Anda di halaman 1dari 4

PENGANGKATAN SAYYIDINA ABU BAKAR SEBAGAI KHALIFAH

Proses pengangkatan Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah dilakukan didalam satu
musyawarah atau pertemuan di Saqifah Bani Saidah (sebuah Balairung di kota Madinah).
Pertemuan tersebut diadakan oleh orang-orang Anshar, dalam rangka memilih seorang Khalifah
sebagai pengganti Rasulullah SAW. hal itu mereka lakukan dikarenakan saat itu orang-orang
Anshar dan Muslimin lainnya berkeyakinan, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk
seseorang sebagai penggantinya.

Pada awalnya kaum Anshar akan mengangkat seseorang dari mereka, yaitu Saad bin Ubadah
untuk menduduki jabatan Khalifah. Namun setelah beberapa tokoh Muhajirin menyusul datang
dan ikut bermusyawarah, maka diantara orang-orang Anshar ada yang bersikap agak lunak dan
menyarankan agar dari Anshar diangkat seorang Amir dan dari Muhajirin diangkat seorang
Amir.

Tapi Alhamdulillah, setelah Sayyidina Abu Bakar berpidato dan menerangkan keutamaan
Muhajirin untuk menduduki jabatan Khalifah, maka akhirnya orang-orang Anshar menyadari hal
tersebut dan menerima saran-saran dari Sayyidina Abu Bakar. Selanjutnya Sayyidina Abu Bakar
mengakhiri pidatonya dengan sarannya, agar hadirin mengangkat salah satu dari sesepuh
Muhajirin yang hadir di pertemuan tersebut, yaitu Sayyidina Umar atau Abu Ubaidah Ibnul
Jarroh.

Mendengar saran yang penuh dengan keikhlasan dari Sayyidina Abu Bakar tersebut, Sayyidina
Umar langsung menyahut : “Tidak, tidak mungkin saya diangkat sebagai pemimpin satu kaum
sedang dalam kaum itu ada engkau.” Yang dimaksud oleh Sayyidina Umar tersebut adalah tidak
ada orang yang lebih pantas untuk menduduki jabatan khalifah, melebihi Sayyidina Abu Bakar.
Memang keutamaan Sayyidina Abu Bakar bukan rahasia lagi bagi para sahabat. Demikian
diantara kata-kata Sayyidina Umar, selanjutnya seraya mengulurkan tangannya beliau berkata
kepada Sayyidina Abu Bakar : “Ulurkan tanganmu, untuk aku bai’at.”

Setelah Sayyidina Umar membaiat Sayyidina Abu Bakar, hadirinpun segera berebut membaiat
Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah. Besoknya dimasjid Nabawi diadakan pembai’atan umum
dan Alhamdulillah berjalan dengan baik dan lancar, dan saat itu tidak ada satu orangpun yang
protes atau tidak menyetujui pembai’atan tersebut. Hal mana karena semua sepakat, agar
kekosongan pimpinan harus segera diisi. Bahkan pemakaman Nabi terpaksa diundur, karena
menunggu terpilihnya Khalifah. Apabila ada keterlambatan dari dua tiga orang dalam membai’at
dikarenakan alasan masing-masing, toh akhirnya semua menerima dengan ikhlas pengangkatan
Sayyidina Abu Bakar tersebut.

Perlu diketahui bahwa sahnya seorang Khalifah, tidak harus dengan di bai'at oleh seratus persen
Muslimin, tapi yang penting dibai'at oleh mayoritas Muslimin. Hal ini dikuatkan dengan
keterangan Imam Ali, dimana ketika Imam Ali berkirim surat kepada Muawiyah, beliau
memberitahukan bahwa pengangkatan beliau sebagai Khalifah itu sah, karena beliau juga telah
di bai'at oleh orang-orang yang telah membai'at Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar serta
Sayyidina Ustman. Selanjutnya Imam Ali berkata:
“Apabila dalam permusyawaratan itu diputuskan mengangkat seseorang, maka Allah
akan meridhoinya dan semua yang hadir harus menyetujuinya, sedang bagi yang tidak
hadir, tidak boleh menolak. Kemudian bila ada yang membangkang, maka harus
diperingatkan dahulu, dan apabila tetap membangkang maka harus di perangi“.

Demikian kata-kata Imam Ali, dimana diantaranya menunjukkan pengesahannya atas


kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar serta Sayyidina Ustman. Disamping
merupakan pengarahan-pengarahan dari beliau kepada kaum Muslimin, dalam menghadapi
orang-orang yang tidak mengakui atau menolak kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina
Umar dan Sayyidina Ustman. Surat Imam Ali kepada Muawiyah tersebut dikirim saat Imam Ali
diangkat sebagai Khalifah keempat dan surat ini dimuat dalam kitab Nahjul Balaghoh, satu kitab
yang sangat diagungkan oleh orang-orang Syiah.

Yang perlu digaris bawahi dari permusyawaratan di Saqifah Bani Saidah tersebut adalah, bahwa
yang mengadakan pertemuan itu, adalah orang-orang Anshar, bukan Sayyidina Abu Bakar atau
Sayyidina Umar atau orang-orang Muhajirin yang lain. Karenanya kita umat Islam wajib
berterima kasih kepada tokoh-tokoh Muhajirin, yang begitu mendapat informasi mengenai
adanya pertemuan di Saqifah, segera mendatangi pertemuan tersebut. Sehingga perpecahan tidak
sampai terjadi. Sebab dapat kita bayangkan, apa yang akan terjadi andaikata orang-orang Anshar
sampai mengangkat Khalifah sendiri.

Disamping itu pertemuan di Saqifah tersebut, membuktikan tidak adanya wasiat mengenai
penunjukan atau pengangkatan pengganti Rasulullah SAW. Sebab apabila ada wasiat dari
Rasulullah, pasti dalam permusyawaratan tersebut akan menjadi pokok pembahasan. Tapi
kenyataannya tidak ada satu orangpun yang menyampaikan argumentasinya mengenai adanya
pengganti Rasulullah SAW. Memang saat itu ajaran Ibnu Saba’ belum ada, sebab dia belum
masuk Islam.

Sedang argumentasi yang sering dibawa oleh orang-orang Syiah sekarang adalah hasil
rekayasa ulama-ulama Syiah yang mengartikan hadits-hadits Rasulullah menurut selera
mereka, demi untuk menunjang ajaran-ajaran mereka.

Apabila disana sini ada semacam tanda-tanda yang diartikan oleh beberapa orang sebagai isyarat
untuk menjadi pengganti Rasulullah SAW setelah wafatnya, misalnya : Rasulullah SAW
memerintahkan atau menunjuk Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi penggantinya dalam
mengimami shalat, atau Rasulullah mengangkat Sayyidina Ali sebagai pemimpin dalam perang
Khaibar, atau Rasulullah mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pemimpin (ad interim) di
Madinah, disaat Rasulullah pergi berperang, atau Rasulullah mengangkat orang-orang lain
sebagai pemimpin (ad interim) juga di Madinah, saat Rasulullah dalam peperangan-peperangan
yang lain, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti penunjukan atau pengangkatan
sebagai pengganti Rasulullah setelah wafatnya.

Perlu kita sadari bahwa masalah Khalifah, adalah masalah yang sangat penting. Karenanya
apabila Rasulullah akan menunjuk seseorang untuk menduduki jabatan tersebut, pasti akan
dikatakannya dengan jelas dan tegas dan tidak dengan samar-samar.
Dalam hal ini seorang  cucu Imam  Ali yang bernama Hasan Al-Muthanna bin Hasan bin
Ali bin Abi Thalib, ketika ditanyakan kepadanya, apakah hadits :

“Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu“ itu merupakan Nash pengangkatan Imam Ali
sebagai Khalifah, bila Rasulullah wafat ?. Beliau menjawab : Apabila yang dimaksud oleh
Rasulullah itu kekhalifahan sesudahnya, maka beliau akan berkata dengan jelas sebagai berikut :
“Hai orang-orang, ini adalah penggantiku yang akan memimpin kalian sesudahku, maka
dengarkanlah dia dan patuhi“.

Kemudian lanjut cucu Imam Ali tersebut : “Saya bersumpah demi Allah, andaikata Allah dan
Rasul-Nya menunjuk dan memilih Ali untuk menduduki jabatan Khalifah tersebut, dan
kemudian Ali tidak melaksanakannya, maka beliau adalah orang pertama yang meninggalkan
perintah Allah dan Rasul-Nya”.

Ketika penanya bertanya lagi : “Tidakkah Rasulullah pernah berkata : “Man Kuntu Maulahu Fa
Aliyyun Maulahu ?”. Beliaupun langsung menjawab: “ Demi Allah, apabila yang dimaksud
Rasulullah itu mengenai Khalifah, maka beliau akan berkata dengan terang dan jelas,
sebagaimana beliau menjelaskan mengenai shalat dan zakat, dan akan berkata : “Hai orang-orang
sesungguhnya Ali adalah pemimpin kalian sesudahku dan dia yang akan meneruskan
perjuanganku”.

Itulah jawaban cucu Imam Ali mengenai hadits tersebut dan sekaligus sebagai petunjuk dari
beliau mengenai tidak adanya wasiat dari Rasulullah SAW mengenai pengganti beliau.
Andaikata maksud hadits tersebut sebagai penunjukan dan pengangkatan Imam Ali sebagai
Khalifah bila Rasulullah wafat, sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Ibnu Saba’, maka pasti
hadits tersebut akan menjadi pokok pembahasan dalam pertemuan di Saqifah Bani Saidah.
Sedang kenyataannya tidak satu orangpun yang menyebut-nyebut hadits itu. Hal mana karena
hadits tersebut memang tidak ada hubungannya dengan kekhalifahan, dan faham yang demikian
itu sudah menjadi keyakinan kaum Muslimin saat itu, termasuk keyakinan Imam Ali dan Ahlul
Bait yang lain. Bahkan apabila hadits tersebut, dimaksudkan sebagai penunjukan dan
pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat, maka pertemuan untuk memilih
Khalifah di Saqifah Bani Saidah tidak akan terjadi atau tidak sampai diadakan, sebab otomatis
begitu Rasulullah wafat, Imam Ali langsung menjadi Khalifah, sebab beliau sudah diangkat oleh
Rasulullah.

Namun kenyataannya Imam Ali tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pengganti
Rasulullah dan tidak pernah menuntut kekhalifahan dari Sayyidina Abu Bakar dengan
membawa argumentasi atau menyebut hadits tersebut.

Demikian diantara bukti tidak adanya wasiat dari Rasulullah mengenai ditunjuknya Imam Ali
sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat. Karena apabila ada perintah atau wasiat tersebut pasti
sudah dikerjakan oleh Imam Ali, apapun akibatnya.

Apabila ulama-ulama Syiah berkata, bahwa Imam Ali tidak melaksanakan perintah atau wasiat
Rasulullah tersebut karena takut fitnah, maka keyakinan mereka itu justru menambah kesesatan
mereka dan dapat menjurus kepada kekufuran.
Sebab kata-kata mereka itu bila dijabarkan, berarti Rasulullah menunjuk Imam Ali menjadi
Khalifah itu untuk membuat fitnah atau agar terjadi fitnah. Karenanya menurut mereka, Imam
Ali berkeyakinan lebih baik meninggalkan perintah Rasulullah daripada melaksanakan perintah
atau wasiat Rasulullah yang dapat membawa fitnah dan malapetaka bagi umat Islam.

Itulah argumentasi ulama-ulama Syiah, yang apabila kita amati justru menuduh dan menghina
Rasulullah dan Imam Ali. Padahal kita umat Islam berkeyakinan, bahwa Rasulullah diutus oleh
Allah sebagai Rahmatan Lil Alamin dan tidak untuk membuat fitnah.

Adapun Imam Ali, maka dalam sejarah versi Ahlussunnah Waljamaah, beliau dikenal sebagai
seorang pemimpin yang arif lagi bijaksana. Namun dalam mempertahankan haknya sebagai
Khalifah, beliau sampai berperang dengan siapa saja yang dianggapnya memberontak. Seperti
dalam perang Jamal, perang Shiffin dan dengan orang-orang Khowarij.

Beliau tidak mengenal istilah takut fitnah atau takut mati dalam mempertahankan haknya sebagai
Khalifah, apalagi dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Itulah diantara sifat-sifat
mulia Imam Ali, namun oleh ulama-ulama Syiah, beliau sering digambarkan sedikit-sedikit
Taqiyah atau sedikit-sedikit takut ini dan takut itu, sampai meninggalkan dan menghianati
perintah Allah dan Rasul Nya.

Demikian sedikit mengenai jalannya pertemuan atau permusyawaratan di Saqifah Bani Saidah.
Sehingga dapat kita pastikan, bahwa pengangkatan Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah
tersebut tidak direncanakan terlebih dahulu atau diatur sebelumnya, tapi secara tiba-tiba atau
dalam istilah Sayyidina Umar disebut Faltah. Dimana asal mulanya orang-orang Anshor
merencanakan akan mengangkat seseorang dari mereka sebagai Khalifah, tapi Allah
menghendaki Sayyidina Abu Bakar yang menjadi Khalifah, sehingga secara tiba-tiba hadirin
membai'at Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah dan selamatlah Muslimin dari perpecahan.
[albynt/syiahindonesia.com]

Anda mungkin juga menyukai