Anda di halaman 1dari 3

PENTINGNYA MENJAGA UKHUWAH

(SEBUAH POTRET KEBERAGAMAAN DI PURWOREJO)

Adalah wajar, rasional dan logis, ketika seseorang mengklaim benar (truth claim)
pendapat, ide, gagasan, perbuatan dan apapun yang berkaitan dengan dirinya, apalagi
berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan, bahkan sejatinya sampai batas tertentu merasa
paling benar sekalipun juga logis. Tetapi kemudian menjadi masalah, ketika seseorang
merasa benar, paling benar, dengan memvonis, menuduh bahwa di luar dirinya adalah salah,
sesat, tidak layak ada, harus dihapus, ditiadakan dan diberangus.
Dalam perjalanan sebagai sebuah bangsa, sampai akhir tahun delapan puluhan,
“semangat” menyalahkan, menganggap bahkan mengkafirkan pihak lain, begitu menggebu
dan menyeluruh, terutama antara umat Islam dari kalangan sesama santri, yang biasa disebut
dengan istilah kalangan tradisional dan modernis, hanya gara-gara qunut, tahlil, perbedaan
jumlah adzan jum’at, perbedaan jumlah raka’at shalat tarawih, gerakan telunjuk ketika
tahiyat dan hal-hal yang dalam agama disebut sebagai “furuiyyah” lainnya yang oleh
sebagian orang dianggap masalah “remeh-temeh” bisa mamutuskan tali silaturahim keluarga,
dengan saling membid’ahkan, mengharamkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan.
Awal tahun sembilan puluhan angin perubahan terjadi, ketika pendidikan yang
didapatkan semakin tinggi, dengan banyaknya generasi muda muslim menempuh pendidikan
di perguruan tinggi, juga peran media dalam hal ini juga tidak bisa dikesampingkan, seperti
dipaparkan Cak Nur (Prof DR Nurcholish Majid), bahwa siaran shalat tarawih secara live
oleh sebuah stasiun televisi swasta dari kota suci Makkah, membuka wawasan kaum
muslimin Indonesia, dimana salat tarawih di Masjidil Haram, dilaksanakan dengan 20 rakaat
plus 3 rakaat salat witir, tetapi dengan membaca basmalah secara “sir’ (tidak bersuara), dua
hal yang di Indonesia menimbulkan perdebatan tajam, dimana yang salat tarawihnya 20
rakaat biasanya membaca basmallah secara “zahr” (bersuara keras) dan yang membaca
basmallah secara “sir” biasanya salat tarawihnya 8 rakaat, ternyata dua hal yang selama ini
dianggap berbeda oleh Muslim Indonesia, justru di Makkah sebagai pusat Islam bisa
digabungkan secara harmonis, hal ini merupakan moment yang tepat untuk Muslim Indonesia
“keluar” dari tempurung yang selama ini mengungkungnya dan membebaskan diri dari cara
berpikir “In Box” (sebuah istilah yang sering dilontarkan Prof DR Amin Abdullah, Rektor
UIN Jogjakarta), terbukti pendidikan dan pengalaman mengikis sikap “Ashobiyah” atau
fanatik golongan yang sempit dan membabi buta dengan slogannya yang khas yang diimpor
dari Negeri Paman Sam “ Right or wrong is My country” mulai memudar, berganti dengan
sikap saling menghargai, menghormati, toleran satu dengan yang lain, meyakini bahwa
kebenaran bisa datang dari siapapun, dan semua punya potensi benar dan semua sedang
menuju kebenaran itu, karena perbedaan itu justru menjadi perekat, sesuai dengan
kepribadian dan karakter bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Perkembangan mengenai toleransi umat beragama, baik antar umat beragama,
maupun intern umat beragama, di akhir tahun sembilan puluhan terganggu dan ternoda
dengan terjadinya kerusuhan bernuansa sara di berbagai tempat, dan yang paling
menggemparkan dan mengerikan adalah kerusuhan Ambon dan Poso, walaupun akhirnya
bisa diselesaikan, setelah kerusuhan berlangsung lama dan berlarut, hal ini ditenggarai
sejatinya bukan murni semata-mata masalah agama, tetapi juga berlatang belakang politik,
sosial ekonomi dan lain sebagainya, baik tingkat lokal, nasional bahkan internasional.
Hal yang sangat menarik mengenai toleransi yang menyita perhatian masyarakat
adalah yang terjadi akhir-akhir ini khususnya di wilayah Kabupaten Purworejo, bagaimana
dua organisasi besar Islam di Indonesia bahkan di dunia ( karena umat Islam di Indonesia
adalah terbesar di dunia) di level Kabupaten, yaitu Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama dan
Pengurus Daerah Muhammadiyah Purworejo, bersinergy, saling menyapa, menjalin
silaturahim, satu hal yang selama ini di perintahkan Nabi SAW. Dua organisasi Islam ini
saling mengunjungi, bersilaturahim, menghadiri undangan satu sama lain seperti dalam acara
peresmian kantor baru, bahkan berdoa bersama (beristigosah), hal yang justru ditingkat
“grassroot” merupakan simbol identitas masing-masing, dan sering menjadi penyekat,
pembatas dan pembeda, di sini melebur, mencair dan saling mendukung, mendoakan “dungo
dinungo”!. Hal yang juga sangat diyakini disarankan kanjeng Nabi SAW.
Tidak berhenti sampai di sini, saling sapa berlanjut, ketika Pengurus Daerah
Muhammadiyah Purworejo, menggelar hajat sebagai Panitia “Musyawarah Wilayah
Muhammadiyah Jawa Tengah tahun 2010” spanduk ucapaan selamat dari pihak NU
terpampang ditempat strategis, bagi yang membacanya bagaikan semilir angin yang
membawa kesejukan, kedamaian dan kenyamanan dalam hangatnya pelukan Ukhuwah
Islamiyah, dan secara cerdas kedua ormas Islam ini menjadi satu tim kesebelasan ketika
melakukan pertandingan persahabatan, akan sedikit berbeda ceritanya walau tetap dalam
kemasan pertandingan persahabatan, kalau dua ormas Islam ini justru dalam posisi dua
kesebelasan dalam posisi yang berhadapan, dan hal ini patut diapresiasi! Dan skor kalah
menang benar-benar bukan tujuan. Karena tujuananya adalah terjaganya Ukhuwah Islamiyah,
dan impementasi bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, Indanhnya kebersamaan, semoga
hal ini tetap terjaga, amin
Kembali ke masalah kebenaran agama, Prof DR Ahmad Mubaraok MA (Guru Besar
Psikologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan lugas memaparkan bahwa tingkat
kebenaran agama ada lima tingkatan yaitu :
1. Agama yang dimaksud oleh Allah SWT
Konsep Islam sangat sempurna, dan berasal dari Tuhan yang Maha Sempurna, Islam
bukan hanya sempurna tetapi juga lengkap, suci, tinggi dan tidak ada yang
melebihinya. Islam pada tataran ini adalah ajaran Islam yang dimaksud oleh Allah
sendiri yang terkandung dalam Al Qur’an (bukan tafsir dan interpretasi ulama dan
cendekiawan) dalam hal ini Islam bersifat mutlak dan pasti benar.
2. Agama seperti dicontohkan Nabi SAW
Antara kesempurnaan ajaran Islam dengan manusia ada kesenjangan yang lebar.
Untuk dapat memahami kebenaran yang sempurna dari Al Qur’an diperlukan contoh
atau “demonstrasi”, Nabi SAW adalah contoh dari kebenaran Al Qur’an. Agama
Islam yang dicontohkan Nabi SAW juga bersifat mutlak benar dan pasti benar, jika Al
Qur’an disebut teori, maka perilaku Nabi merupakan praktek. Akhlak Nabi adalah Al
Qur’an (Hadits). Dalam sistem hukum Islam, hadits Nabi dalam satu kasus berfungsi
sebagai penjelasan dari Al Qur’an, tetapi dalam kasus yang lain bisa berdiri sendiri
menetapkan hukum.
3. Agama yang dipahami oleh para Sahabat Nabi
Sahabat berusaha memahami Al Qur’an dan apa yang dicontohkan Nabi. Pemahaman
sahabat yang berbeda-beda menyebabkan ketidakmutlakan kebenaran. Agama pada
tataran ini kebenarannya tidak absolut tetapi karena kedekatan kepada Nabi maka
lebih dekat dengan kebenaran. “Sahabatku ibarat bintang gemintang, kalian boleh
mengambil petunjuk yang mana saja” (Hadits)
4. Agama seperti yang dipahami para Ulama
Ulama memahami Islam bukan dari Nabi dan sahabat, tetapi dari teks Al Qur’an dan
Hadits serta dari tradisi keberagamaan yang ada di masyarakat, maka terjadi
interpretasi/penafsiran terhadap dua sumber tadi. Karena bersifat interpretatif maka
padanya tidak ada kebenaran absolut, dan karena tidak pasti benar, para ulama sering
mengucapkan : “Wallahu a’lam bissawab” ( Allah yang lebih mengetahui
kebenarannya! )
5. Agama sebagai tradisi masyarakat Islam
Ketika sejarah semakin panjang, orang beragama tidak sempat mempelajari agama
dari sumber utama yaitu Al Qur’an dan Hadits, tetapi melalui guru-guru agama yang
standar keilmuannya berbeda-beda. Ketika itu pemahaman agama bersifat tradisionil,
tradisi masyarakat Islam ada yang benar dan ada yang bertentangan dengan
masyarakat. Karena itu dalam hal tradisi orang beragama haruslah memandang secara
kritis, yakni tradisi yang baik boleh dipelihara, sementara yang bertentangan dengan
Islam harus ditinggal.
Sebagai bagian akhir dari tulisan singkat ini, yakinilah bahwa apa yang anda lakukan
benar, dan terus lakukan apa yang selama ini anda semua anggap benar, tetapi tidak perlu
diiringi dengan menyalahkan apa yang dilakukan orang lain, karena kita semua berpotensi
benar tapi tidak menutup kemungkinan salah, karena itu kita ikuti kebiasaan para ulama yang
membiasakan diri, dihampir setiap akhir tulisan maupun majlis setelah menyampaikan
pendapat mengucapkan “Wallahu ‘alam bissawab!”.
H. Nasrudin SPdI, SE, MSI
Dosen Agama Islam Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo

Dipublikasikan edisi Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai