ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa untuk membangun
suatu masyarakat Indonesia dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Tanpa
berdasarkan kebudayaan yang nyata maka kita akan kehilangan identitas sebagai
bangsa. Apabila kehilangan identitas sebagai bangsa maka dunia globalisasi
mempengaruhi kita dengan mudah tanpa adanya filtrasi terhadap arus globalisasi
itu sendiri. Tugas pendidikan nasional adalah mengembangkan identitas peserta
didik agar peserta didik bangga menjadi bangsa Indonesia yang penuh dengan
percaya diri memasuki kehidupan global sebagai orang Indonesia yang berbudaya.
Dalam upaya menghadapi arus globalisasi yang deras dan menjalankan reformasi
pendidikan, maka perlu kesiapan dari segala komponen pendidikan (Sukariawan,
2004, pg 1). Salah satu komponen pendidikan yang dapat dikembangkan adalah
kurikulum. Keberagaman yang ada di Indonesia merupakan dasar yang harus
dipergunakan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan di Indonesia.
II. KURIKULUM
Banyak definisi kurikulum yang satu dengan yang lain saling berbeda karena
dasar filsafat yang dianut para penulis berbeda-beda. Walaupun demikian ada
kesamaan satu fungsi dari kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan
pendidikan. Menurut undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan
bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana yang pengaturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara
kegiatan belajar mengajar.
Menurut Taba (1962) dalam Hamid Hasan kebudayaan adalah salah satu landasan
pengembangan kurikulum, disamping landasan lain seperti perkembangan
masyarakat, iptek, politik dan ekonomi. Ki Hajar dewantara menyatakan bahwa
kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan bangsa. Ahli
kurikulum lain seperti Print dalam Hasan, menyatakan pentingnya kebudayaan
sebagai landasan begi kurikulim dengan mengatakan bahwa kurikulum is
construct of that culture.Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara
manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja
menjadi landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target
hasil pengembangan kurikulum. Longstreet dan Shane dalam Hasan juga
menyatakan bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua persektif yaitu eksternal dan
internal.
Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses kurikulum teramat penting tetapi
dalam proses pengembangan kurikulum kurang memperhatikannya. Dalam realita
proses pengembangan kurikulum sering diwarnai oleh pengaruh pandangan para
pengembang terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Pertimbangan mengenai
kebutuhan peserta didik dan masyarakat sering dijawab dengan jawaban mengenai
adanya perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Olah karena itu, kedudukan yang
penting dari kebudayaan terabaikan pula seperti halnya landasan lainnya yang
harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum.
Indonesia memiliki Bhineka tunggal Ika sebagai salah satu semboyan yang dapat
dimaknai sebagai persatuan dan kesatuan. Dalam kehidupannya kebhinekaan,
seperti yang tercermin dalam aneka kebudayaan etnik di Indonesia menjadi
termarginalisasi, karena tunduk pada asas persatuan dan kesatuan. Oleh karena
itu, kebudayaan merupakan landasan kuat dalam pengembangan kurikulum.
Artinya pendekatan multikultural dalam pengembangna kurikulum di Indonesia
adalah suatu keharusan yang tidak dapat diabaikan lagi.
Ruang kultural sebagai arena bagi warga sekolah untuk memamerkan modal
kultural, misalnya pada saat pesta hari ulang tahun sekolah dan peringatan hari-
hari bersejarah perlu dilakukan. Kegiatan semacam ini memberikan manfaat tidak
saja untuk merangsang tumbuhnya kreativitas budaya tetapi juga untuk
menumbuhkan dialog multikultural dalam rangka mewujudkan sikap saling
memahami, menghormati dan menghargai apresiasi suatu bentuk hasil karya yang
nantinya menjungjung suatu persatuan dan integritas bangsa Indonesia.
Kedua dimensi kurikulum ini dapat dikembangkan pada tingkat nasional baik
dalam konteks otonomi dengan desentralisasi kewenangan pengembangan
kurikulum maupun dalam konteks sentralisasi. Perbedaan antara keduanya
adalah pada jenis informasi yang akan diberikan dimana untuk konteks otonomi
kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan
kepada daerah. Oleh karena itu, pengembangan ide dan dokumen kurikulum
lebih banyak berisikan prinsip dan guidelines. Sedangkan dalam konteks
sentralisasi pengembangan kurikulum sebagai ide dan dokumen harus tetap
memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk memasukkan
karakteristik budayanya.
Altematif lain adalah kurikulum sebagai ide dikembangkan pada tingkat
nasional sedangkan kurikulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan di
daerah. Seperti dalam alternatif di atas, proses sosialisasi ide yang telah
ditetapkan perlu dilakukan. Dengan demikian keputusan tentang jenis informasi,
bentuk format GBPP, dan komponen kurikulum (tujuan, konten, proses belajar,
dan evaluasi) ditentukan pada tingkat daerah pula. Tentu saja dengan pendekatan
multikultural tingkat rincian tersebut tetap harus memperhitungkan keragaman
kebudayaan di wilayah tersebut yang menjadi lingkungan eksternal sekolah-
sekolah yang ada.
-Alternatif kedua ini dapat dilakukan jika daerah telah memiliki tenaga
pengembang yang cukup. Jika belum maka sebaiknya alternatif pertama yang
dipilih sedangkan jika daerah telah memiliki tenaga yang cukup dan sudah
berpengalaman maka peran pusat dapat saja semakin longgar dan
pengembangan ide dan dokumen sepenuhnya dapat diserahkan ke daerah.
Pemerintah pusat hanya perlu mengembangkan prinsipnya saja.
Pengembangan kurikulum sebagai ide adalah langkah awal dan langkah yang
sangat menentukan karakteristik kurikulum di masa mendatang: apakah yang
akan dihasilkan adalah kurikulum multikultural, kurikulum monokultural,
ataukah kurikulum yang diberlakukan secara umum tanpa memperhatikan
perbedaan kultural yang ada. Oleh karena pembahasan dan keputusan tentang
dimensi ide suatu kurikulum sangat kritikal.
Kurikulum harus secara tegas menyikapi bahwa siswa bukan belajar untuk
kepentingan mata pelajaran tetapi mata pelajaran adalah untuk medium
mengembangkan kepribadian siswa. Oleh karena itu, pendekatan banyaknya
materi yang harus dipelajari diganti dengan pendekatan cara belajar sesuai
dengan pernyataan it is not a matter how much you have learned but a matter of
how you learn it.
Secara teknis filsafat kurikulum pendidikan dasar harus berubah dari
esensialisme ke progresif, humanisme, dan rekonstruksi sosial. Melalui filsafat
ini masyarakat dijadikan sumber dan juga dijadikan objek dalam belajar.
Masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat, kebutuhan masyarakat,
dan keunggulan masyarakat dapat dijadikan materi pelajaran. Dengan perubahan
ini maka kurikulum tidak menutup dindingnya terhadap masyarakat tetapi
menjadikan masyarakat sebagai dasar untuk mengembangkan proses belajar dan
sebagai sumber belajar. Dengan perubahan filosofi ini maka sifat kurikulum
lebih terbuka terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di masyarakat
termasuk perubahan dan pengembangan kebudayaan.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum
sebagai proses, yaitu: (1) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (2) cara
belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya, (3) lingkungan
budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultural
siswa, (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA