Anda di halaman 1dari 5

Riba dan Dampaknya

Artikel ini dipublish pada 29 March 2010 at 19:06 oleh Choir

Dalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun
Sunnah. Al-quran secara tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka
kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan
yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160). Selain Al-quran, banyak pula hadits Nabi yang
dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis dan para saksinya (H.R.Muslim). Riba menurut
Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa
Riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang
menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim).

Nabi Muhammad Saw dalam masa kerasulannya dengan gigih memberantas riba yang
demikian meluas di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa
perekonomian jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang
berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam lainnya
terbatas. Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu sudah tergolong
maju dan kaya. Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga
jalur besar perdagangan dunia, Pertama, lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India
yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang Selatan. Kedua, jalur dagang Romawi dan
Persia disebut sebagai jalur dagang Utara, Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman disebut jalur
Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah sebagai pusat dagang internasional, maka tidak heran
jika mayoritas penduduk Mekkah berprofesi sebagai pedagang.

Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan
menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan
tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai
(hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.

Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah
sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi
terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.

Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah
sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar
pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya untuk
kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang dipastikan terjadi
secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan
Nabi Muhammmad saw secara bertahap dalam kurun waktu lebih dari 22 tahun.

Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang
diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem
ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek
ekonomi bebas riba tersebut harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di tengah
semaraknya sistem ekonomi ribawi saat ini.

Sejak berabad-abad kaum muslimin di berbagai belahan dunia mempratekkan ekonomi


ribawi kapitalisme akibat penjajahan kolonial yang mendesakkan sistem riba itu dalam sistem
ekonomi negara-negara muslim melalui lembaga perbankan, asuransi dan koperasi. Indonesia
termasuk negara yang mempraktekkan sistem riba tersebut, sejak kedatangan penjajah
Belanda ke Indonesia. Maka tidak aneh apabila saat ini sistem ekonomi ribawi begitu masih
dominan dalam sistem perekonomian Indonesia. Undang-Undang yang mengatur tentang
perbankan di Indonesia dalam waktu yang sangat panjang hanya membenarkan sistem bunga.
Baru pada tahun 1992, keluar UU No 7/1992 yang menyebutkan bahwa sistem perbankan di
Indonesia dapat menggunakan sistem bagi hasil. Pada tahun 1992 itu juga lahirlah Bank
Muamalat Indonesia. Selama lima enam tahun berkembang di Indonesia, BMI masih menjadi
pemain tunggal sebagai bank syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia
yang mengakibatkan bank-bank konvensional mengalami goncangan hebat yang pada
akhirnya sebagian besar di antaranya ditutup (dilikuidasi), karena mengalami negative spread,
sedangkan sebagaian lainnya masuk bengkel BPPN.

Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah yang menarapkan sistem bagi hasil selamat dari
bagai krisis tersebut. Hal ini disebabkan karena bank syari’ah menerapkan sistem bagi hasil
Penerapan bagi hasil di bank syari`ah, membuat bank-bank syari`ah lebih tangguh dan tahan
dari pengaruh gejolak moneter, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini disebabkan
karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa¬nan nasabah. Bank syari`ah
hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan
syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari
negative spread.

Banyak kalangan menilai bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997,
disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut di satu sisi
memang benar, namun harus diakui bahwa faktor sistem moneter konvensional yang
memakai instrumen bunga juga menjadi salah satu faktor yang membuat semakin
terpuruknya ekonomi Indonesia. Dalam artikel selanjutnya akan mengupas lebih lengkap
mengenai riba dan dampaknya

Bila pada zaman Nabi dan Khulafaurrasyidin, secara konsisten pengelolaan zakat dalam wujud
kelembagaan berada di bawah tanggung jawab pemerintahan, maka pada masa pasca
Khulafaurrasyidin, tanggung jawab pengelolaan itu sedikit terlepas dari otoritas pemerintah. Karena
rasa tanggung jawab terhadap rakyat yang semakin kurang pada masa kekhalifahan setelah
khulafaur rasyidin. Akibat kepercayaan rakyat yang besar terhadap kepemimpinan Nabi dan
Khalifah-Khalifahnya, ketaatan rakyat untuk menyerahkan pengelolaan zakat kepada negara tampak
begitu besar. Kepercayaan rakyat yang demikian itu, tidak lagi dirasakan oleh penguasa-penguasa
pasca Khulafaurrasyidin. Ini akibat kelalaian-kelalaian mendasar yang mereka lakukan secara sengaja
dan terbuka.

Bila pemerintahan Nabi dan Khulafaurrasyidin berwatak demokratis dan secara konsisten mengabdi
kepada kepentingan rakyat terutama yang berada pada lapisan bawah, maka kepemimpinan pada
masa sesudahnya, merupakan pemerintahan yang dibangun atas dasar kekuatan dan dipertahankan
dengan sistem pewarisan yang dikembangkan. Pemerintah model pertama, meskipun sederhana,
jelas adalah pemerintahan (yang berorientasi pada kepentingan) umat, dimana kesejahteraan rakyat
menjadi tujuan utama dalam pembangunan. Sehingga pembangunan yang dilakukan selalu berupaya
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara pemerintahan model kedua, betapapun
canggihnya, lebih merupakan pemerintahan (yang berorientasi kepada kepentingan)
penguasa/kelompok, sehingga kebijakan yang diambil hanya akan mementingkan keuntungan
segelintir kelompok saja.

Pemerintahan Bani Umayyah, seperti diketahui, merupakan periode pengembangbiakkan benih-


benih feodalisme-nepotisme. Pola demikian sebenarnya, akar-akarnya telah tertanam pada periode
Usman bin Affan. Usman, atas permintaan Muawiyah bin Abi Sofyan di Syria, menyerahkan harta
kekayaan dan tanah peninggalan bangsawan Syria sebagai milik pribadi Muawiyah. Demikian pula,
dia memberikan tanah-tanah yang lain kepada teman-teman Muawiyah sebagai khumus. Pola
kebijakan seperti itu, kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya (kecuali pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Azis). Tanah-tanah tersebut sebenarnya adalah kekayaan umat dan untuk
kepentingan bersama. Dari situ kemudian muncullah tuan-tuan tanah besar di lingkungan kerajaan,
misalnya, Muawiyah, Abdul Malik Al-Walid, serta para wali mereka seperti Al-Hajjaj, Maslamah dan
Walid Al-Qasari. Pada masa tersebut telah terjadi pemusatan kekayaan kepada sekelompok
golongan tertentu yang dekat dengan pusat kekuasaan pada masa tersebut.
Sistem pertanahan seperti itu, sebagai salah satu ilustrasi kebijakan pemerintah Bani Umayyah
menyangkut kekayaan negara, di satu sisi telah menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan kaum
muslimin Mekkah, Madinah dan Irak yang merasa tidak puas dengan status istimewa keluarga-
keluarga Syiria. Masyarakat di Mekkah, Madinah dan Irak merasa telah terjadi ketidakadilan dengan
munculnya pemusatan kekayaan yang diberikan kepada kelompok tertentu di Syiria. Di sisi lain, hal
tersebut telah mempercepat proses urbanisasi masyarakat desa yang kehilangan tanah menuju kota,
dan menimbulkan problem tersendiri. Hal ini tidak ubahnya dengan urbanisasi pada masa ini, yang
pasti akan menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat.

Pergeseran substansial sistem pemerintahan tersebut telah mengundang reaksi rakyat yang tak
kalah mendasarnya. Rakyat yang semula bersikap partisipasi dan mendukung pemerintah, lalu
berubah, sebagian besar bersikap apatis dan pesimis terhadap pemerintahan yang ada. Muncul
kelompok kecil baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan bertekad terus memusuhi.
Mayoritas umat yang bersikap apatis inilah yang kemudian dikenal dengan faksi sunni, kelompok ini
sudah bersikap pasrah atas kondisi yang ada serta pesimis akan terjadi perubahan berarti bagi
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan yang bersikap konfrontatif dikenal sebagai faksi khawarij,
mereka bersikap memusuhi dan bahkan rela membunuh kelompok yang dekat dengan
pemerintahan. Selebihnya adalah kelompok oportunis yang secara bulat dapat menerima model
pemerintahan tersebut. Mereka terdiri dari para birokrat yang umumnya terdiri dari orang-orang
Persia.

Implikasi dari perkembangan politik di atas adalah bahwa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah
sebagai imam yang berwenang mengelola zakat, kian lama kian memudar. Dengan daya
kepemimpinan yang otoriter dan gaya hidup penguasa yang serba mewah, umat semakin sulit untuk
bisa diyakinkan bahwa zakat bahwa zakat yang mereka tunaikan dengan niat ikhlas karena Allah itu
benar-benar dibelanjakan untuk tujuan yang dikehendaki Allah. Pada sisi lain rakyat waspada bahwa
penyerahan zakat kepada pemerintahan yang dzalim bisa berarti pengakuan atas kedzaliman yang
dilakukan. Alasan lain keengganan masyarakat untuk membayar zakat kepada pemerintah adalah
faktor ketidakpercayaan karena tidak adanya transparansi dalam pengelolaan dana, dan
dikhawatirkan hanya dipergunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya sendiri saja.
Dalam pada itu, pemerintah sendiri juga punya masalah. Wilayah kekuasaan yang semakin melebar
melalui proses penaklukan ke berbagai negeri tidak dengan serta merata diimbangi dengan sistem
dan aparat birokrasi yang terampil dan terpercaya untuk menjangkau ke seluruh pelosok kekuasaan.
Kekurangan sdm yang memiliki akuntabilitas dan kapabilitas yang memadai, karena banyaknya
pejabat pemerintah yang diangkat bukan karena kemampuannya, namun lebih ditonjolkan karena
adanya hubungan keluarga atau pertemanan dengan pusat kekuasaan Keadaan ini sebenarnya
sudah mulai terasa sejak masa pemerintahan Usman, dimana beliau banyak menaruh orang-orang
terdekatnya untuk menduduki posisi tertentu di berbagai wilayah.

Perhatian pada pendapatan non-zakat itu misalnya tergambar pada masa Al-Makmur, salah satu
khalifah terkemuka Bani Abbasiyah. Pada masa Al-Makmur terdapat berbagai macam jenis pajak. Ini
karena semakin luas wilayah kekuasaan Al-Makmur dan muncul berbagai macam jenis usaha yang
dapat dijadikan sebagai objek pajak bagi pemasukan dan pendapatan pemerintah. Pajak-pajak resmi
yang terdapat pada masa Al-Makmun antara lain sedekah (termasuk zakat), Jizyah, Kharaj, pajak
awak kapal dan ikan, pajak tambang galian, pajak barang yang memasuki perbatasan, pajak
perniagaan dan pembuatan uang, pajak perdagangan (ekspor), dan pajak pembuatan produk.
Pendapatan terbesar dari semua jenis pajak tersebut adalah Kharaj. Kharaj adalah semacam pajak
yang dikenakan atas tanah yang dimiliki baik oleh masyarakat non muslim atau muslim dan
umumnya diterapkan pada wilayah yang menjadi taklukan perang –pada masa sekarang dikenal
dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), meskipun terdapat sedikit perbedaan, dimana pada masa
tersebut kharaj hanya dikenakan di wilayah yang menjadi taklukan, sementara pada masa sekarang
PBB dikenakan terhadap setiap warga yang memiliki rumah dan bangunan. Dari situ tergambar,
bahwa zakat hanyalah bagian kecil dari sekian komponen yang menyumbang bagi pendapatan
negara. Oleh karena itu wajar bila perhatian pemerintah pada masa tersebut terhadap zakat sangat
kecil, dan kemudian pengelolaan zakat dilakukan oleh swasta.

Kembali ke persoalan kharaj dan jizyah. Secara ekonomis dikatakan memadai, karena pemasukan
dari dua sektor ini saja sudah cukup melimpah untuk sekedar mencukupi kebutuhan belanja negara
yang hanya diperlukan untuk membiayai pegawai dan tentara serta kebutuhan rutin kerajaan.
Bagaimanapun majunya pemerintahan pada saat itu belum ada program pembangunan besar-
besaran yang memerlukan mobilisasi dana secara habis-habisan seperti dewasa ini. Karena
pendapatan dari kharaj dan jizyah saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan negara, maka zakat
kurang menjadi prioritas utama sumber pendanaan negara pada masa itu.

Dikatakan lebih murah secara politis, karena berbeda dengan zakat, sasaran kewajiban kharaj dan
jizyah adalah rakyat yang dilihat dari sudut psiko-politik cenderung tidak akan berani menuntut hak
yang macam-macam. Sasaran jizyah adalah warga non-muslim, sedangkan sasaran kharaj adalah
rakyat muslim dan non-mulim yang di mata kerajaan adalah warga negara taklukan. Selain faktor
ekonomi dan politik, dari sudut agama juga ada kelebihannya. Berbeda dengan zakat yang karena
kedudukanya sebagai rukun Islam dipandang sakral, sehingga menuntut sikap kehati-hatian,
sementara jizyah dan kharaj tidaklah demikian.

Zakat adalah dana umat yang secara eksplisit ditentukan secara langsung oleh Al-Quran untuk siapa
dan untuk keperluan apa harus ditasarufkan. Sedangkan jizyah dan kharaj, meskipun agama tidak
pernah mengizinkan penyalahgunaannya, namun pemerintah memandang ada ruang kebebasan
yang cukup dalam pentasarufanya. Sehingga dalam pengelolaannya negara berwenang penuh,
termasuk dalam hal pengalokasian penggunaan dana tersebut. Terlepasnya otoritas pengelolaan
zakat dari tangan pemerintah benar-benar tuntas sejak abad ke 17. ketika umat Islam di berbagai
penjuru jatuh ke tangan penjajahan barat yang kafir. Dalam keadaan demikian, kekuasaan de facto
yang mengendalikan kehidupan umat adalah “imamat swasta” yang bepusat pada tokoh-tokoh
keagamaan terutama pada guru sufi selaku pemandu kehidupan agama rakyat. Melalui pengaruh
merekalah masyarakat Islam membangun kehidupannya sendiri yang hampir sepenuhnya terpisah
dari kaitan apapun dengan kekuasan formal yang menjajah itu. Dari pesantren, kyai mengatur
kehidupan rakyatnya menurut apa yang dianggap benar, sesuai norma keagamaan diimani. Sebab di
mata rakyat para tokoh dan ulama tersebut dapat dipercaya dan dapat dijadikan panutan oleh
mereka, dan mereka yakin bahwa zakat yang mereka bayarkan kepada para tokoh agama tersebut
akan sampai kepada yang membutuhkan dan tidak akan disalahgunakan dalam penggunaannya.
Loyalitas rayat kepada tokoh-tokoh keagamaan sebagai tokoh informal, dalam banyak hal
memperlihatkan tingkatan yang lebih kental dan lebih tinggi ketimbang loyalitas yang diberikan
rakyat kepada penguasa formal merupakan loyalitas yang direkayasa dari luar negeri. Rakyat akan
lebih mendengarkan himbauan yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh informal daripada tokoh-tokoh
formal. Demikian tingginya loyalitas kepada tokoh keagamaan, sehingga dana yang mereka terima
dari rakyat pun tidak hanya zakat sebagai kewajiban standar, tetapi juga dana-dana lain yang bersifat
ekstra (nafilah), seperti wakaf, hibah, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai