Anda di halaman 1dari 17

Sejarah Notaris

Jika didasarkan kepada kenyataan, bahwa kita telah mempunyai perundang-undangan di bidang
notariat, yakni "Peraturan Jabatan Notaris" (Notaris Reglement — Stbl. 1860 — 3), yang sekarang ini telah
berumur kurang lebih 120 tahun, sebagai pengganti dari "Instructie voor notarissen in Indonesia" (Stbl.
1822 —11) dan bahkan jauh sebelumnya, yakni dalam tahun 1620 telah diangkat notaris pertama di
Indonesia, seharusnya lembaga notariat ini telah dikenal dan meluas sampai ke kota-kota kecil dan bahkan
ke desa-desa. Namun keadaannya tidaklah sedemikian, sehingga timbul pertanyaan, apa yang menjadi
sebab tidak dikenalnya lembaga notariat ini secara meluas?  Ada beberapa faktor utama yang
menyebabkan kurang meluasnya dikenal lembaga ini. Salah satu faktor di antaranya ialah, bahwa sebelum
Perang Dunia II hampir seluruh notaris yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah berkebangsaan
Belanda, sedang jumlah notaris yang berkebangsaan Indonesia sangat sedikit jumlahnya. Pada waktu itu
lembaga notariat seolah-olah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Lagi pula pada umumnya mereka
mempunyai tempat kedudukan di kota-kota besar, sehingga mudah dimengerti bahwa hubungan mereka
dapat dikatakan hanya dengan orang-orang Europa, Cina, Timur Asing dan bangsa asing lainnya, yang
biasanya bermukim di . kota-kota besar pula serta sebagian kecil orang-orang Indonesia, yang terbatas
pada golongan tertentu dalam masyarakat.  Faktor lain yang tidak kurang pentingnya ialah, bahwa
masuknya lembaga notariat di Indonesia ialah pada saat, di mana tingkat kesadaran dan budaya hukum dari
masyarakat bangsa Indonesia pada waktu itu, suatu masyarakat yang bersifat primordial, yang masih
berpegang teguh pada hukum adatnya dan kae, dah-kaedah religieus, masih rendah dan sempit, lebih-lebih
lagi di mana para pengasuh dari lembaga notariat itu lebih menitik beratkan orientasinya pada hukum
Barat, semuanya itu merupakan faktor-faktor penghambat dan yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan dan untuk dikenalnya lembaga notariat ini dengan cepat dan secara luar di kalangan
masyarakat yang justru harus dilayaninya. 

Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai "notariat" ini timbul dari kebutuhan dalam
pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum
keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang
ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk di mana dan apabila undang-undang
mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai
kekuatan otentik.Berbicara mengenai sejarah notariat di Indonesia, kiranya tidak dapat terlepas dari sejarah
lembaga ini di negara-negara Europa pada umumnya dan di negeri Belanda pada khususnya. Dikatakan
demikian oleh karena perundang-undangan Indonesia  di bidang notariat berakar pada "Notariswet" dari
negeri Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl. no. 20), sedang "Notariswet" itu sendiri pada gilirannya,
sekalipun itu tidak merupakan terjemahan sepenuhnya, namun susunan dan isinya sebagian terbesar
mengambil contoh dari undang-undang notaris Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803) yang
dahulu pernah berlaku di negeri Belanda, sehingga apabila seseorang ingin untuk sungguh-sungguh
mempelajari dan mengerti Peraturan Jabatan Notaris (P.J.N.) yang berlaku di Indonesia, suatu studi
perbandingan mengenai ketiga perundang-undangan itu merupakan suatu syarat yang tidak dapat
diabaikan.

(2) Notariat dalam abad pertengahan di Italia.

Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di
daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara. Daerah inilah yang
merupakan tempat asai dari notariat yang dinamakan "Latijnse notariaat" dan yang tanda-tandanya
tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan
menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. Dengan demikian "Latijnse notariaat"
tidak berasal dari Rumawi Kuno, akan tetapi justru dinamakan demikian berdasarkan kenyataan bahwa
lembaga notariat ini meluaskan dirinya dari Italia Utara.. Resepsi dari notariat ini yang menyebabkan
meluasnya lembaga, notariat di mana-mana. Resepsi dari notariat ini ternyata juga menempuh jalan yang
sama seperti yang ditempuh oleh gelombang peradaban pada abad-abad terdahulu, yakni mula-mula
meluas di seluruh daratan Europa dan melalui negara Spanyol sampai ke negara-negara Amerika Tengah
dan Amerika Selatan. Negara-negara yang tidak turut mengambil bagian dalam resepsi "Latijnse notariaat"
ini adalah Kerajaan Inggris dan sebagian besar dari negara Skandinavia. Walaupun di negara-negara yang
disebut terakhir ini juga dikepal perkataan "notaris", akan tetapi perkataan itu mempunyai arti yang lain.
Dalam pada itu pertanyaan dari mana asalnya notariat dahulu, hingga sekarang ini belum dapat terjawab,
baik oleh para ahli sejarah maupun oleh para sarjana lainnya. Para sarjana Italia telah mencoba
mengadakan penelitian sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga mencapai kesatuan
pendapat mengenai itu.  Dalam tahun 1888 diadakan peringatan delapan abad berdirinya sekolah hukum
Bologna, yang merupakan universitas tertua di dunia. Pendiri dari universitas ini adalah Irnerius.
Dikatakan bahwa sekolah dari Irnerius ini berasal dari suatu sekolah notariat. Apabila hal ini benar, maka
tidak mengherankan, bahwa karya pertama yang mempunyai nilai yang dihasilkan oleh universitas
Bologna ini adalah yang dipersembahkan bagi notariat, yakni: "FORMULARIUM TABELLIONUM" dari
Irnerius sendiri.  

Seratus tahun kemudian Rantero di Perugia mempersembahkan pula karyanya yang berjudul:
"SUMMA ARTIS NOTARIAE". Karya-karya lainnya menyusul dan pada akhir abad ke-13 muncullah
karya yang paling termasyhur "SUMMA ARTIS NOTARIAE" dari seorang penduduk Bologna bernama
Rolandinus Passegeri. Masih banyak buku-buku lainnya yang ditulis oleh Rolandinus, terutama buku-buku
di bidang notariat, antara fain "FLOS TENTAMENTORUM". Rolandinus merupakan "coryfee" dari para
notaris sepanjang abad. Summa summanya dipakai sampai abad ke-17.  Pembagian isi dan karya-karya
tersebut masih tetap dipertahankan sampai dengan abad ke-19. Dimulai secara singkat dengan suatu Bab
mengenai notariat sendiri, yakni mengenai, sejarahnya, tugas dari notaris, syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh notaris, bentuk dari akta-akta dan apa yang harus dimuat dalam akta, seperti misalnya,
pemberitahuan dari hari, tanggal dan tahun serta nama-nama dari para saksi, tentang salinan-salinan akta
dan kewajiban merahasiakan isi akta-akta, protokol dan esensialia-esensialia lainnya yang berhubungan
dengan pekerjaan notaris.  Setelah pembahasan singkat ini, menyusul uraian-uraian dari bagian-bagian
hukum perdata yang berhubungan dengan pekerjaan notaris di dalam praktek. Bagian keperdataan dari
Summa dan Artis biasanya dibagi dalam 3 pokok, yakni

1. hukum perjanjian,
2. hukum waris dan
3. hukum acara. perdata. Bagian terakhir ini diadakan, mengingat tugas kepaniteraan dari para notaris pada
badan-badan peradilan. 

Di dalam tahun 1568 seorang ahli hukum Perancis bernama Papon menulis bukunya yang
termasyhur di bidang notariat: "Les trois notaires". Mula-mula lembaga notariat ini dibawa dari Italia ke
Perancis, di negara mana notariat ini sepanjang masa sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum,
yang kebutuhan dan kegunaannya senantiasa mendapat pengakuan, telah memperoleh puncak
perkembangannya. Dari Perancis ini pulalah pada permulaan abad ke-19 lembaga notariat sebagaimana itu
dikenal sekarang, telah meluas ke negara-negara sekelilingnya dan bahkan ke negara-negara lain. Nama
"notariat", dengan nama mana lembaga ini dikenal di mana-mana, berasal dari nama pengabdinya, yakni
dari nama "notarius". Dalam buku-buku hukum dan tulisan-tulisan Rumawi klassik telah berulang kali
ditemukan nama atau titel "notarius" untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan
suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu, akan tetapi yang dinamakan "notarius" dahulu tidaklah sama
dengan "notaris" yang dikenal sekarang, hanya namanya yang sama. 

Arti dari nama "notarius" secara lambatlaun berubah dari artinya semula. Dalam abad ke-2 dan ke-
3 sesudah Masehi dan bahkan jauh sebelumnya, sewaktu nama atau titel itu dikenal secara umum, yang
dinamakan para "notarii" tidak lain adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan
suatu bentuk tulisan cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka, yang pada hakekatnya mereka itu
dapat disamakan dengan yang dikenal sekarang ini sebagai "stenografen". Sepanjang pengetahuan, para
"notarii" mula-mula sekali memperoleh namanya itu dari perkataan "nota literaria", yaitu "tanda tulisan"
atau "character", yang mereka pergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-
perkataan. Untuk pertama kalinya nama "notarii" diberikan kepada orang-orang yang mencatat atau
menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam senaat Rumawi, dengan mempergunakan
tanda-tanda kependekan (abbreviations atau characters). Kemudian dalam bagian kedua dari abad ke-5 dan
dalam abad ke-6 nama. "notarii" diberikan secara khusus kepada para penulis pribadi dari para Kaisar,
sehingga dengan demikian nama "notarii" kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5 yang
diartikan dengan perkataan "notarii" tidak lain adalah "pejabat-pejabat istana", yang melakukan berbagai
ragam pekerjaan kanselarij Kaisar dan yang semata-mata merupakan pekerjaan administratip. Berhubung
para pejabat istana ini menduduki berbagai macam tempat di dalam administrasi yang bersangkutan, maka
dengan sendirinya terdapat perbedaan tingkat di kalangan mereka sendiri. Pada waktu itu terdapat 5
tingkatan tertinggi dan orang yang menempati tingkatan tertinggi dari kelima tingkatan itu merupakan
orang kedua dalam administrasi itu. Pekerjaan mereka terutama adalah untuk menuliskan segala sesuatu
yang dibicarakan dalam konsistorium Kaisar pada rapat-rapat yang membahas soal-soal di bidang
kenegaraan. Juga para "notarii" yang mempunyai kedudukan tinggi ini tidak mempunyai persamaan
dengan notaris yang, dikenal sekarang. Yang sama hanya nama, akan tetapi institut dari "tribunii notarii
kekaisaran" ini mempunyai pengaruh besar di dalam terjadinya notariat sekarang.  

(3) Tabeliones.

Selain para "notarii" juga pada permulaan abad ke-3 sesudah Masehi telah dikenal yang
dinamakan "tabeliones". Sepanjang mengenai' pekerjaan yang dilakukan oleh para "tabeliones" ini, mereka
mempunyai beberapa persamaan dengan para pengabdi dari notariat, oleh karena mereka adalah orang-
orang yang ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat,
walaupun jabatan atau kedudukan mereka itu tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk
atau diangkat oleh kekuasaan umum untuk melakukan sesuatu formalitas yang ditentukan oleh undang-
undang.  Para "tabeliones" ini lebih tepat untuk dipersamakan dengan apa yang dikenal sekarang sebagai
"zaakwaarnemer" daripada sebagai notaris sekarang ini. Para "tabeliones" ini telah dikenal semasa
pemerintahan Ulpianus, sedang mengenai pekerjaan para "tabeliones" ini mulai diatur perundang-
undangannya secara luar dalam suatu konstitusi dari tahun 537 oleh Kaisar Justinianus, akan tetapi juga
tidak memberikan sifat kepegawaian pada jabatan itu. Oleh karena pekerjaan para "tabeliones" ini
mempunyai hubungan erat dengan peradilan, mereka ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan. 

Berdasarkan kenyataan bahwa para "tabeliones" dari pengangkatannya oleh yang berwajib tidak
memperoleh wewenang untuk membuat akta-akta dan surat-surat lain, maka akta-akta dan surat-surat yang
mereka perbuat itu tidak mempunyai kekuatan otentik, sehingga akta-akta dan surat-surat tersebut hanya
mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dari akta yang
dibuat oleh para "tabeliones" pada hakekatnya jauh tertinggal dari yang dibuat di hadapan yang berwajib,
kepada surat-surat yang disebut terakhir mana, sebagai-mana halnya dengan surat ketetapan dari badan
peradilan dalam arti sempit, diberikan yang dinamakan "publics fides".

(4) Tabularii.

Di samping para "tabeliones" masih terdapat suatu golongan' orang-orang yang menguasai teknik
menulis, yakni yang dinamakan "tabularii", yang memberikan bantuan kepada masyarakat di dalam
pembuatan akta-akta dan surat-surat. Para "tabularii" ini adalah pegawai negeri yang mempunyai tugas
mengadakan dan memelihara pembuktian keuangan kota-kota dan juga ditugaskan untuk melakukan
pengawasan atas arsip dari magisrat• kota-kota, di bawah ressort mana mereka berada. Oleh karena mereka
juga dinyatakan berwenang untuk dalam beberapa hal tertentu membuat akta-akta, dengan sendirinya
masyarakat mempergunakan tenaga mereka, sehingga pada zaman pemerintahan Justinianus (527 — 565),
mereka dalam soal-soal pembuatan akta dan surat  merupakan saingan berat bagi para "tabeliones". 
Semasa kekuasaan dari Longobarden (568 — 774), keadaan yang berkembang pada masa kerajaan West
Romein, dapat dikatakan telah berlangsung tanpa perubahan dan para "tabeliones" tetap memberikan jasa
jasa mereka kepada masyarakat umum, tidak hanya kepada orang-orang Rumawi yang telah ditaklukkan,
akan tetapi juga kepada orang-orang Longobarden sendiri. Dari kebiasaan raja-raja Longobarden untuk
mengangkat para "notarii" yang dipekerjakan pada kanselarij kerajaan dari kumpulan-kumpulan para
"tabeliones" dan juga berdasarkan kenyataan bahwa para "tabeliones" yang dipilih menjadi "Notarif' lebih
terhormat di mata rakyat daripada "para penulis biasa", yang menyebabkan masyarakat lebih suka
mempergunakan tenaga mereka daripada para "tabeliones" biasa, maka di kalangan para "tabeliones"
segera terjadi kebiasaan untuk tanpa pengangkatan menjadi pegawai istana, menamakan dirinya "notarii"
dan karenanya di dalam daerah kekuasaan raja-raja Longobarden nama "tabellio" diganti menjadi
"notarius". 

Demikianlah pada sa'at oleh Karel de Grote diadakan perubahan-perubahan dalam hukum
peradilan, di Italia dikenal "notarii" untuk kanselarij raja-raja dan kanselarij Paus, sedang untuk tiap-tiap
gereja induk dan pejabat-pejabat agama yang mempunyai kedudukan lebih rendah dari Paus, demikian
juga untuk kepentingan masyarakat umum untuk menetapkan atau menyatakan hubungan-hubungan
hukum keperdataan di antara mereka, di dalam daerah kekuasaan Paus dikenal "tabelio" dan "clericus
notarius publicus" an dan di dalam kerajaan Longobarden dan juga sesudah jatuhnya kerajaan ini (dengan
direbutnya Pavia dan penurunan raja Desiderius dari takhtanya oleh Karel de Grote) dikenal tabellio yang
menamakan dirinya "notarius" dan "notarii", yang diangkat sebagai pegawai.Salah satu perubahan
terpenting dalam notariat di bidang peradilan telah dilakukan oleh Karel de Grote, yakni pemberian
perintah kepada para Komisaris Raja guna menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perundang-
undangan di berbagai bagian dari kerajaan Perancis, untuk memperbantukan seorang "notarius" atau
"cancellarius" pada badan-badan peradilan di tiap-tiap daerah kekuasaan seorang "graaf', terutama dengan
tugas untuk menuliskan semua apa yang terjadi pada sidang-sidang peradilan tersebut. 

Setelah mengalami berbagai perkembangan, maka lambatlaun -"tabellionaat" dan "notariat"


(golongan para notaris yang diangkat) bergabung dan menyatukan diri dalam suatu badan yang dinamakan
"collegium" dari para noratius yang diangkat. Para  notarius yang tergabung dalam collegien ini dapat
dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya berhak untuk membuat akta-akta, baik di dalam maupun
di luar pengadilan. Demikianlah terjadinya notariaat di Italia, yang menunjukkan banyak persamaan
dengan notariat sekarang, walaupun masih terdapat perbedaan penting di antara yang satu dengan yang
lain. Terdapat persamaan oleh karena notaris yang diangkat itu dalam kedudukannya sebagai pejabat,
sekalipun tidak secara tegas dinyatakan berwenang, untuk itu oleh kekuasaan umum (openbaar gezag),
membuat akta untuk masyarakat, sebagaimana halnya dengan para notaris sekarang. Akan tetapi terdapat
perbedaan besar, oleh karena akta yang dibuat oleh para notaris yang diangkat itu tidak mempunyai
kekuatan otentik, juga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, demikianjuga tidak mendapat kepercayaan,
sebagaimana yang dimiliki oleh akta-akta yang dibuat oleh para notaris sekarang. Kalau diperhatikan
kedudukan dari para notaris itu, maka dalam arti kata yang sebenarnya mereka merupakan suatu kelas yang
terhormat di dalam masyarakat, bahkan banyak di antara mereka yang sampai dapat menduduki jabatan-
jabatan tertinggi di dalam pemerintahan. Seperti misalnya Rolandinus Passegeri yang disebut di atas, yang
menjadi penguasa tidak bermahkota dari Bologna, lawan dari Frederik II.

(5) Masa kemerosotan di bidang notariat.

Setelah notariat sampai pada puncak perkembangannya, maka pada akhir abad ke-14 terjadilah
kemerosotan di bidang notariat. Mulai sejak masa itu jabatan notaris lambat-laun jatuh di tangan orang-
orang yang tidak mempunyai keahlian di bidang notariat. Hal ini sebagian besar terjadi disebabkan
tindakan dari penguasa sendiri pada waktu itu, yang karena kekurangan uang, menjual jabatan-jabatan
notaris kepada orang-orang, tanpa mengindahkan apakah mereka ini mempunyai cukup keahlian di bidang
notariat. Tidak mengherankan apabila karenanya dari kalangan masyarakat timbul dan terdengar banyak
kluhan-keluhan mengenai kebodohan dari para notaris dan kekurang kepercayaan terdahap mereka. Dari
orang-orang yang merasa dirugikan terdengar ucapan-ucapan: "Ognorantia notariorum, pans
advocatorum", yang berarti "Kebodohan dari para notaris adalah pencaharian (roti) bagi para pengacara"
dan "Stultitia notariorum mundus perit", yang berarti "Dunia akan mengalami kehancurannya karena
kebodohan para notaris". Lazimnya kalau sekali terjadi kemerosotan, maka untuk memperbaiki kembali
keadaan itu akan memerlukan sangat banyak waktu. Kemerosotan di bidang notariat ini tidak terbatas di
Italia saja, akan tetapi juga terjadi di negara-negara lain yang mengenai lembaga notariat ini. Hal ini
terbukti dari ucapan-ucapan/kata-kata yang mengandung sindiran terhadap notariat di berbagai negara,
seperti misalnya: "Een van de negen plagen der wereld is het etcetera der notarissen"; "Aus drei Dingen
macht der Teufel seinen Salat: aus Advokatenzungen, aus Notarfingern and das dritte halt er sich vor";
"Notai, birri e messi, non timpaccier con essi" (hindarilah para notaris, para abdi peradilan dan polisi). 

(6) Perkembangan notariat di Perancis.

Lembaga notariat ini, yang seperti dikatakan di atas perkembangannya dimulai di Italia Utara,
dalam abad ke-13 dibawa ke Perancis, di mana notariat memperoleh puncak perkembangannya. Raja
Lodewijk de Heilige yang dianggap sebagai peletak dasar bagi kesatuan ketatanegaraan Perancis, banyak
berjasa di dalam pembuatan perundang-undangan. Hasil pekedaannya dalam pembuatan perundang-
undangan di berbagai lapangan masih tetap mempunyai nilai yang tinggi. Juga ia banyak berjasa di dalam
pembuatan perundang-undangan di bidang notariat, yang menjadi contoh bagi perundang-undangan
selanjutnya di bidang notariat.

Revolusi Perancis tidak hanya menjadi pendorong untuk mengadakan kodifikasi, akan tetapi juga
untuk pengundangan dari berbagai perundang-undangan bagi daerah-daerah bagian dari kerajaan Perancis.
Pada tanggal 6 Oktober 1791 di Perancis diundangkan undang-undang di bidang notariat.  Dengan mulai
berlakunya undang-undang baru tersebut, maka hapuslah perbedaan yang terdapat sebelumnya di antara
berbagai macam notaris, sehingga berdasarkan undang-undang tersebut hanya dikenal satu macam notaris.
Undang-undang tersebut kemudian diganti lagi, yakni dengan undang-undang dari 25 Ventose an XI (16
Maret 1803). Berdasarkan undang-undang ini para notaris dijadikan "ambtenaar" dan sejak itu mereka
berada di bawah pengawasan dari "Chambre des notaires". Untuk pertama kalinya berdasarkan undang-
undang tersebut terjadilah pelembagaan dari notariat yang dimulai di Perancis. Tujuan utama dari
pelembagaan notariat ialah untuk memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat, oleh
karena tidak boleh dilupakan, bahwa notariat mempunyai fungsi yang harus diabdikan bagi kepentingan
masyarakat umum dan tidaklah dimaksudkan oleh undang-undang untuk memberikan kepada notariat
suatu kedudukan yang kuat bagi kepentingan notariat itu sendidi, akan tetapi untuk kepentingan umum.
Kalaupun kepada notariat diberikan oleh undang-undang wewenang dan kepercayaan istimewa, semuanya
tidak lain dimaksudkan, agar notaris dapat melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan
umum dan bukan untuk kepentingannya sendiri.  Jika diperhatikan apa yang diuraikan di atas, maka
dapatlah diketahui, bahwa proses pemberian bentuk perundang-undangan bagi notariat ini telah menempuh
suatu jalan yang tidak mudah dan suatu jangka waktu yang tidak kurang dari lima abad.  

(7) Sejarah notariat di negeri Belanda.

Pada sa'at puncak perkembangannya itu dan setelah terjadinya untuk pertama kalinya
pelembagaan dari notariat ini, notariat Perancis sebagaimana itu dikenal sekarang, dibawa ke negeri
Belanda dan dengan dua bush dekrit Kaisar, masing-masing tanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret
1811 - dinyatakan berlaku di seluruh negeri Belanda, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1811. Dengan
adanya kedua dekrit itu, maka terdapatlah di negeri Belanda suatu peraturan yang berlaku umum yang
pertama di bidang notariat, di mana sebelumnya tidak ada satu ketentuan umum dan yang serupa yang
berlaku di berbagai bagian dari negeri Belanda, sebagaimana yang ada di Perancis. Sejak kapan adanya
notariat di negeri Belanda dan dari mana asalnya, artinya bukan notariat yang berkembang di Italia Utara
dan kemudian dibawa ke Perancis, tidak diketahui dengan pasti. 

Kebetulan pula para sarjana dan para ahli sejarah di negeri Belanda sangat sedikit sekali
memberikan perhatian di bidang perkembangan hukum ini, sehingga dapat dimengerti bahwa sejarah dari
notariat ini, sebagaimana dikatakan oleh Prof. A. Pitlo masih merupakan suatu daerah yang dapat
dikatakan belum diolah. Perundang-undangan notariat Perancis yang diberlakukan di negeri Belanda itu
tidak segera hilang setelah lepasnya negara itu dari kekuasaan Perancis dalam tahun 1813. Baru dalam
tahun 1842, setelah berulang-ulang adanya desakan dari rakyat Belanda untuk membentuk suatu
perundang-undangan nasional yang sesuai dengan aspirasi rakyat di bidang notariat, maka dikeluarkanlah
Undang-undang tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stb. no. 20) tentang jabatan notaris. Walaupun dari mulanya
dimaksudkan untuk menyusun suatu perundang-undangan nasional mengenai jabatan notaris, namun
menurut kenyataannya yang terjadi tidak lain daripada mengadakan perubahan-perubahan dalam
"Ventosewet" itu sendiri.Seluruh bangunan dari undang-undang tersebut tetap seperti semula. 

Perbedaan-perbedaan terpenting antara Ventosewet dan De Notariswet antara lain adalah sebagai berikut: 
1. Ventosewet mengenal 3 golongan notaris, yakni:
1. hofnotarissen,
2. Arrondissementsnotarissen dan
3. kantonnotarissen, yang berturut-turut mempunyai tempat kedudukan dan menjalankan tugas
jabatannya di seluruh daerah hukum dari "Gerechtshof', "Rechtbank" dan "Kantongerecht". 
Notariswet hanya mengenal satu macam notaris dan tiap-tiap notaris, dengan tidak mengadakan
pembedaan, berwenang untuk menjalankan tugas jabatannya di seluruh daerah hukum dari
"Rechtbank", di dalam daerah hukum mana notaris itu bertempat kedudukan. 

2. Berdasarkan ketentuan dalam Ventosewet diadakan yang dinamakan "Chambres des notaires" yang
mempunyai tugas rangkap, yaitu melakukan pengawasan terhadap para notaris dan menguji para notaris.
Oleh karena badan ini menurut penilaian dari pembuat undang-undang tahun 1842 di dalam menjalankan
tugasnya tidak mencapai tujuannya, maka badan ini dihapuskan dan pengawasan terhadap para notaris
diserahkan kepada badan-badan peradilan, sedang tugas untuk mengadakan ujian para notaris mula-mula
dipercayakan kepada "gerechtshoven" dan kemudian dalam tahun 1878 dijadikan Ujian Negara. 

3. Ventosewet mengharuskan adanya suatu masa magang (werkstage) bagi para calon notaris selama 6
tahun dan penyerahan suatu sertifikat yang dinamakan "certificate de moralite et de capacite" (keterangan
berkelakuan baik dan memiliki kecakapan) dari calon pelamar yang diberikan oleh "Chambre de
discipline" dari daerah hukum kamar, di mana calon notaris itu hendak menjalankan tugas jabatannya.
Dalam tahun 1842 masa magang (werkstage) ini dihapuskan berdasarkan pertimbangan yang semata-mata
bersifat teoritis dan tidak tepat, bahwa tidak menjadi soal dari mana seseorang mendapatkan keahliannya
itu, asai saja ia memilikinya dan lagi pula suatu jangka waktu tertentu mungkin bagi seseorang adalah
terlalu pendek, sedang bagi yang lain terlalu lama, sehingga sebagai penggantinya diadakan Ujian Negara. 

4. Menurut Ventosewet suatu akta notaris hanya dapat dibuat di hadapan 2 notaris tanpa saksi-saksi atau di
hadapan seorang notaris dan 2 saksi. Notariswet 1842 menghapuskan ketentuan itu dan menetapkan
pembuatan akta dilakukan di hadapan seorang notaris dan 2 saksi — kecuali untuk pembuatan akta
superskripsi dari surat  wasiat rahasia — dengan ancaman batal demi hukum, jika tidak dilakukan
demikian. 

Terhadap undang-undang tahun 1842 ini banyak suara-suara yang tidak puns dan sangat diinginkan untuk
mengadakan- peninjauan yang menyeluruh dari undang-undang itu, namun demikian undang-undang
tersebut hingga kini masih tetap berlaku, sungguhpun telah banyak mengalami perubahan. Demikianlah
selayang pandang sejarah terjadinya dan perkembangan dari notariat di Europa, yang kemudian melalui
negeri Belanda dibawa ke Indonesia  dan yang dikenal sekarang ini sebagai lembaga notariat, dengan para
notaris sebagai pengabdinya. 

(8) Notariat dalam abad ke-17 di Indonesia.


Notariat seperti yang dikenal di zaman "Republik der Verenigde Nederlanden" mulai masuk di
Indonesia  pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya "Oost Ind. Compagnie" di Indonesia.  Pada
tanggal. 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan setelah dijadikannya Jacatra sebagai ibukota (tanggal 4
Maret 1621 dinamakan "Batavia"), Melchior Kerchem, Sekretaris dari "College van Schepenen" di Jacatra,
diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan notaris
pada waktu itu, oleh karena berbeda dengan pengangkatan para notaris sekarang ini, di dalam akta
pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang
menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di kota
Jacatra untuk kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekedaannya itu sesuai
dengan sumpah setia yang diucapkannya pada waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw di Kasteel
Batavia  (yang sekarang dikenal sebagai gedung Departemen Keuangan — Lapangan Banteng), dengan
kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya, sesuai dengan bunyinya instruksi
itu.  Sekedar untuk pengetahuan cara pengangkatan seorang notaris pada abad ke-17, di bawah ini dimuat
"in extenso" akta pengangkatan notaris Melchior Kerchem tersebut

Lima tahun kemudian, yakni pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan "notaris public"
dipisahkan dari jabatan "secretaries van den gerechte" dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal
12 Nopember 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para notaris di Indonesia, yang hanya
berisikan 10 pasal, di antaranya ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan diambil
sumpahnya. Namun menurut kenyataannya para notaris pada waktu itu tidak mempunyai kebebasan di
dalam menjalankan jabatannya itu, oleh karena mereka pada masa itu adalah "pegawai" dari Cost Ind.
Compagnie. Bahkan dalam tahun 1632 dikeluarkan plakkaat yang berisi-ketentuan bahwa para notaris,
sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual-beli, surat wasiat dan lain-
lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur Jenderal dan "Raden van Indie",
dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Dalam pada itu di dalam praktek ketentuan tersebut tidak
dipatuhi oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan, sehingga akhirnya ketentuan itu menjadi tidak terpakai
lagi.  Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notaris dalam tahun 1620, jumlah notaris terns
bertambah, walaupun lambat, yang disesuaikan menurut kebutuhan pada waktu itu. Dalam tahun 1650
ditentukan, bahwa di Batavia akan diadakan hanya 2 orang notaris dan untuk menandakan bahwa jumlah
ini telah mencukupi, dikeluarkanlah bersamaan dengan itu ketentuan, bahwa para "prokureur" dilarang
untuk mencampuri pekerjaan notaris, dengan maksud agar dengan cara demikian masing-masing golongan
dapat memperoleh penghasilannya secara adil. 

Dalam tahun 1654 jumlah notaris di Batavia ditambah lagi menjadi 3 dan kemudian dalam tahun
1751 jumlah ini menjadi 5, dengan ditentukan bahwa 4 dari padanya harus bertempat tinggal di dalam
kota, yakni 2 di daerah bagian Barat dan 2 di bagian Timur, sedang yang seorang lagi harus tinggal di luar
kota, apakah itu di bagian Selatan ataupun di salah satu "gracht" di luar "Rotterdammerpoort" di bagian
Utara dari Jasserbrug.  Di daerah di luar Batavia  yang dinamakan "buitenposten", juga terdapat notaris.
Petunjuk mengenai itu diketemukan dalam suatu dokumen resmi (regeringsstuk) dari tahun 1686, akan
tetapi keterangan-keterangan mengenai ketentuan-ketentuan yang diperlakukan terhadap mereka yang
menjalankan jabatan notaris ini, yang berasal dari waktu itu, tidak diketahui. Namun banyak petunjuk yang
memberikan dugaan, bahwa- yang ditugaskan untuk menjalankan jabatan itu adalah orang-orang yang
disebut "gequalificeerde van de penne."  Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, notariat
ini hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang agak terperinci, yakni dari tahun 1625 dan 1765. Reglemen-
reglemen tersebut sering mengalami perubahan-perubahan, oleh karena setiap kali apabila untuk itu
dirasakan ada kebutuhan, bahkan juga hanya untuk pengangkatan seorang notaris, maka peraturan yang
ada dan juga sering terjadi peraturan yang sebenarnya tidak berlaku lagi, diperbaharui, dipertajam atau
dinyatakan berlaku kembali ataupun diadakan peraturan tambahannya. 

Menurut kenyataannya semuanya itu dilakukan semata-mata hanya untuk kepentingan dari yang
berkuasa pada waktu itu dan sekali-kali bukan untuk kepentingan umum, sebagaimana halnya sekarang ini.
Salah satu ketentuan dalam reglemen-reglemen tersebut ialah larangan kepada para Komisaris dari Raad
van Justitie di Batavia yang dimuat dalam Reglemen tahun 1765, agar di dalam melakukan inspeksi atas
protokol para notaris tidak mengadakan pemeriksaan lebih jauh atas surat-surat wasiat dan akta-akta lain
daripada yang di perlukan untuk menjalankan tugas itu, lagi pula mereka harus menjaga agar para
Sekretaris atau para pegawai yang disumpah, yang membantu mereka di dalam melakukan inspeksi itu
tidak turut melakukan pemeriksaan itu. Alasan untuk mengeluarkan peraturan itu ialah disebabkan adanya
laporan pada waktu penyerahan rancangan "Nieuwe Bataviasche Rechten" kepada Pemerintah Pusat dalam
tahun 1761, bahwa di Batavia terdengar desas-desus adanya usaha dari Komisaris Raad van Justitie di
Batavia untuk mengetahui seluruh isi protokol dari para notaris dan dengan demikian dapat mengetahui
rahasia dari seluruh kota Batavia.  Selama pemerintahan antara (tussenbestuur) dari Inggeris(1795-1811)
peraturan-peraturan lama di bidang notariat yang berasal dari "Republiek der Vereenigde Nederlanden"
tetap berlaku dan bahkan setelah berakhirnya kekuasaan Inggeris di Indonesia, peraturan-peraturan lama
tersebut tetap berlaku tanpa perubahan sampai dengan tahun 1822. 

Dalam hubungan ini perlu diperhatikan, bahwa "Ventosewet" yang diberlakukan di negeri
Belanda tidak pernah dinyatakan berlaku di Indonesia, juga tidak sesudah restaurasi dari negeri Belanda
dalam tahun 1813, sehingga yang berlaku di Indonesia adalah peraturan-peraturan lama yang berasal dari
"Republiek der Vereenigde Nederlanden". Dengan demikian maka kedudukan notaris di Indonesia pada
waktu itu adalah sama dengan kedudukan notaris pada masa pemerintahan "Republiek der Vereenigde
Nederlanden" sebelum negara itu jatuh di bawah kekuasaan Perancis, sedang di negeri Belanda sendiri
sejak tanggal 1 Maret 1811 notariat telah dilembagakan berdasarkan dekrit-dekrit tanggal 8 Nopember
1810 dan tanggal 1 Maret 1811, seperti yang diterangkan di atas.  Di dalam tahun 1822 (Stb. no. 11)
dikeluarkan "Instructie voor de notarissen in Indonesia", yang terdiri dari 34 pasal. Jika diperhatikan
ketentuan-ketentuan dalam Instructie tersebut, ternyata tidak lain daripada suatu resume dari peraturan-
peraturan yang ada sebelumnya, suatu bunga rampai dari plakkat-plakkat yang lama. 
Di dalam penyusunan dari Instructie ini ternyata tidak ada dituruti ketentuan-ketentuan seperti
yang terdapat dalam "Ventosewet", sebagaimana itu dahulu berlaku di negeri Belanda. Satu-satunya pasal
yang agak menyerupai ketentuan dalam "Ventosewet" adalah pasal 1 dari Instructie tersebut, yang
mengatur secara hukum batas-batas tugas dan wewenang dari seorang notaris dan yang kiranya dapat
dipandang sebagai langkah pertama di dalam pelembagaan notaris di Indonesia, yang menyatakan, bahwa
"Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang
dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan
kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau
minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar." Selama 38 tahun
usianya, Instructie tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Dalam tahun 1860 Pemerintah Belanda
pada waktu itu menganggap telah tiba waktunya untuk sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-
peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda dan karenanya
sebagai pen,,', anti dari peraturan-peraturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris
Reglement) yang dikenal sekarang ini pada tanggal 26 Januari 1860 (Stb. no. 3) mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 1860. Dengan diundangkannya "Notaris Reglement" ini, maka diletakkanlah dasar yang kuat
bagi pelembagaan notariat di Indonesia.

Sebagaimana dahulu halnya dengan ";Notariswet" yang berlaku di negeri Belanda, dari mana
lahirnya Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) yang berlaku di Indonesia, pada waktu
diundangkan dan juga sesudahnya tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Belanda, hal
serupa juga dialami oleh Peraturan Jabatan Notaris ini, tidak hanya dari pihak yang berhubungan langsung
dengan peraturan ini, akan tetapi juga dari pihak-pihak di luar notariat. Dalam Peraturan Jabatan Notaris
(P.J.N.) tidak ada diatur tentang pendidikan notaris, yang diatur hanya tentang ujian notaris, dengan
menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menempuh ujian notaris, akan
tetapi bagaimana caranya ia memperoleh ilmu itu sama sekali tidak dipersoalkan. Juga sangat disayangkan,
bahwa dari pihak Pemerintah sangat kurang perhatian mengenai pendidikan notariat.  Jika programme
ujian yang berlaku di Indonesia ini dibandingkan dengan yang berlaku di negeri Belanda sampai pada saat
penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, yang menguraikan persyaratan-persyaratan untuk berbagai mata
pelajaran yang diujikan kepada para calon notaris, maka jelas dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan di
antara keduanya. Syarat-syarat ujian adalah sama. Para notaris Indonesia  sepanjang mengenai
pengetahuan vak (vakkennis) sederajat dengan para notaris di negeri Belanda. Ujian notaris sebagaimana
itu diatur dalam P.J.N. adalah ujian Negara, artinya untuk mengambil ujian, maka tiap-tiap kali oleh
Departemen Kehakiman dibentuk panitia ujian yang dimaksud dalam pasal 14 P.J.N. Undang-undang i.c.
P.J.N. masih tetap mempergunakan ujian semata-mata sebagai ukuran untuk menilai kecakapan teoritis dan
kemampuan praktis dari seorang notaris. Cara ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dikatakan demikian oleh
karena pada hakekatnya terdapat hubungan yang tidak terpisahkan satu sama lain di antara tugas dari
seorang notaris dalam lalu lintas masyarakat dewasa ini, pendidikan untuk jabatan notaris yang akan
dijalankannya dan persyaratan ujian. 
Di mana sifat dari ujian vak ini menentukan sifat dari pendidikan yang diperlukan untuk itu dan
syarat-syarat yang diharuskan bagi notaris praktek, agar ia dapat menunaikan tugasnya dengan baik,
mempunyai pengaruh besar terhadap sifat dari pendidikan notariat, maka timbul pertanyaan, apakah
dengan memperhatikan perkembangan lalu lintas hukum sekarang ini dan tugas yang harus dipenuhi oleh
seorang notaris di dalam lalu lintas hukum itu dianggap perlu untuk mengadakan perubahan dalam bentuk
dan isi dari pendidikan notariat ini? Menurut hemat saya hal ini sangat perlu, oleh karena menurut
kenyataannya, bersamaan dengan perkembangan waktu, tugas notaris telah pula berkembang sebagaimana
itu sekarang ini, yakni notaris sebagaimana menurut undang-undang dan notaris menurut yang sebenarnya
dan tugas yang harus dijalankannya, yang diletakkan kepadanya oleh undang-undang, sangat berbeda
sekali dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh masyarakat di dalam praktek.  Jadi apabila peraturan
hukum tentang persyaratan untuk dapat diangkat sebagai notaris memperhatikan dengan teliti tugas yang
harus dilakukan oleh notaris di dalam kehidupan modern sekarang ini; maka sudah seharusnya P.J.N.
memuat peraturan- peraturan yang memberikan jaminan, bahwa tidak seorang pun dapat diangkat menjadi
notaris, jika ia tidak memiliki pengetahuan yang oleh undang-undang dianggap merupakan jaminan yang
cukup tentang adanya pengetahuan umum serta pengetahuan hukum dan juridic yang benar-benar sesuai
dengan persyaratan yang dituntut oleh lalu lintas hukum modern dari seorang notaris.   Maka untuk
kepentingan suatu pendidikan yang baik, terutama untuk memperoleh pengetahuan.juridis yang umum
(algemene juridise ontwikkeling) sudah pada tempatnya pendidikan notariat dijadikan pendidikan
universitair berdasarkan undang-undang. 

Dengan diadakannya pendidikan notariat yang merupakan pendidikan "pasca sarjana" pada
Universitas Indonesia, yang kemudian disusul pada Universitas Pajajaran, Universitas Gajah Mada,
Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro,  Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Sriwijaya
adalah sangat tepat dan merupakan perwujudan dari suatu keinginan yang telah lama ada.  Walaupun
pendidikan notariat serupa ini sebenarnya sudah sejak lama diharap-harapkan, namun kita tidak perlu
berkecil hati, jika diketahui bahwa di negeri Belanda sendiri, yang telah jauh lebih lama mengenal lembaga
notariat ini dan telah juga lebih lama berusaha ke jurusan itu, baru mulai tahun 1958 pendidikan notariat di
negeri Belanda dijadikan pendidikan universitair, berkat kegigihan dan usaha Prof. Mr. A.R. de Bruijn.
Namun demikian masih disayangkan, bahwa adanya pendidikan notariat universitair (pasca sarjana) di
Indonesia belum diatur dalam suatu perundang-undangan dan juga belum, merupakan satu-satunya
pendidikan notariat, oleh karena di samping itu masih tetap diadakan ujian negara, sungguhpun hanya
untuk Bagian III (terakhir), sedang ujian Bagian I dan II tidak diadakan lagi, walaupun belum pernah
dihapuskan secara resmi.Selain daripada itu ternyata di dalam praktek yang dapat diterima untuk
pendidikan notariat pasca sarjana adalah semua sarjana hukum yang telah menamatkan pelajarannya pada
Fakultas Hukum Universitas Negeri atau yang dinamakan dengan itu, tanpa mengadakan pembedaan di
antara para sarjana hukum yang bersangkutan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena sekarang ini
sebenarnya tidak lagi terdapat sistim seperti yang ada dahulu, di mana seorang mahasiswa setelah
mencapai suatu tingkat tertentu, dapat meneruskan studinya dengan memiliki jurusan tertentu, misalnya
jurusan perdata atau jurusan pidana dan sebagainya. Kalaupun sekarang ini ada dikatakan, bahwa
seseorang telah menamatkan pendidikannya menjadi Sarjana Hukum Jurusan Perdata, sebenarnya hal ini
hanya berdasarkan kenyataan, bahwa yang bersangkutan telah membuat skripsi mengenai sesuatu bidang
hukum perdata. 

Sejarah notariat Indonesia, sebagaimana juga halnya dengan notariat di negara-negara lain
mengenal masa kejayaannya dan masa kemerosotannya.  Dalam tahun 1954 diundangkan "Undang-undang
tentang Wakil-notaris dan Wakil-notaris Sementara" (L.N. 1954 — 101), di dalam pasal 4 dari undang-
undang mana dinyatakan:

a.    untuk ditunjuk sebagai Wakil-notaris (sementara) seorang tidak perlu lulus dalam ujian yang dimaksud
dalam pasal 13 Reglemen;
b.    dalam pada itu sedapat mungkin ditunjuk seorang yang telah lulus dalam satu atau dua bahagian dari
ujian yang dimaksud dalam pasal 13 Reglemen.

 Di dalam konsiderans dari undang-undang tersebut dapat di-baca pertimbangan dari pembuat undang-
undang untuk mengeluarkan undang-undang itu, antara lain dikatakan:

a.    bahwa perlu diadakan peraturan supaya dalam hal seorang penjabat notaris tidak ada, jabatan notaris
itu dapat dijalankan sebaik-baiknya.
b.    bahwa berhubung dengan hal-hal yang mendesak peraturan ini harus segera diadakan dengan tidak
menunggu pengaturan kenotariatan seluruhnya. 

Terlepas dari pertanyaan, apakah mereka yang memiliki izasah Bagian I dan/atau II telah mempunyai
cukup pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maksud daripada
undang-undang tersebut, sebagaimana itu dapat dinilai dari konsiderans di atas, adalah baik. Namun
pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah menyebabkan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan,
yang memerosotkan nama baik dari korps notariat. Di dalam pelaksanaan dari undang-undang tersebut,
para Wakil Notaris (sementara) yang diangkat itu menurut yang tercantum di dalam surat 
pengangkatannya diangkat untuk satu tahun dan kemudian setelah berakhirnya jangka waktu satu tahun
Itu, diperpanjang lagi untuk satu tahun dan demikian seterusnya. Sudah barang tentu cara sedemikian tidak
memberikan perasaan yang tenteram bagi yang bersangkutan, oleh karena selalu dibayangi oleh perasaan
takut, kalau-kalau masa jabatannya satu tahun itu setelah berakhir, tidak diperpanjang lagi. Akibatnya
ialah, bahwa Wakil Notaris (sementara) yang bersangkutan berusaha untuk mendapatkan uang sebanyak
mungkin, pertama dengan pertimbangan untuk. dapat menutup biaya-biaya yang telah dikeluarkannya
untuk pembuktian kantornya itu, yang pada umumnya tidak sedikit jumlahnya dan untuk persediaan,
apabila ia tidak diangkat kembali. Timbullah dalam hal ini pikiran, seperti yang dikatakan dalam bahasa
Belanda: "Halen wat er te halen valt".  Keadaan ini sungguh tidak menguntungkan bagi pembinaan dan
perkembangan suatu notariat yang baik dan akibatnya hanya memerosotkan lembaga notariat ini di mata
masyarakat yang dilayaninya. Untunglah keadaannya lambat lawn membaik kembali dengan lulusnya
sebagian bestir dari para Wakil Notaris (sementara) tersebut dan dengan dihentikannya kemudian
pengangkatan para Wakil Notaris (sementara) baru. 
Dalam periode 1960 — 1965, terutama di zaman Kabinet 100 Menteri, notariat banyak mengalami
kegoncangan-kegoncangan. Tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pada
waktu itu dikeluarkan suatu surat keputusan yang bertujuan mengadakan "peremajaan" di kalangan para
notaris, sekalipun mengenai batas umur bagi para notaris untuk dapat dipensiunkan telah diatur dalam
undang-undang (P.J.N.) sendiri. Dalam pada itu sangat mengherankan, bahwa di antara para notaris yang
terkena peraturan "peremajaan" itu, ada yang diangkat kembali berdasarkan dispensasi, dengan
memperpanjang masa jabatannya.  Dipengaruhi oleh keadaan pada waktu itu, terjadilah pengangkatan-
pengangkatan para notaris/wakil notaris baru, dengan tidak lagi berpedoman kepada dan tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku dan bahkan ada kalanya sudah
merupakan pengangkatan politis. Setelah terjadinya pergeseran-pergeseran pimpinan, maka beberapa
notaris yang terkena "peremajaan" dan tidak mendapat dispensasi, diangkat kembali (direhabilitier).
Adanya rehabilitasi ini sangat diperlukan untuk menghilangkan "image" yang ada di kalangan masyarakat
umum terhadap para notaris yang timbul disebabkan "peremajaan" itu, yakni anggapan masyarakat bahwa
apa yang telah terjadi itu bukaniah suatu "peremajaan", akan tetapi pemecatan-pemecatan disebabkan
tindakan-tindakan dan perbuatanperbuatan para notaris yang melanggar hukum. 

Di seluruh Indonesia dewasa ini terdapat kurang lebih 350 notaris (termasuk di dalamnya wakil
notaris). Dahulu di samping notaris dan wakil notaris terdapat yang dinamakan notaris merangkap, yakni
para Bupati yang di samping jabatannya tersebut juga merangkap sebagai notaris. Sejak dikeluarkannya
surat keputusan Menteri Dalam Negeri yang melarang para Bupati merangkap jabatan notaris, maka
hapuslah jabatan notaris merangkap ini. Menurut peraturan yang berlaku, Pemerintah menetapkan formasi
(jumlah notaris) untuk tiap-tiap kota atau tempat atau dengan perkataan lain. Pemerintah tidak menetapkan
jumlah notaris untuk seluruh Indonesia. Berbicara mengenai jumlah notaris yang dibutuhkan di Indonesia,
maka jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah yang ada sekarang masih belum mencukupi. Di
negeri Belanda misalnya dewasa ini, jika jumlah notaris yang ada dibandingkan dengan jumlah
penduduknya, maka terdapat satu notaris untuk kurang lebih 6.000 jiwa. Apabila kita mengambil sebagai
contoh perbandingan yang ada di negeri Belanda, maka di Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak
kurang lebih 130 juta orang, sekurang-kurangnya harus ada 20.000 notaris. 

Dalam pada itu tidak boleh dilupakan, bahwa di samping berhagai faktor yang berbeda dengan di
negara kita, di negeri Belanda rakyatnya telah begitu "notaris-minded", sehingga dapat dikatakan segala
persoalan yang berhubungan dengan harta kekayaannya di bidang hukum keperdataan dipercayakan
pengurusannya kepada notarisnya.  Dalam Kongres ke-VIII Ikatan Notaris Indonesia yang diadakan dalam
tahun 1970 di Solo, bapak Prof. R. Soebekti S.H., pada waktu itu Ketua Mahkamah Agung R.I. pernah
mengemukakan keinginannya agar dalam waktu yang singkat Indonesia telah mempunyai 2.000 notaris,
agar dengan demikian di tiap-tiap Kabupaten atau dalam daerah hukum dari tiap-tiap Pengadilan Negeri
terdapat sekurang-kurangnya 2 notaris. Gagasan beliau itu sangat baik dan dimaksudkan tidak lain agar
dapat diberikan pelayanan oleh para notaris sampai kepada penduduk di desa-desa. Yang menjadi
pertanyaan dalam hal ini ialah bagaimana caranya agar keinginan tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pendidikan notariat di Indonesia baru ada pada 4 Universitas, yakni Universitas Indonesia, Universitas
Pajajaran, Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Keempat universitas tersebut
menghasilkan tiap-tiap tahun kurang lebih 30 sampai 40 Candidaat Notaris, sehingga untuk mencapai
jumlah tersebut di atas diperlukan waktu kurang lebih 60 sampai 70 tahun dan mungkin lebih, mengingat
bahwa sementara itu di antara notaris yang ada sekarang ini akan ada yang meninggal dunia atau
dipensiunkan. Apabila gagasan tersebut sungguh-sungguh hendak dijadikan kenyataan, maka dari sekarang
ini juga harus dipikirkan dan diambil langkah-langkah yang diperlukan bagi realisasinya. 

Dalam hubungannya dengan pendidikan dan pembinaan profesi notariat, pada beberapa tahun terakhir
ini terlihat dengan jelas adanya perhatian Pemerintah di bidang itu, hal mana disambut dengan hangat oleh
Ikatan Notaris Indonesia dan para notaris sendiri, demi untuk peningkatan mutu dan pendidikan notariat di
dalam pengabdiannya kepada masyarakat umum. Di dalam kehidupan yang dinamis sekarang ini bagi
notariat juga merupakan suatu keharusan untuk lebih tajam melihat ke depan daripada masa-masa silam.
Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang sejarah perkembangannya sendiri, oleh karena dengan lebih
mengenal apa yang terjadi di masa silam dan togas yang harus dilakukannya di dalam masa pembangunan
dewasa ini di segala bidang, para notaris akan dapat lebih baik memandang ke masa depan. Hendaknya
para notaris harus senantiasa waspada, agar tidak tertinggal di belakang. Apabila para notaris tidak ingin
pihak lain membicarakan hal-hal yang menyangkut dirinya, tanpa hadirnya para notaris sendiri, maka para
notaris harus mempersenjatai dirinya sendiri mulai sekarang ini juga. Hendaknya diingat bahwa para
notaris tidak akan dapat mempersenjatai dirinya, apabila para notaris di samping perhatiannya untuk
pekerjaannya sehari-hari, tidak mempunyai perhatian untuk pembangunan yang kini sedang giat-giatnya
dilakukan di segala bidang, terutama di bidang pembangunan hukum. 
TUGAS PERATURAN JABATAN NOTARIS
HMN 10102
"Sejarah Notaris"
Disusun Oleh : Tommy Suhartanto
NIM : 100.682.9385

FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA


MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2011

Anda mungkin juga menyukai