Anda di halaman 1dari 4

Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada umumnya disebabkan

oleh virus, sehingga menyebabkan gejala–gejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk,
pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto
dada

EPIDEMIOLOGI. Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90% dari
kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2,
dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab
yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan
bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3
Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.
Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang
menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody)
yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia,
prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk
terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun
bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI. RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang
(80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian
penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan
protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua
protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV
yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan
sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari
saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan
melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan
replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa
nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan
pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam
bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap
alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan
kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan
ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan
sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran
nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah
dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran
napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja
sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia,
hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas
berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit
saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak
kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase
ekspirasi.
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan
overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis
dapat terjadi bila obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang
infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin
merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak
lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit.
Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’ sehingga pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan
regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari
hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau
anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes
faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV
dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan
respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.

MANIFESTASI KLINIS. Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan
bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang.
Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi
akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak
dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi
mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi.
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis,
nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan
retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam
paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh
paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada
beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.Ada
bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis
(hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul
dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang.
Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat
meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal
bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis.

DIAGNOSIS. Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi
RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau
kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4)
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing. Untuk menilai
kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai
distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15
dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry
merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen
< 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan
lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada
subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia
akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran radiologik mungkin masih
normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga
didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy
infiltrates).
Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada
pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang
menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada
bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Bayi-bayi
dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami
wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding
bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik
fibrosis, gagal jantung, miokarditis .
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada
bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil
positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.
TATA LAKSANA. Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian
cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan
dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus
dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur,
kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan
perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan
pemberian antivirus.
Penanganan bronkiolitis: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita 2. Oksigenasi dengan
oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila
ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik. 3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2:
salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali per-hari 4.
Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV 5. Antibiotika: penyakit berat,
keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi
OksigenOksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan.
Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen
dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box.
Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu
ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya
penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi
mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang.
Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres napas untuk mencegah
terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk
mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone).

Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
AntibiotikaApabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran
hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal,
secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak
menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis.
Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan
menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan
untuk memberikan antibiotika.Antivirus (Ribavirin)Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue,
menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA)
virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari
setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus.
Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian
ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi.
Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit
lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak
memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai
berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi.
Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut
American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada bronkiolitis dengan
kondisi spesifik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama
diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan
bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid.
Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena
menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus
kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga
efektivitas dari mukosilier akan lebih baik.
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta2 agonis secara nebulisasi
menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi yang lain tidak. Sebuah
penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator pada penderita bronkiolitis
mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement)
pada bronkiolitis ringan dan sedang. Uji efikasi salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis
pernah dilakukan di bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999. Terjadi penurunan skor RDAI
pada kelompok salbutamol terutama menit ke 60 dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih pendek.
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa
dianjurkan dengan alasan 1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada
bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) 2.Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier
3.Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma 4.Efek samping
nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin.
Kortikosteroid Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas kortikosteroid untuk
pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason
oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup
perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang
hampir sama juga didapatkan pada pemberian deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan
ternyata tidak didapatkan perbedaan pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari
ke 3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan
dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala
bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis.
Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan
mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap
penderita bronkiolitis.Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi
dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya
gejala. Sedangkan AAP tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat
dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan
dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah
pasien yang dirawat pada kelompok studi.
Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid inhalasi dibuat untuk
mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi
yang tersedia diantaranya Beclomethason propionate, budesonide, flunisolide, fluticason propionate,
triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid,
lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi yang ideal bila memiliki efek topikal yang
tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya
flutikason, budesonid, mometason.
Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam sel, kortikosteroid menembus membran sel dan
berikatan dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan
berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan transkripsi gen reseptor-β2
dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 6-12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin
tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan
reseptor-β2 dan mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat agonis β2 jangka panjang-
Mempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel inflamasiPENCEGAHANPencegahan dapat
dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama
dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker,
isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI,
menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.
Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan Bronchopulmonary
dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan: jumlah
yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah
sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan baik.Palivizumab adalah humanized murine monoclonal
anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human
polyclonal hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai imunoprofilaksis
pasif pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan Palizumab sebagai profilaksis RSV pada
anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan
pertama dan bayi prematur (32-35 minggu).
AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau immunocompromised
karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV
menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini
tidak memberikan proteksi yang adekuat.

Anda mungkin juga menyukai