Anda di halaman 1dari 3

Keimanan Albert Einstein

Oleh : Sena Zaeni Aqwam

Bismillahirrohmanirrohim,
Jika orang-orang ditanya perihal apakah Einstein itu? Pasti
semua orang akan mengoreksi pertanyaan itu menjadi siapakah
Einstein itu? Lantas jawabannya? Pasti orang-orang itu akan langsung
menjawab bahwa Einstein itu adalah seorang yang jenius, tepatnya
ilmuwan yang jenius. Maka jawaban mereka itu sungguhlah benar bagi timbangan manusia. Lantas
bagaimana kejeniusan Einstein itu sehingga ia dapat mendapat tempat dalam ingatan banyak
manusia? Semua orang pasti tahu akan hal itu, dan hal itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Einstein adalah seorang ilmuwan yang tersohor yang telah mengemukakan rumusannya mengenai
energi yaitu dengan rumusan E=mc2, dengan E simbol dari pada Energi, M symbol daripada massa,
dan C symbol daripada cahaya –setidaknya itu yang aku tahu. Bahkan poster Einstein yang
terpampang di kamar orang-orang itu senantiasa disertai dengan rumusan diatas. Sebegitu
terkenalkah Einstein? Lantas, apa lagi selain hal tersebut yang membuatnya bisa dikenal?
Einstein mengungkapkan kepada dunia bahwa “Massa dan energi itu adalah tunggal.”
Kebenaran pendapatnya ini terbukti ketika atom dimungkinkan untuk dibelah dan massanya
dialihkan menjadi energi. Jika demikian adanya, maka tidak ada penghalang jika sewaktu-waktu
dapat dibuktikan bahwa energi pun bisa dirubah menjadi massa. Hal ini memungkinkan kita
mengetahui akan rahasia kisah pemindahan singgasana Ratu Balqis yang secepat cahaya bisa
berpindah dari jarak 3000 km, ataupun memungkinkah kita mengetahui rahasia perjalanan Isra
Mi’raj Nabi Muhammad.
Selain teori-teori Einstein diatas yang membuatnya menjadi dikenal banyak ilmuwan, ada
satu lagi teori Einstein yang membuatnya dikenal yaitu teori relativitas. Secara sepintas jika
dipahami, teori ini sepertinya adalah sebuah teori yang membingungkan karena ia
menjungkirbalikkan sejumlah prinsip akal dan Aksioma yang ada di kepala, ketika teori itu
mengingkari bahwa garis lurus adalah identik dengan garis yang paling pendek diantara dua titik, dan
ketika teori itu mengemukakan bahwa dimensi itu tidak hanya tiga, melainkan empat, dan
salahsatunya adalah waktu. Anggapan itu berlaku bagi orang yang mengetahui teori itu dari surat
kabar atau dari banyak orang. Tapi apakah memungkinkan bagi orang sekaliber Einstein untuk
menentang akal-pikirannya sendiri dan mengingkari sejumlah Aksioma yang ada? Sebetulnya,
Einstein tidaklah menjungkirbalikkan pemikiran, tetapi Einstein hanya mengoreksi sebagian
aspeknya. Ia pun tidak mengingkari berbagai Aksioma yang ada, tetapi mengingatkan kita supaya
kita memasukkan perhitungan tempat, waktu, dan gerakan –yang di dalamnya terdapat sesuatu
yang terindra- ke dalam pemahaman dan kesadaran kita tentang Aksioma itu. Teori relativitas,
ketika mengatakan bahwa garis lurus bukanlah garis terpendek diantara dua titik, di dalam
perhitungannya, menganggap bahwa lengkungan bumi itu –yang kita gambarkan ada garis lurus da
atasnya- lurus.

Persoalannya tidak demikian, karena garis tersebut memang melengkung dan berkelok-
kelok mengikuti permukaan bumi. Jadi tidak mungkin kita menggambarkan bahwa garis yang paling
pendek antara kota New York dan kota Paris, misalnya, adalah garis lurus. Selama kita
menganalogikannya diatas permukaan bumi, hal itu tidaklah relevan, karena kenyataannya
permukaan bumi itu tidak lurus, tetapi melengkung. Akan tetapi jika kita menggambarkan bahwa
garis yang paling pendek antara kota New York dan kota Paris adalah garis lurus, dengan
menganalogikan jarak tersebut di dalam perut bumi, maka hukum Aksioma yang menentukan bahwa
garis lurus adalah garis terpendek diantara dua titik adalah benar.

Ketika teori relativitas mengatakan bahwa dimensi-dimensi itu tidak hanya tiga,
melainkan empat dan salah satunya adalah waktu, maka teori tersebut berlaku pada benda yang
bergerak dan bukan pada benda yang tetap dan diam, serta berlaku pada tempat dan waktu dimana
gerakan itu terjadi dan manusia yang mengamatinya berdiri diantara keduanya. Secara ilmiah telah
ditetapkan bahwa:

1. Tidak ada benda di alam semesta ini – mulai dari atom hingga galaksi - selain di dalam
gerakan yang terus menerus dengan kecepatan yang berbeda-beda.
2. Benda-benda itu mengkerut secara relatif pada garis arah kecepatannya sehingga
pengkerutan itu dapat bertambah dan juga berkurang sesuai dengan kecepatannya.
3. Massa benda juga merupakan sifat yang relatif dan nilainya bertambah seiring dengan
bertambahnya kecepatan benda sehingga diantara massa dan energi terdapat kesesuaian yang
mutlak, artinya energi tersebut sama dengan massa jika dikalikan dengan bilangan tetap yaitu empat
kali kecepatan cahaya.
4. Kesesuaian yang tetap antara energi dan massa atau kekuatan dan benda ini, menjadikan
keduanya menjadi sesuatu yang tunggal, setiap kali massa itu bertambah, energi pun ikut
bertambah, dan setiap kali energi itu berkurang, maka berkurang juga massanya, sehingga dengan
hal inilah benda itu bisa mengalami kemusnahan.
5. Waktu itu sendiri akan dipahami secara berbeda oleh dua orang yang masing-masingnya
berada di suatu benda angkasa yang berbeda, karena adanya perbedaan kecepatan diantara masing-
masing benda angkasa tersebut. Sebab, waktu itu, sebagaimana yang kita ketahui, merupakan
gerakan yang saling menimpa, sehingga analogi waktu juga bersifat nisbi.

Dari kebenaran-kebanaran ilmiah diatas, dapat ditarik kesimpulan ilmiah, diantaranya


ialah bahwa penggambaran kita tentang dimensi benda-benda yang bergerak tidak boleh hanya
berasakan tiga dimensi tempat saja (panjang, lebar dan tinggi) yang selama ini kita ketahui, akan
tetapi, harus dimasukkan pula unsur waktu, yakni unsur kecepatan yang menguasai panjang, massa
dan energi benda; serta selanjutnya menguasai lamanya benda dalam keadaannya yang utuh
ataupun rusak. Demikianlah, sudah sewajarnya bila kita memperhatikan benda dengan pandangan
yang relative yang berusaha memadukan unsur tempat, waktu, gerakan dan kecepatannya. Inilah
makna “relativitas”.tentang teori relativitas itu sendiri, ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu:
1. Tidak menetapkan kemutlakan tempat dan waktusehingga telah mendekatkan diri pada
keimanan akan eksistensi Allah.
2. Telah menetapkan adanya kesatuan benda dan energi serta perubahan benda menjadi
energi dan kemusnahannya.
3. Telah menarik kesimpulan tentang tidak mustahilnya penciptaan dan kemusnahan.
Berbeda dengan prinsip yang mengemukakan bahwa, “Tidak ada sesuatupun di alam ini yang
diciptakan ataupun yang binasa.”
Dengan demikian, teori relativitas ini sebenarnya semakin mendekatkan kita kepada
keimanan dan kepada Allah.
Lantas, bagaimana dengan Einstein itu sendiri, apakah ia termasuk orang yang beriman akan
eksistensi Tuhan?

Ia tidak hanya meyakini adanya Tuhan saja. Akan tetapi, Einstein berpandangan bahwa
tidak ada seorang ilmuwan pun yang genius yang dapat menembus berbagai rahasia hikmah dan
keteraturan di dalam penciptaan alam ini kecuali apabila rasa keimanannya kepada Tuhan demikian
besar. Bahkan, ia berpendapat bahwa sains tidak bisa berjalan dengan baik tanpa dukungan
keimanan. Sebaliknya, keimanan tidak akan mendapat cahaya tanpa dukungan sains.
Selanjutnya, ia berkata –dan alangkah indah perkataanya itu- bahwa, “Getaran jiwa yang
paling indah yang kita rasakan ialah getaran yang kita alami ketika kita berada di atas tangga
kerahasiaan menuju pintu alam gaib. Getaran ini adalah inti untuk mengetahui kebenaran pada
setiap bidang dan sains. Sungguh, matilah orang yang terasing dari perasaan ini. Sebab, ia senantiasa
hidup dalam ketakutan tanpa ditemukan pada dirinya suatu jalan terbuka bagi indahnya kekaguman.
Hakikat perasaan agama, pada esensinya, adalah ketika kita mengetahui bahwa Sesuatu (Tuhan)
yang tidak bisa diketahui esensi zat-Nya adalah benar-benar ada, dan secara jelas, tampak dengan
adanya tanda-tanda hikmah-Nya yang tinggi dan adanya kemegahan sinar-sinar keindahan yang
tidak memungkinkan daya-daya pikir yang miskin untuk mengetahuinya; kecuali menggambarkan
wataknya di permukaan tanpa berbagai detilnya yang ada di dalam.”
Akhirnya, Einstein, dengan bisikan keimanan seorang ilmuwa yang mengetahui adanya
korelasi antara keimanan kepada Allah dan sains, mengatakan, “Alangkah dalamnya keimanan
terhadap hikmah yang menjadi dasar bangunan alam semesta yang diperoleh oleh dan Newton.
Alangkah rindunya untuk melihat cahaya terkecil dari cahaya akal yang tampak jelas pada alam
semesta ini! Sungguh, aku tidak bisa membayangkan apabila seseorang yang benar –benar ilmuwan,
yang tidak mengetahui bahwa prinsip-prinsip yang benar bagi alam yang nyata ini dibangun diatas
dasar hikmah yang dapat dipahami oleh akal. Sains tanpa keimanan berjalan pincang, dan keimanan
tanpa sains bagaikan orang butu yang meraba-raba di kegelapan.” Alangkah serasinya pernyataan
Einstein ini dengan agama islam yang menyatakan bahwa ilmu tanpa amal (aksi) itu bagaikan pohon
tak berbuah. Dan sebaliknya, amal (aksi) tanpa ilmu adalah kebohongan yang ditimbulkan dari
ketidakingintahuan. Dan pernyataan Einstein itu serupa dengan pernyataan bahwa usaha tanpa do’a
itu adalah sebuah kesombongan, dan do’a tanpa usaha adalah sebuah kemalasan dan kenihilan.
Alangkah indahnya sains yang dibaluti dengan keimanan.
Itulah segelintir pembicaraan tentang ilmuwan genius Einstein, yang gambarnya
terpampang dalam poster dengan lidah menjulur –seperti lambang grup band Rolling Stone- yang
senantiasa disertai dengan rumus E=mc2. Semoga bermanfaat.

Allahu ya’khudzu bi aidiina ilaa maa fiihi khoiron lil islam wal muslimin.

Anda mungkin juga menyukai