Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan semakin berkembangnya teknologi, maka kebutuhan akan suatu
produk minyak bumi juga semakin meningkat dengan pesat. Sehingga upaya untuk
mendapatkan minyak bumi dengan efisien perlu diperhatikan. Sebagaimana
dilaporkan bahwa sebenarnya produk-produk tersebut keluar dari proses belum
merupakan produk jadi, tapi merupakan bentuk komponen-komponen yang harus di
proses lagi dengan cara pencampuran sehingga didapat produk yang dikehendaki.
Pada kilang Pertamina RU II Dumai minyak mentah yang diolah adalah
minyak mentah Minas Crude 85% volume dan Duri Crude 15% volume yang
disuplai oleh PT Chevron Pasific Indonesia melalui sistem perpipaan. Selanjutnya,
minyak mentah tersebut diolah dalam dua tahap pengolahan.
Pada pengolahan tahap I, minyak mentah didistilasi dalam Crude Distillation
Unit (CDU). Produk yang diperoleh adalah naphtha (7,73%), kerosene (16%), LGO
(8,57%), HGO (3,44%) dan long residue (62%). Perolehan BBM dari pengolahan
tahap I masih sedikit, yakni hanya sekitar 35 % dari crude oil yang diumpankan.
Oleh karenanya, hasil dari penyulingan tahap I tidak mencukupi jumlah permintaan,
sehingga diperlukan pengolahan tahap II untuk mengubah long residue menjadi
produk BMM.
Pengolahan tahap II dimulai dengan distilasi vakum long residue di High
Vacuum Unit (HVU). Produk distilasi HVU ini adalah Low Vacuum Gas Oil
(LVGO), Heavy Vacuum Gas Oil (HVGO), dan short residue. HCGO dan short
residue direngkah kembali untuk menghasilkan BBM. HVGO direngkah secara
katalitik dalam Hydrocracker Unibon (HCU) menghasilkan LPG, naphtha, kerosene,
avtur dan solar, dengan menggunakan katalis dan hidrogen tekanan tinggi. Shor
residue direngkah secara termal dalam Delayed Coking Unit (DCU) dengan
pemanasan mencapai 490oC untuk menghasilkan LPG, naphtha, solar, dan coke.
Produk-produk rengkahan ini berkualitas rendah sehingga harus di-treating sebelum
dipasarkan.
Produk naphtha dari CDU, HCU, dan DCU adalah komponen bensin yang
masih mempunyai bilangan oktan rendah. Oleh sebab itu naphtha harus diolah dalam
Platforming Unit (PL) dengan katalis platina untuk menghasilkan komponen bensin
beroktan tinggi. LPG diproduksi sebagai produk samping proses perengkahan di
Hydrocracker dan Delayed Coking, dan juga dihasilkan dari proses Platforming.
Adapun produk-produk dari setiap unit memiliki kualitas yang berbeda-beda.
Produk-produk tersebut keluar dari proses belum merupakan produk jadi, tapi
merupakan bentuk komponen-komponen yang harus di proses lagi. Sebelum
dipasarkan sebagai produk dagang, suatu produk harus memenuhi kualitas sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Produk-produk yang menyimpang dari
spesifikasi perlu diperbaiki melalui pencampuran dengan produk yang memiliki
kualitas tinggi, sehingga didapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen dan memenuhi spesifikasi tanpa harus dikembalikan ke unit pengolahan.
Dalam kesempatan ini, penulis akan menghitung juga bagaimana metode
pencampuran beberapa produk pada unit-unit pengolahan I dan II di PT.
PERTAMINA (Persero) RU II Dumai untuk mendapatkan produk-produk dagang
seperti premium, solar, minyak tanah, dan avtur.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tugas ini adalah bagaimana
evaluasi perhitungan pencampuran produk dari unit-unit HSC, HCC, dan HOC yang
dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) RU II Dumai dalam upaya mendapatkan
1. produk premium, dengan memperhatikan batas spesifikasi bilangan oktan,
kandungan belerang, distilasi/ volatilitas, tekanan uap, dan berat jenis yang
diijinkan.
2. solar, dengan memperhatikan batas spesifikasi berat jenis, viskositas,
kandungan sulfur, titik nyala, titik tuang dan residu karbon yang diijinkan.
3. minyak tanah, dengan memperhatikan batas spesifikasi densitas, distilasi,
titik nyala abel, dan kandungam belerang yang diijinkan.
4. avtur dengan memperhatikan batas spesifikasi kandungan sulfur, distilasi,
flash point, densitas, freezing point, dan viskositas yang diijinkan.
1.3 Tujuan
Pelaksanaan tugas khusus ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
mengenai evaluasi perhitungan pencampuran produk dari unit-unit HSC, HCC, dan
HOC yang dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) RU II Dumai melalui
perhitungan blending serta memembandingkan pengaruhnya terhadap data operasi
aktual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Produk Minyak Bumi

2.1.1 Gas Hidrokarbon Ringan


2.1.2

2.2 Karakteristik Produk Minyak Bumi

2.2.1 Bilangan Oktan


Bilangan oktan (octane number) merupakan ukuran dari kemampuan
bahan bakar untuk mengatasi ketukan sewaktu terbakar dalam mesin. Bila angka
oktan tidak memadai, maka ketukan yang terjadi dapat merusak mesin atau
mengurangi kinerja dan efisiensi mesin. Tapi penyesuaian angka oktan tidak
bertujuan menambah kandungan energi bensin, melainkan untuk memanfaatkan
semaksimal mungkin energi yang dapat diperoleh pada proses pembakaran dan
melindungi mesin terhadap kerusakan akibat detonasi. Meskipun demikian, nilai
kalori bensin yang dinaikkan oktannya dapat tetap atau berubah sesuai jenis bahan
pengungkit oktan yang dipakai.
Bilangan oktan suatu bensin dapat ditentukan melalui uji pembakaran sampel
bensin untuk memperoleh karakteristik pembakarannya. Karakteristik tersebut
kemudian dibandingkan dengan karakteristik pembakaran dari berbagai campuran n-
heptana dan isooktana. Jika ada karakteristik yang sesuai, maka kadar isooktana
dalam campuran n-heptana dan isooktana tersebut digunakan untuk menyatakan nilai
bilangan oktan dari bensin yang diuji. Skalanya didasarkan kepada n-heptana
memiliki bilangan oktan nol dan isooktana memiliki bilangan oktan seratus. Bensin
dikatakan memiliki bilangan oktan X, dengan 0 < X > 100, jika kualitas pembakaran
bensin tersebut setara dengan kualitas pembakaran campuran X% volum isooktan
dan (100-X)% volum n-heptana. Misalnya, suatu campuran 30% n-heptana dan 70%
isooktana akan mempunyai bilangan oktan:
Bilangan oktan = (30/100 x 0) + (70/100 x 100)
= 70
Fraksi bensin dari menara distilasi umumnya mempunyai bilangan oktan
sekitar 70.

Untuk menaikkan nilai bilangan oktan tersebut, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan:
1. Mengubah hidrokarbon rantai lurus dalam fraksi bensin menjadi hidrokarbon
rantai bercabang melalui proses reforming Contohnya mengubah n-oktana
menjadi isooktana.
2. Menambahkan hidrokarbon alisiklik/aromatik ke dalam campuran akhir fraksi
bensin.
3. Menambahkan aditif anti ketukan ke dalam bensin untuk memperlambat
pembakaran bensin. Dulu digunakan senyawa timbal (Pb). Oleh karena Pb
bersifat racun, maka penggunaannya sudah dilarang dan diganti dengan senyawa
organik, seperti etanol dan MTBE (Methyl Tertiary Butyl Ether).

2.2.2 Spesifik Grafity


Berat jenis dan api gravity : jumlah berat (mg) bahan setiap volume bahan (ml)
API GRAVITY= DEG API = 141,5/S.G. -131,5
Uji ini gunanya untuk :
- menentukan jenis minyak
- menentukan tempat penyimpanan
- menentukan jenis/kapasitas transport
Alat yangdipakai : timbangan, picnometer (ASTM D 941) atau HIDROMETER
2.2.3 Kandugan Belerang
Kadar sulfur dalam bahan bakar diesel dari hasil penyulingan pertama (straight-run)
sangat bergantung pada asal minyak mentah yang akan diolah. Pada umumnya,
kadar sulfur dalam bahan bakar diesel adalah 50-60% dari kandungankandungan
dalam minyak mentahnya. Kandungan sulfur yang berlebihan dalam bahan bakar
diesel dapat menyebabkan terjadinya keausan pada bagian-bagian mesin. Hal ini
terjadi karena adanya partikel-partikel padat yang terbentuk ketika terjadi
pembakaran dan dapat juga disebabkan karena keberadaan oksida belerang
seperti SO2 dan SO3. Karakteristik ini ditentukan dengan menggunakan metode
ASTM D1551
2.2.4 Volatilitas

Volatilitas adalah sifat kecenderungan bahan bakar untuk berubah fasa


menjadi fasa uap. Tekanan uap yang tinggi dan titik didih yang rendah menandakan
tingginya volatilitas.

2.2.5 Tekanan Uap


2.2.6 Flash Point

Titik nyala adalah titik temperatur terendah dimana bahan bakar dapat
menyala. Hal ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan
bahan bakar.

Analisa ini dipergunakan utk menentukan qualitas penyalaan yaitu mudah tidaknya
bahan bakar menyala. Alat yang digunakan adalah : cleveland open cup astm d
92 atau seta cleveland open cup
2.2.7 Freezing Point
2.2.8 Viskositas
Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa
kapiler terhadap gaya gravitasi, biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan
untuk mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan
untuk mengalir akan semakin tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena
mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel. Atomisasi bahan bakar sangat
bergantung pada viskositas, tekanan injeksi serta ukuran lubang injektor. Viskositas
yang lebih tingi akan membuat bahan bakar teratomisasi menjadi tetesan yang lebih
besar dengan momentum tinggi dan memiliki kecenderungan untuk bertumbukan
dengan dinding silinder yang relatif lebih dingin. Hal ini menyebabkan pemadaman
flame dan peningkatan deposit dan emisi mesin.

Bahan bakar dengan viskositas lebih rendah memproduksi spray yang terlalu
halus dan tidak dapat masuk lebih jauh ke dalam silinder pembakaran, sehingga
terbentuk daerah fuel rich zone yang menyebabkan pembentukan jelaga. Viskositas
juga menunjukkan sifat pelumasan atau lubrikasi dari bahan bakar. Viskositas yang
relatif tinggi mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik. Pada umumnya, bahan
bakar harus mempunyai viskositas yang relatif rendah agar dapat mudah mengalir
dan teratomisasi Hal ini dikarenakan putaran mesin yang cepat membutuhkan injeksi
bahan bakar yang cepat pula. Namun tetap ada batas minimal karena diperlukan sifat
pelumasan yang cukup baik untuk mencegah terjadinya keausan akibat gerakan
piston yang cepat.

Untung rugi didalam mesin jika viskositas kecil/tinggi :


Viscositas rendah :
- minyak mudah dialirkan
- Daya pompa kecil
- Pengabutan / injeksi baik
- Kendala kebocoran
Viscositas tinggi:
- sulit dialirkan
- Daya pompa besar
- Pengabutan / injeksi jelek
- Kendala pembakaran mungkin sulit

2.2.9 Pour Point

Titik tuang adalah titik temperatur terendah dimana mulai terbentuk


kristalkristal parafin yang dapat menyumbat saluran bahan bakar. Titik tuang ini
dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan (angka iodium),semakin tinggi
ketidakjenuhan maka titik tuang semakin rendah. Titik tuang juga dipengaruhi oleh
panjang rantai karbon, semakin panjang rantai karbon maka semakin tinggi titik
tuang. Karakteristik ini ditentukan dengan menggunakan metoda ASTM D97.
2.2.10 Residu Karbon
Kadar residu karbon menunjukkan kadar fraksi hidrokarbon yang mempunyai titik
didih lebih tinggi dari range bahan bakar. Adanya fraksi hidrokarbon ini
menyebabkan menumpuknya residu karbon dalam ruang pembakaran yang dapat
mengurangi kinerja mesin. Pada temperatur tinggi deposit karbon ini dapat
membara, sehingga menaikkan temperatur silinder pembakaran

2.3 Blending

Proses Blending adalah mencampur dua produk atau lebih ke dalam suatu
sistem sehingga menghasilkan suatu produk yang memenuhi spesifikasi. Tujuan
proses blending:
1. Memperbaiki mutu produk yang rusak, yaitu produk-produk yang
menyimpang dari spesifikasinya.
2. Mengubah produk yang mempunyai mutu rendah menjadikan produk yang
bermutu.
3. Mendapatkan penggunaan baru dari suatu produk.
4. Mendapatkan produk baru dari produk-produk yang ada

Beberapa metode blending, di antaranya:


1) Blending SG
2) Blending Sulphur Content
3) Blending Viscositas
4) Blending Vapour Pressure
5) Blending Diesel Index
6) Blending Conradson Carbon Residue
7) Blending Ditilation - Volatility
8) Blending Pour Point
9) Blending Freeze Point
10) Blending Octane Number
11) Blending Flash Point
12) Blending Color

2.3.1 Blending Spesifik Grafity

Anda mungkin juga menyukai