com/
http://qiblati.com/
Pengertian Takaful
Kata Takaful berasal dari bahasa Arab, takafala – yatakafalu – takafulan, yang
secara etimologis berarti menjamin atau saling menanggung. Takaful dalam
pengertian muamalah adalah saling memikul resiko diantara sesama peserta
sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko
yang muncul. Saling memikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong
menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana
tabarru` (derma atau dana kebajikan) yang ditujukan untuk menanggung
resiko. Takaful dalam pengertian ini sesuai dengan al-Quran surat almaidah (QS
5:2), “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Menurut syekh Abu Zahra, dalam kitabnya al-Takaful al Ijtima`i fil Islam yang
dimaksud dengan al-takaful al-ijtima`i itu adalah setiap individu suatu
masyarakat berada dalam jaminan atau tanggungan masyarakatnya. Ia
mengatakan makna yang paling tepat untuk pengertian al-takaful al-ijtima`i
ialah sabda Nabi: “Mu`min terhadap mu`min yang lain seperti bangunan
memperkuat satu sama lainnya” (HR.Bukhari Muslim) atau hadits Nabi: “Orang-
orang mu`min dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan,
apabila salah satu anggota badannya menderita sakit maka seluruh badan
merasakan” (HR Bukhari,Muslim).
Asal Usul Asuransi Syariah
Konsep asuransi syariah sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW
yang dalam kitab-kitab klasik Islam yang disebut dengan Aqilah. Sistem Aqilah
sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu, jika ada salah satu
anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, prwaris korban akan
dibayar uang darah atau uang tebusan (ad-Diyah) sebagai konpensasi oleh
saudara terdekat dari pembunuh (al-Aqilah).
“Diriwayatkan oleh Abu Hanifah mengatakan, pernah dua wanita dari suku
Husail bertikai, ketika seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu,
yang mengakibatkan kematian wanita itu dan jabang bayi dalam rahimnya.
Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan Nabi Muhammad SAW
yang memberikan keputusan bahwa konpensasi bagi terbunuhnya anak bayi
adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan, sedangkan
konpensasi atas pembunuhan wanita adalah uang darah (ad-diyah) yang harus
dibayar oleh aqilah (saudara pihak ayah) dari tertuduh”.
Allah SWT mengharamkan riba dalam banyak ayat dalam al Quran, misalnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keneruntungan”(QS.Ali Imron 3:130). Sayyid Qutub dalam tafsirnya yang
sangat mashur Fi Dzilal Al-Quran (Dibawah Naungan Al-Quran), dalam
menjelaskan kata berlipat ganda dalam ayat di atas mengatakan,
sesungguhnya orang-orang pada zaman sekarang ingin bersembunyi di
belakang nash ini. Mereka berkilah dengan mengatakan, sesungguhnya yang
diharamkan adalah riba yang berlipat ganda. Sedangkan yang empat persen,
tujuh persen, sembilan persen, bukanlah berlipat ganda, dan tidaklah termasuk
dalam ruang lingkup yang diharamkan. Yang dimaksud dengan berlipat ganda
adalah gambaran dari keadaan dan bukan syarat yang berkaitan dengan
hukum. Ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah (QS.2:278-279) kata Sayyid
Qutub, adalah dengan pasti dalam mengharamkan riba, tanpa pembatasan
maupun pengikatan, wadzaruumaabaqiyah minarriba` (..dan tinggalkanlah
sisa-sisa ribaa ..), bagaimana pun keadaannya. Oleh karena itulah maka
“Rasulullah SAW mengutuk pemakan riba (pengambil/peminjam), pemberi
makan riba (bank atau semacamnya), penulisnya (karyawan), saksinya, seraya
berkata mereka semua sama” (HR Bukhari dan Muslim).