Anda di halaman 1dari 4

Tari piring

Tari piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang,
adalah salah satu jenis

Seni tari berasal dari Sumatra Barat yaitu masyarakat Minangkabau


disebut dengan tari piring karena para penari saat menari membawa piring.
Pada awalnya dulu kala tari piring diciptakan untuk memberi persembahan kepada
para dewa ketika memasuki masa panen, tapi setelah datangnya agama islam di
Minangkabau tari piring tidak lagi untuk persembahan para dewa tapi ditujukan
bagi majlis-majlis keramaian yang dihadiri oleh para raja atau para pembesar
negeri, tari piring juga dipakai dalam acara keramaian lain misalnya seperti pada
acara pesta perkawinan.
Mengenai waktu kemunculan pertama kali tari piring ini belum diketahui pasti,
tapi dipercaya bahwa tari piring telah ada di kepulaian melayu sejak lebih dari 800
tahun yang lalu. Tari piring juga dipercaya telah ada di Sumatra barat dan
berkembang hingga pada zaman Sri Wijaya. Setelah kemunculan Majapahit pada
abad ke 16 yang menjatuhkan Sri Wijaya, telah mendorong tari piring
berkembang ke negeri-negeri melayu yang lain bersamaan dengan pelarian orang-
orang sri wijaya saat itu.
Urutan Seni Tari Piring
Pada Seni tari piring dapat dilakukan dalam berbagai cara atau versi, hal itu semua
tergantung dimana tempat atau kampung dimana Tarian Piring itu dilakukan.
Namun tidak begitu banyak perbedaan dari Tari Piring yang dilakukan dari satu
tempat dengan tempat yang lainnya, khususnya mengenai konsep, pendekatan dan
gaya persembahan. Secara keseluruhannya, untuk memahami bagaimana sebuah
Tari Piring disajikan, di bawah ini merupakan urutan atau susunan sebuah
persembahannya.
Segera setelah berakhir persembahan Silat Pulut di hadapan pasangan pengantin,
piring-piring akan diatur dalam berbagai bentuk dan susunan di hadapan pasangan
pengantin mengikut jumlah yang diperlukan oleh penari Tari Piring dan
kesesuaian kawasan. Dalam masa yang sama, penari Tari Piring telah bersiap
sedia dengan menyarungkan dua bentuk cincin khas, yaitu satu di jari tangan
kanan dan satu di jari tangan kiri. Penari ini kemudian memegang piring atau
ceper yang tidak retak atau sumbing.

MAKNA DARI PORSESI TARI PIRING


Tari Piring dikatakan tercipta dari ”wanita-wanita cantik yang berpakaian indah,
serta berjalan dengan lemah lembut penuh kesopanan dan ketertiban ketika
membawa piring berisi makanan yang lezat untuk dipersembahkan kepada dewa-
dewa sebagai sajian. Wanita-wanita ini akan menari sambil berjalan, dan dalam
masa yang sama menunjukan kecakapan mereka membawa piring yang berisi
makanan tersebut”. Kedatangan Islam telah membawa perubahan kepada
kepercayaan dan konsep tarian ini. Tari Piring tidak lagi dipersembahkan kepada
dewa-dewa, tetapi untuk majlis-majlis keramaian yang dihadiri bersama oleh raja-
raja atau pembesar negeri.
Keindahan dan keunikan Tari Piring telah mendorong kepada perluasan
persembahannya dikalangan rakyat jelata, yaitu dimajlis-majlis perkawinan yang
melibatkan persandingan. Dalam hal ini, persamaan konsep masih wujud, yaitu
pasangan pengantin masih dianggap sebagai raja yaitu ‘Raja Sehari’ dan layak
dipersembahkan Tari Piring di hadapannya ketika bersanding.
Seni Tari Piring mempunyai peranan yang besar di dalam adat istiadat perkawinan
masyarakat Minangkabau. Pada dasarnya, persembahan sesebuah Tari Piring di
majlis-majlis perkawinan adalah untuk tujuan hiburan semata-mata. Namun
persembahan tersebut boleh berperanan lebih dari pada itu. Persembahan Tari
Piring di dalam sesebuah majlis perkawinnan boleh dirasai peranannya oleh empat
pihak yaitu; kepada pasangan pengantin kepada tuan rumah kepada orang ramai
kepada penari sendiri.
Pada umumnya, pakaian yang berwarna-warni dan cantik adalah hal wajib bagi
sebuah tarian. Tetapi pada Tari Piring, sudah cukup dengan berbaju Melayu dan
bersamping saja. Warna baju juga adalah terserah kepada penari sendiri untuk
menentukannya. Namun, warna-warna terang seperti merah dan kuning sering
menjadi pilihan kepada penari Tari Piring kerana ia lebih mudah di lihat oleh
penonton.
Tari tabuik

Pariaman adalah salah satu kota yang berada di Kabupaten Padang


Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya di pesisir pantai (Laut Hindia) sebelah utara
kota Padang. Pariaman, yang berarti “daerah yang aman”, memiliki luas wilayah
73,36 kilometer persegi. Di daerah ini ada suatu pesta adat yang disebut dengan
tabuik. Kata tabuik yang berasal dari bahasa Arab dapat mempunyai beberapa
pengertian. Pertama, tabuik diartikan sebagai ‘keranda’ atau ‘peti mati’.
Sedangkan, pengertian yang lain mengatakan bahwa tabuik artinya adalah peti
pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah
perjanjian Bani Israel dengan Allah.
Perayaan tabuik yang diselenggarakan setiap 1--10 Muharam adalah suatu
upacara untuk memperingati meninggalnya Husein (Cucu Nabi Muhamad SAW)
pada 61 Hijriah yang bertepatan dengan 680 Masehi. Cucu Nabi Besar
Muhammad ini dipenggal kepalanya oleh tentara Muawiyah dalam perang
Karbala di Padang Karbala, Irak. Kematian tersebut diratapi oleh kaum Syiah di
Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka sendiri. Akhirnya tradisi
mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke sejumlah negara
dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual
mengenang peristiwa tersebut juga diadakan di Bengkulu. Dalam perayaan
memperingati wafatnya Husein bin Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah
untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat Islam, setelah ia
meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dengan mengangkat Jasid
(anaknya) sebagai putera mahkota.

Versi-versi Tabuik
Ada beberapa versi mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Versi
pertama mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab aliran Syiah
yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain (diambil
dari catatan Snouck Hurgronje), mengatakan bahwa tradisi tabuik masuk ke
Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala
Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah
ritual tabuik dipelajari Anak Nagari. Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa
oleh bangsa Cipei/Sepoy (penganut Islam Syiah) yang dipimpin oleh Imam Kadar
Ali. Bangsa Cipei/Sepoy ini berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu
ketika menguasai (mengambil alih) Bengkulu dari tangan Belanda (Traktat
London, 1824). Orang-orang Cipei/Sepoy ini setiap tahun selalu mengadakan
ritual untuk memperingati meninggalnya Husein. Lama-kelamaan ritual ini diikuti
pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Panian,
Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Melauboh dan Singkil. Dalam
perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah
tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan
Tabot dan Pariaman dengan sebutan Tabuik. Di Pariaman, awalnya tabuik
diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat. Namun, seiring
dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya, pada tahun
1974 pengelolaan tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempat dan
dijadikan Tempat wisata.
NAMA KELOMPOK:
1. RIF’ATUL FITRI S
2. ROBIATUL ADAWIYAH

Anda mungkin juga menyukai