Anda di halaman 1dari 3

Beri Rating:

Sebarkan:



Gas-Gas Rumah Kaca


Kata Kunci: atmosfer, gas, ozon, pemanasan global, rumah kaca
Ditulis oleh M. Alaudin pada 04-09-2008

Di bumi, kita mendapatkan energi dari sinar matahari. Kita akan


merasakan panas jika matahari sedang bersinar terik karena bumi menyerap sebagian
energi dari matahari. Namun demikian, tidak semua energi tersebut diserap. Sebagian
energi dipantulkan kembali ke angkasa dalam bentuk panas. Secara alamiah sinar
pantulan dari bumi akan dilepaskan ke angkasa sehingga panas di bumi cenderung stabil.
Akan tetapi, keadaan ini akan terganggu apabila di atmosfer bumi terdapat kumpulan gas
yang dapat menghalangi sinar pantulan ke angkasa. Akibatnya sinar yang seharusnya
menjauh dari bumi akan tetap terkumpul di sekitar bumi yang semakin lama semakin
banyak dan menjadikan bumi semakin panas. Fenomena ini dikenal dengan pemanasan
global (global warming). Kumpulan gas yang menghalangi sinar pantulan dari bumi
disebut dengan gas rumah kaca (green house gases). Efek yang ditimbulkan oleh gas
rumah kaca disebut dengan efek rumah kaca (green house effect).

Sejak revolusi industri, aktivitas manusia menyebabkan kenaikan konsentrasi gas rumah
kaca sampai pada tingkat yang tidak diharapkan. Kelimpahan yang paling besar adalah
karbon dioksida (CO2) yang mencapai 64% dari seluruh gas rumah kaca di atmosfer.
Sedangkan sisanya (36%) merupakan gabungan beberapa gas. Sebelum revolusi industri,
kadar CO2 di atmosfer masih relatif rendah, yaitu 280 ppm pada 1860. Dengan semakin
banyak pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam,
kadar CO2 meningkat hingga 379 ppm pada 2005 (Forster et al, 2007).
Berdasarkan guidelines IPCC 1996 yang telah direvisi, yang dikategorikan sebagai gas
rumah kaca adalah CO2, metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon
(HFC, merupakan kelompok gas), perfluorokarbon (PFC, merupakan kelompok gas), dan
sulfur heksafluorida (SF6). Gas-gas inilah yang juga menjadi acuan pada Protokol Kyoto
(1997). Gas rumah kaca lain yang terdapat pada guidelines IPCC 2006 adalah nitrogen
trifluorida (NF3), trifluorometil sulfur pentafluorida (SF5CF3), eter terhalogenasi, dan
halokarbon lain. Gas-gas yang mengandung fluorida seperti HFC, PFC, SF6, SF5CF3, dan
NF3 dapat dikelompokkan sebagai gas-gas terfluorinasi (fluorinated gases). Gas-gas ini
diproduksi terutama sebagai pengganti zat-zat perusak ozon atau Ozone Depleting
Substances (ODS), terutama klorofluorokarbon (CFC) atau freon yang banyak digunakan
sebagai refrigeran dan propelan aerosol.

Ternyata usaha untuk mengganti zat-zat perusak ozon menimbulkan masalah baru, yaitu
pemanasan global. Bahkan, zat-zat tersebut memiliki potensial pemanasan global (global
warming potential, GWP) yang lebih besar dibandingkan dengan CO2. Sebagai contoh,
SF5CF3 memiliki GWP 18.000 kali GWP CO2. NF3, senyawa yang banyak dihasilkan dari
proses pembuatan semikonduktor dan pembuatan LCD ini memiliki GWP 16.800 kali
GWP CO2. Namun secara keseluruhan, potensi senyawa-senyawa tersebut belum
menyamai potensi yang disebabkan oleh CO2, karena emisi CO2 yang sangat besar.
Namun, kontrol dini terhadap emisi senyawa-senyawa tersebut harus dilakukan agar tidak
menimbulkan permasalahan yang lebih besar.

Selain gas-gas rumah kaca yang telah disepakati pada Protokol Kyoto, para ilmuwan juga
menyebutkan beberapa zat yang harus diwaspadai karena ikut berperan terhadap
pemanasan global. Zat-zat tersebut adalah ozon, uap air, dan aerosol. Zat-zat ini juga
dapat dikategorikan sebagai gas rumah kaca.

Ozon merupakan gas rumah kaca yang secara kontinyu dihasilkan dan dirusak di
atmosfer melalui reaksi kimia. Di troposfer, aktivitas manusia telah meningkatkan kadar
ozon melalui pelepasan gas seperti karbon monoksida, hidrokarbon, dan oksida-oksida
nitrogen, yang dapat bereaksi secara kimia menghasilkan ozon.

Uap air merupakan gas rumah kaca dengan kadar terbanyak di atmosfer. Namun
demikian, aktivitas manusia tidak berpengaruh besar terhadap keberadaan uap air di
atmosfer. Aerosol adalah partikel-partikel kecil yang berada di atmosfer dengan ukuran,
konsentrasi dan komposisi kimia yang bervariasi. Aerosol di atmosfer berasal dari emisi
aerosol secara langsung atau terbentuk dari senyawa-senyawa lain yang ada di atmosfer.
Pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa, serta proses-proses industri melepaskan
aerosol yang mengandung senyawa-senyawa sulfur, senyawa organik, dan jelaga.
Aerosol di atmosfer juga dapat muncul dari alam, seperti dari letusan gunung berapi.

Apakah yang dimaksud Efek Rumah


Kaca?
Kata Kunci: atmosfer, bahan bakar fosil, bumi, efek rumah kaca, infra merah, suhu,
temperatur
Ditulis oleh Soetrisno pada 01-01-2003

Dunia memperoleh sebagian besar energi dari pembakaran bahan bakar fosil yang berupa
pembakaran minyak bumi, arang maupun gas bumi. Ketika pembakaran berlangsung
sempurna, seluruh unsur karbon dari senyawa ini diubah menjadi karbon dioksida.
Senyawa karbon dari bahan bakar fosil telah tersimpan di dalam bumi selama beratus-
ratus milliar tahun lamanya. Dalam jangka waktu satu atau dua abab ini, senyawa karbon
ini dieksploitasi dan diubah menjadi karbon dioksida. Tidak semua karbon dioksida
berada di atmosfir (sebagian darinya larut di laut dan danau, sebagian juga diubah
menjadi bebatuan dalam wujud karbonat kalsium dan magnesium), tetapi hasil
pengukuran menunjukkan bahwa kadar CO2 di atmosfir perlahan-lahan meningkat tiap
tahun dan terus meningkat dekade-dekade terakhir.

Peningkatan dari kadar CO2 di atmosfir menimbulkan masalah-masalah penting yang


disebabkan oleh alasan-alasan berikut ini. Karbon dioksida memiliki sifat
memperbolehkan cahaya sinar tampak untuk lewat melaluinya tetapi menyerap sinar infra
merah. Agar bumi dapat mempertahankan temperatur rata-rata, bumi harus melepaskan
energi setara dengan energi yang diterima. Energi diperoleh dari matahari yang sebagian
besar dalam bentuk cahaya sinar tampak. Oleh karena CO2 di atmosfer memperbolehkan
sinar tampak untuk lewat, energi lewat sampai ke permukaan bumi. Tetapi energi yang
kemudian dilepaskan (dipancarkan) oleh permukaan bumi sebagian besar berada dalam
bentuk infra merah, bukan cahaya sinar tampak, yang oleh karenanya disearap oleh
atmosfer CO2. Sekali molekul CO2 menyerap energi dari sinar infra merah, energi ini
tidak disimpan melainkan dilepaskan kembali ke segala arah, memancarkan balik ke
permukaan bumi. Sebagai konsekuensinya, atmosfer CO2 tidak menghambat energi
matahari untuk mencapai bumi, tetapi menghambat sebagian energi untuk kembali ke
ruang angkasa. Fenomena ini disebut dengan efek rumah kaca.

Kita mungkin menduga adanya peningkatan bertahap dari temperatur rata-rata


permukaan bumi atau pemanasan global, sebagai akibat dari bertambahnya kadar CO2
tiap tahunnya. Sesungguhnya, tidak diperlukan peningkatan yang tinggi dari temperatur
rata-rata untuk mengakibatkan perubahaan pada cuaca bumi. Peningkatan 4 derajat
celcius cukup untuk sebagian besar antartik mencair dan berakibat tenggelamnya
beberapa negara-negara pantai di seluruh dunia. Tetapi apakah sesungguhnya temperatur
rata-rata terus meningkat? Hasil pengukuran menunjukkan temperatur rata-rata bumi
meningkat, 0.6 derajat celcius, dari tahun 1880 sampai 1940, lalu kembali menurun,
kurang lebih 0.3 derajat celcius, dari tahun 1940 sampai 1975, walaupun konsentrasi dari
CO2 pada atmosfer terus meningkat pada masa itu. Sejak tahun 1975 temperatur bumi
kembali meningkat secara perlahan-lahan. Pada dasarnya, sampai saat ini kita tidak
memastikan seberapa jauh efek rumah kaca berdampak pada perubahan cuaca bumi. Ada
banyak faktor yang terlibat didalamnya, dan penelitian terus berlanjut.

Anda mungkin juga menyukai