Problem kemiskinan masih menjadi misteri tak terpecahkan dalam ranah sosial
masyarakat Indonesia. Berbagai pendekatan untuk memecahkan misteri dibalik lingkaran
mata rantai kemiskinan seakan belum mampu menjawabnya secara utuh. Kemiskinan
masih menjadi problem yang mengakar dalam kehidupan manusia Indonesia sekaligus
mempengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya pendidikan.
Pendidikan dalam perspektif sosial dilihat sebagai instrumen yang cukup efektif
dalam memutus mata rantai kemiskinan struktural. Melalui pendidikan, dipercaya
manusia akan diberdayakan atau dimampukan untuk secara proaktif memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar manusiawinya. Begitulah setidaknya pandangan kaum sosial
konstruktivistik dalam memaknai peran korelatif pendidikan dalam pengentasan
kemiskinan.
Pola hegemoni kapitalisme ekonomi global ternyata nampak jelas dalam dinamika
pendidikan Indonesia. Dalam arus ekonomi global, jumlah produksi harus terdistribusi
secepat mungkin menembus batas ruang dan seluas mungkin menembus batas waktu
demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya yang akhirnya akan menggerakan roda
kehidupan manusia. Manusia dalam hal ini ditempatkan sebagai instrumen utama dalam
produksi dan distribusi komoditas. Semakin berkualitasnya manusia, keuntungan yang
diperoleh akan semakin besar. Itulah mengapa manusia kemudian ikut pula menjadi
barang komoditas yang digunakan sebagai mesin uang para pemilik modal. Manusia yang
tidak layak digunakan sebagai mesin uang tentunya tidak perlu dibeli dan digunakan.
Inilah akar dari pengangguran.
Akar kemiskinan tidak lagi dilihat sebagai akibat dari ekonomi global sebaliknya
digunakan sebagai alasan utama untuk solider terhadap ideologi sesat itu. Seakan para
investor adalah dewa yang secara karitatif akan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan
akibat kemiskinan. Yang lebih menyedihkan lagi, bangsa kita seakan tidak berdaya
menentang arus ini.
Melihat pola pengaruh ekonomi global dalam dunia pendidikan kita, tidaklah
mencengangkan ternyata makna pendidikan kita sebagai alat pencerdasan bangsa seperti
yang tertuang dalam UUD 1945 semakin tereduksi. Sekolah sebagai agen pendidikan
yang membentuk manusia Indonesia seutuhnya seperti yang dikatakan Driyarkara dalam
buku kumpulan tulisan dan pemikirannya (2006) hanya menjadi isapan jempol belaka.
Pembentukan manusia Indonesia, melalui rancangan kurikulum nasional, hanya
diarahkan pada pengembangan faktor kompetensi atau keunggulan skills. Keyakinan
bapak pendiri bangsa kita, Soekarno, tentang fungsi pendidikan sebagai nation character
builder seakan terlupakan atau bahkan dilupakan oleh para regulator pendidikan kita.
Makna dan konsep pendidikan yang sebenarnya hanya akan menghalangi proses
percepatan produksi manusia siap kerja. Bila produksi manusia melambat maka jumlah
keuntungan yang bisa didapatkan dalam trading process juga akan hilang meluap.
Artinya ada indikasi bahwa pendidikan kita saat ini memang secara sengaja mereduksi
arti pendidikan yang sebenarnya, yaitu membentuk manusia yang seutuhnya. Selama
itulah bangsa kita tidak akan pernah tampil sebagai pemain dalam percaturan global
karena bangsa kita tetap akan menjadi bangsa pekerja yang miskin.
Melalui strategi regulasi pendidikan, sudah saatnya ada garis batas tegas
mengenai wilayah peran pemerintah dalam pendidikan. Pemerintah hanya memiliki hak
dalam pengurusan hal-hal yang sifatnya operasional. Secara konseptual, pemerintah
hanya berhak untuk memberikan alternative dan secara berkala memberi kesempatan
sekolah dan segala komponen masyarakat terkait untuk mendesain konsepnya sendiri
tentu dengan batas-batas edukatif. Standarisasi semacam Ujian Akhir Nasional dalam hal
ini hanya akan bersifat kontra produktif bagi pembentukan manusia seutuhnya.
Standarisasi macam apapun hanya akan semakin menurunkan martabat manusia yang
unik dan equal.
http://purbainstitute.wordpress.com/pemikiran-pendidikan/negara-pendidikan-dan-
pemiskinan/
PENDIDIK DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Senin, 08 September 2008 - by : admin
Oleh : H. Agus Marsidi
Abstrak, Seorang pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan,
perlu mengetahui filsafat pendidikan, Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam
hubungannya dengan tujuan hidup. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan
pedoman kepada para pendidik (pendidik). Hal tersebut akan mewarnai sikap
perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Peranan filsafat
pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu: metafisika, epistemology dan
aksiologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik adalah seperangkat
keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku pendidik, yaitu:
Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar, pengetahuan, dan
apa yang perlu diketahui.
1. Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat
dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara
praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul
dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami
tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit
untuk mengetahui tujuan pendidikan.
Seorang pendidik seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia
tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak.
Hakekat manusia:
Manusia adalah makhluk jasmani rohani
Manusia adalah makhluk individual sosial
Manusia adalah makhluk yang bebas
Manusia adalah makhluk menyejarah
2. Epistemologi
Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para pendidik adalah
epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu
berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana
kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah
kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu ke situasi
lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki
implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama
pendidik harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan,
kemudian pendidik harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa
muatan ini bagi warga belajar. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya
ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat/kepentingan masing-masing
pendidik, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu Tuhan, empirisme, nalar,
dan intuisi.
Pendidik tidak hanya mengetahui bagaimana warga belajar memperoleh
pengetahuan, melainkan juga bagaimana warga belajar mengikuti pembelajaran.
Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan
dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada
anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga
bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah,
erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan
atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan.
Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai
merupakan hubungan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab pendidik adalah: Nilai-nilai
apa yang dikenalkan pendidik kepada warga belajar untuk diadopsi? Nilai-nilai
apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-
nilai apa yang benar-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik?
Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa pendidik memiliki suatu minat
tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh warga belajar melainkan
juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan.
Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia
tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.
Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang pendidik mengenai
pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan
profesional pendidik. Setiap pendidik baik mengetahui atau tidak memiliki suatu
filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia
belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal
dalam kehidupan yang baik.
Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua
aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis,
para pendidik dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Kesimpulan
Peran filsafat pendidikan bagi pendidik, dengan filsafat metafisika pendidik mengetahui
hakekat manusia, khususnya warga belajar sehingga tahu bagaimana cara
memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat
epistemologi pendidik mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar,
bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan
pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi pendidik memahami yang harus
diperoleh warga belajar tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan
karena pengetahuan tersebut. Hal yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik
adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku
pendidik, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar,
pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. John Willey
Sons Inc, New York.
Sadulloh, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. CV Alfabeta, Bandung.
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu, Balai
Pustaka, Jakarta.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, PT Bayu Indra Grafika,
Yogyakarta.
http://elearn.bpplsp-reg5.go.id/cetak.php?id=22
ORIENTASI PENDIDIKAN MEMASUKI ABAD KE 21
Bangun Sitohang
Manusia berkembang sesuai dengan zaman yang dilaluinya, setiap zaman pasti
memiliki sejarah tersendiri dan unik menurut waktunya. Demikian halnya manusia hidup
adalah tergantung pada alam dan lingkungan yang ada disekitarnya. Artinya semakin baik
lingkungan yang ditatanya, maka akan semakin mendukung tatanan kehidupannya dan
sebaliknya jika manusia tidak tau mensyukuri nikmat Tuhan yang telah diterimanya,
maka manusia akan digilas oleh zamannya.
Beragam pemikiran tentang pendidikan dan semuanya dapat dilihat dari orientasi
yang menjadi perhatian pendidikan itu sendiri, baik dari aspek ekonomis maupun budaya.
Untuk maksud tersebut, saya mencoba mengurai orientasi pendidikan dari beberapa
pemikiran yang diungkap dari beberapa literature dan bahasannya juga diintegrasikan
dengan kondisi social kemasyarakatan dalam bidang pendidikan secara normatif.
Masalah yang lahir dari agregat keempat aspek global; investasi, industri,
informasi dan individu tersebut pada masa mendatang tergantung bagaimana kita
mengelola manusia masa kini seperti diutarakan Durkheim. Dengan SDM yang baik
setidaknya peradaban masa depan memiliki watak yang tidak egois dan mampu menjaga
keseimbangan ekosistem alam, manusia dan lingkungan, serta kerjasama antar manusia
yang harmonis dalam persaingan global. Itulah sebabnya dalam dialog abad 21
tercetuslah pandangan dan kepedulian para pemikir pendidikan dunia dalam organisasi
PBB (UNESCO) dengan menetapkan 4 (empat) kontrak : 1) kontrak bumi, untuk
menjaga keeimbangan alam dan ekosistemnya, 2) Kontrak budaya yang berkait dengan
peradaban manusia seperti bahasa, kesusastraan dan pendidikan masyarakatnya, 3)
Kontrak sosial yang berisikan masalah HAM, demokrasi, persamaan gender terutama
kaum ibu sehingga terjamin masa depan anak-anak sebagai generasi muda penerus
kehidupan negara bangsa; 4) serta kontak etika dalam setiap item transaksi antar negara.
Keempat konsep tersebut oleh Roberto Carnio memerlukan adanya lifelong education for
all and curriculum for 21st century, yang didasarkan pada empat pilar pendidikan yang
digariskan oleh UNESCO dalam konsep : learning to be (agar manusia tanpa melihat
asal-usulnya mampu dan mau belajar dari setiap peristiwa kehidupan sebagai dinamika
kehidupan social kemasyarakatan dan berusaha mandiri sebagai manusia yang utuh
secara rohaniah dan jasmaniah). learning to know ( manusia harus mampu melihat situasi
dan kondisi dan mampu memahami makna kehidupan melalui pengenalan atas kondisi
alam dan sekitarnya), learning to do (jika manusia sudah mampu mandiri dalam
mengatasi setiap berbagai masalah serta mengetahui apa yang patut dan layak
dikerjakannya atas sebuah kondisi yang dihadapinya, maka selanjutnya manusia harus
berusaha berbuat sesuai kapasitasnya), learning to live together (kemampuan dan
perbuatan akan berarti jika dapat dirasakan semua orang, sehingga apa yang kita miliki,
ketahui dan pelajari bukan untuk kita saja tetapi selayaknya berguna bagi manusia
lainnya).
Perlunya paguyupan local ke suatu masyarakat dunia adalah akibat populasi dan revolusi
industri sebagai akibat kemajuan iptek yang sangat cepat sehingga planet bumi semakin
penuh sesak, disinilah perlu penciptaan komunikasi universal dengan pemahaman belajar
hidup bersama (living together), artinya apapun yang terjadi dalam masyarakat di belahan
dunia ini perlu ada kohesi social ke partisipasi demokratis. Jika masyarakat dunia sudah
sampai pada kematangan pendidikan, maka segala bentuk penindasan dan pengucilan
antar bangsa dalam peradaban masa depan dapat dieleminir. Seperti dikatakan Robert A
Dahl dalam “On Democracy” bahwa demokrasi mengayomi perbedaan-perbedaan
pendapat pada tempat dan ruang yang berbeda; seperti halnya dalam dunia pendidikan
yang mampu merealisasikan ide-ide filsafat untuk pembinaan manusia untuk mampu
melahirkan ilmu pendidikan, sebab setiap orang punya filsafat (buah pikir) berbeda dan
ini harus diakomodasi dengan memberi kebebasan mengemukakan pendapat. Adanya
demokrasi dalam pendidikan, dapat memberikan partisipasi masyarakat.
Pertanyaan dasar mengapa kita disebut manusia adalah karena kita diberi Tuhan
roh kehidupan dengan berwujud sehingga kita memiliki jiwa yang didasari atas
keyakinan dari dalam diri kita (relijius) untuk bisa berbuat lebih dibanding manusia
lainnya. Keyakinan tersebut kemudian tumbuh dan berkembang menuju masa depan yang
lebih baik. Hanya dengan pendidikan kemudian kita bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Adanya peniliaian baik dan buruk menciptakan apa yang kita
kenal dengan sebuah perbedaan. Oleh karenanya manusia yang berfilsafat adalah
manusia yang bercita-cita untuk mencari kemajuan dan menjawab semua tantangan
kebutuhan lahiriah manusia.
Kiyosaki dalam cerita dua ayah yang miskin dan kaya memberikan suatu
gambaran bahwa buah pikir manusia tidak berarti kalau tidak menghasilkan uang secara
pisik. Artinya seseorang bersekolah sampai tingkat doctor sekalipun belum tentu dapat
hidup kaya, hal ini lumrah saja tergantung kaya apa yang dimaksud. Kalau kaya ilmu
sudah tentu ayah miskin adalah lebih unggul daripada ayah kaya, tetapi persoalannya
apakah ilmu yang dimiki dapat bermanfaat untuk masyarakat luas dan apakah si kaya
karena menghasilkan uang dengan mudah dapat langsung pintar? semua ini tergantung
setiap manusia menyikapinya, sebab seperti dikatakan Tilaar bahwa pendidikan adalah
proses kehidupan, sehingga semua masalah kehidupan adalah tantangan pendidikan baik
secara formal di sekolah maupun non formal di masyarakat.
Pendidikan juga mengajarkan kita untuk bisa hidup bersama dengan manusia
lainnnya, kalau dikaitkan dengan ayah kaya tersebut, adakah rasa kebersamaan dalam
dirinya? Karena dia menganggap hidup dapat dilakukan dengan reformasi diri secara
biologis. Kalaupun Bill Gates menjadi kaya raya bukan karena pendidikan formal yang
dimilikinya, namun setidaknya adalah kemampuan manajerial yang telah tertalenta dalam
dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Justru itulah apa yang kita kenal dengan
kreatifitas dalam diri manusia. Persepsi pendidikan yang dibawa Kiyosaki sangat sulit
diterima masyarakat yang relijiusnya kental dengan pemahaman sectarian. Atau bisa jadi
apa yang dilakuakn ayah kaya tersebut dapat merusak psikis anak sejak usia dini karena
diracuni oleh filsafat yang beraliran materialisme. Di mana segala sesuatu dikur dari nilai
tukar yang dimiliki anak manusia.
Prinsip hidup bahwa orang kaya tidak bekerja untuk uang adalah gambaran
kemampuan manajerial seseorang, dan kemudian dikembangkan lagi dengan konsep
pembelajaran perlunya kita menabung untuk keperluan masa depan adalah aspek dasar
filsafat pendidikan. Kita ketahui bahwa produk pendidikan akan terlihat pada usia 16
sampai 30 tahun pada saat anak didik mengalami masa romansanya. Sehingga diperlukan
pendidikan anak sejak usia dini. Asumsinya bahwa pendidikan yang kita lakukan pada
kini adalah gambaran pendidikan masa mendatang. Jika kita berpikir tentang hasil
pendidikan secara instant maka yang terjadi adalah anomali pendidikan dalam
paradigmanya seperti adanya pemalsuan izazah serta menjamurnya jual beli gelar hanya
untuk peningkatan status social. Apresiasi terhadap pemikiran ayah yang kaya yang
mengajurkan melek financial juga memunculkan semangat kewirausahaan dalam
menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan finasial pada masa depan. Kita dituntut
untuk aktif memperjuangkan hidup masa depan dengan menyusun perencanaan keuangan
masa depan.
Yang dapat dicerna dari konsep melek financial adalah pengajaran terhadap
sebuah perencanaan hidup masa depan dengan tetap memperhatikan asset (hasil kerja)
yang kita miliki. Setidaknya kita diajarkan untuk tidak mencari utangan hanya karena
ketidakmampuan kita. Itu sebabnya ada anekdot bahwa orang malas selalu mencari-cari
utangan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya aliran Kiyosaki ini akan
menciptakan kemampuan anak didik yang mampu membaca kebutuhan pasar sehingga
mampu mendirikan usaha mandiri dan mampu menutupi semua kebutuhan hidupnya Hal
lain yang ditanamkan oleh Kiyosaki bahwa kalau kita kaya maka kita perlu memberikan
sebagain dari yang kita dapat untuk orang lain. Wujudnya adalah pemberian pajak,
meskipun pada masa lalu pajak diarahkan untuk kompensasi pada orang-orang miskin.
Tetapi kalau orang miskin cenderung disubsidi juga membuat budaya malas dalam
masyarakat tertentu. Namun dalam konteks pendidikan moral pemberian bantuan kepada
orang miskin adalah sangat mulia. Tetapi dalam pandangan Kiyosaki dalam bayangan
Ayah kaya, hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena akan menciptakan orang tetap
miskin.
Hal kontradiksi dari nilai pendidikan yang diungkapkan Kiyosaki adalah apakah
talenta setiap manusia sama diberi Tuhan, tentu tidak, sehingga perlu peningkatan pikiran
dari institusi pendidikan, apakah manusia bisa hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain,
juga tidak, apakah dengan kita punya uang yang banyak kita bisa secara gradual
dikatakan bermoral ? juga tidak. Lantas apa yang dapat diatrik sebagai pelajaran dari
Kiyosaki. Konsep Ayah miskin dan ayah kaya mengajarkan kita untuk hidup menjadi
orang (learning to be) bukan (learning to have). Kalau kita jadi manusia yang utuh kita
akan tetap eksis tetapi kalau hanya memiliki, maka ketika tidak memiliki akan luntur rasa
kemanusiaan kita. Mana yang perlu kita miliki to be atau to have? Berpulang pada
kemauan kita.
http://bangun.sitohang.com/02/07/2008/orientasi-pendidikan/