Pendahuluan
Nyeri, suatu ciri yang umumnya terdapat pada berbagai proses penyakit, biasanya
berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau yang akan datang. Nyeri akut dalam
pengaturan perioperatif didefinisikan sebagai nyeri yang terdapat pada pasien bedah karena
penyakit, prosedur bedah atau kombinasinya. Merupakan komponen yang tidak
menyenangkan dan tidak terelakkan dari pengalaman post bedah. Orang yang menjalani
operasi mungkin menginginkan haknya untuk memperoleh pereda nyeri post operasi yang
adekuat. Pasien, meskipun begitu, terus mengalami nyeri postoperasi karena kurangnya
upaya dari ahli anastesi dan ahli bedah untuk mengurangi rasa sakitnya. Jika seseorang
berpikir bahwa mengurangi nyeri secara adekuat adalah hak dasar pasien, kegagalan
mengurangi nyeri adalah penyelewengan moral dan etika dari seorang dokter.
"Pasien mengharapkan pengurangan nyeri poesoperasi yang tidak efektif dan perawat mereka
menjamin bahwa mereka tidak akan dikecewakan" kata suatu ulasan dari Inggris di awal
1990. Adalah anggapan saya bahwa skenario di India juga sama, jika tidak lebih buruk!
Ahli anastesi modern membanggakan dirinya sebagai dokter perioperatif. Adalah
kewajibannya untuk meyakinkan kenyamanan pasien dalam menjalani periode preoperatif,
intraoperatif, dan postoperatif. Meskipun kebanyakan diantara kita memberikan dosis
analgesik yang piten pada pasien dengan tujuan memberikan analgesia ontraoperatif yang
baik, kualitas perawatan yang sama tidak berlanjut pada periode postoperatif. Hasil akhirnya
adalah pasien tidak puas, tidak senang dan bingung.
Disamping derita yang berkaitan dengan nyeri, pasien postbedah sering tidak dapat bernapas
dengan adekuat, batuk dengan efektif, bergerak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dan berpartisipasi dalam rehabilitasi mereka. Hal ini sering mebghasilkan perasaan tidak
tertolong, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Dengan demikian, terdapat kebutuhan untuk
dokter terlibat dalam perawatan postoperatif pasien bukan hanya memahami efek merugikan
dari nyeri, tapi juga memberikan rencana manajemen nyeri yang efektif pada pasien
postbedah mereka.
Opioid sistemik
Opioid sistemik telah menjadi arus utama manajemen nyeri di masa lampau dan masih
berlanjut menjadi teknik yang populer saat strategi lainnya masih dibangun. Semua opioid
yang diberikan dalam dosis ekuianalgesik menghasilkan efek analgesik yang sama. Opioid
biasanya diberikan dengan rute intramuskular (IM), intravena (IV), subkutan (SC) atau
transdermal.
Idealnya, administrasi opioid dimulai dengan peresepan terindividualisasi sesuai kebutuhan
pasien. Resep harus mencantumkan agen, dosis, frekuensi, dan rute administrasi. Umur
dibandingkan berat merupakan prediktor kebutuhan opioid yang lebih baik dalam 24 jam
pertama setelah operasi. Kebutuhan morfin 24 jam rata-rata (dalam mg) menggunakan teknik
analgesia terkontrol mengikuti operasi mayor pada pasien berusia antara 20 dan 70 tahun
dibarikan formula 100 - usia dalam tahun. Dengan demikian, orang 4( tahun akan
memerlukan 60 mg morfin dalam 24 jam. Formula sederhana ini dapat digunakan untuk
mencetuskan terapi opioid sistemik dalam periode postoperatif.
Opioid spesifik
Kodein ialah opioid spesifik. Molekulnya tidak memiliki aktivitas analgesik. Kodein-6-
glukoronida dan morfin yang dibentuk sebagai hasil metabolisme (2-10%) dicatat untuk
aktivitas analgesiknya. Kodein biasanya dikombinasikan dengan parasetamol yang membantu
menambah pengurangan nyeri.
Dekstropropoksifen juga merupakan opioid lemah yang juga dikombinasikan dengan
parasetamol untuk mengurangi nyeri. Meskipun begitu insidens terjadinya pusing sangat
tinggi. Nordektropropoksifen, yang merupakan suatu metabolit, dapat menghasilkan depresi
sistem saraf sentral (CNS), pernapasan atau kariovaskuler.
Metadon sering digunakan untuk terapi pemeliharaan pasien yang ketergantungan opioid
karena bioavailabilitas oral yang baik (60-95%). Potensinya yang tinggi, durasi kerjanya yang
panjang, harga murah, aktivitas antagonistik NMDA dan aktivitas penghambat reuptake
serotonin berguna dalam mengobati nyeri kronik. Penggunaannya dalam mengobati nyeri
akut dibatasi oleh durasi kerja yang panjang dan tidak terprediksi dan resiko akumulasi
metabolit.
Fentanil merupakan opioid kuat yang sering digunakan untuk mengobati nyeri akut karena
kurangnya metabolit aktif dan onset kerja yang cepat.
Morfin adalah opioid yang sering digunakan secara luas dalam manajemen nyeri akut. Ia
dimetabolisme menjadi morfin-6-glukoronida dan morfin-3-glukoronida di hati. Morfin-6-
glukoronida adalah u-agonis dan lebih poten daripada morfin ketika morfin-3-glukoronida
memiliki afinitas yang rendah pada reseptor opioid dan tidak memiliki aktifitas analgesik. Ia
terkadang berkaitan dengan efek samping neurotoksik seperti alodinia, hiperalgesia, dan
mioklonus. Metabolit terakumulasi dalam keadaan disfungsi renal, dosis yang lebih tinggi,
kelompok usia yang lebih tua, dan dengan pemberian oral.
Petidin ialah opioid sintetik yang masih digunakan secara luas meskipun dengan berbagai
kerugiannya. Studi menunjukkan bahwa ia tidak lebih baik dari morfin dalam pengobatan
kolik renal dan bilier. Petidin menginduksi lebih banyak mual dan muntah dibandingkan
morfin saat digunakan parenteral. Akumulasi norpetidin berkaitan dengan efek samping
neuroeksitatori. Melihat fakta ini, penggunaan petidin diganti dengan opioid yang lain.
Tramadol adalah analgesik kerja sentral atipikal karena efek kombinasinya sebagai agonis
opioid (umumnya metabolitnya, O-desmetil-tramadol) dan penghambat reuptake serotonin
dan noradrenalin. Ia dicatat sebagai opioid lemah oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Resiko
depresi pernapasan lebih rendah pada dosis ekuianalgesik dan tidak ,emekan respons ventilasi
hipoksik. Ia memiliki efek terbatas pada fungsi pergerakan gastrointestinal. Mual dan muntah
merupakan efek samping paling sering dan tramadol tidak meningkatkan insidens kejang saat
dibandingkan dengan agen analgesik lainnya.
Rute intravena memiliki keuntungan menghasilkan tingkat darah yang cepat dan dapat
diprediksi. Rute ini memungkinkan titrasi yang sesuai dari keperluan analgesik ke kebutuhan
pasien. Saat analgesia yang adekuat telah diperoleh dengan bolus IV, pemeliharaan dapat
diperoleh dengan infus IV atau SC, atau injeksi IM.
Rute intravena digunakan dalam unit perawatan intensif postoperatif atau unit kebutuhan
yang lebih tinggi untuk memperoleh kontrol nyeri yang cepat. Ia juga rute yang diminati pada
pasien yang hipotensi atau hipovolemik saat ia menghasilkan tingkat darah terapeutik yang
instan dan dapat diprediksi. Ketika infus berulang memberikan tingkat darah yang tetap,
harus diingat bahwa ia memerlukan 5 kali waktu paruh obat (20 jam dalam kasus morfin)
untuk memperoleh 95% konsentrasi keadaan tetap yang akhir. Kemudian, analgesia yang
tidak adekuat pada pasien yang memperoleh infus IV lebih baik dihadapi dengan bolus IV
dibandingkan dengan meningkatkan rasio infus obat.
Opioid juga dapat diberikan dengan rute SC sebagai injeksi intermitten atau sebagai infus
terus menerus melalui kanula kecil atau jarum kupu-kupu yang ditempatkan di jaringan
subkutan lengan atas. Seperti rute IM, rute SC juga menghasilkan tingkatan darah yang tidak
dapat diprediksi jika perfusi perifer jelek (seperti yang terjadi di hipovolemia dan
hipotermia). Absorpsi lambat dari depot obat dapat terjadi saat perfusi dikembalikan
menghasilkan tingkatan plasma yang sangat tinggi dari obat. Meskipun begitu, dengan
adanya perfusi jaringan normal, rute SC memiliki keuntungan menghasilkan tingkatan
plasma yang stabil.
Pemberian obat transdermal memungkinkan pemberian obat parenteral terus-menerus tanpa
memerlukan peralatan jarum atau suntuk. Obat larut lemak seperti fentanil adalah sesuai.
Tempelan fentanil transdermal tersedia dengan tingkat pemberian yang berbeda yang berkisar
dari 25 hingga 100 mikrogram/jam. Tempelan yang tersedia saat ini memiliki onset lambat
dan offset kerja dan absorpsi berlanju hingga 72 jam saat tempelan ditempatkan.
Analgesia neuraksial
Opioid intratekal
Opioid intratekal sekarang ini digunakan sendiri secara luas atau sebagai tambahan dalam
pengobatan nyeri akut. Dalam spinal cord, mereka berikatan dengan reseptor spesifik di
tanduk dorsal. Menggabungkan opioid dosis rendah dengan agen anastesi untuk pemberian
intratekal tampak meningkatkan kecepatan onset, densitas blok dan durasi analgesia.
Opioid larut lemak tinggi seperti fentanil dan sufentanil tercatat untuk penyebaran rostral
yang minimal, ikatan analgesia dermatomal yang relatif kecil dan aksi yang memiliki durasi
yang terbatas tidak seperti opioid hidrofilik seperti morfin yang mempunyai derajat
penyebaran rostral yang lebih besar, depresi pernapasan yang tertunda,dan
analgesiadermatomal tambahan. Studi saat ini menunjukkan pemberian intratekal dari opioid
lipofilik juga dapat menghasilkan depresi pernapasan yang terjadi 20-30 menit setelah injeksi.
Ini akibat distribusi cepat obat dalam cairan serebrospinal. Meskipun begitu efek ini hanya
bertahab beberapa menit tidak seperti morfin yang memuncak kurang lebih 6 jam dan
terdapat selama 18-24 jam.
Secara internasional, opioid dan analgesik tambahan disediakan sebagai preparat yang
mencakup bahan pengawer. Benzil alkohol dan parabens dapat menyebabkan neurotoksisitas
setelah pemberian intratekal dan oleh karena itu dihindari. Khasiat farmakologis dari opioid
yang sering digunakan intratekal dirangkum di tabel 3. Dosis intratekal optimal untuk
indikasi spesifik dirangkum di tabel 4.
Efek samping opioid intratekal mencakup pruritus, mual, dan muntah, retansi urin dan
depresi pernapasan.
Analgesia epidural
Rute epidural lebih populer untuk manajemen nyeri postoperatif sabaga teknik yang dapat
digunakan sendiri atau kombinasi dengan anastesi umum. Teknik epidural memberikan
penurunan nyeri lebih baik daripada opioid sistemik dan juga mengurangi insidens
komplikasi postoperatif. Kateter epidural lumbar dapat disimpan untuk periode yang lama.
Kateter epidural ditempatkan di lokasi yang sama dengan insisi dermatom tampak
memberikan analgesia yang lebih kuat. Analgesia segmental untuk bedah abdominal bagian
atas dapat diperoleh dengan menempatkan kateter di tingkat T8 hingga T10. Morfin diberikan
di daerah lumbar dan dapat memberikan analgesia postoperatif yang baik untuk abdomen
bagian atas dan juga bedah thoraks. Sifat hidrofilik dari morfin menghasilkan penyebaran
rostralnya, memungkinkannya memperoleh pengurangan nyeri yang baik untuk prosedur
abdominal bagian atas dan thoraks mengikuti administrasi melalui kateter yang ditempatkan
di daerah lumbar. Fentanil, di sisi lain, adalah lipofilik dan oleh karenanya perlu diberikan
dekat dengan tingkat segmental dimana analgesia diperlukan. Morfin memiliki onset kerja
yang lebih lambat jika dibandingkan dengan fentanil. Sebagai tambahan, fentanil cenderung
menghasilkan blok segmental yang lebih terdefinisi dibandingkan morfin.
Dosis bolus inisial morfin berkisar pada 1 hingga 6 mg, diikuti infus 0.1 hingga 1.0 mg/jam.
Dosis bolus menghasilkan analgesia dalam 30 menit dan efeknya bertahan 6 sampai 24 jam.
Fentanil dalam bolus 25 hingga 100 mikrogram menghasilkan analgesia dalam 5 menit,
efeknya bertahan 1.5 hingga 3 jam. Jumlah infus fentanil 25 hingga 100 mikrogram/jam.
Pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih rendah untuk menghasilkan analgesia yang
efektif. Dosis total yang efektif dari morfin epidural yang dibutuhkan dalam 24 jam dapat
diprediksi dengan rumus :
Dosis morfin epidural 24 jam yang efektif (mg) = 18 - (umur x 0.15)
Opioid dapat diberikan sendiri atau dengan bupivakain 0.0625 - 0.125 %. Saat opioid
diberikan dengan rute epidural atau sub arachnoid, harus dihindari penggunaan penggunaan
opioid atau sedatif sistemik lainnya. Pasien harus dipantau untuk efek opioid sistemik seperti
penurunan rasio pernapasan atau sedasi yang berlebihan. Saat dikombinasikan dengan
anastesi lokal, harus juga dipantau hemodinamik dan blokade motorik.
DepoDur ialah formulasi analgesik baru dari morfin untuk manajemen nyeri postoperatif
yang ditujukan untuk pemberian epidural. Ia terdiri dari morfin yang terbungkus dalam
liposom untuk memberikan pelepasan tambahan dari obat. DepoDur diberikan sebagai injeksi
epidural tunggal sebelum operase telah menunjukkan depat menghasilkan penurunan nyeri
hingga 48 jam.
Analgesik nonopioid
Meskipun opioid dengan berbagai cara telah menjadi arus utama dalam teknik manajemen
nyeri, mereka tidak memberikan solusi lengkap di pasien yang mengalami nyeri postoperatif
yang berat. Penambahan analgesik nonsedasi, nonopioid pada suatu opioid sekarang
merupakan bentuk multimodal yang populer dari terapi yang memberikan analgesia yang
lebih ampuh dibandingkan obat itu sendiri. Saat analgesik nonopioid berfungsi sebagai
tambahan terapeutik terhadap opioid pada 24 hingga 48 jam pertama, mereka dapat
digunakan sebagai analgesik satu-satunya setelah 48 jam.
Obat anti inflamasi non-steroid (NSAID) seperti asetaminofen, ibuprofen, ketorolak,
diklofenak dan penghambat COX-2 adalah obat yang populer untuk tujuan ini. Obat-obat ini
diberikan melalui rute oral, rektal, atau intramuskular untuk menambah analgesia berbasis
opioid. Mereka sering diberikan bersamaan dengan premedikasi dalam teknik yang disebut
"analgesia awal". Saat NSAID tradisional seperti asetaminofen, ibuprofen, ketorolak, dan
diklofenak menghambat bentuk COX-1 dan COX-2 dari enzim siklo-oksigenase, NSAID
yang lebih baru menghambat bentuk yang dapat terinduksi dari enzim, enzim COX-2, yang
dilepaskan saat trauma bedah, sepsis, dan hipoksia.
Parasetamol (asetaminofen) digunakan dalam praktek klinik sebagai analgesik dan antipiretik
yang efektif, ia bekerja dengan menghambat siklo-oksigenase-2 (COX-2) pusat di sistem
saraf pusat. Ia juga menghambat pusat putatif 'COX-3, yang secara selektif rentan terhadap
parasetamol. Ia memodulasi penghambatan jalur serotonergik yang turun dan mencegah
produksi prostaglandin di tingkatan transkripsi seluler.
Asetaminofen yang diberikan sendiri efektif untuk nyeri yang ringan dan sedang. Ia
merupakan tambahan yang berguna untuk opioid dalam nyeri yang lebih parah. Ia digunakan
secara oral dalam dosis 10-15mg/kg setiap 4 hingga 6 jam dengan dosis maksimum tidak
melebihi 100 mg/kg/hari. Dosis oral asetaminofen pada dewasa ialah 650 hingga 975 mg
setiap 4 hingga 6 jam. Dosis oral tunggal yang melebihi 100 mg/kg dapat menyebabkan
kerusakan hati yang parah dan nekrosis tubular akut. Obat ini juga dapat diberikan secara
rektal dengan dosis inisial 35-40 mg/kg, diikuti 20 mg/kg setiap 6 jam. Preparat parasetamol
intravena sama efektif dengan ketorolak dan setara dengan morfin setelah operasi.
Ibuprofen oral dalam dosis 6-10 mg/kg tiap 6 jam dapat menghasilkan penurunan 30% di
keperluan opioid.
Ketorolak intramuskular (dosis 10 dan 30 mg) sama efektifnya dengan morfin IM (12 mg)
untuk mengurangi nyeri pada hari 1 dan 2 postoperatif setelah operasi mayor. Studi pada
pasien yang menjalani kolesistektomi menunjukkan bahwa morfin (10mg IM) memberikan
analgesia yang lebih superior saat dibandingkan dengan ketorolak (30 mg IM). Regimen
dosis biasa untuk ketorolak ialah 30 mg IM pada awalnya, diikuti dengan 10 hingga 30 mg
IM tiap 4 hingga 6 jam. Perawatan yang diberikan tidak melebihi dosis 120 mg/hari untuk
lebih dari 5 hari. Diklofenak dapat diberikan dengan rute rektal atau IM sebagai tambahan
terhadap medikasi opioid dalam manajemen nyeri postoperatif. Saat supposituria rektal
tersedia dalam sediaan 12.5, 25, 50 dan 100 mg, sediaan intramuskular tersedia dalam ampul
75 mg/3ml. Penghambat COX-2 seperti rofecoxib dan valdecoxib tersedia untuk pemberian
oral. Obat-obatan ini diberikan per oral sebagai analgesik awal bersamaan dengan
premedikasi. Parecoxib, suatu obat awal dari valdecoxib, adalah satu-satunya penghambat
COX-2 injeksi yang tersedia. Ia diberikan pada dosis 40 mg IV dua kali sehari, dosis pertama
langsung diberikan setelah operasi. Tabel 5 menunjukkan penghambat COX-2 yang tersedia
dan dosisnya.
Berdasarkan bukti yang ada, NSAID tidak cukup efektif sebagai agen tunggal untuk
memberikan penurunan nyeri setelah operasi mayor meskipun mereka efektif pada operasi
minor dan sedang. Saat dikombinasikan dengan opioid, mereka menurunkan kebutuhan
opioid dan juga memperkecil efek yang merugikan yang berkaitan dengan opioid. Mereka
sering meningkatkan waktu perdarahan dan dapat mengakibatkan peningkatan kehilangan
darah. Tapi tinjauan sistematik saat ini dari literatur menunjukkan bahwa bukti menunjukkan
kecenderungan perdarahan masih belum jelas. Penghambat COX-2 memiliki pengaruh
negatif pada pertumbuhan tulang. Oleh karena itu, penghambat COX-2 tidak digunakan lebih
dari 3 hingga 5 hari setelah operasi.
Tambahan analgesik
Antagonis NMDA : Ketamin, dekstrometorfan, magnesium dan adenosin telah dicoba
sebagai penambah analgesik untuk manajemen nyeri postoperatif. Hal ini tampaknya
menghambat arus reseptor gerbang kalsium yang memperkeras pelepasan neuronal. Ketamin
tampak sebagai tambahan yang berguna saat diberikan sebagai bolus IV, infus IV
berkesinambungan (0.5 mg/kg/jam hingga 20 mg/jam) atau infus epidural (0.25 mg/kg/jam)
tanpa peningkatan apapun dari efek SSP yang merugikan.
A2 agonis : klonidin dosis rendah terbukti menjadi analgesik tambahan yang berguna saat
diberikan secara neuroaksial (150 µg intratekal atau 2-3 µg/kg epidural), dan dalam
kombinasi dengan penghambat saraf perifer (0.5 µg/kg). Dosis yang lebih tinggi berkaitan
dengan efek yang merugikan seperi sedasi, bradikardi dan hipotensi dan harus dihindari.
Neostigmin : pemberian intratekal 25-100 µg neostigmin berhubungan dengan tingginya
insidens mual dan untah, bradikardi, hipotensi, berkeringat, agitasi dan distras. Dengan
demikian, ia tidak direkomendasikan untuk penggunaan intratekal. Neostigmin dilaporkan
sebagai tambahan analgesik untuk penggunaan intra-artikular dan epidural.
Nalokson, kortikosteroid dan gabapentin adalah obat-obatan lainnya yang masih dipelajari
untuk digunakan sebagai tambahan analgesik.
Teknik nonfarmakologis
Krioanalgesia
Pendinginan yang intensif dari nervus perifer pada suhu dibawah -5 hingga -20°C
menyebabkan disintegrasi akson dan menghancurkan selubung mielin tanpa mengganggu
perineurium dan epineurium. Hal ini menghasilkan gangguan konduksi saraf (dan
pengurangan nyeri) untuk beberapa minggu. Cryoprobe tipikal menggunakan sistem untuk
menghantarkan nitrous oksida terkompresi atau karbon dioksida melalui lubang kecil di
pinggirannya untuk menghasilkan pendinginan yang intensif. Krioanalgesia digunakan di
beberapa prosedug bedah tertentu. Ia dapat digunakan secara langsung untuk saraf interkostal
pada thorakotomi atau saraf ilioinguinal saat perbaikan hernia. Lesi juga dapat dibuat
perkutaneus melalui galian kecil.
Teknik elektroanalgesik
Hal ini mencakup stimulasi saraf elektrikal transkutaneus (TENS), TENS seperti akupunktur
(ALTENS), terapi neuromodulasi perkutaneus dan stimulasi elektrikal akupoin transkutaneus
(TAES). Teknik seperti itu mengurangi kebutuhan opioid postoperatif hingga 60%.
TENS adalah teknik sederhana, non invasif yang memberikan analgesia postoperatif.
Mekanisme bagaimana TENS mengurangi nyeri ialah melalui modulasi impuls nosiseptif di
sumsum tulang belakang sebagaimana diprediksi oleh teori pengandalian gerbang yang
dicetuskan oleh Melzack dan Wall. Segera setelah penutupan luka, elektroda adhesif yang
steril digunakan pada kulit di sisi manapun pada insisi. Luka dirawat dam elektroda
disambung ke stimulator, stimulator diatur untuk menghantarkan gelombang asimetris,
bifasik dengan kekuatan arus 12-20 mA, frekuensi stimulus 10-100Hz dan lebar denyut 60-
150 mikrodetik. Hal ini menuntun pada sensasi getar, geli, sejuk tapi tidak nyeri. Pengaturan
pada stimulator kemudian diatur untuk menghasilkan manfaat maksimum.
Teknik nonfarmakologi lainnya mencakup stimulasi laser, ultrasound, dan hipnoterapi. Studi
yang terkontrol baik diperlukan mendirikan manfaat dari teknik ini.