Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH SIRAH NABAWIYAH

PROSES PENGANGKATAN KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDIQ

KELOMPOK 1 :
BAB I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penyusun
dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini, yang mana pembuatan makalah ini bertujuan
memberikan sedikit dari luasnya pembahasan Sejarah Kebudayaan Islam. Dan kali ini penyusun
membahas tentang sahabat Nabi yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dalam makalah ini dipaparkan
kehidupan beliau saat bersama Rasulullah dan saat beliau menjadi Khalifah yang pertama umat
Islam.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu kritik dan saran sangat penyusun harapkan baik dosen maupun rekan-rekan
sekalian guna menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Ciganitri, 09 Agustus 2023


BAB II
PROSES PENGANGKATAN ABU BAKAR
SEBAGAI KHALIFAH PERTAMA

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Setelah Rasulullah
wafat, kaum muslim di Madinah, berusaha utuk mencari penggantinya. Ketika kaum muhajirin
dan ansar berkumpul di Saqifah bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-
masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah.

Kaum anshar mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai
pengganti nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas
menyampaikan pendirian kaum muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan
Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin munzir (kaum
Anshar).

Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin
Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut. Akan
tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit, maka dengan suara
yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah.

Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Saad
beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena
ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul
Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin
Amir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari, Amma bin Yasir, Bara bin Azib dan Ubai bin Ka’ab.

Telah terjadi pertemuan sebagian kaum muhajirin dan Anshar dengan Ali bin Abi Thalib di
rumah Fatimah, mereka bermaksud membai’at Ali dengan anggapan bahwa Ali bin Abi Thalib,
lebih patut menjadi khalifah karena Ali berasal dari bani Hasyim yang berarti ahlul bait.

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya
masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku
Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan
secara turun temurun. Setelah didapatkan kesepakatan dalam proses pengangkatan Abu Bakar ra,
sebagai khalifah, kemudian ia berpidato yang isinya berupa prinsip-prinsip kekuasaan
demokratis yang selayaknya dimiliki oleh seorang pemimpin negara.
Pada masa Rasulullah Saw, tugas Rasul tidak saja sebagai pembawa risalah Islam, akan tetapi
juga sebagai pemimpin masyarakat. Setelah Rasulullah Saw. wafat, para sahabat Rasulullah Saw.
merasakan adanya kekosongan kepemimpinan di tengah masyarakat, dan para sahabat Nabi pun
berkumpul untuk menentukan pilihannya.

Para sejarahwan seperti Ibnu Ishaq, al-Thabari menceritakan bahwa sesaat setelah Rasulullah
wafat, para sahabat Nabi pun dibuat tidak percaya akan hal tersebut. Sepeninggalnya Nabi,
kondisi masyarakat masih dalam keadaan tidak menentu. Maka kaum muslim di Madinah
berusaha untuk mencari penggantinya.

Ibnu Ishaq menceritakan bagaimana masyarakat Ansor dan Muhajirin berbeda pendapat terkait
siapa yang menjadi suksesi Nabi pascawafatnya. Suksesi di sini bukanlah dalam persoalan
kenabian, tetapi menjadi pengganti Rasulullah Saw. Karena bagi para sahabat sangat mafhum
bahwa tidak ada lagi Nabi setelahku.

Pertentangan terkait proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis.
Ketika kaum Muhajirin dan Ansor berkumpul di Saqifah bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang
calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai
khalifah.

Kaum Ansor mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai
pengganti Nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas
menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan
Quraisy.

Akan tetapi, hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin Munzir (kaum Ansor). Di
tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin
Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.

Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit, maka dengan
suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah.
Kemudian proses pembaiatan pun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Saad
beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Para ulama menyebutkan bahwa Abu Bakar al-Shiddiq merupakan satu-satunya sahabat Nabi
yang pernah menggantikan Nabi Muhammad Saw sebagai imam salat. Pesan secara tersirat
bahwa Abu Bakar memang layak menggantikan Rasulullah.

Di sisi lain, untuk menghindari perseteruan berkepanjangan antara kaum Muhajirin dan Ansor, di
mana kaum Ansor sudah berkumpul di Bani Tsaqifah untuk mengangkat Saad bin Ubadah
sebagai pemimpin, Abu Bakar al-Shiddiq menghampiri mereka dan melakukan distribusi
kekuasaan.

Abu Bakar al-Shiddiq mengatakan, kami adalah pemimpinnya, dan kalian adalah para
menterinya (Nahnu al-Umara’ wa Antum al-Wuzara’). (lihat Tarikh al-Khulafa’ karya al-
Suyuthi)

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena
ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul
Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin
Amir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari, Amma bin Yasir, Bara bin Azib dan Ubai bin Ka’ab.
Telah terjadi pertemuan sebagian kaum Muhajirin dan Ansor dengan Ali bin Abi Thalib di
rumah Fatimah, mereka bermaksud membaiat Ali bin Abi Thalib dengan anggapan bahwa beliau
lebih patut menjadi khalifah karena berasal dari bani Hasyim yang berarti ahlul bait.

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya
masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku
Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan
secara turun temurun.

Pasca pengangkatan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, ia diberi gelar dengan khalifat


rasulillah (pengganti Rasulullah). Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak mengklaim
dirinya sebagai ‘pemimpin’ umat Islam atau amirul mukminin. Adapun gelar amirul
mukminin baru ada ketika kekhalifahan al-Rasyidin berada di bawah sahabat Umar bin al-
Khattab.

Wallahu A’lam.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah Rasulullah wafat, umat Islam berada di ambang pintu perpecahan. Abu Bakar yang
saat itu berada dalam pihak yang benar, ketika melihat kondisi yang cukup tegang, beliau
berhasil menarik hati kaum Anshar dan mengawali pidatonya dengan melunakkan hati Anshar
dan menengakan keadaan. Barulah setelah itu ia menyampaikan kebenaran akan hadits tentang
siapa yang berhak dalam urusan kekhalifahan ini.
   Kita semua tentu meyakini bahwa kita berada dalam jalan yang benar. Namun dalam
dakwah, Abu Bakar telah memberikan contohnya, bahwa kebenaran haruslah disampaikan
dengan cara yang benar sehingga tidak malah menimbulkan perpecahan yang justru merugikan.
Begitulah kebenaran yang disampaikan dengan jalan yang tidak benar akan sulit untuk
membuahkan kebaikan.
Pemerintahan Abu Bakar punya jati diri sendiri serta pembentukannya yang sempurna,
mencakup kebesaran jiwa yang sungguh luar biasa, bahkan sangat menakjubkan. Kita sudah
melihat betapa tingginya kesadaran Abu Bakar terhadap prinsip-prinsip yang berpedoman pada
Al-Qur'an sehingga ia dapat memastikan untuk menanamkan pada dirinya batas antara kebenaran
untuk kebenaran dengan kebohongan untuk kebenaran.
Prinsip-prinsip dalam Islam, dilukiskan Abu Bakar dengan mendorong kaum Muslimin
memerangi orang-orang yang ingin menghancurkan Islam seperti halnya orang-orang murtad,
orang-orang yang enggan membayar zakat, dan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi.
Oleh karena itu Abu Bakar melaksanakan perang Riddah untuk menyelamatkan Islam dari
kehancuran.
DAFTAR PUSTAKA
- Muhammad, Ali Shalaby, Sîrah abi Bakr al-Shiddiq, Kairo: Daru’l Fajr li al-Trurats, 2003
- Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993
- Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam,I, II, III, Jakarta: Grafindo Persada, 1997
- Tim Bina Karya Guru, Bina Sejarah Kebudayaan Islam: untuk madrasah Ibtidaiyah kelas VI.
(Jakarta: Erlangga), 2008
- http://abuthalhah.wordpress.com/2009/05/18/abu-bakar-ash-shiddiq-khalifah-rasulullah-
shallallahu-%E2%80%98alaihi-wasallam-yang-pertama/

Anda mungkin juga menyukai