Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sel-sel Sistem Imun

a. Sel-Sel Sistem Imun Nonspesifik


Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah agen
pencetus pernah atau belum pernah dijumpai. Reaksinya pun tidak perlu
diaktivasi terlebih dahulu seperti pada sistem imun spesifik. Lebih jauh
lagi respon imun non spesifik merupakan lini pertama pertahanan terhadap
berbagai faktor yang mengancam. Sel-sel yang berperan dalam sistem
imun nonspesifik adalah sel fagosit, sel nol, dan sel mediator.
1. Sel Fagosit
Sel fagosit terbagi dua jenis, yaitu fagosit mononuclear dan
fagosit polimorfonuklear. Fagosit mononuclear terdiri dari sel
monosit dan sel makrofag, sedangkan fagosit polimorfonuclear
terdiri dari neutrofil dan eusinofil.
a. Sel Monosit dan Sel Makrofag
Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %.
Monosit bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam,
kemudian bermigrasi ke dalam jaringan, dan berkembang menjadi
makrofaga (macrophage) besar (pemangsa besar). Makrofaga
jaringan, yang merupakan sel-sel fagositik terbesar, adalah fagosit
yang sangat efektif dan berumur panjang. Sel-sel ini menjulurkan
kaki semu (psedopodia) yang panjang yang dapat menempel ke
polisakarida pada permukaan mikroba dan menelan mikroba itu,
sebelum kemudian dirusak oleh enzim-enzim di dalam lisosom
makrofaga itu.
Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh,
sementara yang lain tetap tinggal secara permanen dalam jaringan
tertentu: dalam paru-paru (makrofaga alveoli), hati (sel-sel
Kupffer), ginjal (sel-sel mesangial), otak (sel-sel mikroglia),
jaringan ikat (histiosit), dan pada limpa, nodus limfa, serta jaringan
limfatik. Mikroorganisme, fragmen mikroba, dan molekul asing
yang memasuki darah menghadapi makrofaga ketika mereka
terjerat dalam bangun limpa yang mirip dengan jaring, sementara
yang berada dalam cairan jaringan mengalir ke dalam limfa dan
disaring melalui nodus limfa.
Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan
mekanisme untuk menghindari perusakan oleh sel fagositik.
Beberapa bakteri mempunyai kapsul bagian luar yang tidak dapat
ditempeli makrofaga. Contoh bakteri tersebut adalah
Mycobacterium tuberculosis, yang bersifat resisten terhadap
perusakan oleh lisosom dan bahkan dapat bereproduksi di dalam
makrofaga.
b. Sel Neutrofil
Neutrofil merupakan sel fagosit yang berasal dari sel bakal
myeloid dalam sumsum tulang. Jumlahnya sekitar 60-70% dari
semua sel darah putih (leukosit). Neutrofil adalah fagosit pertama
yang tiba, diikuti oleh monosit darah, yang berkembang menjadi
makrofaga besar dan aktif. Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang
menyerang membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil
dari darah untuk datang. Neutrofil itu akan memasuki jaringan
yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba yang ada
disana. (Migrasi menuju sumber zat kimia yang mengundang ini
disebut kemotaksis). Di dalam neutrofil terdapat enzim lisozim dan
laktoferin untuk menghancurkan bakteri atau benda asing lainnya
yang telah difagositosis. Setelah memfagositosis 5-20 bakteri,
neutrofil mati dengan melepaskan zat-zat limfokin yang
mengaktifasi makrofag. Biasanya, neutrofil hanya berada dalam
sirkulasi kurang dari 48 jam karena neutrofil cenderung merusak
diri sendiri ketika mereka merusak penyerang asing.
c. Sel Eusinofil
Sama seperti sel fagosit lainnya, sel eosinofil berasal dari
sel bakal myeloid. Ukuran sel ini sedikit lebih besar daripada
neutrofil dan berfungsi juga sebagai fagosit. Eosinofil berjumlah 2-
5% dari sel darah putih. Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah
dikaitkan dengan keadaan-keadaan alergi dan infeksi parasit
internal (contoh, cacing darah atau Schistosoma mansoni).
Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk dapat
difagositosis oleh eosinofil atau oleh sel fagositik lain, namun
eosinofil dapat melekatkan diri pada parasit melalui molekul
permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat
membunuh banyak parasit. Selain itu, eosinofil juga memiliki
kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan yang
memiliki reaksi alergi. Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor
kemotaktik yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang
menyebabkan eosinofil bermigrasi kearah jaringan yang meradang.

Sel fagosit terutama makrofag dan neutrofil; memiliki peran besar dalam
proses peradangan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut sel fagosit juga
berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik lainnya.
Peradangan adalah respon nonspesifik terhadap invasi benda asing atau
kerusakan jaringan. Tujuan akhir dari peradangan adalah untuk menarik protein
plasma dan fagosit ke tempat yang cedera atau terinvasi agar keduanya dapat:
1) Mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan antigen yang masuk.
2) Membersihkan debris.
3) Mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan dan perbaikan.
Proses peradangan mencakup hal-hal berikut ini:
1) Kerusakan jaringan oleh suatu cedera atau perlakuan fisik (seperti terpotong)
atau oleh masuknya mikroorganisme.
2) Beberapa senyawa kimia seperti histamin dihasilkan oleh sel darah putih yang
beredar yang disebut basofil dan oleh sel mast yang ditemukan dalam jaringan
ikat, memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler didekatnya.
3) Vasodilatasi lokal, peristiwa ini bertanggung jawab atas pembengkakan dan
warna merah yang khas pada peradangan. Peningkatan aliran darah ke tempat
luka dan permeabilitas pembuluh akan membantu pengiriman unsur
penggumpalan darah yang akan membantu memperbaiki dan menghambat
penyebaran mikroba ke bagian tubuh yang lain.
4) Kapiler yang penuh darah membocorkan cairan ke dalam jaringan sekitarnya
dan menyebabkan edema (pembengkakan).
5) Perbaikan jaringan, di sebagian jaringan seperti pada kulit, tulang, dan hati.
Sel-sel spesifik organ yang masih sehat di sekitar tempat cedera mengalami
pembelahan sel untuk mengganti sel-sel yang hilang. Namun, di jaringan yang
bersifat non degenerative, misalnya saraf dan otot, sel-sel yang hilang diganti
oleh jaringan parut.
6) Respon spesifik lainnya terhadap infeksi adalah demam. Toksin yang
dihasilkan oleh patogen dapat memicu demam, dan leukosit tertentu juga
membebaskan molekul yang disebut pirogen,yang dapat mempertinggi suhu
tubuh. Demam ini dapat membantu pertahanan tubuh dengan cara
menghambat pertumbuhan beberapa mikroorganisme.

2. Sel Nol
a. Sekilas tentang Sel Natural Killer
Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan
limfosit tapi tidak mengandung petanda seperti pada
permukaan sel B dan sel T. Oleh karena itu disebut sel nol.
Sel ini beredar dalam pembuluh darah sebagai limfosit besar
yang khusus, memiliki granular spesifik yang memiliki
kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperi
sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan
penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen
intraseluler. Sel jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi
di dalam sumsum tulang ini juga tersedia di limpa, nodus
limfa, dan timus dan merupakan 10 % – 20 % bagian dari
limfosit perifer. Bentuknya lebih besar dari limfosit B dan
limfosit T.
Sel dikenal karena memiliki petanda permukaan
CD56 dan CD16 tapi tidak CD3. Cara kerja sel ini dan
sasaran utamanya serupa dengan sel T sitotoksik, tapi sel
sitotoksik hanya dapat mematikan sel-sel terinfeksi virus atau
sel kanker jenis tertentu yang pernah dijumpai, sedangkan sel
NK membentuk pertahanan yang bersifat segera dan non
spesifik terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel kanker
sebelum sel T sitotoksik yang lebih banyak berfungsi. Sel
NK diaktifkan oleh interferon yang biasanya diproduksi dan
dilepaskan oleh sel yang terinfeksi virus itu sendiri.
Interferon juga menyebabkan peningkatan daya tahan
terhadap virus pada sel-sel yang tidak terinfeksi.

b. Sejarah Penemuan Sel Natural Killer (Sel NK)


Penemuan sel NK terjadi pada awal 1970an ketika
sedang diadakan penelitian tentang kemampuan limfosit T
untuk melisiskan serangan sel tumor dimana sebelumnya
mereka telah dikebalkan. Selama eksperimen tersebut, ada
sesutu yang peneliti terus amati yaitu ketika ada suatu masa
dimana suatu sekelompok sel terlihat dapat melisiskan sel
tumor tanpa disensitisasi sebelumnya. Namun penemuan
tersebut belum dapat didukung dengan teori yang tepat
sehingga belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Pada tahun 1973, aktivitas ”pembunuh alamiah”
ditemukan pada bermacam-macam spesies dan eksistensinya
akhirnya diakui. Melalui pemanfaatan antibodi monoklonal,
kemampuan “pembunuh alamiah” tersebut diketahui
merupakan bagian dari suatu granular limfosit yang kita
kenal saat ini sebagai sel natural killer (sel NK). Disebut “sel
pembunuh alami” karena sel-sel ini tidak membutuhkan
stimulasi tambahan untuk mengenali antigen tertentu yang
akan diserang atau dibunuh.

c. Mekanisme kerja sel NK


Supaya sel NK dapat menentukan tubuh terinfeksi
virus atau patogen lainnya, maka sel NK memerlukan
mekanisme yang dapat menentukan apakah sel tersebut
terinfeksi atau tidak. Seperti yang telah diketahui bahwa sel
NK bersifat sitotoksik. Granul-granul kecil dalam
sitoplasmanya mengandung protein seperti perforin dan
protease yang dikenal sebagai granzim. Ketika telah
mendekati sel target, perforin membentuk saluran
transmembran pada sasaran yang menyebabkan sasaran
terlisis kemudian granzim dan molekul-molekul yang
berperan lainnya dapat masuk dan terjadi apoptosis.
Mekanisme dari awal terinfeksi virus dapat
dijelaskan sebagai berikut: Apabila virus menginfeksi sel,
antigen-antigen virus yang baru dipamerkan pada permukaan
sel. Antigen-antigen ini akan mempengaruh penghasilan
antibodi spesifik yang kemudian akan bergabung dengan
antigen tersebut. Sel NK, yang mempunyai reseptor spesifik
akan bergabung dengan antibodi tersebut.
Setelah sel NK bergabung dengan sel sasaran
terinfeksi virus melalui perantaraan antibodi, bahan larut
termasuk perforin dan granzim akan dibebaskan dan
membentuk polimer (dalam kehadiran Ca++) pada permukaan
sel sasaran. Pempolimeran perforin akan membentuk saluran
pada sel sasaran dan ini akan melisiskan sel sasaran.
Sel NK aktif ketika mendapat respon dari interferon
atau makrofag – dari sitokin. Mereka membantu untuk
mengetahui adanya infeksi dari virus dimana respon imun
adaptif menghasilkan antigen – sel T sitotoksik yang spesifik
yang dapat menghilangkan infeksi. Pasien yang kekurangan
sel NK terbukti mudah terkena infeksi tahap awal dari virus.
Untuk mengontrol aktivitas sitoksiknya, sel NK memiliki dua
tipe reseptor permukaan yaitu reseptor yang berfungsi
mengaktifkan dan reseptor yang berfungsi menekan sifat
sitoksiknya tersebut. Sebagian besar dari reseptor tersebut
tidak terlalu khusus dan dapat pula berfungsi dalam sel T.
Reseptor yang berfungsi menekan fungsi sitotoksik dari sel
NK mengenal MHC kelas I, dari sinilah dapat dijelaskan
mengapa sel NK membunuh sel memiliki molekul MHC
kelas I lebih sedikit pada permukaan mereka daripada
keadaan normal. Penekanan ini memainkan peranan yang
penting dari sel NK. MHC kelas I terdiri dari mekanisme
utama dimana sel akan menunjukkan antigen virus atau
tumor ke sel T sitotoksik.

3. Sel Mediator
Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil,
sel mast, dan trombosit. Sel tersebut disebut sebagai mediator
dikarenakan melepaskan berbagai mediator yang berperan
dalam sistem imun.
a. Sel basofil dan sel mast
Basofil adalah jenis leukosit yang paling
sedikit jumlahnya dan diduga juga dapat berfungsi
sebagai fagosit. Sel basofil secara struktural dan
fungsional mirip dengan sel mast, yang tidak pernah
beredar dalam darah tapi tersebar di jaringan ikat di
seluruh tubuh. Awalnya sel basofil dianggap berubah
menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem
sirkulasi, tapi para peneliti membuktikan bahwa basofil
berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast berasal
dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat. Ada
dua macam sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan
dan sel mast mukosa. Yang pertama ditemukan di
sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah
heparin dan histamine. Sel mast yang kedua ditemukan
di slauran cerna dan napas. Proliferasinya dipacu IL-3
dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit. Baik sel
basofil maupun sel mast memiliki reseptor untuk IgE
dan karenanya dapat diaktifkan oleh alergen spesifik
yang berkaitan dengan antibodi IgE. Kemudian bila
terdapat alergen spesifik berikutnya yang bereaksi
dengan antibodi, maka perlekatan keduanya
menyebabkan sel mast atau basofil rupture dan
melepaskan banyak sekali histamin, bradikinin,
serotonin, heparin, substansi anafilaksis yang bereaksi
lambat, dan sejumlah enzim lisosomal. Bahan-bahan
inilah yang menyebabkan manifestasi alergi. Selain itu
keduanya pun dapat membentuk dan menyimpan
heparin dan histamin.

b. Trombosit
Trombosit adalah fragmen sel yang berasal
dari megakariosit besar di sumsum tulang belakang.
Trombosit berperan dalam pembatasan daerah yang
meradang, dimana apabila terpajan ke tromboplastin
jaringan di jaringan yang cedera maka fibrinogen, yang
telah diaktifkan melalui proses berjenjang yang
melibatkan pengaktifan suksesif faktor-faktor
pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin inilah yang
membentuk bekuan cairan interstitiumdi ruang-ruang di
sekitar bakteri dan sel yang rusak.

b. Sel-sel Sistem Imun Spesifik


1. Sel T
a. Karakteristik Sel T
1) Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel –sel ini harus berkontak
langsung dengan sasaran suatu proses yang dikenal sebagai
immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity,
imunitas seluler).
2) Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran
plasmanya, setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor unik.
3) Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut
disajikan di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda
identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen asing
maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum
sel T dapat mengikuti keduanya.
4) Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T
efektor. Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai
cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih
cepat dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali
di sel tubuh.
5) Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing
dalam kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri,
suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T
berikutnya
6) Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen
tertentu sebelum sel T teraktivasi besiap untuk melancarkan
serangan imun seluler.

Karakteristik Limfosit T

Asal Sumsum tulang

Tempat proses pematangan Timus

Ada reseptor permukaan, tetapi berbeda dengan


Reseptor untuk antigen
antibodi; sangat spesifik

Antigen asing yang berkaitan dengan antigen diri,


Berkaitan dengan
misalnya sel-sel yang terinfeksi virus

Antigen harus diproses dan


Ya
disajikan oleh makrofag

Jenis sel aktif sel T sitotoksik, sel T penolong, sel T penekan

Pembentukan sel pengingat Ya

Jenis imunitas Imunitas diperantarai sel

Produk sekretorik Limfokin

Melisiskan sel yang terinfeksi virus dan sel


kanker, membentuk imunitas terhadap sebagian
Fungsi
besar virus dan jamur, beberapa bakteri;
membentuk sel B membentuk antibodi

Lama hidup Lama

b. Subpopulasi
sel T Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik,
sel-sel dari sel klon sel T komplementer berproliferisai dan
berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel
T teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler.
Terdapat tiga subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah
diaktifkan oleh antigen.
1) Sel T sitotoksik
Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki
antigen asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel
kanker, dan sel cangkokan.
2) Sel T penolong
Sel T yang meningkatkan perkembangan sel B aktif
menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel
T penekan (supresor) yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag.
3) Sel T penekan
Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas
sel T sitotoksik dan penolong.
Sebagian besar dari milyaran Sel T diperkirakan tergolong
dalam subpopulasi penolong dan penekan, yang tidak secara langsung
ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik. Kedua
subpopulasi tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka
memodulasi aktivitas sel B dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka
sendiri dan aktivitas makrofag.
Pajanan terhadap antigen sering mengaktifkan baik sel B
maupun sel T secara stimulan. Seperti sel T regulatorik yang dapat
mempermudah atau menekan sekresi antibodi sel B, antibodi juga
dapat meningkatkan atau menghambat kemampuan sel-sel T sitotoksik
menghancurkan sel korban, bergantung pada keadaan. Sebagain besar
efek yang ditimbulkan limfosit pada sel-sel imun lain ( limfosit lain
dan makrofag) diperantarai melalui sekresi zat-zat perantara kimiawi.
Semua zat kimiawi selain antibodi yang disekresikan secara kolektif
oleh limfosit disebut limfokin, yang sebagian besar diproduksi oleh
limfosit T. limfokin tidak berinteraksi secara langsung dengan antigen
yang menyebabkan prduksi limfokin tesebut.
a. Sel T Sitotoksik
Sasaran sel T sitotoksik yang paling sering adalah sel yang
sudah terinfeksi virus. Sel T sitotoksik dari klon yang spesifik untuk
virus tersebut mengenali dan berikatan dengan antigen virus dan
antigen diri di permukaan sel yang terinfeksi. Setelah diaktivasi oleh
antigen virus, sel T sitotoksik menghancurkan sel korban dengan
mengeluarkan zat-zat kimiawi yang melisiskan sel sebelum replikasi
virus dapat dimulai.
Salah satu cara yang digunakan sel T sitotoksik dan sel
natural killer untuk menghancurkan sel sasaran adalah dengan
mengeluarkan moleku-molekul perofin, yang menembus membran
permukaan sel sasaran dan menyatu untuk membentuk saluran
seperti pori-pori. Teknik mematikan sel dengan membuat lubang di
membran ini serupa dengan metode yang diterapkan oleh membrane
attack complex pada jenjang komplemen. Virus yang keluar setelah
sel dirusak kemudian secara langsung dihancurkan di cairan
ekstrasel oleh sel-sel fagositik, antibodi netralisasi, dan sistem
komplemen. Sementara itu Sel T sitotoksik, yang tidak mengalami
cidera selama proses ini, dapat menyerang sel lain yang terinfeksi.
Sel-sel sehat disekitarnya menggantikan sel yang hilang melalui
proses pembelahan sel.
Biasanya untuk menghentikan infeksi virus tidak banyak
sel yang harus dihancurkan. Namun, apabila virus memiliki
kesempatan untuk memperbanyak diri, dengan virus-virus turunan
itu meninggalkan sel dan semua menyebar ke sel-sel lain, banyak sel
yang harus dikorbankan oleh mekanisme pertahanan sel T sitotoksik,
sehingga dapat terjadi malfungsi serius.
b. Sel T Penolong
Sel T penolong meningkatkan banyak aspek respons imun,
terutama melalui sekresi limfokin. Berikut ini adalah sebagian dari
zat-zat perantara kimiawi yang paling dikenal yang dihasilkan oleh
Sel T ini:
1. Sel T penolong menghasilkan faktor pertumbuhan sel B
yang meningkatkan kemampuan klon sel B aktif
menghasilkan antibodi. Sekresi antibodi sangat menurun jika
tidak terdapat sel T penolong, walaupun sel T itu sendiri
tidak menghasilkan antibodi.
2. Sel T penolong juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel
T, yang juga dikenal sebagai interleukin 2 (IL-2) untuk
meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik, sel T penekan, dan
bahkan sel T penolong lain yang responsif terhadap antigen
yang masuk.
3. Sebagian zat kimia yang dihasilkan oleh sel T berfungsi
sebagai kemotaksin untuk menarik lebih banyak neutrofil
dan calon makrofag ke tempat invasi.
4. Setelah makrofag ditarik ke daerah invasi, sel T penolong
mengeluarkan macrophage-migration inhibition factor,
suatu limfokin penting lain, yang menahan sel-sel fagositik
besar ini tetap di lokasi invasi. Akibatnya terjadi
penumpukan makrofag dalam jumlah besar di daerah yang
terinfeksi. Faktor ini juga meningkatkan daya fagositik
makrofag-makrofag tersebut. Apa yang disebut angry
macrophage ini memiliki daya destruktif yang lebih besar.
Sel T penolong adalah jenis sel T yang paling
banyak, menyusun sekitar 60-80% dari sel T yang beredar dalam
darah. Karena peran penting sel ini dalam “menyalakan” semua
kekuatan llimfosi dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap
sebagai “tombol utama” sistem imun.
c. Sel T Penekan
Pengetahuan mengenai sel T penekan jauh lebih sedikit
dibandingkan subpopulasi lainnya. Sel-sel ini tampaknya berfungsi
membatasi reaksi imun melalui mekanisme “ check and balance”
dengan limfosit yang lain. Sementara sel B, sel Sitotoksik, dan sel T
penolong meningkatkan aktivitas imun satu sama lain, sel T penekan
membatasi respons semua sel imun lain. Melalui metode umpan
balik negatif, sel T penolong mendorong sel T penekan beraksi. Sel
T penekan pada gilirannya, menghambat sel T penolong dan sel-sel
lain yang untuk bertugas dipengaruhi oleh sel T penolong.
Efek inhibisi oleh sel T penekan membantu mencegah
reaksi imun berlebihan yang dapat membahayakan tubuh.
Peningkatan jumlah sel T penekan sebagai respons terhadap infeksi
virus biasanya berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan
proliferasi sel T sitotoksik dan sel T penolong, sehingga sel T
penekan membantu menghentikan respons imun setelah respons
tersebut melaksanakan fungsinya.

c. Toleransi Kekebalan Terhadap Antigen-diri


Sel T penekan mungkin juga berperan penting dalam
mencegah sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri, suatu
fenomena yang dikenal sebagai toleransi. Mungkin selama “proses
pemotongan, pengacakan, dan penempelan” genetik, yang berlangsung
selama perkembangan limfosit, secara tidak sengaja terbentuk
sebagian sel B dan T yang dapat bereaksi dengan antigen jaringan
tubuh sendiri. Apabila klon-klon limfosit ini dibiarkan berfungsi,
mereka akan menghancurkan tubuh individu itu sendiri. Untungnya
sistem imun dalam keadaan normal tidak menghasilkan antibodi atau
sel T aktif terhadap antigen tubuh sendiri, tetapi mengarahkan
serangan destruktifnya hanya kepada antigen asing.
Kadang-kadang sistem imun gagal membedakan antara
antigen diri dan antigen asing, dan melancarkan pukulan mematikan
terhadap satu atau lebih jaringan tubuh sendiri. Keadaan pada saat
sistem imun tidak dapat mengenal dan mentoleransikan antigen diri
yang berkaitan dengan jaringan tertentu disebut sebagai penyakit
autoimun.

d. Penyajian Antigen oleh MHC


MHC, Major Histocompatibility Complex atau disebut
kompleks histokompatibilitas mayor, merupakan kumpulan
glikoprotein permukaan sel (protein yang berikatan dengan rantai
gula) yang dikode oleh sebuah keluarga gen. pada manusia,
glikoprotein MHC juga dikenal sebagai HLA (Human Leukocyte
Antigen).
Dua kelas utama molekul MHC menandai sel tubuh
sebagai “diri sendiri”. Molekul MHC kelas I ditemukan pada semua
sel bernukleus yaitu, pada hampir setiap sel tubuh. Molekul MHC
kelas II terbatas hanya pada beberapa sel khusus, yang meliputi
makrofaga, sel B, sel T yang telah diaktifkan, dan sel-sel yang
menyusun bagian interior timus.
MHC merupakan suatu sidik jari biokimiawi yang dapat
dikatakan unik bagi setiap individu. Tugas suatu molekul MHC
adalah penyajian antigen masing-masing molekul MHC
menggendong fragmen antigen protein dalam lekukan berbentuk
ayunan dan “menyajikannya” ke sel T.
Ada dua jenis utama sel T, dan masing-masing membuat
kontak spesifik dengan molekul MHC pada permukaan tubuh. Sel
Tsitotoksik (TC) mempunyai reseptor antigen yang terikat dengn
fragmen antigen yang diperlihatkan oleh molekul MHC kelas I
tubuh, yaitu molekul-molekul yang muncul pada sel-sel bernukleus.
Sel T helper (TH) mempunyai reseptor yang terikat dengan fragmen
antigen yang diperlihatkan molekul MHC kelas II tubuh.

e. Pengenalan MHC
Sel T yang sedang berkembang berinteraksi dengan sel-sel
timus, yang mengandung kadar molekul MHC kelas I (karena sel itu
bernukleus) dan molekul MHC kelas II yang tinggi. Hanya sel T
yang mengandung reseptor dengan afinitas untuk MHC-self yang
mencapai pematangan. Sel-sel T yang sedang berkembang dan
mempunyai reseptor dengan afinitas terhadap MHC kelas I akan
mejadi sel T sitotoksik. Sel-sel T yang mempunyai reseptor dengan
afinitas sedang untuk MHC kelas II akan menjadi sel T helper.

f. Respon Kekebalan
a. Interaksi Molekul MHC kelas I
Pada sel yang telah terinfeksi virus, molekul MHC kelas I
yang baru disintesis oleh sel tersebut bergerak menuju
permukaan sel. Molekul itu menangkap fragmen kecil dari salah
satu protein lain yang disintesis oleh sel tersebut. Jika sel
tersebut mengandung virus yang bereplikasi, fragmen peptida
protein virus itu ditangkap dan diangkut ke permukaan sel.
Dengan cara ini, molekul MHC kelas I memaparkan protein
asing, yang disintesis dalam sel terinfeksi atau sel abnormal, ke
sel T sitotoksik. Interaksi antara sel penyaji antigen dan sel T
sitotoksik sangat ditingkatkan oleh kehadiran protein permukaan
sel T yang disebut CD8. CD8 terdapat di sebagian besar sel T
sitotoksik, dan mempunyai afinitas tehadap sebagian molekul
MHC kelas I. Interaksi molekul MHC kelas I dan CD8
membantu mempertahankan aktivasi antigen yang bersifat
spesifik sedang berlangsung.
Sebuah sel T sitotoksik, yang diaktifkan oleh
kontak spesifik dengan kompleks MHC kelas I dan antigen pada
sel yang terinfeksi atau sel tumor, dan dirangsang lebih lanjut
oleh IL-2 dari sel T helper, berdiferensiasi menjadi sel
pembunuh yang aktif. Sel ini membunuh apa yang disebut sel
target terutama dengan cara pembebasan perofin, yaitu protein
yang membentuk pori atau lubang pada membran sel target.
Karena ion dan air mengalir dalam sel target, maka sel itu
membengkak dan akhirnya lisis. Kematian sel-sel yang terinfeksi
itu bukan saja menghilangkan tempat bagi patogen untuk
berproduksi, tetapi juga memaparkannya ke antibodi yang
sedang beredar, sehingga menandainya untuk dibuang dan
dihancurkan. Setelah merusak sel yang terinfeksi, sel TC terus
bergerak membunuh sel-sel lain yang terinfeksi dengan patogen
yang sama.
b. Interaksi Molekul MHC kelas II
Sebuah makrofaga yang telah menelan dan merusak
bakteri mengandung fragmen kecil protein bakteri (peptida),
sementara permukaan makrofaga, molekul itu menangkap salah
satu di antara peptida bakteri itu dalam lekukan pengikat
antigenya dan membawanya ke permukaan, sehingga
memperlihatkan peptida asing itu ke sel T helper. Interaksi
antara sel penyaji antigen dengan sel T helper semakin
meningkat dengan kehadiran protein permukaan sel T yang
disebut CD4. Terdapat pada sebagian besar sel T helper, CD4
mempunyai afinitas terhadap sebagian protein MHC kelas II.
Interaksi antara molekul CD4 dan molekul MHC kelas II
membantu mempertahankan sel T helper dan sel penyaji antigen
(APC) tetap menyatu sementara aktivasi antigen yang bersifat
spesifik sedang berlangsung.
Ketika sel T helper diseleksi melalui kontak
spesifik dengan kompleks MHC kelas II dan antigen pada sebuah
APC, sel TH akan memperbanyak diri dan berdiferensiasi
menjadi klon sel T helper yang diaktifkan dan sel T helper
memori. sel T helper yang diaktifkan mensekresikan beberapa
sitokin yang berbeda, yang merupakan protein atau peptida yang
berfungsi untuk merangsang limfosit lain. Sebagai contoh sitokin
interleukin-2 (IL-2) membantu sel B yang telah mengadakan
kontak dengan antigen untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang mensekresi antibodi. IL-2 juga membantu sel T sitotoksik
untuk menjadi pembunuh yang aktif
Sel T helper itu sendiri patuh pada pengaturan
sitokin. Sementara makrofag memfagositosis dan menyajikan
antigen, makrofag itu dirangsang untuk mensekresi suatu sitokin
yang disebut interleukin-1 (IL-1). IL-1, dalam kombinasi
dengan antigen yang disajikan, mengaktifkan sel T helper untuk
menghasilkan IL-2 dan sitokin lain. Merupakan satu contoh
umpan balik posiftif adalah peristiwa saat IL-2 yang disekresi
oleh sel T helper juga kan merangsang sel tersebut untuk
memperbanyak diri lebih cepat lagi dan untuk menjadi penghasil
sitokin yang lebih aktif lagi. Dengan cara ini, sel T helper
memodulasi respons kekebalan humoral (sel B) maupun respons
kekebalan yang diperantarai oleh sel (sel T sitotoksik).

Anda mungkin juga menyukai