Anda di halaman 1dari 7

http://kismawadi.wordpress.

com/
http://qiblati.com/

Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional


January 21, 2009 by kismawadi
Apakah hukum syariat tentang perkara-perkara sebagai berikut; Menyimpan harta di bank dan
setiap tahun mendapatkan bunga? Meminjam dari bank dengan bunga sesuai dangan jangka waktu
tertentu Menyimpan harta dibank tapi tidak mengambil bunga? Pegawai yang bekerja di Bank-Bank
tersebut, sebagai direktur atau selainnya? Pemilik tanah yeng menyewakan tempatnya untuk bank
tersebut?
Berikut jawaban Syaikh bin Bazz:
Tidak boleh menyimpan harta di bank untuk mendapatkan bunga, dan tidak boleh meminjam
dengan bunga karena semua itu merupakan riba yang jelas. Dan tidak boleh pula menitipkan harta
dengan faedah (bunga) pada selain bank. Demikian pula meminjam dengan bunga dari siapapun
selain bank. Yang demikian ini haram menurut semua ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala, yang artinya: “Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS: Al-Baqarah:
275)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Allah memusnahkan riba(menghilangkan
berkahnya) dan menyuburkan (membungakan) sedekah.” (QS: Al-Baqarah: 276)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman tinggalkan apa-apa yang tersisa dari riba kalau kalian orang-orang yang mukmin. Maka
jika kalian tidak melakukannya maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya (Allah akan
memerangi kalian) dan jika kalian taubat (dari pengambilan riba ) maka bagi kalian pokok harta
kalian, kalian tidak menganiaya dan tidak dianiaya.” (QS: Al-Baqarah: 278-279)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan setelah itu semua, yang artinya: “Dan jika ia
(orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia mampu.” (QS: Al-
Baqarah:280)
Dia (Allah) memperingatkan hamba-hamba-Nya dengan ayat ini bahwa orang yang memberi
hutang tidak boleh menuntut orang yang tidak mampu membayar hutangnya serta tidak
membebaninya dengan tambahan harta sebagai pengganti waktu tunggu tetapi dia wajib
menunggunya sampai orang itu mampu, tanpa tambahan apapun karena tidak mampu membayar.
Ini merupakan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hambanya serta perlindungannya
bagi mereka dari kedhaliman dan kerakusan yang merusak mereka dan tidak memberi manfaat bagi
mereka.
Adapun menitipkan harta di bank-bank riba tanpa mengambil faidah (bunga) maka tidak apa-apa
jika terpaksa seorang muslim untuk melakukannya. Adapun bekerja di Bank-bank riba tidak
diperbolehkan, sama saja apakah dia sebagai direktur, sekretaris, bendahara, satpam atau lainnya
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Tolong menolonglah atas kebaikan
dan ketakwaan dan jangan tolong menolong atas dosa dan permusuhan” (QS: Al-Maidah: 2)
Dan juga karena apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah ShalAllahu ‘alaihi wa Sallam bahwa
beliau melaknat pamakan riba, pemberi riba, penulisnya dan 2 saksi kemudian beliau bersabda,
yang artinya: “mereka sama.” (HR: Muslim)
Selain ayat dan hadits diatas masih banyak sekali dalil-dalil yang menunjukan haramnya bertaawun
(tolong menolong) dalam kemaksiatan. Dalil diatas juga melarang menyewakan tanah kepada
pengusaha-pengusaha bank-bank riba, karena ini menunjukkan dukungan pada perbuatan riba
mereka.
Kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada kita semua dan
memberi taufik kepada kaum muslimin seluruhnya, para pemerintah dan rakyatnya untuk
memerangi riba dan berhati-hati dari padanya, serta merasa cukup dengan apa-apa yang telah
dihalalkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pada perkara-perkara muamalah yang
sesuai dengan syariat karena Dia-lah yang berkuasa atasnya. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab
(Sumber Rujukan: Banking and ribaa (interest/usury) – Fatwa Online; Fatwa-Fatwa Ulama Tentang
Bunga Dan Bank)

Koperasi Syariah sebagai Solusi


Praktek riba sudah dilakukan sejak zaman dulu. Maka Allah mengutus para nabi, salah satu
tugasnya untuk memerangi riba. Bahkan Knight of Templar yang lari dari Perang Salib II, menurut
Harun Yahya seorang intelektual muslim, adalah orang-orang yang memperkenalkan konsep bank
dengan pinjaman yang berbunga.
Sejak itulah Eropa mengenal perbankan yang riba dan menindas. Rupanya perang riba yang
dikumandangkan para nabi sebelum kerasulan Muhammad sholallohialaihi wassalam, menemukan
titik sempurna dalam agama Islam. Dalam bermuamalah Islam menerapkan kriteria yang ketat, agar
transaksi halal dan saling menguntungkan, tak ada yang teraniaya, atau maksiat. Jujur dan amanah
harus pula menjadi pondasi. Maka bila tawaran dari bermuamalah dengan hukum Islam lebih
menggiurkan, mengapa kita masih tertarik dengan konsep jahiliyah?
Ide lahirnya koperasi pun adalah perlawanan terhadap praktek rentenir di Eropa, yang kemudian
diadopsi di Indonesia. Dan ditata ulang oleh Bung Hatta. Tujuan pendirian Koperasi, menurut UU
Perkoperasian, adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara konsepsional, Koperasi sebagai Badan Usaha yang menampung pengusaha ekonomi lemah,
memiliki beberapa potensi keunggulan untuk ikut serta memecahkan persoalan social-ekonomi
masyarakat. Peran Koperasi sebagai upaya menuju demokrasi ekonomi secara kontitusional
tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun dalam perjalanannya, pengembangan koperasi
dengan berbagai kebijakan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia,
keberadaannya masih belum memenuhi kondisi sebagaimana yang diharapkan masyarakat.
Misalnya, unit koperasi simpan pinjam mempraktekkan riba. Inilah yang menjadi kegelisahan
sebagian besar umat Islam, yang ingin bermuamalah secara halal.
Namun di sisi lain, koperasi syariah juga dituntut tak sekedar halal demi kelangsungan hidupnya.
Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan koperasi dan usaha kerakyatan harus
berbasiskan kepada dua pilar: tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat; Berfungsinya
aransmen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi yang effektif.
Pada akhirnya koperasi syariah yang didirikan Alumni SMAN 70 ini, haruslah berguna untuk
meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Selanjutnya, untuk meningkatkan ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan
ekonomi kerakyatan, koperasi syariah harus mampu menghimpun masyarakat ekonomi lemah.
Dengan cara mengembangkan iklim usaha dalam lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan
menggandeng lembaga-lembaga pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan
Lembaga Perbankan Syariah. Dalam sebuah bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial
koperasi, bantuan pengembangan perangkat, dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama
pendanaan dan pembiayaan.
Dengan membuat sebuah program kemitraan bagi BMT, diharapkan dapat mengembangkan usaha-
usaha mikro, sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan, yang akan sulit jika dibiayai dengan
menggunakan konsep perbankan murni, dan di sisi lain kemitraan ini juga akan meningkatkan
kemampuan koperasi syariah dan BMT sebagai lembaga keuangan alternative.
Namun sebelum mewujudkan visi masyarakat sejahtera lahir dan bathin, kita harus menyadari
bahwa makna kesejahteraan yang ingin dicapai bukan hanya dari sisi materi semata, tetapi
ketersinggungan dengan apek ruhaniah yang juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia
dan keadilan sosial ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kebersihan harta,
kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.

Pengertian Takaful
Kata Takaful berasal dari bahasa Arab, takafala – yatakafalu – takafulan, yang
secara etimologis berarti menjamin atau saling menanggung. Takaful dalam
pengertian muamalah adalah saling memikul resiko diantara sesama peserta
sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko
yang muncul. Saling memikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong
menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana
tabarru` (derma atau dana kebajikan) yang ditujukan untuk menanggung
resiko. Takaful dalam pengertian ini sesuai dengan al-Quran surat almaidah (QS
5:2), “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Menurut syekh Abu Zahra, dalam kitabnya al-Takaful al Ijtima`i fil Islam yang
dimaksud dengan al-takaful al-ijtima`i itu adalah setiap individu suatu
masyarakat berada dalam jaminan atau tanggungan masyarakatnya. Ia
mengatakan makna yang paling tepat untuk pengertian al-takaful al-ijtima`i
ialah sabda Nabi: “Mu`min terhadap mu`min yang lain seperti bangunan
memperkuat satu sama lainnya” (HR.Bukhari Muslim) atau hadits Nabi: “Orang-
orang mu`min dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan,
apabila salah satu anggota badannya menderita sakit maka seluruh badan
merasakan” (HR Bukhari,Muslim).
Asal Usul Asuransi Syariah

Konsep asuransi syariah sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW
yang dalam kitab-kitab klasik Islam yang disebut dengan Aqilah. Sistem Aqilah
sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu, jika ada salah satu
anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, prwaris korban akan
dibayar uang darah atau uang tebusan (ad-Diyah) sebagai konpensasi oleh
saudara terdekat dari pembunuh (al-Aqilah).

Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan bahwa pada


perkembangan selanjutnya, dengan datangnya Islam, sistem Aqilah diterima
oleh Rasulullah SAW menjadi bagian dari hukum Islam.Argumentasi ini kata Al
Asqalani, dapat dilihat dalam hadits Nabi dalam pertengkaran antara dua
wanita dari suku Husail:

“Diriwayatkan oleh Abu Hanifah mengatakan, pernah dua wanita dari suku
Husail bertikai, ketika seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu,
yang mengakibatkan kematian wanita itu dan jabang bayi dalam rahimnya.
Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan Nabi Muhammad SAW
yang memberikan keputusan bahwa konpensasi bagi terbunuhnya anak bayi
adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan, sedangkan
konpensasi atas pembunuhan wanita adalah uang darah (ad-diyah) yang harus
dibayar oleh aqilah (saudara pihak ayah) dari tertuduh”.

Perbedaan Takaful Dengan Asuransi Konvensional


Secara syar`i ada tiga hal yang membedakan antara asuransi syariah dengan
asuransi konvensional:
1.Gharar (Ketidakpastian), menurut mahzab Imam Safi`i adalah apa-apa yang
akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin
muncul ialah yang paling kita takuti. Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian
tentang gharar sebagai al-khatar dan at taghrir, yang artinya penampilan yang
menimbulkan ker usakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan
tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan al-dunya
mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Oleh
karena itulah maka gharar dilarang dalam jual beli yang islami sebagaimana
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
melarang jual beli hashah dan jual beli gharar (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud).

Selanjutnya pada bagian manakah gharar terjadi pada asuransi konvensional,


Safi`i Antonio pakar ekonomi syariah menjelaskan bahwa gharar atau
ketidakpastian dalam asuransi konvensional terjadi pada dua bentuk: (1)
Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis, dan (2) Sumber dana
pembayaran klaim dan keabsahan syar`i penerima uang klaim itu sendiri.
Perjanjian (kontrak) dalam asuransi jiwa (konvensional) dapat dikategorikan
sebagai aqd tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran
premi dengan uang pertanggungan. Secara syar`i kata Safi`i dalam akad
pertukan harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima.
Keadaan ini akan menjadi rancu atau gharar karena kita tahu berapa yang
diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan
dibayarkan (jumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan
seseorang akan meninggal.Allah SWT berfirman: maa ashoobah min
mushiibatin illa biidznillah (Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa
seseorang kecuali dengan izin Allah).Disinilah gharar terjadi pada asuransi
konvensional.

2. Maisir (Gambling/Judi), Allah SWT sangat tegas dalam hal maisir,


sebagaimana firmannya dalam al-Quran surah al Maidah (QS.5:90), “Hai orang-
orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Mustafa Ahmad Zarqa mengatakan bahwa adanya unsur gharar menimbulkan
al qumaar, sedangkan al qumaar sama dengan al maisir (judi), yaitu ada salah
satu pihak yang untung tetapi ada pula pihak lain yang dirugikan. Husain
Hamid Hisan dalam Hukmu Asy Syari`ah Al Islamiyah Fii Uquudi At Ta`min,
mengatakan akad gharar merupakan akad judi, karena masing-masing pihak
yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang
diambil atau jumlah yang ia berikan, yakni jika menang maka ia mengetahui
jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia
berikan.

Unsur maisir dalam asuransi konvensional, disebabkan karena adaanya unsur


gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi
jiwa meninggal dunia, sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah
membayar sebagian preminya, maka tertanggung akan menerima sejumlah
uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang tersebut dan dari mana
asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal ini yang dipandang
sebagai al maisir (perjudian) dalam asuransi konvensional.

Hal lain yang menjadikan asuransi konvensional mengadung maisir, adalah


karena adanya salah satu pihak yang untung namun dilain pihak ada yang
mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan
sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing
period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima
kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Selain itu
gambling terjadi karena adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh
pengalaman underwriting (mortalita ), dimana untung rugi terjadi sebagai hasil
dari ketepatan (Chance).

3. Riba (bunga), secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam


pengertian lain, secara linguistik riba berarti tumbuh dan membesar.
Sedangkan untuk istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan
riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah
dalam Islam.

Allah SWT mengharamkan riba dalam banyak ayat dalam al Quran, misalnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keneruntungan”(QS.Ali Imron 3:130). Sayyid Qutub dalam tafsirnya yang
sangat mashur Fi Dzilal Al-Quran (Dibawah Naungan Al-Quran), dalam
menjelaskan kata berlipat ganda dalam ayat di atas mengatakan,
sesungguhnya orang-orang pada zaman sekarang ingin bersembunyi di
belakang nash ini. Mereka berkilah dengan mengatakan, sesungguhnya yang
diharamkan adalah riba yang berlipat ganda. Sedangkan yang empat persen,
tujuh persen, sembilan persen, bukanlah berlipat ganda, dan tidaklah termasuk
dalam ruang lingkup yang diharamkan. Yang dimaksud dengan berlipat ganda
adalah gambaran dari keadaan dan bukan syarat yang berkaitan dengan
hukum. Ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah (QS.2:278-279) kata Sayyid
Qutub, adalah dengan pasti dalam mengharamkan riba, tanpa pembatasan
maupun pengikatan, wadzaruumaabaqiyah minarriba` (..dan tinggalkanlah
sisa-sisa ribaa ..), bagaimana pun keadaannya. Oleh karena itulah maka
“Rasulullah SAW mengutuk pemakan riba (pengambil/peminjam), pemberi
makan riba (bank atau semacamnya), penulisnya (karyawan), saksinya, seraya
berkata mereka semua sama” (HR Bukhari dan Muslim).

Asuransi syariah menghindari praktek riba dengan cara menginvestasikan


seluruh dananya kepada lembaga keuangan syariah (bank syariah, leasing
syariah, modal ventura syariah, obligasi syariah, penggadaian syariah, koperasi
syari`ah, dan sebagainya) dengan sistem mudharabah, wadiah, wakalah,
musyarakah, dan atau sistem syari`ah lainnya yang dibenarkan.

Takaful Sebagai Sarana Ibadah


Tabarru` berasal dari kata tabarra`a, yatabarra`u, tabarru`an, artinya
sumbangan atau dana kebajikan. Orang yang memberikan sumbangan disebut
mutabarri` (dermawan). Niat tabarru` (dana kebajikan) adalah alternatif uang
sah yang dibenarkan oleh syara` dalam melepaskan diri dari praktek gharar
yang diharamkan dalam praktek asuransi konvensional. Tabarru` dalam
pengertian al birr (dana kebajikan) disebutkan dalam al Quran surat al Baqarah
(QS.2:177), “Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu
sesuatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-
orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya ..”

Tabarru` bermaksud memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk


saling membantu satu sama lain sesama peserta takaful apabila ada
diantaranya yang mendapat musibah.Dana klaim yang diberikan diambil dari
rekening dana tabarru` yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan
menjadi peserta takaful, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong
menolong.

Mendermakan sebagian harta dengan tujuan untuk membantu seseorang


dalam menghadapi kesusahan sangat dianjurkan dalam agama Islam.
Penderma (mutabarri`) yang ikhlas akan mendapat ganjaran pahala yang
sangat besar sebagaimana firman Allah SWT: “ Perumpamaan derma orang-
orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah serupa dengan benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
luas karunianya lagi Maha Mengetahui”(QS.2:261). Dan ketinggian martabat
orang yang membantu saudara-saudaranya, digambarkan dalam hadits Nabi:
“Barangsiapa yang memenuhi hajat saudaranya Allah akan memenuhi
hajatnya”.

Mengapa Harus Asuransi Syariah


Ada tiga alasan mengapa kita harus (wajib) memilih asuransi syariah: pertama,
secara syar`i telah dijelaskan oleh para ulama bahwa tidak diragukan lagi
dalam praktek asuransi konvensional terdapat tiga unsur yaitu gharar, maisir,
dan riba, yang secara tegas dengan dalil-dalil yang kuat haram hukumnya.
Oleh karena itu sebagai ummat muslim yang komitmen terhadap ajarannya
tentu tidak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya. Kedua, bahwa ditengah-
tengah diharamkannya asuransi konvensional, dan tidak mungkinnya ummat
muslim menghindari realita kehidupan dalam masyarakat untuk berasuransi,
maka para ulama dan pakar ekonomi syari`ah telah memberikan alternatif
asuransi yang dibenarkan secara syar`i dan digali dari nilai-nilai ajaran Islam
itu sendiri, yang ternyata telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW dan
para sahabatnya dalam bentuk yang lebih sederhana. Ketiga, Islam adalah
sistem yang universal. Hidup secara Islami bukan hanya dalam hal aqidah,
akhlak dan ibadah saja, tetapi dalam hal muamalahpun harus Islami. Al Quran
telah menganjurkan kepada kita untuk menjalankan ajaran ini secara syumul
(menyeluruh), “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kedalam Islam secara
kaffah (menyeluruh), dan janganlah mengikuti langkah-langkah
syaetan…”(QS.2:208). Begitu pula firman Allah, “ Apakah kalian beriman
kepada sebagian kitab (mengambil sebagian dari pada Islam) dan
meninggalkan bagian yang lain.(QS.2:85). Kita hanya mengambil sistem ibadah
saja dalam Al Quran tetapi sistem mu`amalah ditinggalkan. Jika cara hidup kita
anut demikian, Allah SWT mengingatkan illa hizyun fil hayatiddunya (kehinaan
didunia), wal yaumal qiyamah yuradduna ila asyaddil adzab(dan dihari kiamat
nanti akan disiksa dengan adzab yang sangat pedih), wamallahu bighofilin
amma ta`malun (dan Allah sekali-kali tidak akan lupa).

Anda mungkin juga menyukai