Anda di halaman 1dari 43

TUGAS HUKUM PAJAK

PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK

Disusun Oleh :

Rendy Julian T 040710029


Anggara Rizky P 040710052
Indra Zulfikar A 040710053
Dedy Pratama 040510147
Brian Karinta Yupi 040912041
 
 
 
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Manajemen
Universitas Airlangga
Latar Belakang
Pajak, dibenak kita pasti akan langsung terpikir kata “membayar pada pemerintah”. Apa
sebenarnya pajak itu? Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada pasal 1 angka 1, pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Dari definisi tersebut
terdapat kata “bersifat memaksa” yang artinya kita (wajib pajak) wajib membayar pajak sesuai
dengan ketentuan. Tapi kita lihat juga kata “tidak mendapat imbalan secara langsung” artinya kita
dapat juga mendapatkan manfaat dari pajak tersebut tetapi tidak secara langsung.
Pajak digunakan oleh pemerintah untuk mendanai pembangunan dan operasional
Negara. Mulai dari fasilitas umum, subsidi, hingga gaji para pejabat dan PNS. Tanpa adanya pajak
pemerintah tidak dapat melaksanakan program – programnya secara maksimal. Apabila penerimaan
pajak terganggu dampaknya pada anggaran belanja pemerintah. Survei dari suatu badan independen
menunjukkan penerimaan pajak yang tidak efektif sekitar 25-30% tiap tahun dengan berbagai sebab.
Masalah tersebut akhir – akhir ini sering dibicarakan akibat munculnya kasus Gayus
Tambunan. Disana terbongkar ada jaringan yang rapih dan terselubung tentang mafia pajak. Dalam
kasus tersebut tercermin pribadi bangsa kita yang tidak tertib dan kurangnya kesadaran dalam hal
pelaporan dan pembayaran pajak. Hingga harus menyuap pejabat pajak agar pajak yang dikenakan
terhadap mereka bisa berkurang. Padahal hal ini jelas – jelas merugikan Negara yang sebagian besar
pendapatannya di dapat dari sektor pajak.
Sebenarnya pemerintah juga sudah sering memberi sosialisasi tentang pajak, baik melalui
media elektronik maupun cetak. Progam – progam pemerintah berkaitan dengan pajak juga sudah
banyak. Ada yang berupa diskon pajak untuk pajak kendaraan bermotor hingga sunset policy yang
dulu sering kita lihat iklannya di tv. Tapi ternyata masi ada juga yang “nakal” dan tidak
mengindahkan hal tersebut.
Rumusan Masalah

Masalah umum yang timbul di masyarakat yang


berhubunagn dengan pelaporan dan pembayaran
pajak :

• -Banyak dari kita (wajib pajak) yang tidak tahu


menahu tentang tata cara pelaporan dan
pembayaran pajak.
• -Banyak pula yang tidak tertib dalam hal
pelaporan asset mereka yang dikenakan pajak.
• -Kesadaran membayar pajak yang masih kecil
Tujuan Makalah
Tujuan makalah ini dibuat selain untuk
memenuhi tugas matakuliah Hukum Pajak, juga
sebagai bahan belajar untuk pembaca agar lebih
mengenal dunia perpajakan khususnya dalam hal
pelaporan dan pembayaran pajak sesuai dengan
ketentuan pemerintah. Disini juga akan lebih di
jelaskan secara mendalam prosedur administrasi
yang bertahap dan harus dilakukan wajib pajak
dengan harapan pembaca dapat lebih sadar
pentingnya melaporkan dan membayar pajak dan
konsekuensi yang harus diterima apabila
melakukan pelanggaran.
Pembahasan

Seperti kita ketahui bahwa setiap orang atau


badan yang telah dinyatakan sebagai wajib
pajak maka mempunyai kewajiban untuk
membayar pajak atas apa yang dimiliki atau
diperoleh sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Makalah ini akan membahas tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan
Pembayaran dan Pelaporan Pajak baik itu tata
cara, peraturan dan ketentuan yang terkait
dengan topik diatas.
Prosedur Administrasi Perpajakan

Pertama – tama alangkah baiknya jika kita


pelajari dahulu Prosedur Administrasi
Perpajakan di Indonesia agar kita dapat
mengetahui alur bergulirnya pajak mulai dari
awal sampai akhir.
Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang


oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan atau
pembayaran pajak, objek pajak dan atau
bukan objek pajak dan atau harta dan
kewajiban, menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Terdapat dua macam SPT yaitu:

• a. SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan


untuk suatu Masa Pajak.
• b. SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan
untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak.
Pengisian & Penyampaian SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani
serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan.

Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan


untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan
SPT dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang
diizinkan.
Fungsi SPT
a. Wajib Pajak PPh
• Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
• - Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan
atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
• - Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.
• - Harta dan kewajiban.
• - Pemotongan/ pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
•  
b. Pengusaha Kena Pajak
• Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN
dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
• - Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
• - Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan atau melalui
pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
 
c. Pemotong/ Pemungut Pajak
• Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkan.
Tempat pengambilan SPT

Setiap WP harus mengambil sendiri formulir SPT


di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Penyuluhan dan Pengamatan Potensi
Perpajakan (KP4), Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP), Kantor Wilayah DJP, Kantor Pusat
DJP, atau melalui website DJP :
http://www.pajak.go.id atau mencetak/
menggandakan/ fotokopi dengan bentuk dan
isi yang sama dengan aslinya.
Surat Ketetapan Pajak (SKP)

• Penerbitan suatu Surat ketetapan Pajak (skp)


hanya terbatas kepada WP tertentu yang
disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian SPT atau karena ditemukannya data
fiskal yang tidak dilaporkan oleh WP
Fungsi Surat Ketetapan Pajak

• Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP


tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau
kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan
perpajakan.
• Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi
perpajakan.
• Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
• Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal
lebih bayar
• Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang
terutang.

Jenis-Jenis Ketetapan Pajak
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
• Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang
atau tidak seharusnya terutang
• Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
• Surat Tagihan Pajak (STP) Adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan dalam hal :
- Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
- Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis dan
atau salah hitung;
- WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;
- Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN, tetapi tidak
melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat
Faktur Pajak,
- Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi
tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam
hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
- Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan
faktur pajak dikeani sanksi
- Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak
masukan diwajibkan membayar kembali.
Restitusi

• Pengembalian kelebihan pembayaran pajak


(restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang atau
telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang, dengan catatan WP
tidak punya hutang pajak lain.
Tata Cara Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak :
• Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke Direktur Jenderal
Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat.
• Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal:
– Untuk PPh, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
– Untuk PPN, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang
yang dipungut oleh Pemungut PPN , maka jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak
Keluaran setelah dikurangi Pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut;
– Untuk PPnBM, jika Pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
• SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan
sejak surat permohonan diterima secara lengkap, kecuali untuk kegiatan tertentu
ditetapkan lain dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak.
• - Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi, Direktur
Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan dianggap
dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan
setelah jangka waktu berakhir.
Pengembalian Pendahuluan :
• WP dengan kriteria tertentu dapat mengajukan restitusi dan Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
• Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan
yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib
Pajak tertentu.
• Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah WP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak dengan syarat:
a. SPT disampaikan tepat waktu dalam 2 (dua) tahun terakhir.
b. Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga)
masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. Untuk SPT Masa yang
terlambat tersebut harus telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian
SPT Masa masa pajak berikutnya;
c. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh
izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan
pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir.
d. Tidak pernah dijatuhi hukuman tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka
waktu 10 tahun terakhir.
e. Laporan Keuangan diaudit oleh akuntan publik atau BPKP dengan:
• pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau pendapat Wajar Dengan Pengecualian,
sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal;
• laporan audit disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan
rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.
Banding

• Apabila Wajib Pajak tidak atau belum puas dengan keputusan yang
diberikan atas keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan banding
kepada Pengadilan Pajak, dengan syarat:
a.Tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan atas keberatan
diterima;
c.Mengemukakan alasan yang jelas;
d.Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan;
e.Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding;
f.Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%.
• Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Putusan
Pengadilan Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
Imbalan Bunga

• Apabila pengajuan keberatan atau permohonan


banding diterima sebagian atau seluruhnya,
sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak,
maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding.
Keberatan

• Keberatan merupakan suatu cara yang


dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat
Jenderal Pajak apabila merasa kurang/tidak
puas atas suatu ketetapan pajak yang
dikenakan kepadanya atau atas
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga
Hal-hal yang Dapat Diajukan
Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT);
• Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
• Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
• Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak
ketiga.
Ketentuan Pengajuan Keberatan

Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di


tempat WP terdaftar, dengan syarat:
•Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
•Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak
yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan
WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
•Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu
tahun/masa pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan
yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan,
sehingga tidak diproses.
•Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang harus dibayar paling
sedikit sejumlah yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Jangka Waktu Pengajuan Keberatan

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan dalam jangka waktu


lebih dari 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB,
SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan
oleh pihak ketiga.
•Surat Keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka
jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan /
pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima
oleh Kantor Pelayanan Pajak.
•Surat Keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan
pos tercatat), jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal
SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan
tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Penyelesaian Keberatan

• Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu


paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima, harus memberikan
keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila
dalam jangka waktu 12 (dua belas ) telah lewat
dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi
suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan
tersebut dianggap diterima Keputusan keberatan
dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besarnya
jumlah pajak terhutang.
Peninjauan Kembali

Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum


puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka
pihak yang bersengketa dapat mengajukan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung
melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat
diajukan satu kali.
Alasan-alasan Peninjauan Kembali

• Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada


kebohongan atau tipu muslihat;
• Terdapat bukti tertulis baru penting dan bersifat
menentukan;
• Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari yang dituntut.
• Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
• Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jangka Waktu Peninjauan Kembali

• Permohonan Peninjauan Kembali dengan


alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1
dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak
diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat
atau ditemukan bukti tertulis baru;
• Permohonan Peninjauan Kembali dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 3,
4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak
putusan dikirim oleh Pengadilan Pajak.
Pemeriksaan

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan


untuk mencari, mengumpulkan, mengolah
data dan atau keterangan lainnya untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tujuan Pemeriksaan
Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
a. SPT lebih bayar
b. SPT rugi.
c. SPT tidak atau terlambat disampaikan.
d. SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak untuk diperiksa.
e. Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf
b.
Tujuan lain, yaitu:
a. Pemberian NPWP (secara jabatan)
b. Penghapusan NPWP.
c. Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan
PKP
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding
e. .e. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
f. Pencocokan data dan atau alat keterangan.
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di tempat terpencil
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN
i. Tujuan lain selain a s/d g.
Hak Wajib Pajak Apabila Dilakukan
Pemeriksaan
• Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa
• Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
• Menolak untuk diperiksa apabila Pemeriksa tidak dapat menunjukan
Tanda Pengenal Pemeriksa   dan Surat Perintah Pemeriksaan
• Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
• Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatancatatan, serta
dokumen-dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak
• Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil
pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi
yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah
disampaikan
• Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada
pihak lain yang tidak berhak Memperoleh lembar Asli Berita Acara
Penyegelan apabila Pemeriksa Pajak melakukan penyegelan atas tempat
atau ruangan tertentu.
Kewajiban Wajib Pajak Apabila
Dilakukan Pemeriksaan
• Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku
atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya
dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang
pajak.
• Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruangan yang dipandang
perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan.
• Memberi keterangan yang diperlukan
Hal Lainnya Yang Perlu Diketahui

• Pemeriksaan Pajak dapat dilakukan oleh seorang


Pemeriksa atau Kelompok Pemeriksa.
• Pemeriksaan dapat dilaksanakan di Kantor
(Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak
(Pemeriksaan Lapangan) meliputi tahun-tahun
yang lalu maupun tahun berjalan.
• Apabila WP tidak memberi kesempatan kepada
pemeriksa pajak untuk memasuki tempat atau
ruangan tertentu dan menolak memberi bantuan
guna kelancaran pemeriksaan, maka pemeriksa
pajak berwenang melakukan penyegelan.
Tindakan Penagihan
Tindakan Penagihan Pajak dilakukan apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran
belum dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut:
a. Surat Teguran
Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan
diterbitkan Surat Teguran.
b. Surat Paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat
Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa
sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam
setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
c. Surat Sita
Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak
dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
d. Lelang
Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga
dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui
Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan
dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang
pada saat pelelangan.
Catatan
Barang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa.
Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak

Wajib Pajak/Penanggung Pajak berhak:


• Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda
Pengenal Jurusita Pajak.
• Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara
Penyitaan.
• Menentukan urutan barang yang akan dilelang
• Sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak
diberi kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak
termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang
dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala KPP yang
bersangkutan.
• Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan
lelang.
Tata Cara Pembayaran Pajak

Tata cara pembayaran pajak telah diatur dalam Pasal 10


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
(UU KUP) mengatur tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Pajak. Dalam Pasal 10 ayat (2) UU KUP ditetapkan
tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta
tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan tersebut ditindaklanjutidengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Ke-uangan Nomor 184/ PMK.03/2007 Tentang
Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran
Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, Dan Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara
Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Secara umum “Tata cara membayar pajak” adalah sebagai berikut ; Setelah
menghitung pajak yang harus dilunasi atau ketika tiba saat terutang angsuran pajak yang
harus dibayar. Wajib Pajak (WP) haruslah berhati-hati. Jangan sampai batas waktu
pembayaran pajak tersebut terlewati. Secara internal, penting juga bagi WP untuk
mengantisipasi kebutuhan kas untuk melunasi pajak yang harus dibayar tersebut agar
jangan sampai mengganggu cashflow usaha. Sedangkan pembayaran dan penyetoran pajak
berdasarkan UU diatas bisa dilakukan di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan. Perlu diketahui, bahwa walaupun ketentuan ini terlihat sangat sederhana, namun
dalam kenyataannya, tidak sedikit anggota masyarakat yang mengira pembayaran pajak
dapat dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Pembayaran dan penyetoran pajak
tersebut di atas harus dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP)
atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. SSP atau sarana administrasi lain
tersebut berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak hanya apabila telah disahkan oleh
pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi dan menjadi dianggap sah bila telah di-validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Pajak (NTPN). NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti pene-rimaan Negara yang
diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara (MPN). MPN itu sendiri adalah modul
penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran,
pengumpulan data, pencatatan , pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang
berhubungan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan
Anggaran Negara di Departemen Keuangan RI. Jadi jelas, walaupun menampung setoran
pajak, sistem MPN ini tidak dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Selanjulnya,dalam hal
terjadi pemotongan maupun pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), pemotong atau
pemungut PPh diwajibkan memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti
pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut PPh. Dan
khusus untuk penghasilan karyawan atau pegawai tetap, pemotong PPh Pasal 21, yaitu
pemberi kerja wajib memberikan tanda bukti pemotongan paling lama 1 (satu) bulan setelah
tahun kalender berakhir.
Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan
Official Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang
kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak
yang terutang) oleh seseorang, dengan sistem ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu
dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru
diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak, tetapi setelah tahun 1983, berdasarkan
Undang-undang Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia sejak tahun 1984 sampai
sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana wajib pajak diberi wewenang penuh
untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang
pajak. Dalam sistem ini wajib pajak aktif, sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan
besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku
(Google, www.skripsi.blog.dada.net).
Namun dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak berdasarkan sistem Self
Assessment ini mengandung banyak kelemahan. Sedangkan hal yang terpenting yang
mempengaruhi keberhasilan sistem ini adalah tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam rangka
pelaksanaan sistem Self Assessment tersebut, dalam sistem ini Direktorat Jenderal Pajak sesuai
dengan fungsinya sebagai fasilitator berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku (Jeanny Irenne, 2006).
Tujuan Pemerintah dalam melakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan
tentunya guna meningkatkan pemasukan pajak kas Negara dan menunjang peningkatan
pertumbuhan perekonomian. Kebijakan tersebut (peraturan perundang-undangan perpajakan)
seharusnya mengatur sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan
perkembangan perekonomian saat ini dan di masa yang akan datang. Pemerintah dalam
menjalankan fungsi pajak (budgetair dan regulerend) salah satunya tentu saja membutuhkan
sistem penetapan pajak yang efisien, fleksibel, dan terintegrasi dengan sistem subsistem secara
internal dan sistem yang lain secara eksternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang
kebijakan pendapatan Negara (fiscal policy) (Sofyan, 2003: 29).
Sistem pemungutan pajak adalah
sebagai berikut (Mardismo, 2008:7):
Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus.
• Wajib Pajak bersifat pasif.
• Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

Self Assessment System


Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
• Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
• Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
 
With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan
bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak.
Ciri-cirinya:
• wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan
Wajib Pajak.
BATAS WAKTU PENYETORAN DAN
PELAPORAN PAJAK
Di dalam Pasal 9 Ayat (1) UU No.28 Th.2007 diatur bahwa Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis
pajak, paling lama 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.  Hal-hal yang diatur dalam
Pasal 2 Permenkeu No.184/PMK.03/2007 adalah sebagai berikut : PPh Pasal 4 Ayat (2) yang dipotong oleh
Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
•PPh Pasal 4 Ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
•PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
•PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
•PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
•PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
•PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
•PPh Pasal 22, PPN atau PPN&PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk
dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN&PPnBM atas impor harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
•PPh Pasal 22, PPN atau PPN&PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus
disetor dalam jangka waktu 1 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
• PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau
belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh Bendahara.
• PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen
atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak Badan yang bergerak dalam bidang produksi
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
• PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak Badan tertentu sebagai
Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
• PPN atau PPN&PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
• PPN atau PPN&PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pemerintah atau
instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 7 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
• PPN atau PPN&PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain
Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
• PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
Ayat (3b) UU KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa, harus
dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
• Pembayaran Masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (3b) UU KUP yang melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu SPT Masa, harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk
masing-masing jenis pajak
Kemudian tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) Permenkeu No.184/PMK.03/2007, yaitu
dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Dilanjutkan di Ayat (2), hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan
oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Sekedar informasi kembali, bahwa pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan di
kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, bukan ke Kantor Pelayanan Pajak.
Direktorat Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran
pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau
apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN).
Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan, baik yang melakukan pembayaran pajak tersendiri
maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong/Pemungut PPh atau Pemungut PPN, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak
terdaftar. Batas waktu penyampaian SPT sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (3) UU No.28
Th.2007 adalah sebagai berikut :
•· SPT Masa paling lama 20 hari setelah akhir Masa Pajak.
•· SPT Tahunan PPh Orang Pribadi paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak.
•· SPT Tahunan PPh Badan paling lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Kemudian dalam Pasal 8 Ayat (2) Permenkeu No.184/PMK.03/2007, yaitu dalam hal
batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dilanjutkan di Ayat (3), hari libur nasional
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran Pajak ONLINE
Selain membayar pajak secara manual, DJP juga kini mulai menerapkan pembayaran pajak secara
online. Hal ini dilakukan untuk memudahkan masyarakat dalam membayar pajak dan merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak. Demikian dikatakan Direktur
Informasi Perpajakan, Hasan Rashmani di Aula Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kamis
(22/5) usai menandatangani kerjasama dengan BPD Kalimantan, BPD Sulawesi Selatan, BPD DI
Yogyakarta dan Bank Mersika Dharma. Pada saat bersamaan juga ditanda tangani tindak lanjut
kerjasama dengan Bank of America.
Sistem kerjasama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dapat memudahkan masyarakat
dalam melakukan pembayaran pajak tanpa harus datang ke bank yang bersangkutan. Pembayaran
secara on line ini menurutnya dapat dilakukan melalui ATM, bank teller, internet banking, pending
instruction, dan sarana lain yang disediakan oleh bank.
Keuntungan dari sistem pembayaran ini juga dapat mengurangi kolusi korupi dan nepotisme (KKN)
yang biasanya timbul karena adanya persentuhan langsung antara wajib pajak dengan aparat pajak.
Disamping itu, keuntungan lainnya adalah untuk mengurangi peredaran surat setoran pajak (SSP)
palsu. Serta jumlah pajak yang dibayarkan wajib pajak akan tercatat secara akurat.
Selama tahun 2003 jumlah pajak yang dibayarkan masyarakat melalui MP3 sudah mencapai Rp 32,328
triliun dengan jumlah transaksi 1,35 juta SSP. Menurutnya, sistem pembayaran online ini sudah
dilakukan sejak tahun lalu. “Dana yang dibutuhkan untuk membangun sistem ini sekitar Rp 25 milyar,”
katanya. Sampai saat ini sudah ada 83 bank yang sepakat untuk bekerjasama dengan DJP, 62
diantaranya sudah menandatangani perjanjian. “Tetapi hanya 49 bank yang sudah berjalan
aplikasinya,” ujarnya tanpa memberikan alasannya.
Keuntungan lain yang dapat dinikmati wajib pajak dari adanya sistem online ini, masyarakat akan
merasa aman karena tidak perlu membawa uang tunai, data pembayaran pajak dapat segera diterima
oleh DJP tanpa harus melaporkan SSP. Ia mengharapkan dengan adanya kemudahan dan keuntungan
yang diperoleh wajib pajak akan meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam melakukan pembayaran
pajak.
 
Daftar Pustaka

• Irenne, Jeanny, 2006, Persepsi Wajib Pajak Badan terhadap Pemeriksaan Pajak
Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak X, Skripsi Jurusan Akuntansi Universitas
Kristen Petra Surabaya.
• Mardiasmo, 2008, Perpajakan. Edisi revisi. Penerbit Andi, Yogyakarta.
• Pranesti, Dian, 2010, Pengaruh Pemahaman Wajib Pajak tentang PPh, Kepatuhan
Wajib Pajak, dan Sistem Pemungutan PPh terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
(Studi Kasus pada KPP Pratama Pare), Skripsi Jurusan Akuntansi FE-UPN “Veteran”
Jawa Timur, Surabaya.
• Syofyan, Syofrin, 2003, “Sistem Penetapan Pajak (Dalam Kerangka Mencari Sistem
yang Kondusif)”, Jurnal Perpajakan Indonesia, Volume 3, Nomor 4, hal 28-34,
November.
•  
• www.andalsoftware.com
•  
• www.pajak.go.id
•  
• www.skripsi.blog.dada.net

Anda mungkin juga menyukai