Anda di halaman 1dari 15

Negara, Pendidikan dan Pemiskinan

Problem kemiskinan masih menjadi misteri tak terpecahkan dalam ranah sosial
masyarakat Indonesia. Berbagai pendekatan untuk memecahkan misteri dibalik lingkaran
mata rantai kemiskinan seakan belum mampu menjawabnya secara utuh. Kemiskinan
masih menjadi problem yang mengakar dalam kehidupan manusia Indonesia sekaligus
mempengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya pendidikan.

Pendidikan dalam perspektif sosial dilihat sebagai instrumen yang cukup efektif
dalam memutus mata rantai kemiskinan struktural. Melalui pendidikan, dipercaya
manusia akan diberdayakan atau dimampukan untuk secara proaktif memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar manusiawinya. Begitulah setidaknya pandangan kaum sosial
konstruktivistik dalam memaknai peran korelatif pendidikan dalam pengentasan
kemiskinan.

Pemahaman diatas secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi


mainstream dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Realitas kemiskinan yang cenderung
semakin meningkat baik kuantitas maupun variannya dijawab dengan visi pendidikan
yang kontributif terhadap pasar. Pendidikan dipahami sebagai alat produksi manusia-
manusia handal dalam mempercepat pembangunan di Indonesia. Produk pendidikan
nantinya diharapkan mampu merubah wajah Indonesia setidaknya sepuluh tahun kedepan
dalam percaturan kompetisi ekonomi dunia. Pertanyaannya apakah benar bahwa dengan
pembangunan, problem kemiskinan di Indonesia akan terselesaikan?

Logika pemerintah dalam mengurangi tingginya angka pengangguran sebagai


faktor dominan dalam kemiskinan secara langsung atau tidak langsung juga
mempengaruhi pola regulasi pendidikan di Indonesia. Dalam kurikulum pendidikan
Indonesia tahun yang lalu, dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sampai KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dapat diindikasikan kentalnya pola-pola strategi
ekonomi pemerintah. Dalam upaya pengurangan angka pengangguran, pemerintah
menerapkan pola pengembangan skills bagi peserta didik. Melalui penerapan standard
baku lulusan, pemerintah menjadi semacam quality controller yang menentukan produk-
produk yang bisa dijual dan yang tidak. Bagi yang tidak memiliki nilai jual, layaknya di
pabrik, pemerintah akan mendaurulangnya atau bila tidak barang-barang tersebut tetap
dijual tetapi dengan standard uji kelas dua (baca: ujian persamaan) alias yang harganya
lebih murah. Tidak peduli dengan proses produksi yang terjadi dalam pabrik, yang
penting hasil produksi harus berkualitas dan siap dijual. Permasalahannya apakah produk
layak dijual versi pemerintah memang benar-benar layak dijual?

Pada penghunjung 2008, pemerintah mulai menyadari logika lain dalam


mengelola gerak roda pendidikan Indonesia. Walau begitu logika yang dipakai tetaplah
logika yang dipengaruhi oleh realitas kemiskinan. Pemerintah dalam hal ini menetapkan
peningkatan anggaran operasional bagi pendidikan dalam rangka pengurangan jumlah
siswa putus sekolah akibat ketiadaan biaya. Pemerintah benar-benar berambisi untuk
mengejar target 9 tahun wajib belajar bagi seluruh rakyat. Logikanya, dengan rakyat yang
melek pendidikan, angka kemiskinan akibat pengangguran akan secara radikal menurun
mengingat rakyat akan memiliki nilai jual dalam dunia perdagangan global.

Kemiskinan, Perdagangan global dan Sekolah

Pola hegemoni kapitalisme ekonomi global ternyata nampak jelas dalam dinamika
pendidikan Indonesia. Dalam arus ekonomi global, jumlah produksi harus terdistribusi
secepat mungkin menembus batas ruang dan seluas mungkin menembus batas waktu
demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya yang akhirnya akan menggerakan roda
kehidupan manusia. Manusia dalam hal ini ditempatkan sebagai instrumen utama dalam
produksi dan distribusi komoditas. Semakin berkualitasnya manusia, keuntungan yang
diperoleh akan semakin besar. Itulah mengapa manusia kemudian ikut pula menjadi
barang komoditas yang digunakan sebagai mesin uang para pemilik modal. Manusia yang
tidak layak digunakan sebagai mesin uang tentunya tidak perlu dibeli dan digunakan.
Inilah akar dari pengangguran.

Gramscie 1971, seorang filsuf ekonomi, memandang peran pemerintah dalam


Negara dunia ketiga sebagai partner bisnis yang menguntungkan bagi korporasi ekonomi
internasional. Peran pemerintah menjadi semacam penyedia lahan dan pekerja bagi para
pemilik modal. Segala lini kebijakan pemerintah secara bergulir tetapi nyata mendesain
kondisi yang menguntungkan bagi para pemilik modal untuk menanamkan investasinya.
Tanpa mereka, para investor, Negara akan terlihat kacau, begitulah keyakinan para neo-
liberalis.

Nilai humanisme dan nasionalisme akan hancur ditelan mentah-mentah oleh


ideology neo-liberalisme yang diusung para kaum kapitalis, begitulah ramalan Gramscie
pada tahun 1971 tentang kondisi Negara dunia ketiga pada era globalisasi. Pemerintah
pun menjadi semacam perusahaan outsourcing yang menyediakan para pekerja handal
yang siap digunakan. Disinilah letak sekolah kita, menjadi semacam pabrik sumber daya
manusia bagi para pemilik modal. Tiada lagi nilai-nilai humanisme dan nasionalisme
yang tampak nyata dalam dunia pendidikan kita. Akhirnya seluruh rakyat Indonesia akan
menjadi robot yang patuh dan tidak inovatif karena memang itulah yang diusahakan
dibentuk agar tetap laku di pasaran dunia kerja.

Akar kemiskinan tidak lagi dilihat sebagai akibat dari ekonomi global sebaliknya
digunakan sebagai alasan utama untuk solider terhadap ideologi sesat itu. Seakan para
investor adalah dewa yang secara karitatif akan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan
akibat kemiskinan. Yang lebih menyedihkan lagi, bangsa kita seakan tidak berdaya
menentang arus ini.

Harapan Baru Pendidikan Indonesia

Melihat pola pengaruh ekonomi global dalam dunia pendidikan kita, tidaklah
mencengangkan ternyata makna pendidikan kita sebagai alat pencerdasan bangsa seperti
yang tertuang dalam UUD 1945 semakin tereduksi. Sekolah sebagai agen pendidikan
yang membentuk manusia Indonesia seutuhnya seperti yang dikatakan Driyarkara dalam
buku kumpulan tulisan dan pemikirannya (2006) hanya menjadi isapan jempol belaka.
Pembentukan manusia Indonesia, melalui rancangan kurikulum nasional, hanya
diarahkan pada pengembangan faktor kompetensi atau keunggulan skills. Keyakinan
bapak pendiri bangsa kita, Soekarno, tentang fungsi pendidikan sebagai nation character
builder seakan terlupakan atau bahkan dilupakan oleh para regulator pendidikan kita.

Makna dan konsep pendidikan yang sebenarnya hanya akan menghalangi proses
percepatan produksi manusia siap kerja. Bila produksi manusia melambat maka jumlah
keuntungan yang bisa didapatkan dalam trading process juga akan hilang meluap.
Artinya ada indikasi bahwa pendidikan kita saat ini memang secara sengaja mereduksi
arti pendidikan yang sebenarnya, yaitu membentuk manusia yang seutuhnya. Selama
itulah bangsa kita tidak akan pernah tampil sebagai pemain dalam percaturan global
karena bangsa kita tetap akan menjadi bangsa pekerja yang miskin.

Pendidikan yang membentuk manusia yang menegara dan Negara yang


memanusia akan bisa tercapai bila terlebih dahulu ada divorcing process atau pemutusan
mata rantai pengaruh Negara dalam pendidikan. Pendidikan seharusnya mempengaruhi
Negara dan bukan sebaliknya. Hegemoni pemerintah dalam pendidikan hanya akan
semakin mereduksi arti pendidikan seutuhnya mengingat pemerintah adalah organ
impermanent yang setiap waktu bisa berubah sesuai dengan ideology politis yang sedang
berkembang. Perlu disadari bahwa pendidikan memiliki nilai tersendiri yang terpisah
secara ideologis dengan seluruh aliran politik di dunia tetapi terkait secara konstruktif
terhadap ideologi yang ada di dunia. Melalui pendidikan manusia mampu mengevaluasi
ideology yang ada dan memodifikasi atau bahkan merubahnya demi menjaga
keharmonisan hidup manusia dan alam.

Melalui strategi regulasi pendidikan, sudah saatnya ada garis batas tegas
mengenai wilayah peran pemerintah dalam pendidikan. Pemerintah hanya memiliki hak
dalam pengurusan hal-hal yang sifatnya operasional. Secara konseptual, pemerintah
hanya berhak untuk memberikan alternative dan secara berkala memberi kesempatan
sekolah dan segala komponen masyarakat terkait untuk mendesain konsepnya sendiri
tentu dengan batas-batas edukatif. Standarisasi semacam Ujian Akhir Nasional dalam hal
ini hanya akan bersifat kontra produktif bagi pembentukan manusia seutuhnya.
Standarisasi macam apapun hanya akan semakin menurunkan martabat manusia yang
unik dan equal.

Dari semuanya yang paling penting untuk disadari adalah mengenai


pengembalian peran filsafat pendidikan dalam proses pembentukan konsep pendidikan
Indonesia. Keseimbangan antara faktor operasional dan konseptual pendidikan Indonesia
akan tercapai bila focus pendidikan Indonesia tidak melulu berkutat dalam masalah
operasional semacam pendanaan atau anggaran belanja saja. Mengerikan bila tahun ini
kita masih melulu meributkan masalah BOS (Biaya Operasional Sekolah) ketimbang
sejatinya arah pendidikan kita.

http://purbainstitute.wordpress.com/pemikiran-pendidikan/negara-pendidikan-dan-
pemiskinan/
PENDIDIK DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Senin, 08 September 2008 - by : admin
Oleh : H. Agus Marsidi

Abstrak, Seorang pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan,
perlu mengetahui filsafat pendidikan, Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam
hubungannya dengan tujuan hidup. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan
pedoman kepada para pendidik (pendidik). Hal tersebut akan mewarnai sikap
perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Peranan filsafat
pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu: metafisika, epistemology dan
aksiologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik adalah seperangkat
keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku pendidik, yaitu:
Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar, pengetahuan, dan
apa yang perlu diketahui.

Kata Kunci: Filsafat pendidikan, perilaku pendidik dan keyakinan.

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971).


Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah
yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman
maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains
pendidikan. Seorang pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana
pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang pendidik perlu memahami dan
tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa
berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat
yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam
hubungannya dengan tujuan hidup. Pendidik sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya
dan pendidik sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat
pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (pendidik). Hal
tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar
(PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari
perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-
masalah pendidikan.
Permasalahan: Bagaimana peranan filsafat pendidikan bagi pendidik? Apa yang
menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik?
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:

1. Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat
dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara
praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul
dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami
tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit
untuk mengetahui tujuan pendidikan.
Seorang pendidik seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia
tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak.
Hakekat manusia:
Manusia adalah makhluk jasmani rohani
Manusia adalah makhluk individual sosial
Manusia adalah makhluk yang bebas
Manusia adalah makhluk menyejarah
2. Epistemologi
Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para pendidik adalah
epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu
berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana
kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah
kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu ke situasi
lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki
implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama
pendidik harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan,
kemudian pendidik harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa
muatan ini bagi warga belajar. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya
ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat/kepentingan masing-masing
pendidik, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu Tuhan, empirisme, nalar,
dan intuisi.
Pendidik tidak hanya mengetahui bagaimana warga belajar memperoleh
pengetahuan, melainkan juga bagaimana warga belajar mengikuti pembelajaran.
Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan
dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada
anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga
bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah,
erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan
atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan.
Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai
merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab pendidik adalah: Nilai-nilai
apa yang dikenalkan pendidik kepada warga belajar untuk diadopsi? Nilai-nilai
apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-
nilai apa yang benar-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik?
Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa pendidik memiliki suatu minat
tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh warga belajar melainkan
juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan.
Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia
tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang pendidik mengenai
pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan
profesional pendidik. Setiap pendidik baik mengetahui atau tidak memiliki suatu
filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia
belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal
dalam kehidupan yang baik.
Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua
aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis,
para pendidik dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.

Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku pendidik dengan keyakinannya:

1. Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran


Komponen penting filsafat pendidikan seorang pendidik adalah bagaimana
memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok
pendidik? Sebagian pendidik memandang pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas
kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni, pertemuan yang spontan,
tidak berulang dan kreatif antara pendidik dan warga belajar. Yang lainnya lagi
memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran,
sebagian pendidik menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi warga
belajar, yang lainnya menekankan perilaku warga belajar.
2. Keyakinan mengenai warga belajar
Akan berpengaruh besar pada bagaimana pendidik mengajar? Seperti apa warga
belajar yang pendidik yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik
pendidik. Pandangan negatif terhadap warga belajar menampilkan hubungan
pendidik-warga belajar pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak
didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan. Pendidik yang memiliki pemikiran
filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan
untuk belajar dan tumbuh.
3. Keyakinan mengenai pengetahuan
Berkaitan dengan bagaimana pendidik melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat
pendidikan, pendidik akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh,
tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
4. Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui
Pendidik menginginkan para warga belajarnya belajar sebagai hasil dari usaha
mereka, sekalipun masing-masing pendidik berbeda dalam meyakini apa yang
harus diajarkan.

Kesimpulan
Peran filsafat pendidikan bagi pendidik, dengan filsafat metafisika pendidik mengetahui
hakekat manusia, khususnya warga belajar sehingga tahu bagaimana cara
memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat
epistemologi pendidik mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar,
bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan
pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi pendidik memahami yang harus
diperoleh warga belajar tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan
karena pengetahuan tersebut. Hal yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik
adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku
pendidik, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar,
pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.

DAFTAR PUSTAKA
Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. John Willey
Sons Inc, New York.
Sadulloh, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. CV Alfabeta, Bandung.
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu, Balai
Pustaka, Jakarta.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, PT Bayu Indra Grafika,
Yogyakarta.

http://elearn.bpplsp-reg5.go.id/cetak.php?id=22
ORIENTASI PENDIDIKAN MEMASUKI ABAD KE 21

Bangun Sitohang

Manusia berkembang sesuai dengan zaman yang dilaluinya, setiap zaman pasti
memiliki sejarah tersendiri dan unik menurut waktunya. Demikian halnya manusia hidup
adalah tergantung pada alam dan lingkungan yang ada disekitarnya. Artinya semakin baik
lingkungan yang ditatanya, maka akan semakin mendukung tatanan kehidupannya dan
sebaliknya jika manusia tidak tau mensyukuri nikmat Tuhan yang telah diterimanya,
maka manusia akan digilas oleh zamannya.

Beragam pemikiran tentang pendidikan dan semuanya dapat dilihat dari orientasi
yang menjadi perhatian pendidikan itu sendiri, baik dari aspek ekonomis maupun budaya.
Untuk maksud tersebut, saya mencoba mengurai orientasi pendidikan dari beberapa
pemikiran yang diungkap dari beberapa literature dan bahasannya juga diintegrasikan
dengan kondisi social kemasyarakatan dalam bidang pendidikan secara normatif.

1. Orientasi Pendidikan menurut “Keys To 21st Century”

Dalam pandangan Anthony Giddens bahwa masyarakat modern adalah produk


dari tiga perkembangan yang berbeda satu sama lain yaitu; negara bangsa, kapitalisme,
dan industrialisme. Persoalan negara bangsa dianggap sebagai fenomena historis dan
selanjutnya oleh Kenichi Ohmae digambarkan bahwa negara bangsa akan tetap ada atau
pecah dalam menghadapi dunia global, setidaknya cenderung dipengaruhi oleh adanya
pengaruh 4 (empat) “I“ yang masuk melintasi batas negara, yang dalam pergaulan
internasional semakin tidak terelakkan lagi. Adapun keempat unsur “I” yang selalu
membayangi negara bangsa di abad 21 cenderung pada kisaran masalah: investasi-
Industri-informasi-individu sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
- Investasi yang masuk ke dalam suatu negara pada abad global sekarang tidak lagi
dibatasi oleh letak geografis, di negara manapun setiap orang bisa menanamkan
investasinya terlebih lagi didukung oleh kemampuan visi bisnis masing-masing.
Seperti Freeport di Indonesia adalah investasi AS, perkembangan investasi yang
ditanamkan di Provinsi Papua sudah pasti memiliki dampak positip dan negative,
positip dapat memberikan kontribusi ekonomis bagi pembangunan masyarakat
khususnya di lingkungan lokasi investasi, sedangkan negatifnya, membuat
lingkungan hutan Papua di sekitar lokasi akan berubah secara ekologis karena
terjadinya perubahan peruntukan lahan, artinya hutan habis dibabat untuk menjadi
daerah penambangan. Sedangkan secara budaya, cepat atau lambat akan memberikan
pengarus sosial kultural, karena masuknya para tenaga kerja dengan tingkat
kebutuhan hidup yang mempengaruhi intensitas komunitas masyarakat di sekitar
lokasi investasi. Secara kasat mata kita melihat, adanya proses pembudayaan nilai-
nilai barat pada masyarakat dan bahkan yang sangat kental adalah budaya politik
barat yang terbawa-bawa ke dalam masyarakat, sehingga seolah-olah masyarakat
sekitar lokasi masih hidup terbelakang dan kondisi ini kemudian menjadi isu social
bagi investor untuk menjadi bahan tawar menawar dengan pemerintah pusat untuk
dijadikan isu pembangunan. Namun selanjutnya yang cenderung terjadi adalah
terjadinya propaganda social ekonomi, sehingga menimbulkan kecemburuan social
antar masyarakat local dan pendatang. Inilah bibit-bibit pememberontakan social
masyarakat yang daerahnya mendapatkan investasi asing.
- Industri sangat berkait dengan banyak perusahaan, di abad 21 penyebaran Industri dan
produknya di suatu negara bukan lagi kolaborasi hanya dengan pemerintahan seperti
pada masa lampau, tetapi pengelolaan industri telah berkolaborasi dengan negara lain
di luar negara Industri tersebut, sehingga tidak heran bahwa norma-norma
kebangsaan suatu negara nantinya akan terlindas oleh roda industri, dimana implikasi
industri tersebut cenderung menjadikan manusia sebagai robot dalam kehidupan
ekonomi global.
- Informasi dengan kehandalan teknologi informasi yang berkembang pesat telah
menempatkan suatu investasi dan industri antar negara hanya melalui sistem jaringan
kerjasama (networking) ke seluruh negara, akibatnya secara gradualistik berdampak
pada terpolanya informasi propaganda; politik ekonomi, dan dalam masyarakat
tradisional seperti Indonesia terjadi apa yang kita kenal dengan distorsi informasi,
karena secara umum bahwa informasi yang go global adalah menggunakan bahasa
Inggris sebagai pengantarnya, karena kita tidak siap dengan bahasa Inggris, maka
cenderung terjadi distorsi informasi dan selalu menjadi komoditas politik dalam
pergaulan internasional.
- Individu pada saat ini cenderung berorientasi global dan sangat berpengaruh terhadap
Investasi, industri dan penggunaan teknologi informasi, sehingga apapun keinginan
mereka dengan tehnologi informasi yang berkembang pesat, individu telah mampu
membuat pasar global, salah satu contoh konkret adalah sosok individu Soros yang
memiliki pengaruh dalam transaksi dollars dunia, karena dia memiliki akses yang
besar untuk pasar uang dunia. Dapat kita bayangkan, apa jadinya ekonomi dunia, jika
banyak individu tidak peduli dengan peradaban manusia dan hanya mementingkan
usahanya. Beruntung kita masih memiliki sosok Bill Gates yang secara individu telah
membangun peradaban computer dunia dengan mikrosoftnya, meskipun pada
pertengahan tahun 2008 dia mengundurkan diri dari dunia microsofnya dan saat ini
merubah haluan menjadi pekerja social sebagai Dermawan dengan sebuah yayasan
social yang langsung dipimpinnya.

Keempat “I“ dengan sendirinya telah membentuk pasar mereka sendiri –


sementara negara bangsa tidak lagi harus memainkan peran sebagai pembuat pasar
(market making role), sehingga 4 “I” tersebut dalam jangka panjang dapat juga
membentuk Negara Kawasan, indikator ini dianggap membuat hancurnya negara bangsa,
serta membawa pengaruh pada nilai budaya tertentu, sehingga prediksi Samuel
Huntington bahwa suatu saat negara bangsa hancur bukan karena idiologi dan politik
melainkan disebabkan aspek kebudayaan. Beberapa contoh negara kawasan : Wales ;
San Diego/Tijuana ; Hongkong/Cina Selatan ; Silicon Valley/Bay Area di California.
Tokyo dengan wilayah Osaka dan Kansai serta Segitiga Emas Singapura, Johor (negara
bagian selatan Malasya) dan di Indonesia, meskipun bukan negara federasi tetapi ada
wilayah yang dapat dikelompokkan seperti negara kawasan yaitu Kepulauan Riau
termasuk Batam sebagai zona bebas pajak yang besar (dekat dengan akses ekonomi
global ).

2. Pendidikan Jawaban Tantangan abad 21

Masalah yang lahir dari agregat keempat aspek global; investasi, industri,
informasi dan individu tersebut pada masa mendatang tergantung bagaimana kita
mengelola manusia masa kini seperti diutarakan Durkheim. Dengan SDM yang baik
setidaknya peradaban masa depan memiliki watak yang tidak egois dan mampu menjaga
keseimbangan ekosistem alam, manusia dan lingkungan, serta kerjasama antar manusia
yang harmonis dalam persaingan global. Itulah sebabnya dalam dialog abad 21
tercetuslah pandangan dan kepedulian para pemikir pendidikan dunia dalam organisasi
PBB (UNESCO) dengan menetapkan 4 (empat) kontrak : 1) kontrak bumi, untuk
menjaga keeimbangan alam dan ekosistemnya, 2) Kontrak budaya yang berkait dengan
peradaban manusia seperti bahasa, kesusastraan dan pendidikan masyarakatnya, 3)
Kontrak sosial yang berisikan masalah HAM, demokrasi, persamaan gender terutama
kaum ibu sehingga terjamin masa depan anak-anak sebagai generasi muda penerus
kehidupan negara bangsa; 4) serta kontak etika dalam setiap item transaksi antar negara.
Keempat konsep tersebut oleh Roberto Carnio memerlukan adanya lifelong education for
all and curriculum for 21st century, yang didasarkan pada empat pilar pendidikan yang
digariskan oleh UNESCO dalam konsep : learning to be (agar manusia tanpa melihat
asal-usulnya mampu dan mau belajar dari setiap peristiwa kehidupan sebagai dinamika
kehidupan social kemasyarakatan dan berusaha mandiri sebagai manusia yang utuh
secara rohaniah dan jasmaniah). learning to know ( manusia harus mampu melihat situasi
dan kondisi dan mampu memahami makna kehidupan melalui pengenalan atas kondisi
alam dan sekitarnya), learning to do (jika manusia sudah mampu mandiri dalam
mengatasi setiap berbagai masalah serta mengetahui apa yang patut dan layak
dikerjakannya atas sebuah kondisi yang dihadapinya, maka selanjutnya manusia harus
berusaha berbuat sesuai kapasitasnya), learning to live together (kemampuan dan
perbuatan akan berarti jika dapat dirasakan semua orang, sehingga apa yang kita miliki,
ketahui dan pelajari bukan untuk kita saja tetapi selayaknya berguna bagi manusia
lainnya).

3. Dampak Negatif Ekonomi Global

Para pemimpin dunia menyadari bahwa terjadinya globalisasi di segala bidang


bukanlah harus dihindari namun harus dikelola untuk membangun kesejahteraan manusia
dengan memperhatikan norma-norma kehidupan manusia yang sesuai dengan alam dan
lingkungan hidup. Mengapa hal ini menjadi kekawatiran masyarakat dunia, karena di
beberapa belahan dunia ini telah terjadi penindasan antar manusia untuk mempertahankan
sektor ekonomi di wilayah masing-masing dan cenderung terjadi kekerasan antara
manusia sehingga memperlakukan manusia sebagai budak semata yang berujung pada
perlakuan kekerasan (anarkisme). Pada aspek lingkungan adalah terjadinya penebangan
hutan yang tidak seimbang di negara-negara berkembang khususnya di Asia dalam
rangka membuka lahan industri baru yang berdampak negatif terjadinya longsor, banjir
bandang dan pembukaan lahan industri dengan membakar hutan, sehingga mengekspor
kabut asap yang melintas antar negara seperti dari Indonesia ke Malaysia dan Singapura,
termasuk juga panas global akibat tembusnya ozon di atmosfir, dan yang sangat fatal
adalah hampir punahnya hewan penghuni hutan sehingga rusaknya tatanan ekosistem dan
lingkungan alam sekitar.

Semua dampak negatif tersebut karena adanya keserakahan manusia dalam


pemanfaatan bumi untuk pembangunan ekonomi. Lemahnya kontrol tersebut karena
egosentrisme yang sangat dominan dalam setiap tindakan manusia, sehingga terjadi
peperangan antara negara bangsa, kesenjangan perkembangan manusia di belahan dunia
ini ; ada negara miskin dengan penduduk yang kurang gizi, sebaliknya ada negara kaya
dan maju yang terkadang menganggap rendah negara-negara miskin dengan dalih isu
demokratisasi, pelanggaran HAM, isu lingkungan, dsb sehingga dengan dalih tersebut
negara-negara terbelakang cenderung lambat berkembang dan maju. Kondisi sosial ini
tidak perlu terjadi bila saja setiap manusia mau mengenal apa tujuan hidupnya, di sinilah
perlu adanya filsafat pendidikan sebagai cara pandang kehidupan, bukankah pendidikan
adalah proses kehidupan (Tilaar). Dalam kacamata Bronowski bahwa manusia pada
dasarnya memiliki tingkatan yang lebih dari malaikat, di samping berwujud secara pisik
bahwa manusia juga diberi kuasa oleh Tuhan pikiran/jiwa dengan roh kehidupan
sehingga bisa mengelola kehidupan secara pisik, sedangkan malaikat tidak berwujud.
Dengan kemampuan psikis dan pisik tersebut, maka manusia dituntut juga untuk menjaga
keseimbangan hidupnya dalam mengelola peraban manusia di dunia ini. Disinilah perlu
ada keharusan terhadap aspek pendidikan masa kini yang mampu mempersiapkan
(transisi) kehidupan masa depan dengan tetap memperhatikan tatanan sosial yang ada
sesuai peradaban manusia (Durkheim).

4. Learning : “The Reasure With In” mengenai pendidikan abad 21

Terkadang kelangsungan hidup manusia sebagai kelompok masyarakat terancam


oleh berbagai masalah yang tidak bisa diduga datangnya, untuk itu diperlukan suatu
kemampuan untuk bisa membaca tanda-tanda zaman serta menentukan mana masalah
yang tidak bisa dihindari dan mana masalah yang menjadi tantangan masa depan. Tetapi
dari setiap masalah yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengeliminer melalui
pendekatan pendidikan. Jika kita tidak berusaha memecahkannya, itu berarti bencana
bagi kita dan anak didik pada masa mendatang, sumber masalah tersebut dapat
diakibatkan oleh beberapa hal seperti : - Revolusi industri : yang merembet pada
masalah pelanggaran hak sipil, penggunaan alat elektronik yang tidak terkontrol dan
masalah obat-obat terlarang yang meracuni generasi muda - Populasi penduduk : akibat
kelahiran yang tidak seimbang, aborsi, pemukiman kumuh, lahan, dan masalah pasokan
makanan dan air minum yang terbatas - Dampak kemajuan Iptek: polusi udara,
pencemaran air, limbah, frekuensi radio yang tak terbendung, masalah megapolis,
kebisingan pesawat supersonik, lalu lintas dan masalah “siapa saya” dan masalah lain
secara keseluruhan, Masalah Internasional ; bom, terorisme, perang, utang luar negeri,
kerjasama wilayah pertahanan, dsb. semuanya terkonsentrasi dalam kerjasama antar
bangsa.

Guru dan sekolah


Tumpukan masalah di atas adalah penyakit mental yang hanya bisa diperbaiki dengan
proses pendidikan. Untuk itu dibutuhkan peranan guru yang profesional dan berdedikasi
serta didukung sekolah atau lembaga pendidikan yang baik, meskipun ada anggapan
sekolah kurang berpengaruh dalam pembangunan pendidikan dunia global di abad 21.
Pendidikan akan berhasil disusun, jika menyentuh karakteristik terpenting dari
inteligensia dan persepsi emosi, kelihatannya susah tetapi itulah yang benar. Karena
reformasi pendidikan hanya bisa dinilai bila pikiran disusun secara sederhana sehingga
bisa masuk ke dalam pendidikan umum atau dalam masyarakat. Oleh karenanya
pendidikan tidak dijadikan sebagai utopia atau idaman yang hanya memandang masa
depan, untuk mengatasi ketegangan, merancang dan membangun masa depan saja, tetapi
pendidikan haruslah sebagai proses kehidupan untuk belajar sepanjang hayat, sehingga
kita mampu merumuskan strategi-strategi pembaharuan (reformasi) melalui pergaulan
internasional yang dimulai dari bagian terkecil komunitas masyarakat global khususnya
di daerah pedesaan.

Perlunya paguyupan local ke suatu masyarakat dunia adalah akibat populasi dan revolusi
industri sebagai akibat kemajuan iptek yang sangat cepat sehingga planet bumi semakin
penuh sesak, disinilah perlu penciptaan komunikasi universal dengan pemahaman belajar
hidup bersama (living together), artinya apapun yang terjadi dalam masyarakat di belahan
dunia ini perlu ada kohesi social ke partisipasi demokratis. Jika masyarakat dunia sudah
sampai pada kematangan pendidikan, maka segala bentuk penindasan dan pengucilan
antar bangsa dalam peradaban masa depan dapat dieleminir. Seperti dikatakan Robert A
Dahl dalam “On Democracy” bahwa demokrasi mengayomi perbedaan-perbedaan
pendapat pada tempat dan ruang yang berbeda; seperti halnya dalam dunia pendidikan
yang mampu merealisasikan ide-ide filsafat untuk pembinaan manusia untuk mampu
melahirkan ilmu pendidikan, sebab setiap orang punya filsafat (buah pikir) berbeda dan
ini harus diakomodasi dengan memberi kebebasan mengemukakan pendapat. Adanya
demokrasi dalam pendidikan, dapat memberikan partisipasi masyarakat.

Ekonomi dan pendidikan

Faktor ekonomi adalah respect atas kebutuhan lahiriah manusia. Pendidikan


ekonomi negara agraris dan industrri cenderung bersifat mandiri sedangkan negara
industri cenderung melahirkan respek yang bervariasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi
atau kesejahteraan masyarakat akan berpengaruh simultan dengan perkembangan
kemajuan pendidikannya sehingga terbentuklah struktur kelas sosioekonomi, ada yang
makmur, ada kelas menengah dan miskin. Demokrasi akan menghapus perbedaan kelas
dan dominasi kelompok sehingga pendidikan menjadi milik bersama dan untuk
kesejahteraan bersama. Inilah perlu disadari oleh pemerhati pendidikan. Dalam
persepektif aliran interpretatif bahwa yang dicetuskan Bernstein bahwa fungsi
pendidikan adalah mengajarkan berbagai peran dalam masyarakat melalui program-
program dan menghilangkan berbagai bias budaya dan kelas-kelas sosial yang
membedakan kelompok elit dan kelompok yang miskin.

Pertumbuhan ekonomi hendaknya diarahkan pada pembangunan manusia,


sehingga dapat mengatasi ketidakadilan di bidang ekonomi dan ketidakmerataan
pembangunan ekonomi dunia, dan diperoleh kemajuan yang berarti dalam pembangunan
manusia khususnya dalam aspek pendidikan manusia. Sehingga dengan empat buah pilar
pendidikan (learning to be, learning to do, learning to know dan learning to live
together), generasi muda masa depan akan dapat mengetahui, berbuat dari keterampilan
kepada kompetensi, selanjutnya belajar untuk mampu hidup bersama dengan orang di
luar dirinya, dengan demikian akan tercipta manusia yang seutuhnya atau menjadi orang,
kalau di Indonesia disebut manusia seutuhnya adalah manusia yang memiliki jatidiri
Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 45, jika menyimpang dari jatidirinya maka
Indonesia masa depan akan diambang kehancuran. Bukankah filsafat pendidikan
kebangsaan adalah tergambar dari tujuan negara bangsa didirikan? jawabannya adalah
pada kurikulum pendidikan yang ada dalam proses pembelajaran sebagai bagian dari
proses pendidikan nasional secara berkelanjutan. Untuk itu prinsip pendidikan adalah
belajar sepanjang hayat dan aplikasinya kita harus mampu menumbuhkan sinergi di
masyarakat. Kondisi tersebut hanya terwujud jika demokratisasi kehidupan berjalan
harmonis sejalan dengan kemajuan pendidikan masyarakat yang lebih baik.

5. Orientasi Pendidikan menurut Robert T.Kiyosaki (Rich Dad, Poor Dad)

Pertanyaan dasar mengapa kita disebut manusia adalah karena kita diberi Tuhan
roh kehidupan dengan berwujud sehingga kita memiliki jiwa yang didasari atas
keyakinan dari dalam diri kita (relijius) untuk bisa berbuat lebih dibanding manusia
lainnya. Keyakinan tersebut kemudian tumbuh dan berkembang menuju masa depan yang
lebih baik. Hanya dengan pendidikan kemudian kita bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Adanya peniliaian baik dan buruk menciptakan apa yang kita
kenal dengan sebuah perbedaan. Oleh karenanya manusia yang berfilsafat adalah
manusia yang bercita-cita untuk mencari kemajuan dan menjawab semua tantangan
kebutuhan lahiriah manusia.

Pendidikan sebagai sebuah proses kehidupan dapat merubah peradaban manusia


yang kemudian melahirkan ide-ide brilian sesuai gegenstand manusianya. Dua tokoh
yang digambarkan oleh Robert Kiyosaki tentang buah pikir yang dihasilkan Ayah Miskin
dan Ayah Kaya terhadap seorang anak adalah konstelasi pendidikan masa depan, yang
semuanya akan tergantung pada kemajaun individu, artinya jika individu mau hidup lebih
kaya, maka harus ada sebuah filsafat hidup atau cita-cita sejak usia dini.

Konsep Kiyosaki cenderung mengartikan pendidikan sebagai masalah tehnis,


yang seolah-olah bisa ditentukan hanya dengan memperhatikan kemauan saja dan tidak
perlu mengandalkan pertolongan orang lain (Karl Marx) yang mengajarkan tentang
perjuangan kelas. Aliran pendidikan seperti ini hanya akan menjadikan manusia robot
yang kurang memperhatikan nila-nilai kependidikan sebagai modal dasar pengembangan
moral. Misalkan saja, kalau seorang manusia memandang manusia lain hanya dalam
aspek profit oriented, maka akan terjadi perbudakan si kaya terhadap si miskin. Di
samping itu pola pembelajaran yang ditawarkan juga lebih bersifat kapitalis. Anak didik
diajarkan untuk terus menerus menghasilkan uang. Dikawatirkan apa jadinya seorang
anak kalau berteman hanya didasarkan imbal jasa dalam setiap transaksi social yang
dilakukan dalam komunitasnya, apakah mungkin ada kepedulian dalam tipe manusia
yang kapitalis tersebut. Prinsip dasar yang kita harus pegang bahwa tidak semua harta
yang kita miliki dapat memberikan kepastian atas kemajuan ilmu yang kita miliki
melainkan diperlukan sebuah keyakinan untuk bisa meraih sebuah masa depan dengan
mengedepankan budipekerti sehingga kita mampu menempatkan diri dalam pergaulan
dengan manusia lainnnya.

Kiyosaki dalam cerita dua ayah yang miskin dan kaya memberikan suatu
gambaran bahwa buah pikir manusia tidak berarti kalau tidak menghasilkan uang secara
pisik. Artinya seseorang bersekolah sampai tingkat doctor sekalipun belum tentu dapat
hidup kaya, hal ini lumrah saja tergantung kaya apa yang dimaksud. Kalau kaya ilmu
sudah tentu ayah miskin adalah lebih unggul daripada ayah kaya, tetapi persoalannya
apakah ilmu yang dimiki dapat bermanfaat untuk masyarakat luas dan apakah si kaya
karena menghasilkan uang dengan mudah dapat langsung pintar? semua ini tergantung
setiap manusia menyikapinya, sebab seperti dikatakan Tilaar bahwa pendidikan adalah
proses kehidupan, sehingga semua masalah kehidupan adalah tantangan pendidikan baik
secara formal di sekolah maupun non formal di masyarakat.

Pendidikan juga mengajarkan kita untuk bisa hidup bersama dengan manusia
lainnnya, kalau dikaitkan dengan ayah kaya tersebut, adakah rasa kebersamaan dalam
dirinya? Karena dia menganggap hidup dapat dilakukan dengan reformasi diri secara
biologis. Kalaupun Bill Gates menjadi kaya raya bukan karena pendidikan formal yang
dimilikinya, namun setidaknya adalah kemampuan manajerial yang telah tertalenta dalam
dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Justru itulah apa yang kita kenal dengan
kreatifitas dalam diri manusia. Persepsi pendidikan yang dibawa Kiyosaki sangat sulit
diterima masyarakat yang relijiusnya kental dengan pemahaman sectarian. Atau bisa jadi
apa yang dilakuakn ayah kaya tersebut dapat merusak psikis anak sejak usia dini karena
diracuni oleh filsafat yang beraliran materialisme. Di mana segala sesuatu dikur dari nilai
tukar yang dimiliki anak manusia.

Prinsip hidup bahwa orang kaya tidak bekerja untuk uang adalah gambaran
kemampuan manajerial seseorang, dan kemudian dikembangkan lagi dengan konsep
pembelajaran perlunya kita menabung untuk keperluan masa depan adalah aspek dasar
filsafat pendidikan. Kita ketahui bahwa produk pendidikan akan terlihat pada usia 16
sampai 30 tahun pada saat anak didik mengalami masa romansanya. Sehingga diperlukan
pendidikan anak sejak usia dini. Asumsinya bahwa pendidikan yang kita lakukan pada
kini adalah gambaran pendidikan masa mendatang. Jika kita berpikir tentang hasil
pendidikan secara instant maka yang terjadi adalah anomali pendidikan dalam
paradigmanya seperti adanya pemalsuan izazah serta menjamurnya jual beli gelar hanya
untuk peningkatan status social. Apresiasi terhadap pemikiran ayah yang kaya yang
mengajurkan melek financial juga memunculkan semangat kewirausahaan dalam
menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan finasial pada masa depan. Kita dituntut
untuk aktif memperjuangkan hidup masa depan dengan menyusun perencanaan keuangan
masa depan.

Yang dapat dicerna dari konsep melek financial adalah pengajaran terhadap
sebuah perencanaan hidup masa depan dengan tetap memperhatikan asset (hasil kerja)
yang kita miliki. Setidaknya kita diajarkan untuk tidak mencari utangan hanya karena
ketidakmampuan kita. Itu sebabnya ada anekdot bahwa orang malas selalu mencari-cari
utangan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya aliran Kiyosaki ini akan
menciptakan kemampuan anak didik yang mampu membaca kebutuhan pasar sehingga
mampu mendirikan usaha mandiri dan mampu menutupi semua kebutuhan hidupnya Hal
lain yang ditanamkan oleh Kiyosaki bahwa kalau kita kaya maka kita perlu memberikan
sebagain dari yang kita dapat untuk orang lain. Wujudnya adalah pemberian pajak,
meskipun pada masa lalu pajak diarahkan untuk kompensasi pada orang-orang miskin.
Tetapi kalau orang miskin cenderung disubsidi juga membuat budaya malas dalam
masyarakat tertentu. Namun dalam konteks pendidikan moral pemberian bantuan kepada
orang miskin adalah sangat mulia. Tetapi dalam pandangan Kiyosaki dalam bayangan
Ayah kaya, hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena akan menciptakan orang tetap
miskin.

Secara konstitusi bahwa pembayaan pajak adalah kewajiban semua warganegara,


dan pajak tidaklah dibebankan kepada orang kaya saja. Persoalan dasar di Indonesia pada
pemerintahan masa lalu kurang memperhatikan pajak sebagai sumber pendapatan,
akibatnya pembangunan yang dijalankan disandarkan pada utang. Pendidikan ketika itu
belum tersentuh, terlihat pada kecilnya anggaran pendidikan. Sehingga apa yang terjadi
masa kini adalah produk pendidikan masa lampau.

Hal kontradiksi dari nilai pendidikan yang diungkapkan Kiyosaki adalah apakah
talenta setiap manusia sama diberi Tuhan, tentu tidak, sehingga perlu peningkatan pikiran
dari institusi pendidikan, apakah manusia bisa hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain,
juga tidak, apakah dengan kita punya uang yang banyak kita bisa secara gradual
dikatakan bermoral ? juga tidak. Lantas apa yang dapat diatrik sebagai pelajaran dari
Kiyosaki. Konsep Ayah miskin dan ayah kaya mengajarkan kita untuk hidup menjadi
orang (learning to be) bukan (learning to have). Kalau kita jadi manusia yang utuh kita
akan tetap eksis tetapi kalau hanya memiliki, maka ketika tidak memiliki akan luntur rasa
kemanusiaan kita. Mana yang perlu kita miliki to be atau to have? Berpulang pada
kemauan kita.

http://bangun.sitohang.com/02/07/2008/orientasi-pendidikan/

Anda mungkin juga menyukai

  • Bahagia
    Bahagia
    Dokumen2 halaman
    Bahagia
    Amanda Fajrina Fitri
    Belum ada peringkat
  • KSHP
    KSHP
    Dokumen63 halaman
    KSHP
    Amanda Fajrina Fitri
    Belum ada peringkat
  • Proposal PPL
    Proposal PPL
    Dokumen18 halaman
    Proposal PPL
    Amanda Fajrina Fitri
    Belum ada peringkat
  • Tugas Agama Islam
    Tugas Agama Islam
    Dokumen15 halaman
    Tugas Agama Islam
    Amanda Fajrina Fitri
    Belum ada peringkat
  • Bedah Mitos Dan Tahayul
    Bedah Mitos Dan Tahayul
    Dokumen7 halaman
    Bedah Mitos Dan Tahayul
    Amanda Fajrina Fitri
    Belum ada peringkat