1
Sebelum Pada Akhirnya Kita Menyerah
2
yang cukup patuh pada konvensi yang berkuasa dalam masyarakat mereka;
mereka berhasil melaksanakan cita-cita artistik mereka dalam konvensi yang ada;
rupa-rupanya kelonggaran yang ada dalam setiap sistem dianggap cukup, sistem
itu dirasakan tidak terlalu mengikat. Tetapi ada pula masa-masa dan seniman-
seniman yang tidak tahan lagi bekerja dalam sistem yang mereka dapati, yang
dianggap bagai kukungan; mereka menjadi seniman revolusioner.
Chairil Anwar kita kenal sebagai pelopor zaman baru dan pendobrak dan
pembongkar sistem konvensi lama. Di indonesia sesudah runtuhnya penjajahan
Belanda tidak hanya terjadi revolusi politik yang menjelma dalam bentuk
kemerdekaan, tetapi juga terjadi revolusi sastra, yang dilambangkan dan dirintis
oleh Chairil anwar. Lalu, apakah Chairil Anwar benar-benar meninggalkan
konvensi yang sudah diterimanya dari generasi sebelumnya?
Keith R. Foulcher, yang dengan panjang lebar dan sangat teliti membahas
situasi sastra Indonesia sebelum perang Dunia Kedua. Karyanya yang sayang
sekali sampai sekarang belum diterbitkan berjudul “Puisi Baru”: the Emergence
of a Non-Traditional Malay Poetry in Pre-War Indonesia. Kesimpulannya dapan
diringkaskan sebagai berikut: Dalam masa pujangga baru konvensi puisi dari
masa sebelumnya di bidang bentuk dan teknik diperhatikan dengan ketegasan dan
konsistensi yang cukup nyata. Dari segi bentuk kwatrin tradisional (bait berlarik
empat dan berkata empat) tetap menjadi dasar ekspresi. Bahasa sebagian besar
tetap bersifat retoris: perumpamaan tradisional didahulukan dari pada metafora;
bahasa nan indah tetap menjadi cita-cita estetis dalam pertentangannya dengan
bahasa sehari-hari (A. Teeuw, 1980:12-13). Meskipun Chairil Anwar dikenal
sebagai pelopor zaman baru atau seniman revolusioner, tetapi nyatanya Chairil
Anwar tidak benar-benar meninggalkan kode dan konvensi yang sudah ada,
bahkan menerapkannya dengan lebih mendominasi dari pada penyimpangan yang
dilakukan.
3
Anwar menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 28 April 1949. Pusi dan
kematian berada dalam tahun yang sama, tetapi tentu saja puisi tersebut ditulis tak
lama sebelum kematiannya. Chairil Anwar seperti tahu kematiannya yang pasti
akan datang itu jauh-jauh hari. Maka puisi Derai-Derai Cemara adalah bentuk
obsesinya terhadap kematian.
Untuk mengupas sajak ini sebenarnya dapat dapat mulai di mana saja,
pada kesempatan ini saya akan mulai dengan makna keseluruhan sajak ini.
Apakah maknanya yang esensial? sering kali kita lihat sebuah sajak membeberkan
semacam klimaks, sehingga informasi yang hakiki, yang menentukan makna
keseluruhannya, seringkali kita dapati dalam bagian akhir sajak (walaupun
konvensi itu pun seringkali dilanggar oleh penyair). Pada bait pertama baris
ketiga kita mendapati kata dahan yang menyimbolkan tubuh manusia. Kemudian
diikuti dengna kata merapuh yang sudah jelas dalam pikiran meknanya. Ada
beberapa dahan ditingkap merapuh menggambarkan tubuh manusia yaitu tubuh
Chairil Anwar sendiri yang sudah mulai tidak sanggup lagi menahan penyakit
yang dideritanya, sudah lemah. Dalam buku referensi sastrawan dunia, World
Authors yang disusun John Wakeman, tentang bohemianisme Chairil Anwar yang
bersifat merusak bagi dirinya sendiri itu disajikan secara ringkas dan jelas. Bagian
yang relevan dari ensiklopedia pengerang dunia itu akan dikutipkan dibawah ini
sebagai berikut.
4
Dari kutipan di atas dapat terlihatlah bagaimana Chairil Anwar menjalani
hidupnya sehingga ia menjadi lemah, menjadi penykitan, menjadi ada beberapa
dahan ditingkap merapuh. Masih pada bait pertama, baris kedua terdapat kata
malam yang kita ketahui adalah waktu di mana orang sedang beristirahat, waktu
di mana pulang kerumah dari segala macam kegiatannya. Kemudian, simbolik
malam akan mengimajinasikan pada kesunyian, dan akhir dari sebuah kehidupan,
mati.
Bait kedua, aku sekarang orangnya bisa tahan Bahwa dirinya secara
kejiwaan adalah seorang yang dewasa yang selalu menyadari kegagalan
pemberontakannya dalam menaklukkan maut di masa lalu. Tidak maulagi kembali
kepada eskapismebohemianisme yang gagal. Sebagai gantinya, ia berusaha berdiri
tegak menghadapi realita maut dengan sikap yang sungguh-sungguh matang dan
sungguh-sungguh dewasa karena sudah beberapa waktu bukan kanak lagi. Tapi
dulu memang ada suatu bahan pada masa anak-anaknya ada suatu hal yang bukan
dasar perhitungan kini yaitu kematian yang semakin dekat.
5
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh (a)
Dipukul angin yang terpendam (b)
Kita mengenal Chairil Anwar sebagai pelopor puisi baru yang tidak terlalu
mengikuti kode dan konvensi yang ada. Tetapi, pada puisi di atas Chairil seperi
menulis puisi lama. Jika direnungi lagi apa yang terjadi pada Chairil terhadap
obsesinya pada kematian, maka rima puisi ini ada pesan Chairil anwar yang
tersirat kira-kira seperti ini “betapa pun kita ingin merubah atau ingin membuat
sesuati yang baru, tetapi suatu saat kita pasti akan menemui sesuatu yang sudah
ditetapkan” Chairil tidak bisa mengelak dengan kode dan konvensi yang sudah
ada, sangat jelas terlihat pada puisinya tersebut. Begitu juga dengan keinginannya
aku ingin hidaup serubu tahun lagi tetapi Chairil juga tidak bisa mengelak dari
suatu yang sudah pasti datang, yaitu kematiannya.
6
Daftar Pustaka
Internet. Http://Asihputrisastra.blogspot.com