Anda di halaman 1dari 7

Nama : Wahyu Iskandar

Nim : 209 311 086


Kelas : Dik. Eks. C 09
Mata Kuliah : Kritik Sastra

Derai Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh


Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan


Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda-nunda kekalahan


Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah

Chairil Anwar (1949)

1
Sebelum Pada Akhirnya Kita Menyerah

A.Teeuw (dalam Tergantung Pada Kata: 11) menyatakan bahwa membaca


sajak kita selalu menghadapi keadaan yang paradoksal. Dalam hal ini A. Teew
pada sebuah pihak beranggapan sebuah sajak atau lebih luas sebuah karya sastra
atau karya seni umumnya, merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri
sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada
sendirinya; sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada
dirinya sendir. Tetapi pada pihak lain tidak ada karya seni mana pun juga yang
berfungsi dalam situasi kosong; setiap sajak, cipta sastra atau karya seni,
merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau
kode sastra dan budaya, merupakan pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang
ditimbulkan dan ditentulan oleh sistem kode dan konvensi itu. Ini berarti ada kode
dan konvensi yang sudah diatur dan diterapkan. Tetapi kode dan konvensi itu
tidak merupakan sistem yang tetap dan ketat; dalam kegiatan penciptaannya si
seniman berhak dan bertugas untuk menerapkan sistem itu secara individual.

Meskipun demikian tidak pernah ada kebebasan mutlak atau kemungkinan


menyimpang total. Malah, ada saatnya kode dan konvensional itu benar-benar
diterapkan secara utuh demi pencapaian makna yang lebih dalam. Jika
penyimpangan itu dilakukan secara total, berarti bagi pembaca tidak ada lagi
kemungkinan untuk memahami karya seni itu; modalanya untuk mendekati karya
seni terutama terdiri atas sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya; kalau
sistem itu sama sekali tidak dapat digunakan lagi untuk memahami sebuah karya
seni maka dia bingung, apresiasi tidak mungkin lagi baginya. Jadi karya seni
selalu berada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan antara
konvensional dan revolusi, antara yang lama dan yang baru (A. Teeuw 1980:12).

Di indonesia dikenal pula periodesasi sastra. Ini berarti ada


pengelompokan-pengelompokan terhadap karya sastra itu dan pengarangnya.
Maka hal ini juga menunjukkan bahwa ada perubahan-perubahan yang terjadi dari
masa ke masa pada karya sastra itu sendiri. Perubahan-perubahan ini boleh jadi
dalam bentuk pe-nyimpangan-penyimpangan terhadap kode dan konvensi
tersebut. A. teeuw juga berpendapat bahwa ada masa-masa dan seniman-seniman

2
yang cukup patuh pada konvensi yang berkuasa dalam masyarakat mereka;
mereka berhasil melaksanakan cita-cita artistik mereka dalam konvensi yang ada;
rupa-rupanya kelonggaran yang ada dalam setiap sistem dianggap cukup, sistem
itu dirasakan tidak terlalu mengikat. Tetapi ada pula masa-masa dan seniman-
seniman yang tidak tahan lagi bekerja dalam sistem yang mereka dapati, yang
dianggap bagai kukungan; mereka menjadi seniman revolusioner.

Chairil Anwar kita kenal sebagai pelopor zaman baru dan pendobrak dan
pembongkar sistem konvensi lama. Di indonesia sesudah runtuhnya penjajahan
Belanda tidak hanya terjadi revolusi politik yang menjelma dalam bentuk
kemerdekaan, tetapi juga terjadi revolusi sastra, yang dilambangkan dan dirintis
oleh Chairil anwar. Lalu, apakah Chairil Anwar benar-benar meninggalkan
konvensi yang sudah diterimanya dari generasi sebelumnya?

Keith R. Foulcher, yang dengan panjang lebar dan sangat teliti membahas
situasi sastra Indonesia sebelum perang Dunia Kedua. Karyanya yang sayang
sekali sampai sekarang belum diterbitkan berjudul “Puisi Baru”: the Emergence
of a Non-Traditional Malay Poetry in Pre-War Indonesia. Kesimpulannya dapan
diringkaskan sebagai berikut: Dalam masa pujangga baru konvensi puisi dari
masa sebelumnya di bidang bentuk dan teknik diperhatikan dengan ketegasan dan
konsistensi yang cukup nyata. Dari segi bentuk kwatrin tradisional (bait berlarik
empat dan berkata empat) tetap menjadi dasar ekspresi. Bahasa sebagian besar
tetap bersifat retoris: perumpamaan tradisional didahulukan dari pada metafora;
bahasa nan indah tetap menjadi cita-cita estetis dalam pertentangannya dengan
bahasa sehari-hari (A. Teeuw, 1980:12-13). Meskipun Chairil Anwar dikenal
sebagai pelopor zaman baru atau seniman revolusioner, tetapi nyatanya Chairil
Anwar tidak benar-benar meninggalkan kode dan konvensi yang sudah ada,
bahkan menerapkannya dengan lebih mendominasi dari pada penyimpangan yang
dilakukan.

Penjabaran sebelumnya dapat dikatakan merupakan latar belakang untuk


memahami Chairil Anwar bukan seorang yang mendobrak atau memerkosa kode
dan konvensi itu secara total pada umumnya dan sajak pilihan saya khususnya.
Sajak ini, yang berjudul Derai-Derai Cemara ditulis pada tahun 1949. Chairil

3
Anwar menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 28 April 1949. Pusi dan
kematian berada dalam tahun yang sama, tetapi tentu saja puisi tersebut ditulis tak
lama sebelum kematiannya. Chairil Anwar seperti tahu kematiannya yang pasti
akan datang itu jauh-jauh hari. Maka puisi Derai-Derai Cemara adalah bentuk
obsesinya terhadap kematian.

Apa yang telah dijelaskan di atas kiranya sudah cukup sebagai


pendahuluan untuk membaca sajak Derai-Derai Cemara.

Untuk mengupas sajak ini sebenarnya dapat dapat mulai di mana saja,
pada kesempatan ini saya akan mulai dengan makna keseluruhan sajak ini.
Apakah maknanya yang esensial? sering kali kita lihat sebuah sajak membeberkan
semacam klimaks, sehingga informasi yang hakiki, yang menentukan makna
keseluruhannya, seringkali kita dapati dalam bagian akhir sajak (walaupun
konvensi itu pun seringkali dilanggar oleh penyair). Pada bait pertama baris
ketiga kita mendapati kata dahan yang menyimbolkan tubuh manusia. Kemudian
diikuti dengna kata merapuh yang sudah jelas dalam pikiran meknanya. Ada
beberapa dahan ditingkap merapuh menggambarkan tubuh manusia yaitu tubuh
Chairil Anwar sendiri yang sudah mulai tidak sanggup lagi menahan penyakit
yang dideritanya, sudah lemah. Dalam buku referensi sastrawan dunia, World
Authors yang disusun John Wakeman, tentang bohemianisme Chairil Anwar yang
bersifat merusak bagi dirinya sendiri itu disajikan secara ringkas dan jelas. Bagian
yang relevan dari ensiklopedia pengerang dunia itu akan dikutipkan dibawah ini
sebagai berikut.

“”saya seorang penyair,” kata Anwar. Banbila sedang tidak menulis, ia


biasanya meneguk minuman keras, merayu teman-teman wanitanya untuk
berdansa dan berpesta-pora serta menonton layar perak, dan berbicara
tak henti-hentinya dikedai kopi atau dijalanan. Eksibisionismenya sangat
ekstrim: teman-teman mengingatnya pernah mengajak seorang pelacur
kesebuah taman kota untuk merasakan bagai mana rasanya berhubungan
di tempat umum, …”

4
Dari kutipan di atas dapat terlihatlah bagaimana Chairil Anwar menjalani
hidupnya sehingga ia menjadi lemah, menjadi penykitan, menjadi ada beberapa
dahan ditingkap merapuh. Masih pada bait pertama, baris kedua terdapat kata
malam yang kita ketahui adalah waktu di mana orang sedang beristirahat, waktu
di mana pulang kerumah dari segala macam kegiatannya. Kemudian, simbolik
malam akan mengimajinasikan pada kesunyian, dan akhir dari sebuah kehidupan,
mati.

Bait kedua, aku sekarang orangnya bisa tahan Bahwa dirinya secara
kejiwaan adalah seorang yang dewasa yang selalu menyadari kegagalan
pemberontakannya dalam menaklukkan maut di masa lalu. Tidak maulagi kembali
kepada eskapismebohemianisme yang gagal. Sebagai gantinya, ia berusaha berdiri
tegak menghadapi realita maut dengan sikap yang sungguh-sungguh matang dan
sungguh-sungguh dewasa karena sudah beberapa waktu bukan kanak lagi. Tapi
dulu memang ada suatu bahan pada masa anak-anaknya ada suatu hal yang bukan
dasar perhitungan kini yaitu kematian yang semakin dekat.

Bait ketiga hidupnya hanya menunda-nunda kekalahan / tsmbsh terasing


dari cinta dan sekolah rendah / dan tahu, ada yang tetao tidak diucapkan /
sebelum pada akhirnya kita menyerah terasa kental sekali “aroma kematian” dan
kepasrahan dari si Aku.

Dalam sajak ini intinya adalah penerimaan Chairil terhadap kematian.


Kedewasaan psikologisnya, kematangan kepribadiannya, melandasi kekuatannya
dalam bertahantanpa kenal batas menyerah. Dengan itu, Chairil tidak hanya
mampu menghadapi kematian tetapi juga dapat menerimanya dengan ikhlas.

Kemudian kita akan membahas aspek yang bagi kebanyakan pembaca


barangkali merupakan aspek puitis yang paling menonjol, yaitu aspek rima. Pada
puisi Derai-Derai Cemara ini Chairil menulis puisinya dengan rima atau
persamaan bunyi a b a b. perhatikan puisi berikut.

Cemara menderai sampai jauh (a)


Terasa hari akan jadi malam (b)

5
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh (a)
Dipukul angin yang terpendam (b)

Aku sekarang orangnya bisa tahan (a)


Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi (b)
Tapi dulu memang ada suatu bahan (a)
Yang bukan dasar perhitungan kini (b)

Hidup hanya menunda-nunda kekalahan (a)


Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah (b)
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan (a)
Sebelum pada akhirnya kita menyerah (b)

Kita mengenal Chairil Anwar sebagai pelopor puisi baru yang tidak terlalu
mengikuti kode dan konvensi yang ada. Tetapi, pada puisi di atas Chairil seperi
menulis puisi lama. Jika direnungi lagi apa yang terjadi pada Chairil terhadap
obsesinya pada kematian, maka rima puisi ini ada pesan Chairil anwar yang
tersirat kira-kira seperti ini “betapa pun kita ingin merubah atau ingin membuat
sesuati yang baru, tetapi suatu saat kita pasti akan menemui sesuatu yang sudah
ditetapkan” Chairil tidak bisa mengelak dengan kode dan konvensi yang sudah
ada, sangat jelas terlihat pada puisinya tersebut. Begitu juga dengan keinginannya
aku ingin hidaup serubu tahun lagi tetapi Chairil juga tidak bisa mengelak dari
suatu yang sudah pasti datang, yaitu kematiannya.

Chairil Anwar yang selali bersemangat pada puisi-puisi sebelumnya, kini


mulai menyadari akan arti hidup dan penyakitnya. Tema puisi ini adalah
kesadaran akan perjalanan hidup yang selalu akan berakhir dan tak dapat
dipungkiri bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Dan entah bagaimana
Chairil seperti merasakan kematiannya akan segera datang karena puisi ini
diselesaikannya tak lama sebelum kematiannya.

6
Daftar Pustaka

Esten, Mursal. 1995. Memahami Puisi. Bandung: Angkasa


Racheman, Harkiman. 2000. Chairil Anwar Menentang Tirani Maut. Medan:
USU Pers.
Teeuw, A. 1978. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Internet. Http://Asihputrisastra.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai