Anda di halaman 1dari 6

Muqoddimah By: Nanang Rosidi Membahas persamaan secara umum antara ilmu fiqih dengan ilmu ushul fiqih

dengan meninjau definisi keduanya, serta penjelasan tentang tema, tujuan, kemunculan, dan perkembangannya. Definisi: Salah satu kesepakatan ulama muslim terlepas dari perbedaan mazhabmazhab mereka yakni bahwa segala yang bersumber dari manusia berupa

ucapan, perbuatan, apakah itu termasuk ibadah, atau muamalah, atau tindak pidana, atau hal-hal tentang perdata, atau berbagai macam perjanjian maupun tingkah laku di dalam syariat islam semuanya memiliki hukum. Sebagian dari hukum-hukum ini telah dijelaskan di dalam nash-nash dan telah disebutkan di dalam al-quran maupun sunnah, dan sebagian lagi tidak dijelaskan di dalam alquran maupun sunnah. Akan tetapi, syariat berpijak pada dalil-dalil dan isyaratisyarat yang sesuai dengan syariat tersebut, sehingga seorang mujtahid mampu menghubungkan dengan syariat dan menjelaskannya dengan dalil-dalil dan indikasi-indikasi tersebut. Semua hukum syariat itu berhubungan dengan manusia baik perkataan maupun perbuatannya, yang diambil dari nash-nash yang sudah ada, maupun penyimpulan dari dalil-dalil syariat yang lain yang tidak ada di dalam nash sehingga muncullah fiqih. Ilmu fiqih menurut istilah syara adalah Ilmu tentang hukum syariat yang bersifat amaliyah yang diambil dari dalil-dail yang terperinci, atau juga bisa diartikan sekumpulan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Para ulama telah menetapkan melalui pengkajian bahwa dalil-dalil yang dijadikan rujukan untuk pengambilan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah merujuk kepada empat sumber, yaitu: al-quran, hadits, ijma, dan qiyas. Pokok dan sumber yang pertama dari dalil-dalil tersebut adalah al-quran, kemudian sunnah yang telah menafsirkan kemujmalan al-quran, mengkhususkan keumuman al-quran, dan membatasi kemutlakan al-quran. Sunnah merupakan penjelas dan penyempurna al-quran. Oleh karena itu, para ulama mengkaji setiap dalil dari keempat sumber tersebut, mengkaji argumen yang dijadikan hujjah oleh manusia, mengkaji sumber perundang-undangan yang mengharuskan manusia untuk mengikuti hukum-hukumnya, mengkaji syarat-syarat penyimpulan hukum dengan sumber tersebut serta jenis-jenisnya yang utuh, dan mengkaji apa-apa yang

mengindikasikan setiap jenis dalil dari hukum syariat yang utuh. Para ulama juga mengkaji hukum syariat yang utuh, yang diperoleh dari dalil-dalil tersebut dan segala hal yang berhubungan dengan konsep syariat dari nash-nash tersebut, dan penyimpulannya dari selain nash-nash, seperti kaidahkaidah bahasa dan perundang-undangan. Selain itu, ulama juga mengkaji tentang orang-orang yang menarik suatu hukum dari dalil-dalilnya yaitu seorang mujtahid, dan menjelaskan mengenai ijtihad, syarat-syaratnya, kelazimannya, dan hukumnya. Seluruh kaidah dan pembahasan yang berhubungan dengan dalil-dalil syariat ini dilihat dari indikasinya terhadap hukum-hukum, dan hukum-hukum tersebut dilihat dari proses pengambilannya dari dalil-dalil, dan segala yang berhubungan dengan keduanya berupa penambahan dan penyempurnaan

sehingga muncul ushul fiqih.

Ilmu ushul fiqih menurut istilah syara adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan proses pengambilan

hukum syariat yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang terperinci, atau sekumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan yang berhubungan dengan proses pengambilan hukum syariat yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang terperinci. Tema: Tema pembahasan di dalam ilmu fiqih yaitu kegiatan seorang mukallaf dilihat dari ketetapan hukum syariat terhadap perbuatan tersebut. Maka ahli fiqih itu mengkaji tentang kegiatan jual beli seorang mukallaf, sewa menyewa, pegadaian, perwakilan, sholat, puasa, haji, pembunuhan, perselisihan, pencurian, persetujuan, dan wakaf untuk mengetahui hukum syariat dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sementara tema pembahasan di dalam ilmu ushul fiqih adalah dalil-dalil syariat yang bersifat umum dilihat dari hukum-hukum umum yang ditetapkannya. Maka ahli ushul fikih itu mengkaji qiyas dan ke-hujjah-annya, mengkaji perkara yang umum dan yang membatasinya, perintah dan hal-hal yang

mengindikasikannya, dan lain sebagainya. Tujuan ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih: Tujuan dari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum syariat terhadap segala perbuatan dan perkataan manusia, faqih adalah seorang hakim yang

keputusannya dijadikan rujukan, mufti adalah seorang yang fatwa-fatwanya menjadi rujukan, dan rujukan setiap mukallaf dalam mengetahui hukum syariat dari segala yang bersumber dari manusia (ucapan dan perbuatan), hal ini merupakan tujuan dari hukum-hukum pada umumnya, tidak ada tujuan lain kecuali penerapan makna dan hukum-hukum syariat terhadap perkataan dan

perbuatan manusia, serta memberi pemahaman kepada setiap mukallaf tentang apa yang diwajibkan dan apa yang diharamkan. Sementara tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan konsep-konsep terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghubungkannya dengan hukum-hukum syariat yang ditunjukkan melalui dalil-dalil tersebut. Maka dengan kaidah dan pembahasan tersebut berusaha untuk memahami nash-nash syariat dan mengetahui hukum-hukum yang ditunjukkan dari nash-nash tersebut, dan mengetahui apa-apa yang tersembunyi darinya, mengetahui apa-apa yang harus didahulukan ketika terjadi kontradiksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan kaidah-kaidah dan pembahasan tersebut berusaha untuk menyimpulkan hukum dengan metode qiyas atau istihsan atau istishab atau cara yang lainnya di dalam perkara yang tidak disebutkan hukumnya di dalam nash. Dengan kaidahkaidah dan pembahasan tersebut berusaha untuk memahami apa-apa yang disimpulkan oleh para imam mujtahid dengan konsep yang benar,

membandingkan mazhab-mazhab mereka yang berbeda ketika menghukumi satu perkara, karena pemahaman hukum atas maknanya dan persamaannya diantara dua hukum yang berbeda tidak akan ada kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara pengambilan hukum dari dalilnya, dan semua itu tidak akan ada kecuali dengan ilmu ushul fiqih yang merupakan penyangga fiqih komparatif. Kemunculan dan perkembangan ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih: Hukum-hukum fiqih muncul bersamaan dengan munculnya islam, karena islam merupakan kumpulan dari aqidah, akhlaq, dan hukum-hukum amaliah, hukum amaliah ini telah ada pada masa Rasulullah yang terdiri dari hukumhukum yang disebutkan di dalam al-quran, dan hukum-hukum yang bersumber dari rasulullah yang difatwakan di dalam suatu perkara, atau keputusan dalam sebuah perselisihan, atau berupa jawaban dari pertanyaan. Semua hukum fiqih

dalam awal perkembangannya terdiri atas hukum-hukum Allah, rasul-rasul-Nya, dan sumbernya yaitu al-quran dan sunnah. Pada masa sahabat muncul masalah-masalah baru yang tidak ditemukan oleh umat islam pada masa rasulullah, maka para ahli ijtihad berijtihad dan mereka memutuskan, menfatwakan, melegislasi, dan menambahkan sejumlah hukum yang disimpulkan dari ijtihad mereka ke dalam kumpulan hukum yang pertama. Kumpulan hukum-hukum fiqih di dalam perkembangan selanjutnya terdiri dari hukum-hukum Allah, hukum-hukum Rasulullah, serta fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan para sahabat. Sumber-sumbernya yaitu al-quran, sunnah, dan ijtihad para sahabat. Pada dua periode tersebut, hukum-hukum belum ditulis dan belum dilegislasi bagi perkara-perkara yang sifatnya theori, tetapi pe-legislasi-an pada dua periode tersebut terjadi ketika muncul perkara yang sifatnya faktual. Hukum-hukum ini belum mengadopsi model ilmiah, tetapi hanya berupa jawaban-jawaban sederhana yang partikular terhadap perkaraperkara yang faktual. Pada periode ini belum disebut sebagai ilmu fiqih, dan sahabat yang meriwayatkannya tidak disebut sebagai fuqoha. Pada masa Thabiin, Thabi at-Thabiin, dan para Imam mujtahid, yaitu sekitar abad ke 2 dan 3 hijriyah kerajaan islam semakin luas dan banyak orangorang non-Arab yang masuk Islam, kemudian muncul perkara-perkara, masalahmasalah, pembahasan-pembahasan, pandangan-pandangan, dan gerakan-

gerakan kebudayaan dan intelektual yang membawa para mujtahid yang kompeten untuk berijtihad dan melegislasi perkara-perkara. Maka terbuka bagi mereka topik-topik pembahasan dan wawasan, sehingga ruang lingkup hukumhukum fiqih semakin luas dan hukum-hukum bagi perkara yang sifatnya theori sudah dilegislasi. Kemudian hukum-hukum tadi ditambahkan ke dalam dua kumpulan hukum yang sebelumnya. Kumpulan hukum fiqih dalam

perkembangannya yang ketiga terdiri dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya,

fatwa-fatwa

dan

keputusan-keputusan

para

sahabat,

fatwa-fatwa

dan

penyimpulan para mujtahid, sumbernya yaitu al-quran, sunnah, ijtihad para sahabat, dan ijtihad para imam mujtahid. ..........................(free memory) Ilmu ushul fiqih baru muncul pada abad ke-3 hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah belum ada kebutuhan terhadap ushul fiqih. Rasulullah berfatwa dan memutuskan perkara dengan al-quran yang telah diwahyukan oleh Allah kepada beliau, dan dengan sunnah yang diilhamkan oleh Allah, dan dengan ijtihad suci beliau dengan bimbingan Allah yang tidak membutuhkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penyimpulan hukum dan ijtihad. Para sahabat beliau berfatwa dan memutuskan berdasarkan nash-nash yang mereka pahami dengan kemampuan bahasa arab yang baik, tidak memerlukan kaidahkaidah bahasa yang membantu memahami nash-nash. Mereka menyimpulkan hukum yang tidak ada di dalam nash dengan kemampuan mereka dalam bidang syariat yang telah tertanam di dalam diri mereka dari persahabatan mereka dengan Rasulullah, dari pengetahuan mereka terhadap asbabul nuzul ayat-ayat al-quran dan asbabul wurud hadits-hadits, serta dari pemahaman mereka tentang tujuan-tujuan syariat dan konsep dasar syariat. Tetapi, ketika

kemenangan Islam meluas dan berbaur antara orang Arab dan non-Arab maka mereka saling berbicara, surat menyurat, dan banyak kosakata serta bahasa non-Arab yang masuk ke Arab. Kemampuan lisan mereka tidak stagnan, banyak muncul keragu-raguan dan berbagai kemungkinan dalam pemahaman nash-nash. Timbul kebutuhan untuk memberikan kriteria dan kaidah-kaidah bahasa yang mumpuni untuk memahami nash-nash sebagaimana pemahaman orang-orang Arab yang menyebutkan nash-nash dengan bahasanya, seperti juga kebutuhan terhadap kaidah-kaidah nahwu yang mumpuni bagi pelafalan yang benar.

Anda mungkin juga menyukai