Jawa
untuk Budaya Jawa
Oleh :
Rizal Imam Rosyid (29/X4)
PENDAHULUAN
Budaya atau Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang atau pola hidup
menyeluruh, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya bersifat abstrak, kompleks, dan luas, yang terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk perkakas, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem agama dan politik, bahasa,
sistem pengetahuan, dan karya seni. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia serta turut menentukan perilaku komunikatif. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan
bahwa budaya itu dipelajari.
Seseorang yang memadukan bahasa dan ilmu pengetahuan dapat menciptakan suatu karya
yang ternilai berdasarkan imajinasi atau kenyataan yang ada. Sastra Jawa Kuno merupakan hasil
kebudayaan Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk tulisan yang berisi sejarah
Jawa. Karya sastra ini sebelumnya menggunakan bahasa Jawa kemudian ditranslitkan ke bahasa
Indonesia untuk mencegah kepunahan, karena bahasa ini sulit dipahami bahkan oleh orang Jawa
sekalipun. Pada dewasa ini, walaupun bahasa karya sastra ini sudah diubah ke dalam bahasa
Indonesia yang sebagian besar dapat memahaminya, minat untuk membaca karya sastra ini masih
sangat rendah sekali. Mereka lebih memilih membaca novel, komik, dan semacamnya.
Kebudayaan suatu daerah merupakan ciri dari daerah tersebut, begitu juga kebudayaan Jawa
merupakan ciri dari orang-orang Jawa. Maka dari itu kita sebagai orang Jawa harus
mempertahankan budaya kita sendiri. Tetapi melihat keadaan sekarang kebudayaan jawa sendiri
sudah mulai terlupakan, bahkan oleh orang-orang Jawa sendiri. Budaya Jawa tersisihkan atau kalah
dari budaya-budaya dari luar, yang budaya tersebut dianggap lebih modern atau tidak ketinggalan
zaman. Bahkan anggapan orang, jika seseorang masih menggunakan budaya Jawa ini disebut orang
yang ketinggalan zaman. Jadi seseorang lebih bangga menggunakan budaya luar dibanding
budayanya sendiri.
Maka dari itu harus ada usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kebudayaan
Jawa sendiri. Salah satunya dengan mempertahankan dan mengembangkan bahasa dan karya sastra
Jawa. Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan, yang bertujuan
menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Hubungan
bahasa dengan kebudayaan sangat erat, kebudayaan suatu masyarakat dapat dilihat dari ciri bahasa
yang mereka ucapkan. Bahasa menjunjung khasanah pengetahuan suatu masyarakat atau suku-suku
bangsa, dengan bahasalah sebenarnya orang memandang lingkungannya, adapun hasil pelestarian
kebudayaan dalam bentuknya yang paling konkret adalah pelestarian bahasa-bahasa lokal atau
daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bahasa Jawa
Salah satu cara pelestarian dan pengembangan budaya Jawa bisa dilakukan dengan
mempertahankan dan mengembangkan bahasa daerah,yaitu bahasa Jawa. Imam Sutardjo
dalam kawruh basa saha kasusastran jawi, menyebutkan tentang kedudukan dari bahasa
daerah tersebut, yaitu diantaranya:
1. Bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah.
2. Bahasa daerah sebagai lambang identitas atau jatidiri daerah.
3. Bahasa daerah sebagai sarana komunikasi di keluarga maupun masyarakat luas.
Dengan berdasarkan tiga alasan tersebut, seharusnya masyarakat Jawa merasa bangga dan
senang mempunyai bahasa Jawa, karena itu bisa sebagai ciri dan jatidiri atau kepribadian
masyarakat Jawa di masyarakat luas. Bahasa Jawa tersebut juga bisa sebagai alat komunikasi
di dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh rasa saling menghormati.
Berbeda dengan bahasa lain, dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkatan bahasa atau
yang disebut “ unggah-ungguhing basa”. Unggah-ungguhing basa dalam bahasa Jawa ini
mewujudkan bentuk adat sopan santun dalam berbahasa. Karena adat sopan-santun dan tata
krama merupakan kepribadian orang Jawa.
Bahasa Jawa secara umum menurut wujud kata (leksikon) ada tiga, yaitu: ngoko (kasar),
madya (tengahan), krama (halus). Sedangkan menurut Padmasusastra menyebutkan tingkatan
bahasa Jawa sebagai berikut:
1. Ngoko: a. Ngoko lugu
b. Ngoko andhap
2. Krama: a. Wredha krama
b. Madya krama
c. Madyantara
3. Krama inggil
4. Krama desa
5. Basa kedhaton
6. Basa kasar
Sudaryanto menyebutkan fungsi dari tingkat-tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa ini
adalah:
1. Norma dan etika, yaitu digunakan untuk berkomunikasi di masyarakat atau dengan orang
lain dengan melihat orang yang diajak bicara ( lebih tua atau lebih muda).
2. Penghormatan dan keakraban, yaitu digunakan untuk menghormati orang yang diajak
bicara supaya tidak dibilang tidak mempunyai tata krama dalam berbicara.
3. Pangkat dan status sosial, yaitu digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan
melihat pangkat dan status sosialnya di dalam masyarakat tersebut.
Bahasa jawa sudah tidak banyak lagi digunakan, apalagi oleh anak-anak muda, mereka
beranggapan bahwa bahasa Jawa itu bahasa yang sulit, bahasa yang kuna, maka mereka sudah
tidak biasa lagi menggunakan bahasa Jawa, maka dari itu sebagian orang mengatakan bahwa
bahasa Jawa akan mati atau punah, karena orang Jawa sendiri saja sudah tidak mengerti akan
bahasa Jawa.
Ini keadaan yang sangat disayangkan, jika sampai bahasa Jawa benar-benar punah. Maka
sesungguhnya orang Jawa telah kehilangan kebudayaannya, yaitu kehilangan jatidiri dan
kepribadian yang telah diwariskan nenek moyang terdahulu. Orang Jawa mengatakan “ wong
Jawa sami ilang Jawane, ilang lan luntur kepribaden saha jatidirine”.
Sudah disebutkan bahwa bahasa Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Jawa, jadi
menyelamatkan bahasa Jawa berarti juga menyelamatan kebudayaan Jawa.
Adapun cara atau langkah untuk tetap melestarikan bahasa Jawa supaya tidak hilang
adalah:
1. Menanamkan sejak dini bahasa dan kebudayaan Jawa kepada anak-anak. Supaya mereka
tidak menganggap bahasa Jawa adalah bahasa yang kuno, dan supaya mereka terbiasa
menggunakan bahasa Jawa.
2. Membiasakan diri menggunakan bahasa Jawa, di dalam kehidupan sehari-hari dalam
berbicara dibiasakan menggunakan bahasa Jawa yang benar, baik dari segi bahasanya
maupun unggah-ungguhnya. Supaya dapat ditiru oleh anak-anak, jadi bahasa Jawa akan
tetep lestari dengan baik.
3. Mengajarkan bahasa Jawa, yaitu mengajarkan bahasa Jawa baik secara formal (sekolah)
maupun informal(masyarakat). Secara formal bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa diajarkan
di sekolah-sekolah di dalam pembelajaran, sehingga anak didik mengenal dan mengetahui
bahasa dan kebudayaan Jawa dengan baik. Secara informal bahasa Jawa bisa diajarkan
kepada anak-anak di lingkungan keluarga atau masyarakat, mereka akan belajar secara
langsung mengenai kebudayaan Jawa yang ada di masyarakat, sebagai bentuk praktik dari
teori yang ada di sekolah tadi.
Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-
lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti
Sukabumi.Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19
awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang
memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan
kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan
meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Pada umumnya Sastra Jawa Kuno sama seperti karya sastra yang lain, yang membuatnya
beda adalah Sastra Jawa Kuno menggunakan bahasa Jawa dan ceritanya masih menyangkut
dengan sejarah pada zaman kerajaan yang ada di tanah Jawa. Oleh karena bahasanya sulit
dipahami oleh orang yang bukan orang Jawa bahkan yang orang Jawa sekali pun, bahasa
Sastra Jawa Kuno ditranslitkan ke bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh sebagian
besar bangsa Indonesia. Walaupun demikian minat terhadap Sastra Jawa Kuno masih sangat
sedikit bahkan orang Jawa yang memiliki peninggalan kebudayaan ini lebih memilih novel,
komik ,dan semacamnya daripada kebudayaannya sendiri.
Dari Sastra Jawa Kuno ini kita dapat mempelajari sejarah Jawa dan mengambil pesan-
pesan yang berbudi luhur di dalamnya. Dengan membaca atau mempelajarinya berarti kita
telah menghargai dan melestarikan kebudayaan Jawa.
Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Sastra
Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang
memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan
dan bahkan ratusan jumlahnya.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-
naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di
Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula
teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
1. Candakarana
Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna
dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi. Para pakar
menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra.
Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan
memerintah pada akhir abad ke-8 Masehi.
3. Brahmandapurana
Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya
sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat
dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang
Kamahayanikan.
Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum
penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh
penganut agama (Hindu) Siwa.
4. Agastyaparwa
Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip
Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun
banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta.
Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang
berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu
hal yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke surga atau jatuh ke neraka.
5. Uttarakanda
Uttarakanda berisi:
a. Cerita Rahwana
• Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau Rawana
b. Cerita Serat Arjunasasrabahu
c. Cerita Dewi Sita
• Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi Rama
• Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
• "Kematian" Sita
6. Adiparwa
Adiparwa (Sansekerta) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah
Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita
Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga
Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah
cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik.
Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara
Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula
ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara
di hutan Nemisa. Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang
keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya
adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari
penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut
(Mahabharata).
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa
Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka
harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di Wirata Yudistira menyamar sebagai seorang
brahmana bernama Kangka. Bima menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat
bernama Balawa. Lalu Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari
dan nyanyi bernama Wrahanala. Nakula menjadi seorang penggembala kuda bernama
Grantika dan Sadewa menjadi penggembala sapi bernama Tantipala. Dropadi menjadi
seorang perias bernama Sarindri, melayani ratu Sudesna.
Alkisah patih Wirata, Kicaka jatuh cinta kepada Sarindri dan ingin menikahinya.
Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja
membuat samaran mereka ketahuan.
Kematian Kicaka didengar oleh raja Susarma dari Trigarta yang kemudian datang
membujuk para Korawa menyerbu Wirata yang dalam keadaan sangat lemah. Lalu
negeri Wirata diserang para Korawa dari Astina. Para Pandawa ikut berperang membela
Wirata. Serangan Korawa gagal, mereka kalah oleh orang-orang yang tidak dikenal dan
membuat mereka curiga. Setelah perang usai, kedok Pandawa terbuka. Tetapi mereka
sudah bersembunyi genap selama setahun, jadi tidak apa-apa. Wirataparwa diakhiri
dengan kisah perkawinan Abimanyu, anak Arjuna, dengan Utari, puteri raja Wirata.
9. Udyogaparwa
Udyogaparwa adalah buku kelima dalam epos Mahabharata. Teks lengkap karya
sastra parwa ini belum pernah diterbitkan. Isinya mengenai persiapan peperangan antara
Korawa dan Pandawa. Pihak Pandawa menuntut separoh dari Kerajaan tetapi Korawa
bersikeras menolak dengan alasan bahwa Pandawa telah kehilangan haknya. Namun di
pihak Korawa Widura, Drona, dan Bhisma menasihati sebelumnya agar diupayakan
penyelesaian damai. Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara para
Korawa dan para Pandawa. Tetapi ia malah akan dibunuh Korawa, sehingga marah
besar. Ini mengilhami cerita wayang berjudul Kresna Duta.
Dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Karna, dan Kresna membujuk Karna
agar berpihak kepada Pandawa, mengingat Kunti adalah ibunya dan Pandawa adalah
saudaranya. Tetapi Karna terikat budi baik ayah angkatnya dan Duryudana, yang
mengangkatnya menjadi raja, dan utang budi itu jauh lebih mengikat daripada hubungan
darah yang kurang terpelihara.
10. Prasthanikaparwa
11. Swargarohanaparwa
12. Kunjarakarna
Pada suatu hari Kuñjarakarna bertapa di gunung Mahameru supaya pada kelahiran
berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia
menghadap Wairocana. Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama.
Di sana ia mendapat kabar bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu
beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.
1. Kakawin Ramayana
Kakawin Rāmâyana adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam
bentuk tembang berbahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa
pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M.
kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang,
dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali, Kakawin
Ramayana ini dipercaya ditulis oleh seorang bernama Yogiswara. Hal ini ditolak oleh
Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Menurutnya, Yogiswara memang tercantum pada baris
terakhir Ramayana versi Jawa ini, tetapi hal itu bukan merupakan identitas penulis, tetapi
kalimat penutup yang berbunnyi :
Sang Yogiswara çista, sang sujana suddha menahira huwus matje sira
Jadi jelas bahwa Yogiswara bukan merupakan nama penulis Ramayana Jawa ini.
Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi mengenai kisah
sang Rama dan Sita, wiracarita agung yang versi awalnya digubah di India oleh Walmiki
dalam bahasa Sansekerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana
versi Jawa ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada Ramayana versi
Walmiki, akan tetapi mengacu ini merupakan transformasi dari kitab Rawanawadha yang
ditulis oleh pujangga India kuno bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan oleh
Manomohan Ghosh, seorang peneliti sastra dari India yang menemukan beberapa bait
Ramayana Jawa yang sama dengan bait bait dalam Rawanawadha.
Dari segi alur cerita, Kekawin Ramayana juga memiliki perbedaan dengan Ramayana
Walmiki. Pada akhir cerita, sekembalinya Rama dan Sita ke Ayodya, mereka berpisah
kembali, jadi Rama dan Sita tidak hidup bersama, demikian versi Walmiki. Sedang dalam
versi Jawa, Rama dan Sita hidup bersama di Ayodya.
Kakawin Arjunawiwāha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur,
berdasarkan Wanaparwa, kitab ketiga Mahabharata. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu
Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari
tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah
sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia
diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk
menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para
bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar
menjadi seorang brahmana tua.
Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu
setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada
saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya.
Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk
membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna
berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.
3. Kakawin Kresnayana
Kakawin Kresnayana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna yang menceritakan
pernikahan prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini.
Dewi Rukmini, putri prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan dengan
Suniti, raja negerei Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Dewi Pretukirti lebih suka jika putrinya
menikah dengan Kresna. Maka karena hari besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan
Jarasanda, pamannya, sama-sama datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam
memberi tahu Kresna supaya datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna diam-
diam melarikan diri.
Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta para bala
tentara mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan hampir membunuh Rukma
namun dicegah oleh Rukmini. Kemudian mereka pergi ke Dwarawati dan
melangsungkan pesta pernikahan.
4. Kakawin Smaradahana
Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin
yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya.
5. Kakawin Bhomakawya
Kakawin Bhomântaka atau juga disebut sebagai Kakawin Bhomakawya adalah sebuah
kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang
dalam Sastra Jawa Kuna, panjangnya mencapai 1.492 bait. Isinya ialah kisah cerita
peperangan antara Prabu Kresna dan sang raksasa Bhoma. Kakawin Bhāratayuddha di
antara karya-karya sastra Jawa Kuna, adalah yang paling termasyhur. Kakawin ini
menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan
Bharatayuddha.
6. Kakawin Hariwangsa
Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Cerita yang dikisahkan
dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu
ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka.
Rukmini adalah titisan Dewi Sri. Kakawin Wrettasancaya adalah sebuah kakawin dalam
bahasa Jawa Kuna.
Isinya ialah pelajaran mengenai metrum kakawin. Pada kakawin ini diberikan contoh
tidak kurang dari 94 macam metrum kakawin dan mengandung secara total 112 bait
kakawin. Pelajaran ini diikat sedemikian rupa berbentuk cerita yang cukup menarik
meski agak berkesan artifisial. Maka adalah seorang putri yang ditinggalkan suaminya.
Sang putri ini pergi ke taman dan bertemu dengan sepasang burung belibis. Ia minta
tolong supaya dicarikan suaminya. Maka petualangan si burung belibis ini menjadi latar
belakang untuk menceritakan keindahan-keindahan dalam hutan dan sebagainya.
Kakawin Kunjarakarna Dharmakathana adalah gubahan dalam bentuk syair (kakawin)
dari karya sastra prosa; Kunjarakarna.
Kakawin dimulai dengan manggala yang diikuti dengan sebuah deskripsi tentang
gunung Mahameru di mana Kunjarakarna sedang bertapa supaya pada kelahiran
berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia
menghadap Wairocana. Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama.
Di sana ia mendapat kabar bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu
beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.
Kakawin Nagarakertagama atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana bisa
dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuna yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah
yang paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali
ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang
mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok
di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.
Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini
termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia:
Bhinneka Tunggal Ika.
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini.
Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai
protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar
agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-
14.
Di dalam cerita ini dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu
di tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari mangsa, tidak dapat. Padahal hari
mulai malam. Maka supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa binatang buas, ia lalu
memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh tertidur. Untuk itu ia lalu memetiki
daun-daun pohon dan dibuanginya ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di
tengah kolam ada sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas dan sekitar lingga
tersebut. Lalu malam menjadi hari lagi dan iapun turun dari pohon lagi.
Selang beberapa lama iapun melupakan peristiwa ini dan kemudian meninggal dunia.
Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu mau ke mana. Maka Dewa Maut;
Batara Yama melihatnya dan ingin mengambilnya ke neraka. Tetapi pada saat yang sama
Batara Siwa melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut "Malam Siwa"
(Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di atas lingga, simbolnya di
bumi.
Lalu pasukan Yama berperang dengan pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke
surga. Siwapun menang dan Lubdhaka dibawanya ke surga.
Kakawin Parthayajna adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini
menceritakan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, mirip seperti dalam Kakawin
Arjunawiwaha. Namun ceritanya dalam kakawin ini lebih bersifat falsafi dan sangat sulit
dipahami. Kakawin yang sulit ini belum diterbitkan. Kakawin Nitisastra yang tak dikenal
penggubahnya ini, merupakan kakawin moralistis-didaktis. Kakawin ini zaman dahulu
sangat termasyhur di pulau Jawa dan sekarangpun masih di Bali. Pada abad ke-18 M ada
versi dalam Bahasa Jawa Baru, digubah dengan judul Serat Panitisastra.
Kakawin Dharmasunya merupakan sebuah kakawin didaktis dalam bahasa Jawa Kuna.
Kakawin itu diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke 15 Masehi. Kakawin pendek
Banawa Sekar (Bahtera Bunga) adalah karangan mpu Tanakung.
Kakawin ini melukiskan: "upacara pesta srāddha yang diadakan oleh Jiwanendradhipa
'maharaja Jiwana', khususnya persembahan-persembahan yang dihaturkan oleh berbagai
raja: śrī nātheng Kŗtabhūmi, naranātha ring Mataram, sang nŗpati Pamotan, śrī
parameśwareng Lasĕm, dan naranātha ring Kahuripan.
Persembahan-persembahan itu berbentuk indah aneka warna dan bergaya seni serta
berupa ilustrasi mengenai gita dan kidung yang digubah oleh raja-raja sendiri.Rupanya
sajak-sajak itu dipersembahkan pada waktu yang sama, tertulis di atas karas (papan tulis)
atau daun-daun lontar.
Persembahan yang paling indah ialah persembahan yang dibawa oleh raja yang
menghaturkan sraddha berbentuk sebuah perahu yang dibuat dari bunga-bunga.Upacara
sraddha ialah upacara untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal.
BAB III
PENUTUPAN
Setelah cukup panjang dijelaskan mengenai kebudayaan dan bahasa Jawa serta hubungan
keduanya, maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang sangat luhur, warisan dari nenek moyang kita
terdahulu, yang merupakan jatidiri dan kepribadian dari orang Jawa. Maka dari itu
kebudayaan Jawa harus tetap dilestarikan.
2. Bahasa Jawa adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari budaya Jawa, karena bahasa Jawa
merupakan salah satu dari budaya Jawa yang luhur. Kebudayaan suatu daerah dapat dilihat
dari bahasanya.
3. Sastra Jawa Kuno merupakan hasil kebudayaan Jawa turunan dari bahasa Jawa yang memuat
sejarah Jawa yang jumlahnya begitu banyak perlu dilestarikan.
4. Melihat dari keadaan bahasa Jawa saat ini, yang sedang mengalami kemunduran, itu
merupakan cermin kemunduran juga bagi kebudayaan Jawa secara umum. Maka dari itu perlu
ada tindakan-tindakan guna untuk menyelamatkan bahasa Jawa dari kepunahan, sehingga
bahasa Jawa tetap lestari. Sehingga kebudayaan, jatidiri, dan kepribadian orang Jawa tidak
hilang.
Suatu bangsa dan Negara akan terkenal luhur dan terhormat itu tergantung pada luhurnya
kebudayaan bangsa itu sendiri, maka dari itu bahasa dan kebudayaan Jawa yang sudah terkenal
di masyarakat ini yang merupakan peninggalan para leluhur harus kita jaga. Kita harus sadar
akan pentingnya budaya Jawa ini, maka dari itu kita tidak boleh diam saja melihat keadaan
bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa saat ini, jangan sampai kebudayaan Jawa ini benar-benar
hilang. Kita harus bersama-sama menghidupkan kembali kebudayaan-kebudayaan Jawa yang
ada, supaya kebudayaan Jawa akan terus ada dan lestari.