NIM : E1A009151
Kelas :A
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam system negera kesatuan, seperti halnya Negara RI, ditemukan adanya dua cara
yang dapat menghubungkan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Cara pertama disebut
Sentralisasi, dimana segala urusan , fungsi, tugas, wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada
pada pemerintahan pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi, cara kedua
dikenal dengan desentralisasi dimana urusan tugas, wewenang pelaksanaan pemerintahan
diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah .
Indonesia sendiri menganut system desentralisasi, yang mana tugas, fungsi wewenang
penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada Daerah, disini ada tiga factor yang menajdi
dasar pembagian fungsi, urusan, tugas, dan wewenang antara pusat dan daerah. Pertama, fungsi
yang sifatnya beskala nasionaldan berkaitan dengan eksistensi Negara sebagai kesatuan politik
diserahkan pda pemerintahan pusat. Kedua, fungsi menyangkut pelayanan masyarakat yang perlu
disediakan secara seragam atau standar untuk seluruh daerah dan dikelola oleh pemerintah pusat.
Ketiga, fungsi pelayanan yang bersifat local dan dikelola oleh daerah.
Terdapat tiga faktor yang menjadi dasar dalam pembagian fungsi, urusan, tugas,
dan wewenang antara Pusat dan Daerah yaitu pertama fungsi yang sifatnya berskala nasional dan
berkaitan dengan eksistensi negara sebagai kesatuan politik diserahkan kepada pemerintah pusat.
Kedua, fungsi yang menyangkut pelayanan masyarakat yang perlu disediakan secara seragam
atau standar untuk seluruh daerah. Fungsi pelayanan ini lebih sesuai untuk dikelola oleh
pemerintah pusat mengingat lebih ekonomis apabila diusahakan didalam skala besar. Ketiga
fungsi pelayanan yang bersifat lokal, fungsi ibni melibatkan masyarakat luas dan tidak
memerlukan tingkat pelayanan yang standar. Fungsi demikian dapat dikelola oleh pemerintah
daerah. Pemerintah daerah dapat menyesuaikan pelayanan dengan kebutuhan serta kemampuan
daerah masing-masing.
Keharusan adanya pengaturan mengenai hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah
baru diamanatkan secara tegas dalam UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah. Namun UU tersebut dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan UU No.22
Tahun 1999 yang menentukan bahwa :
A. Kerangka Pemikiran
Hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah pada hakikatnya yang menjadi persoalan
pokok adalah pembagian sumber-sumber pendapatan maupun kewenangan pengurusan dan
pengelolaannya antara pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan ini menyangkut tanggung jawab
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan pembagian
sumber-sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan tersebut.
Hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah proses pendistribusian hak dan
kewajiban antara satuan pemerintahan Pusat dan Daerah yang berhubungan dengan pemanfaatan
dan pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing satuan pemerintahan
tersebut. Oleh karena itu persoalan hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah tidak hanya
sekedar berkaitan dengan masalah berapa persentase yang menjadi bagian Pusat maupun Daerah
serta bukan sekedar angka-angka, melainkan yang paling fundamental adalh apa saja yang
menjadi kewenangan pusat dalam melaksanakan tanggung jawab pemerintahan dan apa yang
menjadi tanggung jawab daerah yang harus dilaksanakan dalam mengatur dan mengurus
kepentingan daerah.
Menurut Bagir Manan, pemecahan masalah keuangan antara Pusat dan Daerah hendaknya
ditujukan kepada upaya agar bantuan-bantuan pusattidak begitu banyak mem pengaruhu
kemandirian daerah. Dalam hal ini bantuan pusat dikategorikan menjadi :
1. Bantuan yang hanya ditentukan jumlahnya.
2. Bantuan yang dintukan peruntukannya secara umum.
3. Bantuan yang ditentukan secara rinci peruntukannya dan tata cara pemanfaatannya.
Konsep demokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan negara telah memberikan
ruang kepada rakyat atau kelompok rakyat atau kelompok rakyat untuk mengatur dan mengurus
kepentingannya dengan cara membuat dan menjalankan peraturan sendiri. Rakyat atau
serkelompok rakyat diberikan kebebesan dalam rangka menentukan nasibnya.
Terdapat tiga faktor yang menunjukan adanya keterkaitan antara demokrasi dengan
desentralisasi yaitu :
1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).
2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri
berbagai macam kepentingan yang bersangkutan langsung dengan mereka.
3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang
mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.
Urusan rumah tangga daerah hakikatnya bersumber dari otonomi dan tugas pembantuan.
Otonomi dan dan tugas pembantuan bersumber pada paham desentralisasi. Penyerahan urusan-
urusan tertentu kepada daerah untuk diurus dan diatur atas dasar prakarsa dan kepentingan
masyarakat daerah, tidak menjadikan daerah seperti negara dalam negara. Daerah tidak
mempunyai kebebasan yang absolut, walauupun sistem otonomi yang diamanatkan oleh pasal
18 ayat 5 UUD 1945 adalah otonomi yang seluas-luasnya. Pusat masih mempunyai peran dan
fungsi untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kewajiban pemerintah pusat bertanggung jawab secara nasional secara keseluruhan, dan
pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk memperhatikan ketentuan dari pusat agar tidak
terjadi perbenturan-perbenturan dan agar mengetahui celah-celahuntuk mengambil inisiatif
dalam pemenuhan kebutuhansetempat yang tidak atau belum dikerjakan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah daerah berkewajiban memadukan antara kepentingan nasional dengan kepentingan
lokal.
Bab 2
Kajian Teoritik tentang
Hubungan Pusat dan Daerah
Dalam rangkanmenemukan pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah dalam Tata
Pemerintahan di Indonesia, akan diuraikanhal-hal yang berkaitan dengan asas-asa
penyelenggaraan pemerintahan daerah, ajaran rumah tangga, dan dimensi hubungan pusat dan
daerah.
b. Asas Otonomi
Autonomi sebagai pengaturan oleh Undang undang urusan rumah tangga persekutuan
hukum rendahan secara masing masing terpisah dalam rangka hubungan yang lebih besar
Otonomi diartikan sesuatu yang bermakna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan
Dalam otonomi harus tersedia ruang gerak yang cukup untuk melakukan kebebasan
menjalankan pemerintahan, dalam otonomi senantiasa memerlukan kemandirian atau
keleluasaan. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan hakikat otonomi adalah kemandirian,
walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan yang merdeka.
Otonomi bukanlah proses pemerdekaan daerah yang dalam arti kemerdekaan, atau
otonomi tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh secara absolute dari suatu daerah karena
otonomi adalah suatu proses untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk bisa
berkembang sesuai potensi yang mereka miliki. Dengan demikian otonomi harus bermakna
sebagai jalan untuk mengoptimalisasi segala potensi local, baik alam, lingkungan maupun
kebudayaan. Optimalisasi bukanlah eksploitasi, melainkan sebuah proses yang memungkinkan
daerah bisa menjadi lebih baik.
Urusan daerah yang manakah yang dapat diatur dan diselenggarakan berdasarkan
kepentingan dan aspirasi masyrakat daerah?. Hal inilah yang menimbulkan lahirnya berbagai
jenis otonom. Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi yaitu otonomi materiil,
otonomi formal, dan otonomi riil.
Otonomi Materiil mengandung arti bahwa urusan yang diserahkan menjadi urusan rumah
tangga diperinci dan secara jelas dan tegas, pasti, diberi batas batas (limitative), “zakelijk” dan
dalam prakteknya penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan Daerah yang bersangkutan.
Sedangkan otonomi formal adalah sebaliknya, urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak
“zakelijk”. Daerah mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
menurut pandangannya adalah kepentingan Daerah, untuk kemajuan dan perkembangan daerah.
Batasnya adalah, bahwa daerah tidak boleh mengatur urusan yang telah diatur oleh undang
undang atau peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain daripada itu, pengaturan tersbut
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
Otonomi riil merupakan kombinasi atau campuran otonomi materil dan formal. Di dalam
undang undang pembentukan daerah, Pemerintahan Pusat menentukan urusan urusan yang
dijadikan pangkal untuk mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah. Penyerahan ini
merupakan otonomi materil. Kemudian setiap waktu daerah dapat meminta tambahan urusan
kepada pemerintah pusat untuk dijadikan urusan rumah tangganya sesuai dengan kesanggupan
dan kemampuan Daerah. Penambahan urusan pemerintahan kepada daerah dilakukan dengan UU
penyerahan masing masing urusan.
a. Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata wewenang yang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat. Atau
kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak. Dalam hukum wewenwng
sekaligus hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban
mempunyai dua pengertian yakni horizontal dan vertical.
Pembagian wewenang dan tugas serta urusan antara pemerintah pusat dan daerah yang jelas
akan bermanfaat dalam membentuk system hubungan antara pusat dan daerah, termasuk dalam
hal keuangan. Oleh karena itu. Prinsip otonomi dan kesatuan bangsa terhadap pemerintahan dan
pembangunan harus merupakan dasar pertimbangan mewujudkan hubungan yang harmonis
antara pemerintah pusat dan daerah.
b. Hubungan Pengawasan
Dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, tujuan pengawasan agar
pemerintah daerah dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sehingga urusan
pemerintah yang teleh menjadi wewenang pemerintah daerah dapat diatur dan diurus dengan
sebaik-baiknya berdasarkan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah yang bersangkutan.
Kemandirian suatu daerah dalam suatu Negara kesatuan, sangat dipengaruhi oleh system
pengawasan yang dianut, atau system pengawasan akan menentukan kemandirian satuan
otonomi daerah. Dalam suatu system otonomi dalam Negara kesatuan pengawasan merupakan
aspek yang harus selelu ada. Artinya tidak boleh ada system otonomi yang sama sekali
menghindari pengawasan.
c. Hubungan Keuangan
Pengertian keuangan Negara dapat dipahami atas tiga penafsiran terhadap pasal 23 UUD
1945 yang merupakan landasan kontotusional keuangan Negara. penafsiran pertama, diartikan
secara sempit yang hanya meliputi keuangan Negara yang bersumber dari APBN. Penafsiran
kedua, keuangan dalam arti luas yang meliputi keuangan Negara yang bereasal dari APBN.
APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh kekeyaan Negara sebagai suatu system
keuangan Negara. Penafsiran ketiga, dilakukan melalui pendekatan sistematik dan sosiologis,
maksudnya apabila tujuan menafsirkan keuangan Negara tersebut dimaksudkan didasarkan pada
system pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuengan Negara tersebut
adalah sempit.
Persoalan yang sering muncul berkaitan dengan hubungan keuangan antara pusat dan daerah
adalah terbatasnya jumlah dana yang dimiliki oleh daerah, dan pada sisi lain pemerintah pusat
memiliki dana yang sangat banyak. Dengan demikian substansi dari hubungan keuangan
tersebut adalah perimbangan keuangan.
BAB 3
Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah
di Beberapa Negara
A. Inggris
1. Pemerintahan Daerah
Inggris adalah Negara kesatuan yang terdiri dari wilayah-wilayah Englan, Wales,
Scotland, dan Nort Ireland. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah, maka Inggris
dibagi menjadi beberapa daerah yang mempunyai hak otonomi yaitu hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya. Namun hak otonomi ini terbatas hanya pada kegiatan-kegiatan yang
secara tegas diserahkan kepada local unit berdasrkan atas kuasa undang-undang.
Sejarah system pemerintahan inggris mengenal tiga tingkatan yang masing-masing
tingkatan meliputi dua sampai tiga jenis kesatuan. Adapun ketiga kesatuan terdiri atas (a)
Country, yang meliputi administrative Country dan Country Borough, (b) Disric, yang meliputi
Municipal Borough, Urban, Disrict, dan Rural Distric, dan (c) Parish.
B. Belanda
1. Pemerintah Daerah
Belanda sebagai Negara kesatuan, wilayahnya dibagi menjadi sebelas Provinsi dan
provinsi-provinsi tersebut dibagi lagi ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil. Terbentuknya
Negara Belanda berawal pada tahun 1579, Belanda bagian utara bergabung dalam Unie Van
Utrecht menghadapi ancaman Spanyol. Penggabungan ini bersifat kemiliteran, tetapi juga
dianggap bahwa perjanjian tersebut sebagai Grondwet dari Republiekder Verenigde
Nederlanden. Negara dengan bentuk Republik ini berlangsung sampai 1795, merupakan suatu
perserikatan antara tujuh provinsi berdaulat.
Susunan pemerintahan tingkat daerah dalam Negara kesatuan Belanda terdiri dari dua
tingkatan, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah gemeente. selain 2 pemerintahan tersebut,
Provinsiale Staten dan gemeenteraad dapat membentuk komisi-komisi yang bersifat territorial
yang diserahi wewenang tertentu. Meskipun komisi-komisi territorial ini mempunyai wewenang
mandiri, bukanlah merupakan susunan diluar provinsi atau gementee.
2. Sistem Rumah Tangga Daerah
Pembahasan mengenai sistem rumah tangga daerah akan berhubungan dengan
pengaturan maupun pengurusan tentang wewenang, tugas dan tanggung jawab yang
diselenggarakan oleh suatu susunan pemerintahan Daerah, dan karena itu sangat berkaitan pula
dengan otonomi.
Dapat dikatakan bahwa urusan rumah tangga Provinsi atau gemeente yang merupakan
urusan yang bersifat asli, artinya urusan tersebut menjaid urusan provinsi atau gemeente bukan
disebabkan adanya penyerahan dari pemerintah pusat, hal itu merupakan urusan rumah tangga
asli, bukan berarti menghilangkan kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat untuk
melakukan pengawasan terhadap urusan erkenning dari pemerintah provinsi maupun gemeente,
karena pengawasan merupkan unsur penting dari otonomi.
Dalam menentukan kebijaksanaan penyelenggaraan tugas pembantuan berdasarkan luas
sempitnya kebebasan menentukan kebijaksanaan, tugas pembantuan dibedakan menjadi tugas
pembantuan mekanis yaitu kebebasan provinsi untuk menentukan sendiri kebijaksanaan
pengaturan dan pengurusan tugas pembantuan dibatasi, dan pembantuan fakultatif yaitu
memberikan kebebasan yang lebih luas kepada provinsi dalam melaksanakan tugas
pembantuan.
3. Hubungan Keuangan
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan yang lebih rendah
adalah berkaitan dengan suatu pertanyaan, bagaimana pengeluaran dan cara pembiayaan
didistribusikan oleh berbagai tingkatan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan,
provinsi dan gemeente mengandalkan pada tiga sumber, yaitu : (1) Pungutan dan pajak daerah
sendiri, (2) Bantuan umum, (3) Bantuan khusus.
a. Pendapatan Sendiri
Sekarang ini pendapatan sendiri dikit sekali sehubungan dengan dana umum dan dana
khusus dari kerajaan kepada gemeente dan provinsi baik yang dari pajak daerah total
pendapatan gementee dan provinsi sekarang mencapai 7,3% pendapatan dari distribusi, pajak
dan hak-hak lainnya meliputi kira-kira 7,6% dari pendapatan total. Pendapatan sendiri
karenanaya mencapai kira-kira 15% dari pendapatan total.
b. Bantuan Umum
Dana bantuan umum yang berasal dari pemerintah pusat kepada pemerintah gemeente
dan provinsi yang berasal dari pajak kerajaan mencapai 32,7% dari pendapatan dana ini sama
seperti pendapatan asli daerah, pada dasarnya dapat digunakan secara bebas oleh gemeente dan
provinsi. Berdasarkan pasal 12 UU Hubungan keuangan, gemeente yang mengalami kesulitan
keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat untuk memperoleh dana
ekstra. Dana ekstra ini dapat mengakibatkan dana gemeente lainnya dikurangi jumlahnya.
c. Dana Khusus
Dana khusus untuk pemerintah daerah yang tujuan penggunaanya sudah ditentukan
sebelumnya oleh pemerintah pusat. Besar dana khusus sangat tergantung kepada tingkat
kelengkapan penyelenggaraan pemerintahan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Beberapa
contoh perlengkapan yang dibiayai dengan cara ini adalah angkutan umum dan pendidikan.
Pemerintah pusat melakukan atas cara dan penggunaan dana khusus ini.
BAB 4
Perkembangan Pengaturan Hubungan
Keuangan Pusat dan Daerah
A. Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah Periode 1945 s.d. 1956
Sebelum UU No.32 Tahun 1956 diundangkan, Indonesia belum mempunyai UU yang
mengatur hubungan keuangan antara Pemerintah pusat dan daerah, meskipun dalam masa
tersebut telah diundangkan UU No.1 Tahun 1945 dan UU No.22 Tahun 1948. Dalam kedua UU
tersebut sebenarnya persoalan keuangan daerah sudah diatur, namun hanya berkaitan dengan
sumber-sumber keuangan daerah saja sedangkan mengenai hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah sama sekali belum diatur.
UU No.1 Tahun 1945 sebenarnya sama sekali tidak menyinggung persoalan yang
berkaitan dengan hubungan keuangan, bahkan mengenai sumber keuangan pemerintah daerah
sama sekali tidak diatur. Hanya saja terdapat pengakuan formal dari UU No.22 Tahun 1948,
bahwa selama berlakunya UU No.1 Tahun 1945 terapat mekanisme pemberian subsidi dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan nama sistem sluitpost.
Sistem hubungan keuangan yang akan diciptakan dengan berlakunya UU No.22 Tahun
1948, sebenarnya ingin merubah sistem sluitpost yang selama ini berlaku.Pemerintah pusat
berkeinginan untuk memberikan hak dan kebebasankepada daerah untuk mengatur dan
mengurus sumber-sumber pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah.
Pemberian subsidi dana oleh pemerintah kepada daerah dilakukan sebagai akibat adanya
penyerahan kewajiban atau urusan-urusan pemerintahan tersebut.
Memperhatikan tingkat ketergantungan daerah yang sangat tinggi kepada pemerintah
pusat, serta pola hubungan hubungan antara pusat dan daerah dengan sistem sluitpost tidak
menyelesaikan persoalan, dan justru tidak mewujudkan kemandirian dan kebebasan daerah
otonom, maka upaya untuk melakukan perbaikan sistem hubungan keuangan menjadi prioritas.
Bab 5
Hubungan Keuangan antaraPusat dan Daerah di Indonesia
Pengelolaan DAU dan DAK harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan asas kadilan dan kepatutan. Peraturan perundang-undangan yang
berlaku sekarang adalah UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara dan UU No 1 tahun
2004 tentang perbendaharaan Negara. Pertanggung jawaban DAU dan DAK yang secara
formal sudah merupakan bagian dari keuangan daerah, maka pertanggung jawabannya
dilakukan oleh kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan
daerah.
D. Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat. Timbulnya pinjaman daerah merupakan konsekuensi dari meningkatnya
kebutuhan dana untuk melayani masyarakat yang juga meningkat sebagai akibat
perkembangan penduduk dan ekonomi. Dalam melaksanakan pinjaman daerah harus
memperhatikan kemampuan keuangan karena apabila hal ini diperhatikan, lembaga pinjaman
daerahyang dimaksudkan menambah sumber pendapatan daerah pada ahkirnya beban ABPD.
E. Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah di Masa yang Akan Datang
BAB 6
Penutup
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dipandang perlu untuk
menegaskan beberapa hal sebagai berikut :
1. Hubungan kewenangan antara pusat dan daerah di Indonesi diwujudkan dengan
memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus sumber-sumber pendapatan daerah.
2. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menyangkut dana perimbangan
belum memberikan peran kepada daerah untuk terlibat langsung dalam
menentukan criteria, variable maupun jumlah prosentase pembagian antara pusat
dan daerah.
3. Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama yang berkaitan
dengan pencairan alokasi DAU dan DAK dalam pelaksanaannya kurang
transparan.
4. Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah pada masa yang akan
dating harus dapat menjamin pendistribusian kewenangan yang adil dan rasional
dalam hal memungut dan menggunakan sumber-sumber pendapatan pemerintah.
5. Agar memperoleh pemahaman yang sama, maka besaran prosentase yang akan
dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan harus melibatkan masyarakat
daerah, unsure perguruan tinggi, dan Dewan Perwakilan Daerah agar menjamin
keadilan, transparasi dan akuntabilitas.
6. Untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai kegiatan
pemerintahan, maka objek pajak yang potensial hendaknya pengelolaanya
diserahkan kepada daerah.
7. Pemberian subsidi hendaknya tetap dapat menjamin kemandirian daerah dalam
mengatur dan mengurus urussan rumah tangga daerah sesuai dengan aspirasi dan
kepentingan masyarakat daerah.