karena tempat-tempat yang ditinggali oleh suatu kelompok,


sudah tidak dominan lagi. Misalnya orang Arab atau China, dulu ditempatkan
dalam koloni khusus oleh Belanda. Di Jakarta, kita juga dapat temui,
Kampung Ambon, Kampung Makasar, dan lain-lain. Mengingat
77
Tulisan ini dikutif dari tulisan Leila Mona GAniem yang menurutnya sebagai alasan, tetapi saya sependapat
dengannya yang menurut saya bukan alasan tetapi faktor-faktor yang mendorong terjadinya kawin campur.

11
perkembangan penduduk, orang suku atau ras tersebut sudah tidak
memungkinkan lagi tinggal dalam komunitas yang sama. Akibatnya,
kekerabatan menjadi kian longgar. Perkumpulan di antara mereka semakin
membutuhkan energi, biaya dan waktu. Selain itu mereka juga makin kurang
paham budaya aslinya. Mereka bahkan lebih memahami dan bahkan merasa
nyaman dengan budaya setempat. Kepekaan terhadap dimensi-dimensi
tersembunyi/aturan-aturan tak tertulis dalam suatu budaya yang hanya
dipahami oleh anggota budaya tertentu (Hall, 1990) dari budayanya, kian
luntur sehingga mereka merasa bukan bagian dari budayanya. Sangat
mungkin demikian halnya ketika orang Itali tidak lagi tinggal di Itali,
melainkan di Amerika.

Kedua, pendidikan seseorang yang kian tinggi membuat mereka


berpeluang melihat perspektif-perspektif baru. Kesamaan pandangan
menjadi penting, sementara pilihan pada orang beretnis sama dengan
pendidikan setaraf menjadi kian terbatas, terutama bagi kelompok minoritas.
Intensitas kumpul dengan etnis sejenis berkurang. Sementara itu kelompok
profesional atau kesibukan dalam kelompok terdekatnya lebih menyita
perhatian, potensi untuk memperoleh pasangan yang sepemikiran akan kian
mudah.

Ketiga, budaya patriarki, bisa jadi membuat perempuan yang ingin


mengaktualisasikan dirinya dimasyarakat, melihat potensi masalah budaya
bila bersuamikan laki-laki dari budaya yang dengan tegas menujukan
aktifitas domestik ketimbang publik, pada perempuan.

Keempat, tipe keluarga pluralistik (mengacu pada pendapat Mary


Anne Fitzpatrick, dalam Littlejohn 2005) juga dapat memberikan peluang
perkawinan campuran. Keluarga bertipe pluralis, tidak merasa perlu
mengontrol anak. Keputusan mereka dievaluasi berdasarkan kebaikan.
Orang tua yang pluralistik cenderung bersifat independen dan bahkan tidak
konvensional dalam pandangannya tentang perkawinan. Ketika anak
memiliki calon bukan dari etnisnya dan dapat meyakinkan orang tuanya
bahwa ini pilihan terbaik, orang tua pluralis cenderung dapat menerima.

Kelima, figur yang diidolakan seperti ayah, ibu, atau kerabat dekatnya,
tidak mencerminkan contoh pribadi yang diharapkannya. Misalnya figur
penting tersebut melakukan kekerasan fisik maupun psikis, atau tidak
berperilaku seperti yang dikatakannya. Beberapa rekan menyatakan alasan
memilih pasangan bukan dari etnisnya karena orang tuanya tidak
memberikan contoh yang menurutnya baik.

Keenam, faktor ekonomi. Fenomena ini tampaknya lebih kuat terjadi


pada kaum perempuan. Misalnya, perempuan yang memilih pasangan
bukan dari etnisnya karena diantara calon yang tersedia saat itu, calon

12
pasangan bukan seetnis, lebih berprospek secara ekonomis bagi
kehidupannya kelak dibandingkan calon pasangan satu etnis.

Ketujuh, adanya kesepakatan kolektif dibudaya tertentu untuk


memberikan kelonggaran bagi pria untuk kawin dengan etnis lain. Misalnya
pada orang Arab, meski ada keinginan kuat pada keluarga memiliki menantu
orang Arab, namun tentangan terhadap calon menantu wanita non-Arab
tidak setinggi pada calon menantu pria non-Arab. (Dr Leila Mona Ganiem,
2008)

Faktor – faktor diatas diperkuat dengan alasan pribadi mengapa umumnya mereka
memilih pria asing menjadi suaminya. Mulai dari alsan sederhana karena ingin
memperbaiki keturunan, alasan kesetaraan karena pria asing sangat menyanjung
tinggi kesetaraan, sangat menghormati perempuan dan ikut terlibat pada pekerjaan
rumah hingga ke alasan romatisme karena pria asing lebih romantis dari pria
Indonesia. Pengalaman Ibu RS, suaminya justeru lebih sangat Indonesia dalam
rumah tangga. Begitu juga pengalaman DW Irwanita, Fifi Martini DW, Vanesa HW
(Web Indo-MC) merasakan tidak berbeda dengan kebiasaan lelaki di Indonesia.

4.1. Hybrid Law : Semuanya demi Cinta

Terlepas dari alasan-asalan memilih menikah dengan pria asing diatas, ketika
pasangan kawin campur memutuskan menikah menuju satu titik temu bahwa
mereka harus tunduk kepada kondisi objektif yang sedang berlaku. Oleh sebab itu,
jika perkawinan dilaksanakan di Indonesia maka akan mendorong dominannya
berlaku pluralisme hukum isteri. Beberapa fakta pluralisme hukum perspektif global
yang mencerminkan berlakunya hybrid law dapat terlihat berikut:

Pertama, agama. Belum diperoleh informasi adanya isteri mengikuti agama


suami. Dari semua informan yang wawancarai, hasil pencarian di internet dan
berbegai informasi lainnya selalunya suami pindah ke agama isteri. Ini syarat mutlak
bagi pria asing yang akan menikah perempuan muslim harus pindah ke agama
Islam. Ibu AM mengutarakan bahwa suaminya menjadi Islam sejak awal pacaran,
begitu juga ibu DW dan Ibu RS setahun sebelum menikah harus masuk Islam dan
melakukan sunatan sebagaiana mana yang diharuskan Islam. Namun Ibu RS
memberi ruang kepada suaminya untuk melaksanakan natal secara terbatas dan
perayaan paskah (petandan berlakunya hybrid law);

“Bagi saya pohon natal dan perayaan paskah saya pandang sebagai tradisi
semata, karena sejak kecil dia selalu merayakan natal dan paskah, lalu ketika
dia minta dirayakan. Saya bilang ok dan saya support karena dimensinya hanya
kebudayaan saja tidak lagi agama. Lagian pula agama itu merupakan urusan
yang sangat peribadi antara manusia dengan yang diatas”

13
Hal ini juga berlaku bagi yang beragama Hindu dan Budha dimana suami
dipastikan berpindah agama isterinya, sebagaimana yang dialami Sekar (Hartati
2007) yang beragama Hindu yang berasal dari Bali. Namun kondisi itu tidak berlaku
bagi yang beragama Kristen karena umumnya mereka satu agama.
Agama menjadi penting ketika pasangan ingin mendapatkan restu dari
keluarga. Sesuai dengan kebiasaan yang berkembang di Indonesia restu dari ayah
dan ibu akan menghadapi kesulitan jika berbeda agama. Informan yang
diwawancarai mendapat dukungan dari ayah dan ibunya karena calon suaminya
telah memeluk agama yang dianut calon isterinya.

Kesadaran untuk memilih pluralisme hukum isteri kadang justeru hanya


bersifat strategis untuk memuluskan terlaksananya pernikahan atau merupakan
bentuk dari hybrid law karena suaminya tetap pada keyakinannya dan mengikuti
agama isteri hanya sebagai pilihan strategis saja. Dalam kasus ibu RS, jelas sekali
bahwa suami dan isteri memperlakukan hybrid law. Proses pernikahan sesuai
dengan ketentuan UU No 1 tahun 1975 tentang perkawinan, yaitu menikah dulu
secara agama kemudian dilakukan pencatatan sipil baru setelah itu dilaporkan ke
kedutaan.

Kedua, bahasa. Pada keluarga kawin campur antara bangsa ini berlaku lebih
dari satu bahasa. Komunikasi suami – isteri menggunakan bahasa Inggeris sebagai
bahasa utama. Jika suami berasal bahasa ibu yang bukan bahasa Inggeris, maka si
isteri belajar bahasa ibunya melalui kursus atau praktis sehari-hari. Dalam kasus
Sekar (2007) yang bersuamikan orang Italia yang harus belajar bahasa Italia dan
bahasa Jerman karena ibu mertuanya dari Jerman. Bagi yang bahasa ibu suaminya
bahasa Inggeris maka si isteri harus mahir berbahasa Inggeris.

Pola komunikasi ke anak juga berbeda, anak biasanya mempunyai


kemampuan dwi bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa ayahnya. Hal ini disebabkan
pada keluarga kawin campur antar bangsa ini, jika berkumunikasi dengan ibu
menggunakan bahasa Indonesia, berkomunikasi dengan ayah menggunakan
bahasa Inggeris. Bahkan perempuan Indonesia yang tinggal dinegara suaminyapun
tetap menerapkan bahasa Indonesia ke anak-anaknya.

Ketiga, pola makan. Secara tegas Ibu AM mengemukakan bahwa kunci


keharmonisan rumah tangga dengan bule adalah belajar memasak masakan
mereka. Suami tentu sangat tidak terbiasa makan masakan Indonesia. Pernyataan
ini bermakna bahwa perempuan yang menikah dengan bule harus berkompromi
dalam hal memasak. Ibu AM, DW, yang menikah sudah lebih dari 30 tahun belum
mampu secara total merubah selera makan suami, Ibu NR yang sudah 18 tahun
menikah memasak masakan Indonesia seminggu sekali, terutama sayur asam.
Namun demikian kepada anak-anak mereka para ibu ini selalu memperkenalkan
masakan Indonesia. Berbeda dengan ibu RS yang ketika saya makan dirumahnya
yang dihidangkan adalah masakan padang dan menurutnya suaminya sudah
terbiasa dengan masakan tersebut.

14
Keempat, pengaturan rumah. Pengaturan rumah harus memenuhi standar
kebersihan suami. Tiga titik utama yang menjadi syarat utama dari suami adalah
dapur , kamar mandi di kamar tidur yang kering, dan WC duduk yang juga harus
kering. Ibu AM, NN, DW mengemukan perlu waktu untuk beradaptasi dengan tiga
persyaratan tersebut. Namun demikian merasa sangat beruntung karena sangat
positif untuk kesehatan. Dapur kering menjadi pembicaraan paling dominan para
ibu-ibu ini karena kebiasaan para suami yang juga memasak di dapur. Ketika saya
berkunjung ke rumah ibu RS dan TR nuansa kebersihan tersebut sangat dominan,
sedikitpun tidak terlihat debu, kain lap di dapur bisa dicium karena bersih. Bagi ibu
RS, suaminya hanya mengsyaratkan kamar mandi kering dan wc kering saja.
Masalah dapur kering tidak lagi menjadi perhatian bagi suaminya.

Kelima, arisan. Bagi pria bule arisan tersebut sebuah tanda tanya besar. Ibu
NN, AM, DW menjelaskan pada mulanya para suami sangat kebingungan dengan
aktivitas arisan ini. Namun karena pria asing egaliter mereka bisa menerima aktivitas
tersebut. Para ibu-ibu yang kawin campur ini tidak bisa pula menghentikan
kebiasaan arisan ini. Menurut ibu DW, arisan ini merupakan santapan rohani bagi
ibu-ibu. Ibu NN sering mendapat pertanyaan suaminya tentang arisan namun
suaminya tidak melarang.

Keenam, pendidikan anak. Para informan memandang dua hal yang berbeda
dalam pendidikan anak, yaitu pertama, pendidikan agama dan tata krama. Kedua,
pendidikan ilmu pengetahuan. Pendidikan agama dan tata krama dimonopoli para
isteri, pertimbangannya kebudayaan barat kurang mendukung anak-anaknya untuk
beragama dengan baik dan memiliki tata krama Indonesia. Oleh sebab itu, ruang
pendidikan agama, dan tata krama timur tidak diberi peluang pada suaminya. Dari
segi ilmu pengetahuan semuanya diserahkan ke suaminya. Suaminya yang
menentukan anaknya sekolah dimana. Ibu DW bahkan membuat kesepakatan
kepada suaminya bahwa urusan agama dan tata krama menjadi tangung
jawabnya. Umumnya anak-anak kawin campur ini sekolah disekolah favorit di
tingkat sekolah dasar, dan setelah itu sekolah di Jakarta Internasional School (JIS)
sekolah bergensi yang terkenal mahal dan kualitas bagus. Melihat ekspresi para
informan menutuskan bahwa anak-anaknya harus sekolah di JIS mengisyaratkan
status sosial tertentu.

Ibu AN mengemukan tentang pilihan menyekolahkan anak-anak mereka


sebagaimana kutipan berikut:

“Mengenai sekolah anak, anak saya tidak sekolah disekolah International. Dulu
dia pernah di Australian International School, tetapi saya pindahkan ke Al Izhar
Pondok Labu (Yayasannya Bustanil Arifin).

Ada sebagian istri-istri bule yang mencibir karena anak saya masuk ke sekolah
islam, tetapi Alhamdulillah suami saya tidak ada masalah. Istri-isteri bule yang
lain merasa bangga kalau bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah
International seperti Jakarta International School (American), British

15
International School, Australian International School, Singapore International
School. Tetapi ada kalanya tidak semua perusahaan mau membayarkan uang
sekolah yang mencapai US$ 20.000 se tahun untuk satu anak di sekolah
International. Ada teman saya yang akhirnya memilih suaminya berhenti
bekerja dan pindah ke Inggris, agar anaknya bisa sekolah gratis di Inggris,
tetapi suaminya kesulitan untuk mendapat kerja secara mendadak, karena anak
mereka 3. Dan mereka tidak mau memasukkan anak-anaknya ke sekolah lokal
karena takut dengan pelajarannya yang banyak.”

Ternyata pilihan memasukan ke sekolah internasional bukan saja karena


faktor status sosial tertentu, tetapi juga karena persoalan kurikulum yang ada di
Indonesia yang sangat banyak mata pelajarannya. Memang umumnya sekolah
pilihan keluarga kawin campur ini adalah sekolah Islam internasional, seperti Al
Azhar.

Diluar pendidikan agama, tata krama dan ilmu pengetahuan, keluarga kawin
campur menerapkan pola pendidikan moderen di rumah mereka. Perinsip-perinsip
egaliter, rasional, kesetaraan, hemat, menghormati orang lain, sadar hak-hak sipil
yang diperkenalkan suami ke anak-anaknya. Ibu NN membandingkan anak-anak
Indonesia dengan anak-anak kawin campuran yang sekolah di JIS, berbelanja
seperlunya dikantin, sementara anak-anak Indonesia menghabur-hamburkan uang
di kantin sekolah. Antara suami dan isteri tidak berbeda pendapat dalam keputusan
terhadap anak, dan selalu berdiskusi sebelum diputuskan. Coba simak penuturan
ibu NN berikut:

“Anak saya minta izin ke saya mau ke satu tempat, lalu tanpa persetujuan
suami langsung saya setujui, kemudian ketika mau berangkat dia minta izin ke
bapaknya, terus bapaknya tanya ibu setuju gak? Dijawab setuju. Karena saya
setuju diapun menyutujui dan meminta kepada saya agar keputusan saya
tidak di rubah walaupun suami saya tidak setuju”

Pola ini tentu sangat menguntungkan bagi pendidikan anak karena tidak bingung
oleh perbedaan pendapat kedua ayah ibunya. Tentu saja pola yang diterapkan
diatas merupakan bentuk dari hybrid law di bidang pendidikan anak.

Ketujuh, ikut suami. Filosofi wanita timur sangat kental pada informan. Semua
informan mengikuti kemana suami berpindah. Bahkan para isteri rela berhenti dari
karir yang sudah dirintis sedemikian rupa demi mengikuti kemana suami pergi. Bagi
informan nilai lebih yang mereka miliki sehingga tidak mengganggu suami dalam
mengambil keputusan. Suami sadar betul setiap keputusan penting menyangkut
karir dan bisnisnya akan didukung oleh isteri. Hartati (2007) dalam bukunya
Perkawinan Antarbangsa Love and Shock, menceritakan perempuan Indonesia
harus meninggalkan puncak karirnya karena harus mengikuti suami dan lebih
banyak dari mereka hanya menjadi ibu rumah tangga saja.

16
Ketujuh fakta pluralisme hukum perspektif global pada level keluarga ini
menunjukkan bagaimana antara hukum tersebut berkonstestasi dalam arena rumah
tangga. Sesuai dengan kodradnya perempuan Idonesia lebih mengutamakan suami
dalam semua hal sehingga pluralisme hukum suami yang lebih dominan.

4.2. Strategi Berinteraksi

Cinta membuat repot, memang benar. Begitu yang dialami oleh perempuan
Indonesia yang menikah dengan lelaki asing. Betapa tidak akibat cinta lalu menikah
dan mempunyai anak hasil dari buah cinta harus repot menghadapi perlakuan UU
Kewarganegaraan, dan UU Agraria. Akibat cinta, perempuan hanya berhak
mengandung tatapi tidak berhak terhadap anak. Akibat cinta perempuan hilang hak
untuk memiliki propertinya. Akibat cinta kesulitan mewariskan hartanya ke anak-
anaknya. Akibat cinta kesulitan untuk meminjam uang di bank untuk berbisnis.

Sebelum berlakunya UU no 12 tahun 2006, hak-hak perempuan Indonesia


yang menikah dengan lelaki asing dibatasi oleh UU no 62 tahun 1958. Pasal 8 ayat
(1) menyatakan bahwa perempuan yang kawin campur antar bangsa akan
kehilangan hak kewarganegaan atas keturunannya. Akibat kewarganegraan diakui
sebagai warga negara asing meletakan posisi perempuan dibawah dominasi lelaki.
Kewarganegaraan diakui berdasarkan keturunan bapak, perempuan diletakan
sebagai warga negara kelas dua. Perlakuan ini jelas sangat bias jender8

Status kewarganegaraan kelas dua ini tidak hanya pada anak tetapi juga
hak-hak sebagai warga negara dan hak untuk mendapatkan keluarga yang bahagia.
Nuning Suliasih Purwaningrum (2006) dan Andriani Junarwati, (2007) pada tesis
magister mereka memaparkan hilangnnya hak sebagai warga negara dan hak
berkuarga, yaitu;

Pertama, larangan kepemilikan properti di Indonesia, sebagaimana diatur


undang-undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960, pasal 21 ayat 2, yang
mengisyaratkan perempuan warga negara Indonesia yang menikah dengan warga
asing tidak dapat memiliki tanah dengan sertifikat hak milik, kecuali membuat
perjanjian pisah harta sebelum menikah. Begitupun harta tersebut bisa diwariskan
kepada suami dan anak-anak warga negara asing dala jangka waktu satu tahun,
suami dan anak harus mengalihkan kepemilikan harta tersebut. Jika masa satu
tahun tidak dipenuhi harta tersebut diambil oleh negara. Boleh membeli harta
dengan status hak pakai dengan jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang
selama untuk keperluan tertentu.

Kedua, terbatasnya akses terhadap fasiltias keuangan. Perempuan


bersuamikan pria asing tidak bisa menggunakan fasilitas jasa keuangan untuk
mendapatkan kridit rumah, atau kridit kendaraan apalagi kriditi usaha. Alasan utama

8
Pernyataan ini sudah menjadi pernyataan umum selalu dijumpai pernytaan seperti itu bila membahas UU
no 62 tahun 1958 tentan Kewarganegaraan tersebut.

17
pihak perbankan adalah kekhawatiran suami isteri tersebut akan meninggalkan
Indonesia dan meninggalkan tanggung jawab hutangnya.

Ketiga, sering terjadi kehilangan hak asuh anak setelah terjadi perceraian.
Perceraian di Indonesia maupun diluar negeri sering sekali anak diserahkan kepada
ayah karena dianggap mempunyai kemampuan finansial lebih baik untuk pendidikan
dan kebutuhan anak-anaknya. Hal ini tentu saja menghilang hak ibu untuk bersama
anak-anak kandungnya, karena anak yang dibawa suami ke negaranya akan
menyulitkan ibu berjumpa pada anaknya.

Keempat, kehilangan kewarganegaraan terhadap anak. Ini terjadi pada satu


keluarga yang bersuamikan kebangsaan Inggeris. Ketika itu anaknya didaftarkan
sebagai warga Inggris tetapi dengan alasan undang-undang juga Inggris menolak
status tersebut, maka jadi anak tersebut tanpa kewarganegaraan.

Kelima, rumitnya mendapat izin tinggal bagi anak dan suami usia produktif.
Isteri tidak dapat mensponsori anak dan suami yang yang berada pada usia
produktif. Isteri hanya bisa mensponsori visa sosial yang hanya berlaku tiga bulan.
Hanya perusahaan tempat dia bekerja yang boleh mensponsori suami atau
anaknya. Jadi untuk tinggal di Indonesia mereka harus mempunyai pekerjaan. Jika
suami atau anak yang memasuki usia kerja tetapi tidak bekerja hanya bisa tinggal di
Indonesia dengan visa sosial selama tiga bulan, setelah itu diperpanjang, kemudian
harus keluar negeri lagi agar dapat visa sosial tiga bulan lagi.

Perlakuan ini juga terjadi kepada anak-anak yang baru lahir karena lupa
mendaftarkan anak ke imigrasi dan belum tahu bagaimana mensponsori anaknya.
Maka banyak terjadi orang tua didenda puluhan ribu dolar, anak di deportasi dan
kadang dipenjara karena dituduh melindungi orang asing. Kondisi ini diperburuk lagi
dengan prilaku korup dari oknum imigrasi, yang kadang-kadang mencari kesalahan
perempuan yang bersuami pria asing tersebut. Perlakuan ini tentu saja melanggar
haknya sebagai warga negara untuk berkumpul dengan suami dan anak-anak.

Namun demikian setelah berlakunya UU Kewarganegaraan No 12 tahun


2006, status anak memiliki kewarganegaraan ganda. Jadi implikasi anak sebagai
WNA tidak dijumpai. Hanya undang-undang ini tidak diikuti perubahan status
hukumnya pada UU Angraria, sehingga tetap tidak bisa memiliki properti dan
kemudahan kredit di perbankan.

Untuk merebut hak-hak tersebut maka diperlukan pluralisme hukum


perspektif global sehingga interaksi antar hukum dari pelaku kawin campur dengan
hukum formal negara memberi dampak positif bagi perempuan Indonesia yang
mendapat jodoh dari pria asing.

Pertama, UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 merupakan produk dari


dari pluralisme hukum perspektif global. Motor dari gerakan perubahan tersebut
adalah konsorsium Pelangi Antar Bangsa, yang isinya berasal dari para isteri yang

18
kawin dengan pria asing khususnya KPC Melati dan NGO feminis LBH Apik. Ibu RS
dan ibu AM menyatakan mereka berjuang untuk mendapat status kewarganegaan
ganda ini sampai enam tahun lamanya. Walaupun hasilnya belum memenuhi
keinginan mereka agar anak mendapat kewarganegaraan ganda selamanya,
namun mereka cukup puas atas hasil yang ada. Perempuan pelaku kawin campur
antar bangsa di Indonesia ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
perubahan undang-undang kewarganegaraan Indonesia dari UU no 62 tahun 1958
menjadi UU no 12 tahun 2006. Pengaruh yang cukup penting adalah perubahan
status anak dari warga negara asing menjadi memiliki dua warga negara sampai
umur 18 tahun

Saya melihat UU ini merupakan fusi daripada pluralisme hukum global


dengan UU formal, yang berinterkasi dan berfusi9 menjadi UU formal baru penganti
UU lama yang merugikan hak-hak aktor pluralisme global ini. Isu yang
diperjuangankan adalah hak anak kawin campur antar bangsa dan isu bias jender
dalam kewarganegaraan. Jadi UU no 12 tahun 2006 ini merupakan bukti konkrit
bahwa pluralisme hukum ada dan berpengaruh.

Kedua, mengaku single. Sebelum UU no 12 tahun 2006 berlaku untuk


menghadapi tekanan hukum pada perempuan dan anak-anaknya mengaku belum
menikah (single) melupakan pintu untuk keluarga dari masalah kewarganegaraan
anak dan hak kepemilikan properti. Mengaku single ini dilalui dua cara, yaitu 1), jika
menikah di Indonesia maka dilakukan menikah dibawah tangan khusus untuk yang
beragama Islam dan pernikahannya tidak dilaporkan ke negara, setelah itu
mencatatkan penikahannya di negara suami. 2), menikah di negara suami tetapi
tidak dilaporkan ke negara Indonesia. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan
tersebut adalah “Anak Diluar Nikah” dalam Akte Lahir sehingga anaknya otomatis
menjadi WNI, tetapi terpisahkan statusnya dari ayah WNA. Cara ini dipromiskan
oleh para pengacara di Indonesia dan oleh perkumpulan Indo-MC yang secara
terbuka member informasi melalui webnya.

Keuntungan mengaku single baik di KTP maupun kartu keluarga ini, 1) anak yang
dilahirkan menjadi otomatis menjadi warga negara Indonesia, karena anak diluar
nikah. Terutama bagi yang tinggal di Indonesia tidak ada masalah dengan anak,
karena haknya sebagai warga negara Indonesia, termasuk bisa sekolah di sekolah
negeri.

Selain, mengaku single untuk anak-anak ini, juga ada sebagaimana


dituturkan AN bahwa ada yang membuat nama suaminya dengan nama Islam di
surat nikah, jadi waktu membuat akte lahir, dia memakai nama islamnya, sehingga

9
Saya lebih cenderung memakai istilah Twining yaitu berfusi daripada hybrid karena UU yang dimaksud
secara maksimal mewakili kepentingan kedua undang-undang yang berinterkasi, yang saling melengkapi
untuk membentuk satu sistem hukum yang sempurna. Walaupun pada dasarnya merupakan bentuk lain dari
hybrid law

19
dia tidak dianggap orang asing dan diabuatkan paspor Indonesia, sebenarnya tidak
benar, tetapi itulah karena dia takut hak asuhnya diambil bapaknya.

2), bisa dengan bebas memiliki properti secara sah karena “belum” bersuami,
jadi tidak ada akibat hukum. Kepemilikkan properti dengan status Sertifikat Hak
Milik (SHM) supaya Nilai Investasinya tetap tinggi, bisa menjadi tuan tanah, ini
memudahkan untuk rasa keamanan dalam berinvestasi dari segi hukum Agraria
yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Agar bisa
membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (APPJB) lunas. Bahkan Ibu AN, NR
secara tegas mengungkapkan bahwa mereka membeli tanah denan statusnya di
kartu penduduk (KTP) masih single. Ini mereka lakukan hanya untuk membeli tanah
saja, tetapi tidak untuk yang lain. Walaupun bagi ibu AN dan NR sangat menyadari
akibat hukumnya tidak bisa mewariskan ke anaknya kelak.
3), bisa buka usaha sendiri yang sah dan mandiri di Indonesia, punya
perusahaan sendiri, punya saham sendiri di perusahaan keluarga atau patner
bisnis. Melalui perusahaannya tersebut dia bisa mensponsori izin tinggal suami
sebagai pekerja di perusahaanya.

4), bisa dengan mudah pulang ke Indonesia membawa anak dan bisa
dengan nyaman pengsiun di Indonesia dengan pelayanan dari suster dan
pembantu dan bisa berkumpul dengan keluarga besar.

Hanya saja implikasi negatifnya keluarga yang dibangun tanpa melaporkan


ke negara tidak mendapat perlindungan hukum jika terjadi sesuatu yang akan
merugikan dirinya.

Ketiga, atas nama. Perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing
memakai nama saudara, ibu, dan ayahnya untuk membeli properti dan berbisnis.
Ibu AM misalnya memakai nama saudara perempuannya untuk membeli rumah
melalui perjanjian bahwa transaksi tersebut hanyalah atas nama dan hak milik
adalah AM. Hal ini terpaksa dilakukan karena tidak memiliki surat perjanjian
pemisahan harta sebelum menikah. Sedangkan untuk berbisnis, isteri juga
melibatkan ibu dan saudara perempuannya untuk membuat perusahaan
keluarganya. Pembiayaan perusahaan dan tenaga pengelolaannya adalah suami
yang juga berguna untuk menjadi perusahaan sponsor izin tinggal di Indonesia.

Ibu DW dan Ibu AM, dengan tegas mengatakan bahwa umumnya – tanpa
mau menyebut dirinya—isteri menjadi petunjuk jalan bagi bisnis suami di Indonesia.
Perusahaan boleh atas keluarga, tetapi yang menjalankannya tetap suami. Untuk
turun lapangan survey harga dan pemasaran dilakukan para isteri karena akan
lebih mudah dan lebih murah. Hal serupa juga terjadi pada suami yang sudah lanjut
usia dalam hal ini diatas 60 tahun. Menurut UU para suami dilarang bekerja, maka
yang memiliki pekerjaan isteri, suami secara formal tidak mempunyai pekerjaan
hanya membantu isteri.

20
Keempat, tinggal diluar negeri. Untuk menghindari tekanan UU tersebut dan
repotnya berurusan dengan imigrasi, diluar expatriate di Indonesia perempuan
Indonesia cenderung memilih tinggal di negara suami. Alasan utamanya memang
tidak direpotkan pada urusan visa anak dan suami, apalagi di negara suami
memberi kemudahan bagi dirinya. Setelah masa pensiun baru mereka cenderung
pulang ke Indonesia dengan alasan lebih nyaman di Indonesia.

Melihat data diatas yang dihubungkan dengan teori pluralisme huku


perspektif global bahwa pola interaksi antar pluralisme hukum menuju kontestasi
pluralisme hukum antar aktor. Akibat kontestasi tersebut yang terjadi adalah
terjadinya hybrid law dalam berinteraksi dengan hukum negara. Strategi yang
diambil diambil adalah dengan berfusi yaitu melengkapi atau memperbaiki UU yang
tidak adil menjadi UU yang lebih adil. UU no 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegraan merupakan produk dari interaksi pluralisme hukum global yang
berfusi dengan hukum formal. Fusi dalam hal ini maksudnya negara mengambil
hukum dari pelaku pluralisme hukum perspektif global untuk dijadikan hukum formal
negara. Bahkan KPC Melati masih melakukan advokasi agar dirubah pasal 26 ayat
2 UU No 12 tahun 2006 tentang hilangnya hak kewarganegaraan isteri jika UU di
negara suami mengharuskan demikian.

Selain hybrid law dalam bentuk berfusi dalam menghadapi hukum formal,
pelaku pluralisme hukum global menyetujui pilihan hybrid law dengan menghindar
(avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari keberlakukan hukum lain
(Moores, 2005). Ini ditunjukkan melalui pengajuran oleh para pengacara dan
pengurus organisasi kawin campur antar bangsa ini untuk menghindar dari hukum
formal. Plihan KTP single, transaksi atas nama orang lain, kegiatan bisnis atas
nama orang lain dan memilih tinggal diluar negeri merupakan bentuk konkrit dari
proses penghidaran tersebut.

Namun banyak juga, bagi pelaku kawin campur antar bangsa ini yang suami
merupakan expatriate memilih patuh kepada hukum formal dan melihat anak-anak
nya menjadi warga asing sebagai keberuntungan karena bisa sekolah di negara
ayahnya dengan biaya murah. Ibu NR secara tegas menolak anaknya menjadi WNI
karena akan menyulitkan anaknya, baik ketika usia sekolah maupun ketika bekerja
karena penghargaan gaji lebih tinggi jika dia warga asing. Apalagi bagi yang
mempunyai surat perjanjian pra nikah, seperti ibu DW dia sendiri hampir tidak
menghadapai masalah dengan UU keimigrasian yang ada.

Sementara itu, interaksi pada pluralisme hukum antara suami dan isteri
benar-benar terjadi kontestasi antara pluralisme hukum suami dan isteri yang
menuju kepada hybrid law yang tidak dibuat dibaut secara terbuka. Dalam hal
agama, terutama agama Islam, suami tidak ada pilihan lain selain mengikuti agama
isteri, namun suami tetap menjalakan konsepsinya sendiri. Kontestasi ini berlanjut
kepada anak, dimana isteri memberi perhatian lebih pada masalah agama dan tata
krama didukung oleh sikap kepedulian sosial yang diajarkan oelh suami. Di luar
agama dan pendidikan agama anak, pluralisme hukum suamilah yang lebih

21
berlaku, namun peran isteri juga sangat besar dalam menentukan dimana anak-
anak bersekolah. Kondisi ini menyebabkan pilihan hybrid law menjadi semakin
penting.

Kesimpulan : Sebuah Refleksi

Lesson learned yang dapat peroleh dari tulisan ini adalah pendekatan multi-
sited dalam kajian pluralisme hukum perspektif global mampu memberi informasi
lebih jelas mengungkapkan interaksi pluralisme hukum global tersebut. Bahkan
pada UU no12 tahun 2006 pengaruh pluralisme perfektif global baru bisa dipahami
jika menggunakan pendekatan multi-sited etnografi. Ini menunjukkan betapa
pentingnya pendekatan multi-sited dalam studi pluralisme hukum.
Tulisan ini juga mengajarkan kita bahwa hukum yang sebenarnya adalah
hukum yang hidup bersama subjeknya. Sebab hukum yang ada dalam kitab dan
UU pada satu periode tertentu akan merugikan masyarakat. Contoh konkrit adalah
UU no 62 tahun 1958 tentang kewarganegraan yang menyebabkan hilangnya hak-
hak perempuan karena pernikahan. Karena ketertinggalan hukum tersebut subjek
pluralisme hukum berhak menentukan pilihan interaksi dengan menghindar dari
hukum formal yang ada. Walaupun dalam beberapa hal tetap patuh dengan strategi
tertentu dan bahkan berfusi dimana pluralisme hukum global melengkapi hukum
formal dengan merumuskan hukum formal yang baru. Ini berarti aktor pluralisme
hukum merupakan subjek hukum yang sangat berperanan dalam perkembangan
pluralisme hukum dan hukum formal sekalipun.
Negara perlu mengakomodir hak-hak perempuan yang sejajar dengan laki-
laki terutama dalam hal kepemilikan pribadi secara terbatas untuk properti, dan
penggunaan fasiltias perbankan. Mengingat perjanjian pra nikah juga mempunyai
implikasi negatif pada perempuan Indonesia jika terjadi perceraian. Saya
menyarankan batas maksimal properti yang boleh dimiliki oleh perempuan yang
menikah dengan asing ini. Perubahan ini tidak akan terjadi jika pelaku kawin
campur antar bangsa ini tidak mengartikulasikan haknya dalam perubahan undang-
undang aggraria tersebut.

22
DAFTAR BACAAN

Berman, Paul Schiff (2007) Global Legal Pluralism, http://lsr.nellco.org/ uconn/


ucwps/ apers/71 9/23/2007
Benda-Beckmann F, K. Benda-Beckmann and Anne Griffiths (2005). Mobile People
Mobile Law. Expanding Legal Relations in a Contacting World. USA:
Ashgate.
Fredriksen, Katja Jansen, (2007) “ Sharia in Norwegian Courtrooms?” ISIM R E V I
E W 20 / AUTUMN 2007
Gunther Teubner (1997) “Global Bukowina Legal Pluralism in the World Society”
dalam Appeared in: Gunther Teubner (ed.), Global Law Without a State.
Dartmouth, Aldershot 1997
Hartati Nurjaya, 2007, Perkawinan Antarabangsa Love and Shock, Jakarta, Restu
Agung.
Junarwati , Andriani, 2007, “Diskriminasi terhadap Perempuan dan Status Anak
Akibat UU nomor 62 tahun 1958 dan Implementasi UU nomor 12 tahun
2006 tentang Kewarganegaraan RI terhadap Status Anak dan Persamaan
Kedudukan Perempuan dalam Perkawinan Campuran” Thesis Magister,
Fakutas Hukum UI.
Klaus Günther, (2003) “ Legal Pluralism and the Universal Code of Legality:
Globalisation as a Problem of Legal Theory” http://www.law.nyu.edu/
clppt/program2003 readings/ gunther.pdf
Kennedy, David (2006) “One, Two, Three, Many Legal Orders: Legal Pluralism
and the Cosmopolitan Dream” http://www.law.harvard.edu/faculty/
dkennedy/ speeches/ Legal Orders.pdf
Liria Tjahaja (2005) “PLURALISME HUKUM DAN MASALAH PERKAWINAN CAMPURAN”
dalam dalam Masinambow, E.K.M. (editor) 2003, Hukum dalam
Kemajemukan Budaya, Sumbangan meyambut hari ulang tahun ke 70
T.O.Ihromi, Jakarta Yayasan Obor.
Lidwina I Nurtjahyo dan Tirtawening, Kajian Pluralisme Hukum Berperspektif Global
: Pengalaman Para aktor Proses Re-framing, dalam Jurnal Low Society &
Dedelopment (LSD), Vol 1.N0 3 Agustus 2007
Merry, Sally E. 2005. “Human Rights and Global Legal Pluralism: Reciprocity and
Disjuncture”. dalam Benda-Beckmann F, K. Benda-Beckmann and Anne
Griffiths, eds. Mobile People, Mobile Law. Expanding Legal Relations in a
Contracting World . Aldershot: Ashgate Publishing Limited,

23
Moorse, Stradford W. and Gordon R Woodman, 1987, Indigeneous Law and State,
Dordrecht Holland: Foris
Nuning Suliasih Purwaningrum (2006) “Kedudukan Perempuan WNI yang Kawin
dengan Lelaki WNA dalam Konsep Kewarganegaraan Indonesia dan
Implikasinya”, thesis Magister. Program Kajian Wnaita Pasca Sarjana UI.
Ruth S. Meinzen-Dick and Rajendra Pradhan (2002) Legal Pluralism and Dynamic
Property Rights, kertas kerja no 22 pada Seminar Internasional
International Food Policy Research Institute, 2033 K Street, N.W.
Washington, D.C. 20006 U.S.A.)
Samia Bano, 2005, “ ‘Standpoint’, ‘Difference’ and Feminist Reseach” dalam Reza
Banakar and Max Travers, (editor) 2005, Theory and Method in Socio
Legal Reseach, Hart Publishing, Oxford and Porland Oregon
Sulistyowati Irianto, 2003 “Pluralisme Hukum dalam Masyarakat kritis” dalam
Masinambow, E.K.M. (editor) 2003, Hukum dalam Kemajemukan Budaya,
Sumbangan meyambut hari ulang tahun ke 70 T.O.Ihromi, Jakarta Yayasan
Obor.
Sulistyowati Irianto, 2005 “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme
Hukum dan Konsekwensi Methodologisnya” dalam TIM HUMS (edito) 2005
Pluralisme Hukum : Sebuah Pendekatan Interdisiplin, Jakarta, Huma.
Sulistyowati Irianto, 2007, “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global,” dalam
Hukum yang Bergerak Jurnal Low Society & Dedelopment (LSD), Vol 1.N0
3 Agustus 2007

Schiller, Niana Glick. 2005. “Transborder Citizenship: An Aoutcome of Legal


Pluralism within Transnastional Social Fields”. dalam Benda-Beckmann F,
K. Benda-Beckmann and Anne Griffiths, eds. Mobile People, Mobile Law.
Expanding Legal Relations in a Contracting World . Aldershot: Ashgate
Publishing Limited,

Scott (2000) Senjata Orang-Orang Kalah: Bentuk-bentuk Pelawanan sehari-hari


Kaum Tani (terjemahan) Jakarta Yayasan Obor.

24

Anda mungkin juga menyukai