Anda di halaman 1dari 14

KURIKULUM MULTIKULTURAL SEBAGAI MEDIA DALAM

MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN NASIONAL UNTUK


MENINGKATKAN INTEGRITAS BANGSA

Oleh : I Made Adi Sukariawan*

ABSTRAK

Pendidikan merupakan usaha bangsa untuk membangun masyarakat Indonesia


yang memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia. Pendidikan nasional bertujuan
untuk membentuk peserta didik yang berbudaya untuk menjawab tantangan
globalisasi. Salah satu komponen pendidikan yang dapat dikembangkan untuk
meningkatkan integritas bangsa adalah kurikulum. Pengembangan kurikulum
harus didasarkan kepada keragaman budaya yang menjadi dasar dalam
menentukan filsafat, teori, model, dan hubungan sekolah dengan budaya
masyarakat setempat serta mengembangkan komponen kurikulum seperti tujuan,
proses, isi dan evaluasi. Pengembangan kurikulum multikultural dilakukan dengan
pengembangan kurikulum menggunakan prinsip kebhinnekaan masyarakat
Indonesia guna meningkatkan peran kurikulum sebagai media dalam
mengembangkan kebudayaan nasional.

Kata kunci : kurikulum, multikultural, media, kebudayaan, integritas.


*
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidikan MIPA, Universitas
Pendidikan Ganesha, NIM 0413031024.

I. PENDAHULUAN

Memasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia


mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua
jalur dan jenjang pendidikan (Rosyada, 2004 :1). Bersamaan dengan itu, prestasi
pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara Asia lainnya.
Upaya untuk meningkatkan prestasi pendidikan ini merupakan tugas pendidikan
nasional yang cukup berat.

Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa untuk membangun
suatu masyarakat Indonesia dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Tanpa
berdasarkan kebudayaan yang nyata maka kita akan kehilangan identitas sebagai
bangsa. Apabila kehilangan identitas sebagai bangsa maka dunia globalisasi
mempengaruhi kita dengan mudah tanpa adanya filtrasi terhadap arus globalisasi
itu sendiri. Tugas pendidikan nasional adalah mengembangkan identitas peserta
didik agar peserta didik bangga menjadi bangsa Indonesia yang penuh dengan
percaya diri memasuki kehidupan global sebagai orang Indonesia yang berbudaya.

Pendidikan memang bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar


yang terdidik tetapi yang lebih penting ialah manusia yang terdidik dan berbudaya
(educated and civilized human being). Sistem pendidikan yang menghasilkan
manusia yang terdidik dan berbudaya adalah sistem pendidikan yang didasarkan
kepada kebudayaan Indonesia yang berbhinneka.

Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi


politik dan kemampuan ekonomi. Keragaman ini merupakan suatu realita
masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai
objek dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini
tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas
pengembang kurikulum. Padahal keragaman itu, berpengaruh langsung terhadap
terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah
dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam proses
belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang diterjemahkan sebagai hasil
belajar.

Dalam upaya menghadapi arus globalisasi yang deras dan menjalankan reformasi
pendidikan, maka perlu kesiapan dari segala komponen pendidikan (Sukariawan,
2004, pg 1). Salah satu komponen pendidikan yang dapat dikembangkan adalah
kurikulum. Keberagaman yang ada di Indonesia merupakan dasar yang harus
dipergunakan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan di Indonesia.

Pengembangan kurikulum untuk Indonesia bukanlah hal yang mudah.


Keragaman sosial, budaya, aspirasi dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita
masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai
objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Menjadikan
kurikulum pada posisi sebagai objek tidak menguntungkan karena sering kali
diabaikan oleh para pengembang kurikulum. Padahal keberagaman itu merupakan
variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan
kurikulum baik sebagai proses maupun sebagai hasil.

Kurikulum yang telah dikembangkan oleh para ahli pendidikan perlu


dioptimalkan perannya sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah
dan kebudayaan nasional. Sesuai dengan undang-undang no. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional pada padal 9 ditegaskan bahwa masyarakat
berhak ikut berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi program pendidikan. Perrmasalahan yang muncul adalah bagaimana
mengoptimalkan peran kurikulum sebagai media pengembangan kebudayaan
nasional untuk meningkatkan integritas bangsa.

II. KURIKULUM

Banyak definisi kurikulum yang satu dengan yang lain saling berbeda karena
dasar filsafat yang dianut para penulis berbeda-beda. Walaupun demikian ada
kesamaan satu fungsi dari kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan
pendidikan. Menurut undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan
bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana yang pengaturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara
kegiatan belajar mengajar.

Menurut Taba (1962) dalam Hamid Hasan kebudayaan adalah salah satu landasan
pengembangan kurikulum, disamping landasan lain seperti perkembangan
masyarakat, iptek, politik dan ekonomi. Ki Hajar dewantara menyatakan bahwa
kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan bangsa. Ahli
kurikulum lain seperti Print dalam Hasan, menyatakan pentingnya kebudayaan
sebagai landasan begi kurikulim dengan mengatakan bahwa kurikulum is
construct of that culture.Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara
manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja
menjadi landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target
hasil pengembangan kurikulum. Longstreet dan Shane dalam Hasan juga
menyatakan bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua persektif yaitu eksternal dan
internal.
Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses kurikulum teramat penting tetapi
dalam proses pengembangan kurikulum kurang memperhatikannya. Dalam realita
proses pengembangan kurikulum sering diwarnai oleh pengaruh pandangan para
pengembang terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Pertimbangan mengenai
kebutuhan peserta didik dan masyarakat sering dijawab dengan jawaban mengenai
adanya perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Olah karena itu, kedudukan yang
penting dari kebudayaan terabaikan pula seperti halnya landasan lainnya yang
harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum.

Landasan lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah


teori belajar dari peserta didik. Teori belajar yang telah dikembangkan dapat
berasal dari berbagai alairan dan teori dalam psikologi behaviorisme (stimulus
response, conditioning, operant conditioning, modelling dan sebagainya), kognitif
(skemata, akomodasi, dan asimilasi dari Piaget, meningful learning dari Ausubel
dan sebagainya). Teori belajar ini tentu saja amat berguna untuk dikembangkan
berdasarkan suatu hasil studi yang mendalam. Maehr (1974) dalam Hamid Hassan
menyatakan bahwa keterkaitan antara kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan
persepsi, kebudayaan dan kognisi, kebudayaan dan keinginan berprestasi, serta
kebudayaan dan motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpegaruh
terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam hal ini peserta didik tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan sosial dan budaya tempat hidupnya.

III.PENDEKATAN MULTIKULTURAL UNTUK KURIKULUM

Indonesia memiliki Bhineka tunggal Ika sebagai salah satu semboyan yang dapat
dimaknai sebagai persatuan dan kesatuan. Dalam kehidupannya kebhinekaan,
seperti yang tercermin dalam aneka kebudayaan etnik di Indonesia menjadi
termarginalisasi, karena tunduk pada asas persatuan dan kesatuan. Oleh karena
itu, kebudayaan merupakan landasan kuat dalam pengembangan kurikulum.
Artinya pendekatan multikultural dalam pengembangna kurikulum di Indonesia
adalah suatu keharusan yang tidak dapat diabaikan lagi.

Dengan berlakunya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah


tidak dapat secara langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku dalam
pengembangan kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut mungkin saja
menghasilkan berbagai kurikulum sesuai dengan visi, misi dan tidak
dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya apalagi pendekatan multikultural.

Dalam rangka mewujudkan masyarakat multikultural, fungsi pendidikan sangat


penting, karena salah satu fungsi pendidikan adalah menstransmisikan nilai-nilai
luhur yang mampu menyangga kelangsungan hidup bangsa, negara dan
masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah telah memprogramkan beberapa
pelajaran guna mewujudkan sasaran asas moral bagi kehidupan berbangsa,
bernegara, bermasyarakat seperti Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa
Indonesia, Geografi, Sejarah, Antorologi dan Agama.

Pencanangan pendidikan multikultural baik sebagai pelengkap maupun sebagai


penguat perlu mendapat pemikiran lebih mendalam. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari hakikat pendidikan multikultural yakni “pendidikan untuk/tentang
keberagaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografi dan kultural
lingkunagan masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Tujuannya adalah
menanamkan tiga sub nilai yakni: (1) menegaskan identitas kultural seseorang,
mempelajari dan menilai warisan budaya seseorang: (2) menghormati dan
berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang kebudayaan-kebudayaan selain
kebudayaannya: (3) menilai dan merasa senang dengan perbedaan-perbedaan itu
sendiri.

Walaupun pendidikan multikultural secara formal belum diprogramkan, namun


sebstansinya dapat mejiwai praktit pendidikan di sekolah. Apalagi sekolah yang
memiliki berbagai latar belakang etnik atau agama, maka itu merupakan medan
untuk menyelenggarakan pendidikan multikultural. Dalam hal ini perbedaan latar
belakang seperti agama maupun budaya, jangan sampai menjadi misteri yang tabu
untuk diwacanakan, melainkan harus didialogkan secara intensif.

Praksis pendidikan multikultural di sekolah diawali dengan mengendalikan


sekolah sebagai suatu masyarakat yang melibatkan hubungan lintas budaya.
Eksklusivisme atas dasar ikatan-ikatan primordial, dinetralisir dengan cara
membentuk suatu kelompok sosial yang menyilang, perebutan sumber ekonomi,
kekuasaan merupakan pemicu bagi timbulnya konflik antar-kelompok yang perlu
diselesaikan secara demokratis dalam upaya membangun pendidikan
multikultural.

Ruang kultural sebagai arena bagi warga sekolah untuk memamerkan modal
kultural, misalnya pada saat pesta hari ulang tahun sekolah dan peringatan hari-
hari bersejarah perlu dilakukan. Kegiatan semacam ini memberikan manfaat tidak
saja untuk merangsang tumbuhnya kreativitas budaya tetapi juga untuk
menumbuhkan dialog multikultural dalam rangka mewujudkan sikap saling
memahami, menghormati dan menghargai apresiasi suatu bentuk hasil karya yang
nantinya menjungjung suatu persatuan dan integritas bangsa Indonesia.

Pendekatan multikultural untuk kurikulum diartikan sebagai suatu prinsip yang


menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan
filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga
siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan
mengembangkan berbagai wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap, dan moral
yang diharapkan.

IV. KURIKULUM MULTIKULTURAL

Tiga dimensi yang harus diliputi dalam pengembangan kurikulum adalah


kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai dokumen, dan kurikulum sebagai
proses. Ketiga dimensi kurikulum ini berkaitan satu dengan lainnya. Kurikulum
sebagai proses dilaksanakan dengan berbagai kebijakan kurikulum. Kebijakan-
kebijakan tersebut merupakan operasionalisasi kurikulum sebagai ide dan
kurikulum sebagai dokumen. Dalam diagram keseluruhan dapat digambarkan
sebagai berikut:
Pengembangan ide merupakan tahap dimana ditentukannya filosofi kurikulum,
model kurikulum yang digunakan, pendekatan dan teori belajar yang digunakan,
serta pendekatan/metode evaluasi hasil belajar. Dokumen tertulis yang
didasarkan pada ide yang sudah ditetapkan sebelumnya merupakan tahap
pengembangan kurikulum sebagai dokumen, yang secara teknis berkenaan
dengan keputusan tentang informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan,
format GBPP, dan komponen kurikulum yang harus dikembangkan. Dalam
tahap ini juga harus ditentukan apakah kurikulum sebagai ide dan kurikulum
sebagai dokumen akan dijadikan satu atau dua dokumen yang terpisah. Apapun
keputusan tentang itu antara pengembangan kurikulum sebagai ide dan
kurikulum sebagai dokumen perlu disosialisasikan agar terjadi kesinambungan
antara buah pemikiran para pengambil keputusan kurikulum dengan para
pengembang teknis.

Kedua dimensi kurikulum ini dapat dikembangkan pada tingkat nasional baik
dalam konteks otonomi dengan desentralisasi kewenangan pengembangan
kurikulum maupun dalam konteks sentralisasi. Perbedaan antara keduanya
adalah pada jenis informasi yang akan diberikan dimana untuk konteks otonomi
kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan
kepada daerah. Oleh karena itu, pengembangan ide dan dokumen kurikulum
lebih banyak berisikan prinsip dan guidelines. Sedangkan dalam konteks
sentralisasi pengembangan kurikulum sebagai ide dan dokumen harus tetap
memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk memasukkan
karakteristik budayanya.
Altematif lain adalah kurikulum sebagai ide dikembangkan pada tingkat
nasional sedangkan kurikulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan di
daerah. Seperti dalam alternatif di atas, proses sosialisasi ide yang telah
ditetapkan perlu dilakukan. Dengan demikian keputusan tentang jenis informasi,
bentuk format GBPP, dan komponen kurikulum (tujuan, konten, proses belajar,
dan evaluasi) ditentukan pada tingkat daerah pula. Tentu saja dengan pendekatan
multikultural tingkat rincian tersebut tetap harus memperhitungkan keragaman
kebudayaan di wilayah tersebut yang menjadi lingkungan eksternal sekolah-
sekolah yang ada.

-Alternatif kedua ini dapat dilakukan jika daerah telah memiliki tenaga
pengembang yang cukup. Jika belum maka sebaiknya alternatif pertama yang
dipilih sedangkan jika daerah telah memiliki tenaga yang cukup dan sudah
berpengalaman maka peran pusat dapat saja semakin longgar dan
pengembangan ide dan dokumen sepenuhnya dapat diserahkan ke daerah.
Pemerintah pusat hanya perlu mengembangkan prinsipnya saja.

-Pengembangan kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan atau


sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para
pengembang (guru) dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk rencana
pelajaran/satuan pelajaran, proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan
prinsip multikultural kurikulum. Sosialisasi yang dilakukan haruslah dilakukan
orang-orang yang terlibat paling tidak dalam proses pengembangan kurikulum
sebagai dokumen apabila orang yang terlibat dalam pengembangan ide tidak
mungkin secara teknis. Jika terjadi perluasan tim sosialisasi maka anggota tim
yang baru haruslah yang sepenuhnya faham dengan karakteristik kurikulum
multikultural. Pada fase ini, target utama adalah para guru faham dan
berkeinginan untuk mengembangkan kurikulum multikultural dalam kegiatan
belajar yang menjadi tanggungjawabnya).

a. Pengembangan Kurikulum Sebagai Ide

Pengembangan kurikulum sebagai ide adalah langkah awal dan langkah yang
sangat menentukan karakteristik kurikulum di masa mendatang: apakah yang
akan dihasilkan adalah kurikulum multikultural, kurikulum monokultural,
ataukah kurikulum yang diberlakukan secara umum tanpa memperhatikan
perbedaan kultural yang ada. Oleh karena pembahasan dan keputusan tentang
dimensi ide suatu kurikulum sangat kritikal.

Suatu prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum


multikultural adalah ketiadaan keseragaman dalam kurikulum seperti yang
terjadi pada saat sekarang. Pada saat sekarang keseragaman tersebut terlihat
pada keseragaman pendekatan kurikulum untuk setiap jenjang pendidikan yaitu
kurikulum pendidikan disiplin ilmu. Adanya nama mata pelajaran seperti IPA,
IPS atau pun program muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar (SD dan
SLTP) tetap tidak melepaskan kurikulum jenjang pendidikan dasar sebagai
kurikulum disiplin ilmu. Label IPA dan IPS bahkan sering dipertanyakan
sebagai suatu yang lemah dan tak dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin
ilmu. Adalah sesuatu yang sulit diterima bahwa IPA dan IPS bukan disiplin ilmu
tetapi label program pendidikan. Demikian pula dengan pendidikan bahasa
Indonesia, bahasa Inggris (SLTP), matematika, agama, dan PPKN.

Untuk kurikulum multikultural pendekatan pendidikan disiplin ilmu bagi


kurikulum pendidikan dasar harus ditinggalkan sama sekali. Selain tidak semua
orang akan menjadi ilmuwan adalah terlalu dini untuk membawa siswa
pendidikan dasar dalam kotak-kotak kepentingan disiplin ilmu. Lagi pula,
pendidikan dasar adalah pendidikan minimal untuk memberikan kualitas
minimal bangsa Indonesia. Pendidikan disiplin ilmu, dengan segala
kekuatannya, tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan keseluruhan
aspek kepribadian dan kemanusiaan seorang siswa padahal pendidikan dasar
harus bertujuan pada pengembangan kualitas kemanusiaan.

Kurikulum harus secara tegas menyikapi bahwa siswa bukan belajar untuk
kepentingan mata pelajaran tetapi mata pelajaran adalah untuk medium
mengembangkan kepribadian siswa. Oleh karena itu, pendekatan banyaknya
materi yang harus dipelajari diganti dengan pendekatan cara belajar sesuai
dengan pernyataan it is not a matter how much you have learned but a matter of
how you learn it.
Secara teknis filsafat kurikulum pendidikan dasar harus berubah dari
esensialisme ke progresif, humanisme, dan rekonstruksi sosial. Melalui filsafat
ini masyarakat dijadikan sumber dan juga dijadikan objek dalam belajar.
Masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat, kebutuhan masyarakat,
dan keunggulan masyarakat dapat dijadikan materi pelajaran. Dengan perubahan
ini maka kurikulum tidak menutup dindingnya terhadap masyarakat tetapi
menjadikan masyarakat sebagai dasar untuk mengembangkan proses belajar dan
sebagai sumber belajar. Dengan perubahan filosofi ini maka sifat kurikulum
lebih terbuka terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di masyarakat
termasuk perubahan dan pengembangan kebudayaan.

Kurikulum untuk SMU dapat dikembangkan berdasarkan pendekatan


pendidikan disiplin ilmu sedangkan untuk SMK pendekatan
teknologi/vokasional. Meskipun demikian, sebagaimana perlu ada revisi
terhadap filsafat progresif dan rekonstruksi sosial yang digunakan, diperlukan
pula revisi terhadap tujuan, materi, proses belajar, dan evaluasi yang
dikembangkan. Keterampilan-keterampilan dalam bidang teknologi tertentu dan
vokasional tertentu yang dibutuhkan oleh suatu lingkungan budaya dijadikan
konten utama kurikulum. Dalam proses belajar yang dikembangkan Kurikulum
1975 posisi siswa adalah sebagai dependent variable yang sangat tergantung dari
metode yang digunakan guru dan bukan sebagai orang yang belajar untuk
mencapai kualitas yang dinyatakan dalam tujuan. Pendekatan pembelajaran yang
dianjurkan Kurikulum 1994 belum menampakkan hasilnya.

Apabila kurikulum pendidikan dasar harus diutamakan pada pengembangan


kepribadian kemanusiaan siswa pada kurikulum pendidikan menengah ini
penekanan sudah dapat berbagi antara pengembangan kepribadian siswa dan
penguasaan kemampuan dan keterampilan yang dipersyaratkan untuk menguasai
suatu dasar awal disiplin ilmu (wawasan, teori, konsep, kemampuan berfikir, dan
proses) dan teknologi/vokasional (wawasan, teori, konsep, prinsip, dan
prosedur).

Dalam pengembangan kepribadian ini pendekatan multikultural menghendaki


kurikulum mampu menjadi media pengembangan kebudayaan lokal tetapi juga
merupakan media pengembang kebudayaan nasional. Kebudayaan lokal menjadi
dasar dalam mengembangkan kebudayaan nasional. Prinsip ini mutlak harus
dikembangkan karena keragaman budaya adalah sumber yang tak ternilai bagi
perkembangan kebudayaan nasional. Pengembangan kurikulum dalam dimensi
ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin dalam
pengembangan dokumen kurikulum.

b. Pengembangan Kurikulum Sebagai Dokumen

Pengembangan kurikulum sebagai dokumen menyangkut pengembangan


berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, pengalaman belajar, dan
evaluasi. Tujuan adalah kualitas yang diharapkan dimiliki siswa yang belajar
berdasarkan kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum multikultural harus
terbuka pada berbagai pandangan dan pendekatan perumusan tujuan. Rumusan
yang berdasarkan pandangan behaviorisme dan menghendaki rumusan tujuan
yang terukur sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Para pengembang kurikulum
harus dapat membuka diri bahwa tidak semua kualitas manusia dapat dinyatakan
terukur berdasarkan kriteria tertentu. Ada tujuan-tujuan yang dapat diukur dan
bersifat dapat dikuasai dalam satu atau dua pengalaman belajar, tetapi ada juga
tujuan yang baru tercapai dalam waktu belajar yang lebih panjang. Oleh karena
itu, pemaksaan suatu pendekatan dalam pengembangan tujuan tidak dapat
dipertahankan lagi.

Sesuai dengan pendekatan multikultural, sumber kualitas yang dinyatakan dalam


kurikulum tidak pula terbatas pada kualitas yang ditentukan oleh disiplin ilmu
semata. Kualitas manusia seperti yang dinyatakan banyak tokoh dan anggota
masyarakat seperti kreativitas, disiplin, kerja keras, kemampuan kerjasama,
toleransi, berfikir kritis, manusia yang religius, dan sebagainya harus dapat
ditonjolkan sebagai tujuan kurikulum. Kualitas tertentu yang dirasakan penting
oleh kelompok budaya dan sosial tertentu harus dapat dikembangkan dan oleh
karenanya dokumen kurikulum harus memberikan kemungkinan adanya
pengembangan tujuan di komunitas dan lingkungan budaya tertentu. Demikian
pula kualitas seperti kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat,
kemampuan mencari dan mengolah informasi, kemampuan berkomunikasi dan
sebagainya harus dapat dikemukakan sebagai tujuan yang sama penting dengan
tujuan yang berasal dari disiplin ilmu. Dengan perkataan lain, kurikulum
multikultural harus dapat menekankan fungsi pendidikan sama atau lebih
penting dibandingkan fungsi pengajaran.

Kurikulum multikultural menghendaki adanya pengertian konten yang berbeda


dari pengertian yang dianut dalam kurikulum terutama oleh Kurikulum 1975 dan
1984. Kurikulum 1994 memang mencoba untuk mengembangkan pengertian
konten yang lebih luas tetapi belum merupakan keseluruhan gerak
pengembangan. Dalam kedua kurikulum tersebut, pengertian konten harus
diartikan lebih luas mencakup hal-hal yang substantif (teori, generalisasi,
konsep, fakta), nilai, keterampilan, dan proses.

Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber


konten kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan
cultural traits tertentu harus dapat diakomodasi sebagai konten kurikulum.
Konten kurikulum haruslah tidak bersifat formal semata tetapi society and
cultural-besed, dan open to problems yang hidup dalam masyarakat. Konten
kurikulum haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah
institusi yang tidak berkaitan dengan masyarakat, tetapi sekolah adalah suatu
lembaga sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya, konten
kurikulum harus dapat menunjang tujuan kurikulum dalam mengembangkan
kualitas kemanusiaan peserta didik. Selain agama, kesusateraan, bahasa,
olahraga, dan kesenian merupakan konten yang dapat menunjang pengembangan
kemanusiaan siswa.

Pengembangan komponen proses dalam kurikulum sebagai dokumen


menghendaki pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam
belajar. Dalam posisi ini maka siswa yang belajar dan berinteraksi dengan
sumber belajar (termasuk masyarakat) dan guru bertindak sebagai orang yang
memberi kemudahan bagi siswa dalam belajar. Oleh karena itu, dalam
kurikulum multikultural pendekatan siswa sebagai subjek dalam belajar
memberi arti bahwa metode adalah alat guru dalam membantu siswa belajar,
bukan siswa belajar karena metode guru. Metode guru ditentukan oleh cara
siswa belajar. Secara diagramatik posisi metode dapat digambarkan sebagai
berikut:

c. Pengembangan Kurikulum Sebagai Proses

Pengembangan kurikulum sebagai proses sangat ditentukan oleh guru. Baik


dalam konteks sentralisasi maupun dalam konteks otonomi, peran guru tersebut
tetap sama, mereka adalah pengembang kurikulum pada tataran empirik yang
langsung berkaitan dengan siswa. Oleh karena itu, jika kurikulum yang
dikembangkan tidak sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam kurikulum
sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen, maka kurikulum sebagai proses
bukan lagi kelanjutan dari keduanya. Dalam konteks yang lebih ekstrim,
kurikulum sebagai proses dapat merupakan kurikulum yang berbeda sama sekali
dengan keduanya. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap, serta kemauan guru
terhadap kurikulum multikultural akan sangat menentukan keberhasilan
pelaksanaan kurikulum sebagai proses.

Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum
sebagai proses, yaitu: (1) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (2) cara
belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya, (3) lingkungan
budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultural
siswa, (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.
V. KESIMPULAN

Kurikulum multikultural menggunakan pendekatan yang didasarkan pada prinsip :


keragaman budaya menjadi dasar dalam (1) penentuan filsafat, teori, model dan
hubungan sekolah dengan budaya masyarakat setempat, (2) mengembangkan
berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, isi, proses dan evaluasi.
Pengembangan kurikulum multikultural dilakukan dengan pengembangan
kurikulum menggunakan prinsip kebhinnekaan masyarakat Indonesia
meningkatkan peran kurikulum sebagai media dalam mengembangkan
kebudayaan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sukariawan, I Made. 2004. Pengefektifan Media Pembelajaran SMA untuk


Meningkatkan Mutu Pembelajaran SMA. Jurusan Pendidikan Kimia.
Fakultas Pendidikan MIPA. IKIP Negeri Singaraja (Karya Tulis, tidak
diterbitkan).

Bagus Sanjaya, Dewa. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan, Nasionalisme dan


Tantangan Global. Jurdik PPKn. FP IPS. IKIP Negeri Singaraja (Makalah,
disampaikan dalam Seminar Akademik tentang Peningkatan Nasionalisme
melalui Pendidikan, 16 Mei 2006).

Bawa Atmadja, Nengah. 2006. Penanggulangan Nasionalisme Kesukubangsaan


melalui Pendidikan Multikultural. Jurdik Sejarah. Fakultas Pendidikan
IPS. IKIP Negeri Singaraja (Makalah, disampaikan dalam Seminar
Akademik tentang Peningkatan Nasionalisme melalui Pendidikan, 16 Mei
2006).

Dakir, H. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Penerbit


Rineka Cipta.

Hasan, S. Hamid. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum


Nasional. http://www.depdiknas.go.id diacces tanggal 31 Mei 2006.

Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis, sebuah model


pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Jakarta :
Kencana.

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Penerbit


Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai