Anda di halaman 1dari 11

BAB 2.

PEMBAHASAN

1. Sekilas tentang Manusia


Dalam pembahasan mengenai “Manusia dan Pendertaan” ini, menurut saya, sebenarnya
tidak begitu perlu untuk membicarakan mengenai siapa itu manusia, karena manusia itu tidak
lain adalah diri kita sendiri. Sehingga bisa dikatakan pengetahuan kita terhadap konsep manusia
adalah pengetahuan Hudhuri (self evident), karena manusia itu sendiri yang mempelajari dirinya.
Namun disini saya akan memberikan sedikit penyampaian tentang manusia, yang akan
menghubungkan ke pembahasan berikutnya yakni tentang Penderitaan.
Manusia dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yakni dari Hakikat dan Realitas. Dari segi
Hakikat, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu pandangan ruhiyyun
(metafisikisme) dan madiyyun (materialisme).
Pandangan ruhiyyun menyatakan bahwa manusia adalah suatu hakikat yang terdiri atas
ruh dan badan. Ruh bersifat abadi dan tidak akan ikut sirna dengan kematian manusia.
Sedangkan pandangan madiyyun menyatakan bahwa manusia tidak lebih dari sebuah motor
mekanis, dan ketika sampai pada kematiannya, semuanya sirna dan berakhir. Dengan dikuburnya
jasad manusia, maka kepribadiannya pun ikut musnah terkubur.
Sedangkan jika Manusia dilihat dari Realitasnya, maka baik golongan ruhiyyun maupun
golongan madiyyun, menyepakati bahwa ada serangkaian nilai yang berasal dari sesuatu yang
sifatnya non-materi (spiritual), yang mempengaruhi kepribadian manusia. ke-insaniyyah-an
manusia tergantung dari nilai – nilai tersebut. Artinya, ketika manusia kehilangan serangkaian
nilai – nilai tersebut, maka manusia juga kehilangan statusnya sebagai “manusia”.

Badan manusia mulia karena ruhnya


tubuh yang indah bukanlah tanda kemanusiaan
Jika manusia itu (disebut) manusia karena mata, telinga atau lidahnya
maka apa bedanya antara manusia dan gambar manusia di dinding
(Sa’di)
Salah satu yang khas dalam diri manusia yaitu jiwa, atau dalam bahasa arab dikenal
dengan istilah “Nafs”. Dengan nafs, manusia bisa mengenal Tuhannya. Sebagaimana yang
terdapat dalam Biharul Anwar 2: 32, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa yang
mengenal dirinya (nafs) maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya”. Namun, disisi lain, nafs

Page 1 of 11
juga bisa menimbulkan penderitaan, misalnya nafs Ammarah, yang merupakan dorongan untuk
keras kepala, keras hati, lekas marah, suka mencela, suka menentang, berontak dan cemburu.1
Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna penderitaan, yang akan dibahas pada
pembahasan selanjutnya. Selain itu juga, akan dibahas mengenai sumber – sumber penderitaan,
yang mana salah satu sumbernya adalah nafs.

2. Makna Penderitaan
Penderitaan berasal dari kata dasar “Derita”. Kata Derita sendiri berasal dari bahasa
Sansekerta “dhara”, yang artinya menahan atau menanggung. 2 Sebagaimana yang kita pahami
dalam kehidupan ini bahwa penderitaan adalah menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak
menyenangkan. Ketika kita merasakan sakit maka itu salah satu bentuk penderitaan, ketika kita
merasakan kekecewaan maka itu juga merupakan penderitaan.
Penderitaan itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi konsekuensi didalam
kehidupannya untuk merasakan penderitaan, seperti halnya manusia merasakan kebahagiaan.
Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Surat Al-Balad ayat 4, yang berbunyi:

‫لقد خلقنا اإلنسان فى كبد‬


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
(QS Al Balad: 4).

Penderitaan bisa bersifat lahir dan bisa juga bersifat bathin (psikis). Penderitaan yang
sifatnya lahir misalnya sakit, kelaparan, kecelakaan, terjatuh, terpeleset, dan lain sebagainya.
Adapun penderitaan yang sifatnya bathin misalnya, kekecewaan, mengalami stress, tekanan jiwa,
beban pikiran, gangguan mental, kebimbangan, ketakutan, kesepian dan lain sebagainya.
Penderitaan memiliki tingkatan yang bermacam – macam, tergantung orang yang
merasakannya. Bisa jadi penderitaan yang berat akan terasa ringan bagi seseorang, dan juga
sebaliknya, penderitaan yang ringan bisa jadi terasa sangat berat bagi orang lain.

1
Lihat, Drs. H. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, 2002, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, hal. 116.
2
Lihat, Drs. H. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, 2002, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, hal. 114.

Page 2 of 11
Reaksi dari penderitaan yang dirasakan oleh seseorang pun berbeda – beda. Terkadang
seseorang akan kehilangan semangat hidup ketika ia mengalami suatu penderitaan yang
menurutnya berat, sehingga ia terpuruk dalam kondisi yang menyedihkan. Namun, dilain pihak,
ada juga orang yang menjadikan penderitaan sebagai sebuah batu loncatan untuk mencapai
keberhasilan dimasa yang akan datang.
Pada dasarnya, derita itu sendiri adalah sebuah nikmat, rasa, pengetahuan serta
kesadaran. Karena, siapa yang lebih banyak merasakan derita berarti ia lebih sadar dan lebih
mengetahui. Dan orang yang tidak pernah merasakan derita, sama halnya dengan seseorang yang
kebal, bebal, tidak memiliki kesadaran dan tidak mengetahui. Sebaliknya, merasakan derita sama
halnya dengan kefahaman, kesadaran dan pengetahuan. Misalnya, ketika kita merasakan sakit
perut, maka itu menjadi semacam sinyal dari tubuh kita bahwa ada makanan yang tidak cocok
bagi tubuh kita, sehingga kita tidak boleh mengkonsumsinya lagi. Untuk lebih rincinya saya
berikan sebuah ilustrasi sebagai berikut: “Seorang anak kecil pagi – pagi sebelum sarapan
memakan mangga muda. Kemudian pada siang harinya perutnya terasa melilit. Kemudian orang
tuanya mengantarkan anak kecil tadi ke dokter untuk diperiksa dan diobati. Karena anak kecil
tadi takut sakit perut itu terulang kembali, maka ia tidak lagi memakan mangga muda pagi – pagi
sebelum sarapan.” Dari ilustrasi tersebut, menggambarkan bahwa penderitaan yang dirasakan
anak kecil tadi merupakan sinyal dari dalam tubuh bahwa memakan mangga pagi – pagi sebelum
sarapan itu tidak baik bagi tubuhnya. Dengan demikian penderitaan pada dasarnya merupakan
sebuah nikmat bagi manusia.

3. “Ketakutan” sebagai salah satu sebab Penderitaan


Ketakutan merupakan salah satu penyebab penderitaan yang sifatnya bathin (psikis).
Seseorang akan merasa takut untuk melakukan sesuatu jika Mindset-nya sudah mengatakan
bahwa tindakan tersebut akan membahayakan bagi dirinya atau orang dikasihinya. Perasaan
takut juga sebenarnya memiliki effek yang baik bagi manusia, yakni agar berhati – hati dalam
bertindak atau mengambil keputusan. Misalnya, ketika saya akan menghadapi Ujian Tengah
Semester (UTS), ada perasaan takut kalau saya mendapatkan nilai yang kurang memuaskan.
Oleh karena saya takut mendapatkan nilai yang kurang memuaskan, maka saya belajar
semaksimal mungkin, agar apa yang saya takutkan tidak terjadi. Atau contoh lainnya yaitu,
ketika saya mengalami kegagalan dan saya takut kegagalan itu akan terulang kembali dimasa

Page 3 of 11
mendatang, maka saya berusaha lebih keras dan lebih berhati – hati lagi dalam bertindak agar
saya tidak terperosok ke dalam lubang yang sama. Itu merupakan effek positif dari rasa Takut.
Namun, seringkali rasa takut itu dibesar – besarkan dan tidak pada tempatnya. Ketakutan
seperti ini disebut “Phobia”.3 Ketika seseorang sangat takut untuk mengalami suatu kegagalan,
maka ia tidak akan berani untuk memulai suatu usaha atau tindakan, karena Mindset-nya sudah
mengatakan bahwa “saya akan gagal!”.
Adapun yang menyebabkan seseorang mengalami ketakutan antara lain sebagai berikut:4
a) Claustrophobia dan Agoraphobia
Claustrophobia Adalah ketakutan terhadap tempat tertutup, sedangkan Agoraphobia
adalah ketakutan terhadap tempat terbuka.
b) Gamang
Gamang adalah ketakutan pada tempat yang memiliki ketinggian.
c) Kegelapan
Yakni ketakutan terhadap tempat – tempat yang kondisinya gelap.
d) Kesakitan
Yakni ketakutan yang diakibatkan rasa sakit yang akan dialami. Misalnya, ketika akan
disuntik oleh dokter, seorang anak kecil berteriak padahal jarum suntik belum di
suntikkan.
e) Kegagalan
Yakni ketakutan yang disebabkan adanya keyakinan bahwa apa yang hendak dilakukan
akan mengalami kegagalan. Orang yang memiliki phobia kegagalan ini akan mudah
menyerah sebelum mencoba, karena ada rasa trauma terhadap kegagalan yang dulu
pernah dialami.

4. Derita sebagai Bukti Nilai Insani


Semua nilai insani atau spiritual yang dimiliki manusia berpusat pada satu poros, yang
darinya terpancar semua nilai-nilai insani, yaitu “Derita”, yang merupakan standar dari
kemanusiaan.5 Dengan demikan derita inilah yang membedakan antara manusia dan selain
manusia. Karena Manusia adalah maujud yang mempunyai derita yang tidak dimiliki oleh selain

3
http://ebookbrowse.com/bab6-manusia-dan-penderitaan-pdf-d117584461.
4
http://ebookbrowse.com/bab6-manusia-dan-penderitaan-pdf-d117584461.
5
Diakui baik oleh para sufi maupun intelektual modern.

Page 4 of 11
manusia. Yang dimaksud “Derita” disini yaitu derita yang hakiki. Kalau hanya sekedar derita
karena sakit kepala atau sakit gigi, maka itu bukanlah derita hakiki, karena hewan pun merasakan
penderitaan tersebut.
Menurut Urafa, derita manusia yang sebenarnya adalah “Derita Ma’rifatullah” (derita
mengenal Allah). Jenis derita inilah yang merupakan tanda sekaligus keistimewaan manusia,
dibanding makhluk-makhluk lainnya. Dan derita inilah yang mengantarkan manusia pada derajat
yang lebih tinggi melampaui para malaikat. Manusia datang dari dunia lain, yang tidak seratus
persen sama denganmakhluk-makhluk lainnya yang ada di dunia. Manusia selalu merasa asing,
karena tidak memiliki kesamaan dengan maujud - maujud lain di dunia. Semuanya akan fana dan
sirna, kecuali manusia yang merasa bahwa di balik dirinya ada sesuatu yang kekal dan abadi.
Derita inilah yang mendorong manusia untuk melakukan ibadah, doa, penyucian diri dan
serangkaian aktivitas spiritual lainnya. Sebagai contoh adalah sosok Imam Ali as. Baginya
apapun yang sangat sulit bagi para penyembah materi, adalah sangat mudah dan gampang.
Menyendiri dan berkhalwat dengan Allah, perbuatan yang sangat ditakutkan para jahil, namun
baginya adalah kemesraan dan kenyamanan yang tiada taranya. Ia di dunia hidup bergaul dengan
masyarakat, namun ruhnya berada di alam lain yang sangat tinggi. Pada saat yang sama, ia
berada di dunia dan di luar dunia. Inilah derita-derita Ali as. derita-derita irfani, derita ibadah dan
munajat. Begitu khusyu’nya beliau beribadah, begitu hangat dan mesranya beliau berdialog
dengan kekasih idamannya, sehingga beliau tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya.
Bahkan beliau tidak merasakan apa-apa ketika anak panah dicabut dari punggungnya.

Page 5 of 11
Manusialah

yang selalu gelisah

dan

berharap kembali kepada dunia asalnya,

Ia mengalami derita (kerinduan) irfani

untuk segera menemui

Dzat yang Azali dan Kekal untuk menyatu.

Manusia yang memiliki nilai-nilai insani

adalah mereka yang mengalami derita hakiki

dalam kehidupan di dunia ini.

(Jalaluddin Rumi, dalam Matsnawi).

Page 6 of 11
5. Sumber – Sumber Penderitaan
a. Hakikat Manusia
Sebagaimana yang kita pahami bahwa manusia terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jasmani
dan unsur rohani. Jasmani merupakan unsur yang hidup pada pribadi manusia dan bisa ditangkap
oleh pancaindera manusia. Didalam jasmani manusia ada dua unsur yang selalu berhubungan,
yaitu Otak dan Pancaindera. Didalam Otak ada berbagai pusat kemampuan manusia. Pancaindera
merupakan alat jendela atau pintu tubuh manusia, sehingga manusia mampu menerima atau
menangkap segala sesuatu yang berada dilingkungannya. Sementara Rohani merupakan unsur
yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Rohani memiliki alat dan kemampuan,
yaitu Nafsu, Perasaan, Pikiran, dan Kemauan.6
 Nafsu, adalah semua dorongan yang ditimbulkan oleh segala macam kebutuhan, termasuk
pula instink, sehingga menimbulkan keinginan.7 Perbedaan antara keinginan dan nafsu
sendiri belum jelas. Bahkan, Poedjawijatna menyamakan antara keinginan dan nafsu.8
Didalam Tasawwuf Islam, Nafsu dibagi menjadi empat bagian yaitu:9
i. Muthmainnah, yaitu berupa dorongan untuk berbuat kebaikan, berprikemanusiaan,
berbuat etis, adil, tidak mementingkan diri sendiri, bijaksana dan selalu mengadakan
penyesuaian diri dengan apa yang dihadapi.
ii. Lawammah, yakni berupa dorongan untuk tamak, rakus, suka memfitnah, dan malas.
iii. Ammarah, yakni berupa dorongan untuk keras kepala, keras hati, lekas marah, suka
mencela, suka menentang, berontak dan cemburu.
iv. Supiah, yakni berupa dorongan asmara pada diri manusia. Termasuk didalamnya
dorongan untuk berkuasa, keinginan untuk mencampuri urusan orang lain dan keinginan
untuk mempercantik diri.
Keempat nafsu itu semuanya dimiliki manusia, namun memiliki intensitas pengaruh yang
berbeda – beda, tergantung pada proses sosialisasinya, terutama sosialisasi ketika masih kanak –
kanak. Jadi, bisa saja yang dominan dalam diri seseorang adalah nafsu muthmainnah, misalnya
pada diri Rasulullah saw. Dan mungkin pula yang dominan adalah nafsu Ammarah, misalnya
pada orang – orang kafir yang menentang Rasulullah saw.

6
Lihat, Drs. H. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, 2002, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, hal. 114.
7
Ibid., hal. 115.
8
Ibid.
9
Ibid., hal. 116.

Page 7 of 11
Barangkali menurut saya, yang menjadi sumber penderitaan adalah dorongan yang kuat
dari nafsu Amarah, Lawammah, dan Supiah. Sedangkan dorongan dari nafsu Muthmainnah tidak
akan menimbulkan penderitaan bagi manusia.
 Perasaan, adalah hal – hal yang menyangkut suasana bathiniah manusia. 10 Perasaan muncul
akibat adanya kontak antara manusia dengan lingkungannya. Perasaan dapat menjadi sumber
penderitaan ketika reaksi yang terjadi dari adanya kontak tersebut, tidak sesuai dengan
harapan atau keinginan pribadi. Misalnya, ketika seorang pria memiliki perasaan suka
terhadap teman perempuannya, maka ia berharap agar temannya tersebut juga memiliki
perasaan yang sama, seperti apa yang ia rasakan. Namun, ketika kenyataan mengatakan lain,
—ternyata perempuan tadi tidak menyukai dirinya— maka perasaan yang timbul akan
menjadi sumber penderitaan.
 Pikiran, adalah sesuatu yang membuat manusia bisa mempertimbangkan, membedakan, dan
mengambil keputusan berdasarkan alasan – alasan tertentu. 11 Dengan pikiran ini, manusia
bisa mengetahui sesuatu. Tahu berarti menghubungkan secara mental sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Jika hubungan ini sesuai dengan realitas, maka pengetahuan itu benar. Begitu juga
sebaliknya, jika hubungan tersebut tidak sesuai dengan realitas, maka pengetahuan itu salah.
Menurut saya, Pikiran bisa menjadi sumber penderitaan ketika pikiran tidak mampu
menjalankan fungsinya sebagai pengambil keputusan. Misalnya, ketika siswa lulusan SMA
dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara kuliah dan bekerja, sedangkan akal sehatnya tidak
dapat mempertimbangkan, yang mana yang harus ia pilih, maka hal itu juga dapat
menimbulkan penderitaan.
 Kemauan, adalah sesuatu yang menjadikan manusia memungkinkan untuk memilih
berdasarkan pertimbangan akal atau pikiran.12 Menurut saya, kemauan dapat menjadi sumber
penderitaan ketika kemauan tersebut tidak didasarkan pada pikiran, ataupun didasarkan pada
pikiran yang keliru. Misalnya, ketika seseorang merasa lapar, sementara ia tidak mempunyai
uang yang cukup untuk membeli makanan. Kemudian ia melihat orang yang sedang lengah,
maka timbul keinginan untuk mengambil dompet orang tersebut. karena tidak didasarkan
pada pikiran ataupun didasarkan pada pikiran yang keliru, maka ia mencopet dompet orang

10
Lihat, Drs. H. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, 2002, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, hal. 116.
11
Ibid., beserta pemahaman dari saya pribadi.
12
Ibid., beserta pemahaman dari saya pribadi.

Page 8 of 11
yang sedang lengah tadi. Dari situ akan muncul penderitaan akibat dosa yang diperbuatnya
(al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin)13.
b. Dorongan Memenuhi Kebutuhan
Untuk mempertahankan keberadaan serta kehidupannya, manusia di tuntut untuk
memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya. Di dalam memenuhi
kebutuhan ini nafsu memegang peranan yang penting. Nafsu atau dorongan ini cenderung
menuntut di penuhinya kepuasan akan keinginan. Dalam usaha memenuhi nafsu ini manusia
menggunakan daya kehendak, dan akal budi serta perasaan yang dimilikinya untuk memilih dan
mempertimbangkan jalan mencapai obyek yang dituju. Kehendak dan akal budi
mempertimbangkan jalan dan materi yang merangsang manusia untuk dapat direalisasikan dalam
bentuk perbuatan. Dalam memenuhi kebutuhan ini, mungkin saja apa yang jadi tujuan bisa di
penuhi, tetapi juga bisa saja tujuan tersebut tidak terpenuhi. Bila tujuan bisa dipenuhi, maka rasa
kepuasan, kegembiraandan kesenangan dapat diperoleh. Tetapi bila tujuan tidak dapat di penuhi,
maka akan terjadi penyesalan, kesedihan dan penderitaan.14

13
Lihat, Drs. H. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, 2002, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, hal. 112.
14
Ibid., hal. 117.

Page 9 of 11
BAB 3. KESIMPULAN

Penderitaan memang tidak bisa dinafikan eksistensinya di dalam kehidupan ini, namun
manusia bisa menghindarinya ataupun mengurangi beban penderitaan yang ditanggung. Jika
dilihat dari sumber – sumbernya, ternyata penderitaan itu sebenarnya bersumber dari diri kita
sendiri. Beban yang dirasakan dari suatu penderitaan pun tergantung dari kita meresponnya. Bisa
jadi penderitaan yang ringan terasa sangat berat, dan bisa juga sebaliknya, penderitaan yang berat
bisa terasa sangat ringan. Maka dari itu, bahkan kita sangat mungkin untuk menjadikan
penderitaan itu sebagai jalan menuju kebahagiaan.
Dengan memahami makna “Penderitaan”, maka kita bisa mengubah penderitaan menjadi
jalan menuju kebahagiaan. Sebagaimana yang dicontohkan nabi kita Muhammad saw ketika
menyeru kepada orang – orang jahiliyyah untuk masuk islam, beliau mendapatkan berbagai
ancaman yang membahayakan nyawanya. Singkatnya beliau mengalami penderitaan dalam
hidupnya. Tapi beliau tidak pernah mengeluh atas berbagai cobaan yang dihadapinya, beliau
tetap bersabar demi sampainya risalah Allah swt, sehingga beliau tidak merasakan penderitaan
itu, bahkan mengubahnya menjadi kebahagiaan yang hakiki.
Itulah contoh sikap yang diajarkan Rasulullah saw dalam menghadapi penderitaan di
dunia ini agar kita selamat serta bahagia di dunia dan di akhirat.

Page 10 of 11
DAFTAR PUSTAKA

-----Notowidagdo, Drs. H. Rohiman. 2002. Ilmu Budaya Dasar berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
-----Nizami. 2004. Laila Majnun. Bandung: Ilmu Books.
-----Jami’, Maulana Abdurrahman. 2007. Ensiklopedi Tokoh Sufi. Bandung: Beranda.
-----Syah, Idris. 2005. 100 Kisah Rumi. Bandung: Pustakan Hidayah.
-----http://ebookbrowse.com/bab6-manusia-dan-penderitaan-pdf-d117584461.

Page 11 of 11

Anda mungkin juga menyukai