Astari Wulandari
X.9
SMAN 1 Bekasi
Kegelapan Dunia Maya
Di suatu pagi yang cerah, terlihat seorang gadis berumur 16 tahun tengah
termenung di depan jendela kamarnya dengan pandangan hampa sambil
memegangi kuas di tangan kanannya. Kanvas dan cat yang berserakan di
kamarnya menggambarkan hatinya yang sedang terpuruk. Bahkan, sinar
mentari yang cerah pun tidak dapat menentramkan hatinya. Tiba-tiba di tengah
lamunannya, terdengar suara lembut kepadanya yang sudah tidak asing lagi di
telinganya.
Suara itu datang dari balik pintu kamar Maya yang ternyata adalah suara
ibunya yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada Maya. Walaupun, hari
itu tanggal 13 April 2011 merupakan hari ulang tahun Maya, tapi tanggal itu
merupakan tanggal terburuk bagi Maya sejak setahun yang lalu. Ibu Maya yang
bernama Bu Rosa mengerti akan perasaan Maya saat itu. Perlahan Bu Rosa
menghampiri kursi tempat Maya terduduk.
“Maya, Ibu tahu akan perasaanmu yang teringat akan peristiwa setahun
lalu. Namun, jangan kamu terus bersedih seperti ini. Kasihan ayahmu di sana
jika melihatmu seperti ini.” hibur Bu Rosa.
Setelah beberapa menit berada dalam pelukan ibunya yang hangat, Maya
merasa hatinya lebih tenang. Sedikit demi sedikit ia pun mulai tersenyum. Rasa
senang pun turut timbul dari hati Bu Rosa melihat anaknya dapat tersenyum
kembali. Bu Rosa pun langsung mengajak anaknya keluar dari kamar untuk
duduk di sofa. Sembari duduk di atas sofa, Bu Rosa menyalakan televisi. Maya
yang tidak dapat melihat hanya dapat mendengar suara dari televisi tanpa dapat
melihat gambar-gambar di dalamnya. Namun, hal itu tidak membuatnya merasa
terganggu.
“Mengapa kamu sedih seperti ini, May, cerita dong sama aku.”
Maya menggeleng.
“Tidak apa-apa, Mir. Aku hanya sedih saja melihat iklan di televisi tentang
lomba melukis. Kau tahu kan aku senang melukis, tapi dengan kondisiku yang
seperti ini akan mustahil bagiku untuk mengikuti lomba itu. Padahal hadianya
lumayan untuk membantu ibuku memenuhi kebutuhan keluarga.” ujar Maya
putus asa.
“Ini adalah brosur dari suatu Yayasan Tunanetra yang isinya adalah
tawaran pencangkokan kornea mata gratis.” jawab Mira.
Senyum lebar tak lama tersirat dari wajah Maya setelah mendengar
jawaban Mira. Ia tak sabar menunjukkan brosur tersebut kepada ibunya yang
bekerja hanya sebagai penjaja kue itu.
Maya sudah sangat tidak sabar lagi untuk pulang ke rumah. Langsung
saja ia meminta Mira untuk menuntunnya pulang. Sesampainya di rumah, Maya
berteriak-teriak memanggil ibunya sambil melambaikan brosur pemberian Mira.
Maya pun langsung memberikan brosur yang ia dapat dari Mira kepada
ibunya. Perlahan ibunya mengambil lalu membaca brosur tersebut. Tersungging
senyum hangat dari wajah ibunya setelah membaca brosur itu.
“Selamat pagi, sayang. Rupanya kamu sudah bangun, ya? Ayo, kita siap-
siap untuk ke Yayasan Tunanetra.” ujar Bu Rosa.
Pukul 11.00, Maya dan Bu Rosa telah berada di dalam taksi menuju ke
Yayasan Tunanetra. Selama perjalanannya ke tempat tersebut, Maya tak
hentinya bersenandung riang sampai-sampai membuat supir taksi tak kuasa
menahan dirinya untuk melihat Maya dari kaca spion.
Setelah satu jam dalam perjalanan, taksi pun berhenti tanda telah
sampainya mereka ke tempat tujuan. Bu Rosa langsung mengeluarkan 3 lembar
uang sepuluh ribuan untuk membayar taksi. Setelah membayar, Bu Rosa dan
Maya keluar dari dalam taksi. Kini mereka berdiri di depan Yayasan Tunanetra.
Bu Rosa dapat melihat gedung berwarna putih bersih di hadapannya kini, tapi
tidak bagi Maya. Namun walaupun demikian, Maya tetap dapat merasakan
keelokan gedung tersebut seakan ia dapat melihat gedung tersebut walau hanya
dengan hatinya. Jantung Maya tak hentinya berdegup kencang. Terlebih lagi
saat mereka sudah berada di dalam gedung putih itu yang menurutnya akan
membuatnya terlahir kembali. Tanpa membuang-buang waktu, Bu Rosa
langsung mendaftarkan Maya untuk menjalani pemeriksaan di yayasan tersebut.
Bersamaan dengan itu, terduduklah Maya di sebuah kursi ruang tunggu sambil
membayangkan apa yang akan terjadi setelah ia dapat melihat kembali.
Tak lama, nama Rosa dipanggil oleh dokter mata di yayasan tersebut.
Jantung Maya mulai berdegup kencang kembali. Persaannya bercampur aduk
antara senang, tegang, dan khawatir. Namun, sentuhan tangan Bu Rosa yang
lembut di pundaknya, membuatnya tenang kembali. Bersama-sama Bu Rosa dan
Maya berjalan menuju ruangan dokter.
“Ada apa dokter? Mengapa kau berbicara dengan ibu dengan berbisik-
bisik? Apa yang terjadi, Dok?” tanya Maya.
“Apa yang Dokter lakukan? Mengapa ibu saya menangis? tanya Maya lagi.
“Maaf Maya. Saya sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi, matamu
sudah benar-benar rusak sehingga tidak dapat diobati lagi. Andai kamu sudah ke
sini sejak dulu.” kata dokter.
“Tidaak, ini tidak mungkin! Dokter pasti berbohong, kan?” teriak Maya.
“Sekali lagi saya minta maaf, Maya. Saya sungguh menyesal.” kata dokter
lagi.
Maya yang tidak terima akan hal itu segera bangkit dari kursinya dan
berusaha untuk berlari. Namun, kakinya tersandung oleh kaki meja sehingga ia
terjatuh. Bu Rosa pun langsung menolong Maya yang terjatuh dan memeluk
anak satu-satunya itu. Maya pun menangis di dalam pelukan ibunya.