KONFLIK PILKADA1)
Oleh:
Usman Yassin, Ir. M.Si*)
LATAR BELAKANG
Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pemilu terutama pilkada, maka
perlu dilakukan upaya-upaya untuk mereduksi konflik dengan melakukan pengkajian,
identifikasi, analisis dan solusi pemecahannya sedini mungkin.
PENYELENGGARA PEMILU
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara pemilu yang
permanen dalam menjalankan tugas bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. KPU memberikan laporan pada DPR dan Presiden. UU No. 22/2007 juga
mengatur pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta
KPPSLN yang merupakan penyelenggara pemilu yang bersifatad hoc.
Dalam pemilu, diperlukan pengawasan untuk menjamin agar pemilu benar- benar
dilaksanakan berdasarkan asas pemilu dan peraturan perundang-undangan. Untuk mengawasi
KPU, UU No 22/2007 mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat
tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern
yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Panwaslu Lapangan, dan Panwaslu Luar Negeri. Pembentukan Panwaslu tidak
dimaksudkan mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Adanya KPU yang profesional membutuhkan Sekjen di tingkat pusat dan sekretariat
KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota di daerah sebagai lembaga pendukung
yang profesional dengan tugas utama membantu teknis administratif, termasuk pengelolaan
anggaran. Untuk membantu lancarnya tugas- tugas KPU, juga dapat diangkat tenaga ahli
yang sesuai dengan kebutuhan dan berada di bawah koordinasi Sekjen KPU.
Untuk mewujudkan KPU dan Bawaslu yang punya integritas dan kredibilitas sebagai
Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode
Etik dapat diterapkan, maka dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
PERMASALAHAN
Dari pengalaman pemilu, baik pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden
dan Wapres, ditambah pilkada, teridentifikasi banyak timbul permasalahan yang berpotensi
konflik. Konflik yang paling tajam justru terjadi pada pilkada.
Selain itu, UU yang mengatur pilkada langsung juga memiliki cela bagi lahirnya
konflik politik yang menjurus ke arah kekerasan. Misalnya, pintu pencalonan di dalam
pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan dari partai politik (alternatif calon
independen masih menunggu amandemen terbatas UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah).
Aturan demikian hanya memungkinkan tokoh-tokoh yang dekat dengan partai politik saja
yang bisa menjadi calon. Padahal, di banyak daerah ditemui tokoh- tokoh lokal yang popular
dan dipandang memiliki kualifikasi cukup baik tetapi tidak berafiliasi kepada partai tertentu.
Jika dilihat dari sisi pendekatan kelembagaan semata, aturan seperti itu memang
tidak bermasalah dan memiliki argumen yang kuat. Partai politik, di dalam pendekatan
demikian, dipandang sebagai instrumen dari masyarakat untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan dari para konstituennya. Masalahnya, akhir-akhir ini, tingkat
kepercayaan rakyat terhadap partai politik mengalami degradasi, dan dipandang tidak cukup
refresentatif berbuat untuk rakyat, malah melakukan manipulasi. Partai politik, dalam situasi
demikian, tidak bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya lembaga yang memperjuangkan
kepentingan-kepentingan rakyat.
Di sisi lain, dalam melakukan penyaringan terhadap pasangan calon yang akan
diajukan, partai politik tidak jarang melakukannya secara tidak transparan. Partai politik di
dalam situasi demikian, lalu tidak bisa menjalankan peran sebagaimana dikehendaki para
konstituennya.
Adanya otoritas partai politik yang besar di dalam memutuskan pasangan calon
sebagai salah satu potensi yang menyulut konflik, akan lebih tajam manakala di dalam partai
politik itu juga terdapat konflik internal berkepanjangan. Di dalam menghadapi masalah
seperti ini yang menjadi rujukan adalah kepengurusan partai yang sudah terdaftar di KPU
Provinsi atau Kabupaten/Kota. Hanya saja, masalahnya konflik internal partai di daerah
acapkali berkaitan dengan konflik internal di DPP.
Kadang, pengelola partai yang terlibat di dalam konflik itu, dalam banyak kasus,
sama-sama memiliki relasi kuat dengan akar rumput. Di dalam kondisi demikian, masing-
masing elite politik yang berkonflik berusahamenggeret massa pendukungnya, sebagai
upayashow of forces bahwa mereka memiliki pendukung yang kuat. Implikasinya, konflik
menjadi lebih terbuka lalu lebih sulit dihindarkan, karena sama-samamemperalat massa akar
rumput yang tidak kecil. Dalam hal ini para elit justru menjadi penstimulasi konflik.
PEMBAHASAN
Berangkat dari realitas diatas paling tidak terdapat lima sumber potensial yang dapat
memicu konflik di dalam Pilkada.Pertama adalah konflik yang bersumber dari mobilisasi atas
nama etnik, agama, daerah, dan darah.Kedua, konflik bersumber dari
Secara politik, munculnya konflik memang wajar saja terjadi. Di setiap usaha
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tidak lepas dari konflik. Adanya pilkada
secara langsung merupakan mekanisme untuk mengelola konflik agar tidak menjurus kepada
aksi kekerasan. Karena itu, masih menguatnya intensitas konflik yang disertai aksi kekerasan,
memperlihatkan masihbelum kuatnya kelembagaan di dalam penyelenggaraan pemilu secara
langsung. Terdapatnya konflik yang menjurus pada munculnya aksi kekerasan itu juga tidak
lepas dari adanya budaya politik masyarakat yang masih bernuansa konfliktual daripada
integratif. Dalam situasi seperti ini, intensitas perilaku konflik itu cenderung meningkat
bukan semata-mata karena aspek kelembagaan, melainkan karena pilihan-pilihan yang
berbeda. Manakala pilihan itu didasarkan padakutub‘kita’ dan ‘mereka’, dan disertai
ketidakpercayaan kepada lembaga-lembaga penengah, benturan-benturan antara kelompok
tidak bisa lagi dielakkan. Hanya saja, arus massa yang mengarah pada aksi kekerasan itu juga
tidak lepas dari elite politik yang memiliki kepentingan langsung di
dalam Pilkada. Di Kabupaten Kaur, misalnya, munculnya aksi kekerasan itu tidak lepas dari
sikap yang tidak mau menerima kekalahan serta ketidakkepercayaan pada lembaga penengah
(termasuk di dalamnya adalah MA atau PT) dari pasangan calon.
Sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilaksanakan pilkada di 285 dari 440
kabupaten/kota dan di 15 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari identifikasi empiris
penyelenggaraan pilkada, pemerintah menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi penyebab
konflik pilkada, yaitu: (1) tidak akuratnya data pemilih, (2) persyaratan administratif
pasangan calon yang tidak lengkap, (3) permasalahan internal parpol terhadap penetapan
pasangan calon, (4) adanya kecenderungan KPU daerah tertentu tidak independen, tidak
transparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon, (5) adanya
dugaanmoney politic, (6) pelanggaran terhadap rambu- rampu penyelenggaraan Pilkada, dan
(7) penghitungan suara yang tidak akurat. Ketujuh hal ini perlu diantisipasi agar pilkada
mampu menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis. Terakhir pada kasus
Sulawesi Selatan putusan lembaga peradilan juga berpotensi menyebab timbulnya konflik.
Salah satu penyebab konflik politik dapat berkembang menjadi anarkis adalah
jabatan kepala daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah tersebut menjanjikan keuntungan
ekonomi dan politik yang besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi
birokrasi selama ini dipandang sebagai tempat amat strategis bagi para kepala daerah untuk
membangun konsesi ekonomi-politik dan praktik-praktik KKN bernilaiuang cukup besar bagi
para aparatus daerah. Maka, tidak mengherankan apabila momentum pilkada disambut
antusias para politisi, dengan para donatur di belakangnya yang berani mempertaruhkan
jumlah uang cukup besar untuk memenangi ajang pilkada.Ketika tidak terpilih, tidak
mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang
menyulut konflik.
Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan adil
kepada para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak
berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa integritas
setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang tidak kompeten dan
yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas yang paling sederhana pun tidak
hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi juga akan menimbulkan persepsi publik
tentang kompetensi dan ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.
Ketiga,Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi
dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur
pemilihan umum dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk
melaksanakan dan mengatur proses tersebut.
Keempat,Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada.
Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional sehingga setiap
anggota KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam memproses dan
menengahi keluhan atas pelaksanaan pemilu, seperti dugaan kecurangan ataupun konflik
antar kelompok atau dalam regulasi yang bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik,
dan masyarakat pada umumnya berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak
lanjuti dengan cepat dan efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi
KPU, pada banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal- hal yang
berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan kekhawatiran dan
kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus memiliki sumber daya dan
kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memastikan
terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.
KESIMPULAN