Anda di halaman 1dari 22

There's something that better left unsaid, ....

Malam serasa beku. Hujan yang mengguyur sejak sore membuat udara
terasa sangat lembab. Aku melingkarkan tubuhku. Udara dingin AC menyelusup
ke dalam sendi-sendi tulangku. Aku bisa saja mematikan AC, tapi kasihan Ummi.
Tadi beliau mengeluh tubuhnya terasa panas. Mungkin pengaruh obat.

Two- a.m. Jam digital yang kuletakkan di atas meja berbunyi. Pukul dua
dini hari. Malam sudah sangat larut. Rahangku mulai menggelutuk. Aku tak tahan
dengan udara sedingin ini. Sementara malam semakin larut, aku tak bisa
memejamkan mata barang sedikitpun. Kutelentangkan tubuhku, menatap langit-
langit kamar rumah sakit. Silau. Sinar lampu membuat mataku ngilu. Aku kembali
memiringkan tubuhku yang masih saja menggigil. Mata, terpejamlah walau
sejenak, batinku. Aku tidak boleh sakit. Aku harus menjaga Ummi sampai beliau
pulih. Wahai karunia Tuhan, terpejamlah walau sejenak....

Terdengar suara batuk dari arah ranjang. Aku segera bangkit, mengambil
gelas dan sedotan di atas meja. Kuraih tangan Ummi. Tangan yang telah
memberiku kasih sayang dalam setiap belaiannya. Tangan yang kini terbaring
lemah bersama pemiliknya.

Ummi menatapku. Ada genangan air di sudut matanya.


”Nggak tidur?”
”Nggak bisa, Mi.” jawabku.
Kusentuhkan ujung sedotan ke bibir Ummi. Ummi memiringkan kepalanya, lalu
minum. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menekan mataku, membuatnya ngilu, dan
membuatku ingin memuntahkan air yang ada di dalamnya. Hatiku pilu. Sangat
pilu. Ummi, orang yang sangat aku cintai, sekarang terbaring lemah tanpa daya.
Tumor ganas yang bersarang di rahimnya membuat beliau sekarang harus
terbaring tanpa daya.
Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Kuraih tangan Ummi, kuciumi
dengan penuh rasa cinta. Cinta, Ummi. Cinta yang tak pernah bisa membalas
semua cinta yang telah engkau berikan. Cinta yang sebenarnya tak sebanding
dengan cinta dan pengorbananmu untukku. Maafkan aku, Ummi. Maafkan aku....

Aku teringat kejadian kemarin pagi saat Ummi masuk ke ruang operasi.
Dengan sorot mata yang sangat pasrah, Ummi berbisik kepadaku, ”Tempat
pertapaanmu akan hilang nanti. Tapi Ummi akan selalu ingat bahwa dalam perut
Ummi ini pernah bertapa anak-anak Ummi, titipan Allah yang sangat Ummi
cintai.” Saat itu aku tak bisa berkata apapun. Tenggorokanku tercekat, tak bisa
bersuara. Tempat pertapaanku... tempat dimana aku pernah tinggal disana selama
sembilan bulan. Tempat dimana aku mendapat kasih sayang yang pertama: kasih
sayang seorang ibu di setiap nafas dan detak jantungnya.
Aku tergugu. Ummi mengelus lembut kepalaku. Belaian itu masih tetap sama
seperti belaian beliau bertahun-tahun lalu, sejak aku kecil. Tak ada yang berubah.
Cinta dan kasih sayang Ummi tetap sama. Tak ada yang berkurang.

Ummi menyuruhku segera tidur. Beliau tidak ingin aku jatuh sakit. Aku
mengiyakan permintaannya, walau sebenarnya aku tak yakin bisa
melaksanakannya. Malam ini sangat sulit bagiku memejamkan mata.
Sepuluh menit berlalu. Ummi kembali tertidur. Aku lega. Setidaknya beliau tak
tahu bahwa aku tidak bisa tidur. Kuambil sebuah buku tebal dari ransel.
Sampulnya berwarna cokelat tua. Kupandangi sampul buku itu. Ada rasa sesal
menusuk-nusuk hatiku. Rasa sesal yang seharusnya tak pernah datang padaku.
Rasa sesal yang membuatku tak bisa memejamkan mata.

Ahmad Awal Chairi. Itulah nama yang tertulis di sampul buku itu. Itu
bukan buku biasa. Buku tebal itu adalah sebuah skripsi. Skripsi seseorang yang
selalu membuat hatiku bergetar jika mendengar namanya, atau sekedar melihat
bayangannya.
Rasa sesal itu menusuk hatiku. Aku menyumpahi diriku sendiri yang
terlalu bodoh. Sangat bodoh! Aku menyesal dengan segala keegoisanku.

Berawal dari kejadian tiga bulan lalu, saat Ustadz Abdurrahman


berkunjung ke rumah. Awalnya aku mengira itu adalah kunjungan biasa, karena
beliau adalah teman Abi. Saat beliau datang ke rumah, akulah yang membukakan
pintu untuk beliau. Beliau bertanya apakah Abi sedang di rumah. Kujawab, Abi
sedang ada kepentingan ke luar kota. Beliau mengangguk-angguk seperti biasa.
Lalu meminta izin untuk berbicara denganku saja. Aku rasa ada yang aneh.
Karena biasanya kalau Abi tidak ada, beliau langsung minta diri.

Ternyata benar dugaanku. Ada sesuatu yang tak biasa yang hendak beliau
sampaikan padaku dan Abi. Mulanya beliau bertanya tentang kuliahku. Setelah itu
tentang aktifias dakwah di kampus. Aku menjawab pertanyaan beliau dengan
antusias. Beliau terlihat senang mendengar jawabanku. Lalu sampailah pada
pertanyaan utama: Beliau menanyakan apakah aku sudah siap menikah! Aku
sempat kikuk diberi pertanyaan seperti itu. Namun aku segera menjawab bahwa
aku harus siap, karena bagaimanapun menikah adalah sunnah Rasul yang utama.
Penyempurna dien! Dan aku harus siap untuk itu.

Pertanyaan kedua, beliau menanyakan apakah sudah ada yang


mengkhitbah aku. Kujawab, belum ada. Mana ada ikhwan yang mau dengan
akhwat sepertiku. Ilmu agamaku masih sangat sedikit. Beliau tersenyum
mendengar jawabanku. Ilmu bisa dicari, katanya. Yang penting ada semangat dan
usaha untuk mewujudkannya.

Aku tersenyum malu. Aku bisa menebak apa yang akan beliau katakan
setelah itu. Dan benar dugaanku. Beliau menawarkan seorang ikhwan padaku.
Namanya Awal. Lengkapnya Ahmad Awal Chairi. Ikhwan itu sedang mencari
penyempurna dien-nya. Dan menurut Ustadz Abdurrahman, aku adalah wanita
yang pantas untuk mendampinginya.
Aku tertunduk. Ada rasa senang dan sedih. Senang, karena selama ini aku
meminta pada Allah untuk mempertemukan aku dengan jodohku. Dan sekarang
itu terjadi: Allah telah menggerakkan hati seorang hambaNya untuk
mengkhitbahku! Namun... rasa sedih lebih mendominasi hatiku. Ya, sedih. Sedih
karena orang yang mengkhitbahku bukanlah orang yang aku cintai. Sedih.
Kecewa. Tapi apa daya? Aku tak bisa memaksanya untuk mengkhitbahku. Tak
mungkin bisa. Bertemu dengannya saja aku malu. Haruskah aku menolak tawaran
Ustadz Abdurrahman? Atau aku harus menerimanya? Tapi bagaimana? Selama
ini dalam hatiku hanya ada satu nama. Aku tahu ini dosa, tapi aku mengharapkan
dia, bukan yang lain.

Heri. Hanya dia. Bukan yang lain. Hanya dia yang bisa membuat hatiku
bergetar tiap mendengar namanya, atau bahkan hanya dengan melihat bayangnya.
Dia yang wajahnya tak pernah ada dalam benakku, namun selalu muncul dalam
doaku. Demi Allah, aku lupa seperti apa wajahnya! Namun aku selalu ingat untuk
mendoakannya dalam setiap munajatku. Memohon pada Allah agar selalu
memberinya yang terbaik. Walaupun aku tak pernah menjadi bagian dari ”yang
terbaik” itu.

Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mencintai laki-laki yang belum
halal bagiku. Mungkin semua orang akan menyalahkanku. Salahkan saja aku!
Aku memang salah. Tapi aku yakin, semua orang yang pernah merasakan cinta
seperti yang aku rasakan akan bisa memahami perasaanku. Perasaan yang sangat
kuat, yang tak mampu aku menghindarinya.

Kuputuskan, aku tak bisa menerima tawaran Ustadz Abdurrahman. Aku


menolak dengan halus tawaran beliau. Alhamdulillah beliau bisa mengerti dan tak
memaksaku. Aku lega. Aku juga merasa kasihan pada ikhwan itu jika suatu saat
nanti aku menjadi istrinya, namun hati dan cintaku bukan untuknya. Aku tak mau
itu terjadi.
Itulah tiga bulanku yang telah lalu. Dan telah usai. Tak ada berita lebih
lanjut dari Ustadz Abdurrahman. Aku pun telah melupakannya. Namun malam
ini, kejadian hari itu kembali menghantuiku. Aku merasa diteror oleh keegoisanku
sendiri. Mengapa aku dengan begitu bodoh menolak tawaran beliau?! Beliau
bukan orang sembarangan. Ikhwan pilihannya pun pasti bukan ikhwan
sembarangan. Seharusnya aku sadar tentang itu!

Rasa sesal itu tiba-tiba saja datang padaku. Malam ini. Tepatnya setelah
akh Heri menyerahkan skripsinya padaku. Tadi, ba’da Isya. Aku meminjam
skripsinya untuk kupelajari, karena aku butuh referensi untuk menulis skripsiku.
Akh Heri berbaik hati—dia memang baik hati— meminjamkanku skripsinya.
Bahkan ia sendiri yang mengantarkannya ke sini, ke rumah sakit. Hanya saja, ia
tak sampai mengantarkannya ke kamar inap tempat Ummi dirawat. Dia
menungguku di ruang resepsionis. Di sanalah aku bertemu dengannya, bersama
Abi.

Aku tak sempat berbicara banyak dengannya. Aku hanya mengatakan


terima kasih dan minta maaf karena merepotkan dia. Itu saja. Setelah itu dia minta
diri, dan aku kembali menjaga Ummi. Aku tak sempat memperhatikan buku itu.
Judulnya saja belum aku baca. Pikiranku hanya tertuju pada Ummi.
Tadi, sekitar pukul sebelas malam, Ummi tertidur pulas. Aku senang sekali.
Setidaknya, dengan begitu akan sedikit mengurangi rasa sakit pada jahitan setelah
operasi. Setelah memastikan bahwa Ummi telah benar-benar pulas, aku meraih
buku bersampul cokelat itu. Aku meletakkannya di atas meja, di sebelah obat-
obatan Ummi.

Hatiku berdegup tak seperti biasanya. Ya Allah, ini adalah buku orang
yang aku suka! Kuraba sampul depannya dengan penuh perasaan. Membelainya
seperti seorang ibu membelai buah hatinya; atau seorang kekasih membelai
pasangannya. Jemariku dengan lentik mengikuti arah mataku membaca setiap
hurufnya. Mulai dari atas. Judul. Lupus as a Model Of An Idealistic Teenager.
Judul yang unik, batinku.
Jemariku mulai menelusuri huruf-huruf berikutnya. Mataku sedikit
bergerak ke bawah, membaca tulisan di bawah kata Thesis. Disana tertulis: By:
Ahmad Awal Chairi.

Deg!!! Jantungku seakan terhenti begitu saja. Apa ini? Benarkah ini
namanya? Bukankah namanya Heri??? Tapi mengapa di skripsinya tak ada nama
”Heri” sama sekali? Jangan-jangan.....

Aku tak bisa tinggal diam. Aku merasa harus menanyakan tentang ini
padanya. Harus! Aku segera mengambil HP, mengirim sebuah SMS.

Ass. Wr. Wb.


’afwan, akh. Ini skripsi siapa? Kenapa bukan skripsi antum?

Send. Selesai. Semoga saja dia belum tidur. Aku penasaran kenapa dia
tidak meminjamkan skripsinya sendiri? Dan... apa hubungannya antara dia dengan
akh Awal? Temankah? Atau saudara? Ah, aku semakin penasaran. Ternyata dia
mengenal ikhwan yang dulu pernah akan dijodohkan denganku.

Lima belas menit berlalu. Belum ada balasan. Aku mulai putus asa.
Mungkin sudah tidur, pikirku. Aku mengambil bantal di atas kursi, lalu berbaring
di karpet. Dingin. Aku berharap bisa segera mimpi indah. Saat aku telah berada
diantara alam sadar dan mimpi, suara HP membangunkanku. Mataku seakan tak
bisa terbuka. Ngantuk. Hampir saja aku berhasil tidur. Namun rasa penasaran
membuatku bangkit. One message received. Aku menekan tombol open. Hatiku
seperti tanaman di musim semi: berbunga-bunga! Sebuah SMS balasan dari akh
Heri.

Wa’alaikum salam. Wr. Wb. Afwan agak terlambat balasnya. Itu skripsi
saya, kok.
Deg!!! Skripsi...saya???? apa maksudnya dengan ”skripsi saya”? Ya Allah,
pasti ada yang salah dengan semua ini. Pasti! Aku menekan tombol reply.
Masya Allah, jadi maksud antum, ... itu adalah nama panjang antum?
Kenapa lain dengan nama panggilan antum? Saya bingung.

Send. Semoga saja dia mengatakan, ”Oh, itu skripsi teman saya. Karena
skripsi saya sedang ada yang meminjam, jadi saya usahakan untuk meminjam
skripsi akh Awal untuk anti.” Itu jawaban yang aku inginkan. Sayangnya,
seringkali apa yang kuinginkan tak seperti yang kudapatkan. Ia membalas SMS
ku.

Iya, itu nama panjang saya. Nama Heri berasal dari Chairi. Karena saat
kecil saya susah menyebut diri saya Chairi, maka ortu saya memberi nama
panggilan Heri. Supaya lebih mudah diucapkan.

Masya Allah...!!! Apa lagi ini????


Aku langsung teringat saat Ustadz Abdurrahman datang ke rumah. Aku
ingat saat aku menolak lamaran tersebut dengan berbagai alasan yang sebenarnya
hanya karanganku saja. Aku ingat saat itu aku sangat egois dan terlalu
memikirkan keinginanku sendiri; memikirkan orang yang kusuka tanpa peduli
bahwa perasaan itu adalah benih dosa!

Ternyata selama ini aku yang salah. Aku ingat, saat kajian Ustadz
Abdurrahman pernah memberiku nasihat. ”Yang menggenggam hati setiap
manusia itu hanyalah Allah. Jadi, bila suatu saat nanti merasakan jatuh cinta,
mintalah pada yang Maha Memiliki Cinta semoga cinta yang tumbuh dalam hati
kalian akan menjadi sarana untuk lebih mencintai Allah,” kata beliau. Aku
sempat bertanya bagaimana jika seseorang mencintai seseorang yang lain, tapi ia
tidak punya keberanian untuk menyampaikannya?

Saat itu beliau tersenyum, lalu menjawab, ” Cinta yang sesungguhnya


adalah setelah pernikahan. Diluar itu, cinta tak lebih dari sebuah kata kosong
tanpa makna. Mintalah pada Allah untuk mempertemukan kalian dalam keadaan
yang baik, jika memang masing-masing kalian adalah yang terbaik untuk yang
lain. Ingat, Allah-lah yang menggenggam hati setiap hamba-Nya. Sama seperti
rizki yang tak akan tertukar: jodoh pun demikian.”

Dan itulah yang kulakukan. Setiap saat aku memohon pada Allah untuk
mempertemukan kami dalam keadaan yang baik. Aku selalu memohon padaNya
untuk menetapkan hati akh Heri hanya untukku. Yah, sepertinya memang terlalu
memaksa. Tapi memang itulah doaku.

Hampir empat tahun aku memanjatkan doa seperti itu. Sampai akhirnya
jiwaku berontak. Aku kalah pada tipu daya syaithan. Suatu saat, dalam sujudku di
sepertiga malam, aku mendakwa Allah. ”Ya Rabb, mengapa tak Kau beri aku
jawaban?” itulah yang aku tanyakan saat itu pada Allah. Aku merasa Allah tak
mencintaiku. Ia membiarkanku menunggu terlalu lama. Sangat lama. Empat tahun
aku menunggunya. Dan tak pernah ada jawaban. Allahu Rabbi, bukankah Engkau
yang menggenggam setiap hati hambaMu? Mengapa tak Engkau gerakkan hatinya
untuk mengkhitbahku? Bukankah Engkau yang menguasai hatinya?

Tepat keesokan paginya, Ustadz Abdurrahman datang dan ”menawarkan”


seorang ikhwan. Seharusnya aku bersyukur saat itu, karena Allah langsung
memberikan apa yang kuinginkan. Tapi karena kebodohanku, aku malah berkata
dalam hati, ”Wahai Rabbul ’alamin... bukankah yang aku minta adalah akh Heri?
Mengapa Engkau mengirimkan ikhwan lain untuk mengkhitbahku? Aku yakin
Engkau tak mungkin salah mengirimkan jodoh untukku. Tapi... bukankah yang
aku minta adalah akh Heri?”

Bodohnya aku! Padahal Allah langsung memberi jawaban atas doaku.


Namun aku terlalu egois dengan segala keinginanku. Dengan nafsuku.
Astaghfirullah al ’adziim, ... semoga Allah berkenan mengampuniku.
Bulir-bulir air mata tak terasa telah membanjiri kedua pipiku. Penyesalan memang
selalu datang terlambat. Ingin rasanya aku bersujud padaMu, ya Rabb... ingin
rasanya segera sholat sunnah taubat. Aku ingin bertaubat atas kekhilafanku, ya
Rabb... aku telah berprasangka buruk padaMu, padahal Engkau mencintaiku dan
tak pernah menyia-nyiakan aku.

Sayang, aku sedang berhalangan. Aku tak bisa menegakkan shalat. Untuk
menenangkan diri, aku beristighfar dan berdzikir. Sebanyak mungkin. Semoga
Allah berkenan memaafkan aku. Amin.

Three a.m. Jam digital kembali berbunyi, menginformasikan waktu saat


ini. Satu jam telah berlalu, batinku. Aku kembali merebahkan diri di atas karpet.
Kudekap skripsi itu dalam dadaku. Mataku perih karena terlalu banyak menangis.
Aku segera memejamkannya. Bismika Allahumma ahya, wa bismika amuut...

***
Alunan merdu suara adzan membangunkan aku dari mimpi. Perlahan
kubuka mata. Silau. Entah jam berapa aku tertidur. Sepertinya tidak lama. Aku
bangkit. Sedikit menggerak-gerakkan tubuhku. Punggungku sakit. Mungkin
karena tidur di lantai. Aku mengarahkan pandanganku ke ranjang. Ummi masih
tertidur pulas, sementara Abi tidur di kursi di sebelah ranjang. Abi
menelungkupkan kepalanya di sebelah kanan Ummi. Tangannya masih
menggenggam tangan Ummi. Romantis sekali kedua orang tuaku ini. Aku jadi iri.

Segera kubereskan karpet, selimut dan bantal. Setelah itu membereskan


meja tempat obat, lalu mengumpulkan baju-baju kotor Abi dan Ummi. Pagi ini
aku harus pulang; mencuci, membersihkan rumah, dan tentu saja memasak untuk
Abi dan adik.
”Pulang sekarang?” Abi bertanya dengan suara parau. Sepertinya beliau sakit.
”Iya, Yah. Biar cepat selesai kerjaan rumah. Nanti kalau cepat selesai, ’kan Ai
bisa cepat-cepat kembali kesini.”
”Kalau mau pulang, SMS adikmu dulu. Minta jemput.”
”Ah, nggak usah, Yah. Kasihan adik. Adik ’kan harus siap-siap berangkat ke
sekolah. Biar Ai naik becak saja. Hitung-hitung ngasi rejeki untuk tukang becak.
Iya, kan?” jawabku.
”Yah, terserahlah kalau begitu.”

Sepuluh menit kemudian aku pamit kembali ke rumah. Kucium tangan


kedua orang tuaku dengan penuh takdzim. Dan segera setelah itu, aku berjalan di
koridor rumah sakit, memanggil tukang becak, dan akhirnya sampai di rumah.
Home sweet home. Baiti jannati! Sayangnya, saat ini hanya ada aku dan adik
disini. Tanpa Abi dan Ummi.

Aku menyetrika pakaian seragam adik, membuatkan sarapan dan susu


untuknya. Adikku ini memang sudah baligh, sudah kelas satu SMA. Tapi tetap
saja kalau urusan menyiapkan segala sesuatu untuk sekolah dia sangat manja.
Maunya segalanya harus serba disiapkan. Dasar bungsu, bawaannya manja terus
sama yang lebih tua.

Pukul tujuh kurang seperempat. Adik pamit berangkat sekolah. Aku


mengantarnya sampai pagar, mengiringinya dengan doa semoga selalu dalam
lindungan Allah dan mendapat ilmu yang berkah.
Baiklah, sekarang tinggal aku sendiri. Dan Allah. Dalam keadaan seperti
ini, bayang-bayang kejadian malam tadi kembali menghantuiku. Rasa sesal
semakin menggunung dalam hatiku. Ya Rabb, ... aku ingin menanyakannya pada
Ustadz Abdurrahman. Tapi bagaimana? Aku malu. Allahu Rabbi, ... berilah jalan
keluar atas masalahku ini.

Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah agar tak terlalu hanyut
dengan ingatan itu. Aku tak ingin selalu hidup dalam bayang-bayang penyesalan.
Aku sudah pasrah. Kalau memang jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kami.
Bagaimanapun caranya.
Aku mulai hanyut oleh perasaan. Bulir-bulir air mata menetes semakin
deras. Lututku terasa lemas. Tak mampu berdiri. Aku terduduk di depan TV.
Entah berapa lama aku bertahan seperti itu.
Bel berbunyi. Terdengar suara laki-laki mengucapkan salam. Suara yang
aku kenal. Aku segera menghapus air mataku. Berusaha untuk tampil senormal
mungkin.
”Wa’alaikum salam, ...” jawabku sembari membuka pintu ruang tamu.
Benar dugaanku. Laki-laki itu adalah Ustadz Abdurrahman yang suaranya
memang sangat aku kenal. Beliau membawa setumpuk map berwarna biru tua dan
kuning.

”Maaf, dik Ai, Bapak ada?” tanyanya. Beliau biasa memanggilku ”Ai”
karena Abi selalu memanggilku dengan sebutan itu. Orang lain biasanya
memanggilku ”Ais”
Aku memberitahunya bahwa Abi sedang menjaga Ummi di rumah sakit. Mungkin
pukul delapan baru pulang. Itupun kalau tidak ada tamu yang berkunjung ke
rumah sakit. Jika sedang banyak tamu, mungkin bisa sampai jam sebelas.
”Oh, kalau begitu saya titip berkas-berkas ini saja. Ini adalah berkas-berkas
Yayasan Al-Ikhlas yang perlu ditandatangani oleh Bapak,” kata beliau sambil
menyodorkan tumpukan map kepadaku. Aku menerimanya dengan mengucap
insya Allah akan kusampaikan pada Abi.
Ustadz Abdurrahman minta diri. Sebenarnya aku sangat ingin bertanya tentang
akh Heri padanya. Tapi aku malu. Betapa bodohnya aku jika aku menanyakan
seorang ikhwan yang notabene pernah aku tolak lamarannya? Dimana rasa
maluku?

Ustadz Abdurrahman memutar motornya, lalu menuntunnya ke arah pagar.


”Tunggu Ustadz!” aku memanggil. Sejak kecil aku memang terbiasa memanggil
beliau dengan sebutan ustadz. ”Kalau tidak keberatan, ada sesuatu yang ingin saya
bicarakan dengan Ustadz.” kataku.
”Sekarang?” tanya beliau.
”Iya, jika Ustadz tidak keberatan dan sedang ada waktu.”
”Baiklah,” katanya. Kami lalu duduk di beranda. Aku tidak berani menyilakan
beliau masuk ke ruang tamu, karena bagaimanapun juga kami bukan muhrim.
Aku yakin, walaupun aku menyilakan beliau duduk di ruang tamu, beliau pasti
akan menolak. Aku yakin itu. Beliau sangat berhati-hati.

Aku menanyakan tentang ikhwan yang dulu beliau tawarkan padaku. Aku
ingin tahu alasan Ustadz Abdurrahman menawarkannya padaku; apakah itu murni
dari keinginan Ustadz Abdurrahman sendiri untuk menjodohkan kami, atau, ...
mungkin ikhwan itu yang sebenarnya memintanya untuk melamarku?

Dengan suara sedikit parau beliau menjawab, ”Sebenarnya, saya telah


lama berkeinginan untuk mengenalkan dik Ai dengan nak Awal, tapi banyak
sekali kendalanya. Saat itu Awal kuliah di Malang. Dia jarang sekali pulang.
Kalaupun pulang, biasanya hanya dua hari. Misalnya hari Sabtu sampai di rumah,
hari Minggunya sudah harus kembali ke Malang. Sampai akhirnya dia lulus kuliah
sekitar tiga tahun lalu. Keinginan saya untuk mengenalkannya pada dik Ai
semakin kuat. Namun sayang, saat itu dik Ai kuliah di Surabaya dan jarang sekali
pulang. Kalaupun dik Ai pulang, saya tidak tahu kapan dik Ai ada di rumah. Jadi
itulah kendalanya.”

Ustadz Abdurrahman berhenti sebentar. Batuk. Sepertinya beliau juga


sakit, sama seperti Abi. Lalu beliau meneruskan, ”Sampai suatu saat nak Awal
bersilaturrahim ke rumah saya. Itu sekitar setahun lalu. Saat itu ia bercerita bahwa
sebenarnya ada seorang akhwat yang ia sukai akhlaknya, namun ia tak berani
menyampaikan khitbahnya. Katanya, akhwat itu bukan akhwat sembarangan.
Bukan dari keluarga yang biasa-biasa saja seperti dia. Namun nak Awal tak
pernah mengatakan siapa nama akhwat tersebut. Saya hanya mendengar
curhatannya tentang wanita itu. Hanya sebatas menjadi pendengar yang baik dan
penasehat. Tak lebih dari itu.

Saya tak berani lancang mengenalkan nak Awal dengan dik Ai, karena
saya tahu ia telah mencintai seorang wanita. Saya tidak berani. Jadi saya tutup
rapat-rapat keinginan itu. Toh, kalau jodoh, pasti akan dipertemukan oleh Allah.
Begitu pikir saya.

Suatu hari, saya ingat saat itu hari Senin, nak Awal kembali berkunjung ke
rumah saya. Katanya baru datang dari seminar Pra Nikah. Saya menanyakan
apakah ia sudah siap menikah? Jawabnya: siap. Saya kembali menanyakan
tentang wanita pilihannya itu, apakah ia sudah mengkhitbahnya. Katanya belum.
Saya semakin penasaran. Saya terus menanyakan tentang wanita itu. Bukannya
saya terlalu ingin mencampuri urusan orang lain. Saya hanya khawatir, kalau
perasaan nak Awal itu terlalu lama tersimpan dalam hatinya, akan menimbulkan
perasaan yang tak seharusnya.

Akhirnya ia menyerah. Katanya, ’Insya Allah Ustadz mengenal dia’. Lalu


saya mencoba menebaknya. Saya sebutkan satu-persatu nama akhwat yang saya
kenal. Dia selalu menggeleng mendengar nama-nama yang saya sebutkan. Sampai
habis nama murid-murid saya sebutkan, dia masih tetap tak bergeming. Saya ingin
menebak nama dik Ai, tapi saya tidak yakin. Apa iya, nak Awal mengenal dik Ai?
Karena penasaran, saya akhirnya dengan ragu-ragu menyebut nama dik Ai. Dan
subhanallah, wajah nak Awal langsung memerah. Ia langsung menunduk. Saya
mengerti apa maksud diamnya itu. Tanpa menunda waktu, saat itu juga saya
datang kemari. Sebenarnya saya tidak yakin dik Ai ada di rumah. Tapi saya yakin,
jika Allah mengizinkan, saya pasti bisa bertemu dik Ai dan pak Firdaus untuk
menyampaikan masalah ini.”

Aku tertunduk dan semakin tenggelam dalam ketertundukanku.


Ternyata Allah benar-benar menetapkan hatinya untukku. Air mata membasahi
pipiku sedikit demi sedikit. Aku berusaha menghapusnya. Namun semakin
kuhapus, semakin deras jatuhnya. Kali ini aku bukan hanya terluka. Aku hancur!

Ustadz Abdurrahman terlihat bingung melihatku menangis.


”Dik Ai, saya minta maaf kalau cerita saya tadi membuat dik Ai tersinggung atau
bersedih. Demi Allah, saya tidak bermaksud seperti itu.” Ustadz Abdurrahman
meminta maaf.
”Tidak, Ustadz, tidak. Bukan Ustadz yang salah. Sayalah yang terlalu
lemah menjaga hati. Demi Allah, Ustadz, jika bisa saya memutar waktu kembali,
saya ingin berada disaat Ustadz menyampaikan hal itu pada saya tiga bulan lalu.”
”Maksud dik Ai?” Ustadz Abdurrahman mengernyitkan alis tebalnya.
”Jika Allah mengizinkan saya memilih siapa laki-laki yang paling saya inginkan
untuk menjadi pemimpin saya, maka namanyalah yang akan saya sebut, dan tak
ada nama lain setelah itu.” jawabku.
”Maksud dik Ai? Nak Awal?” tanya Ustadz Abdurrahman dengan ekspresi
tak percaya.
Aku mengangguk. Air mata menganak sungai di pipiku. Kerudungku
basah.
”Jadi, ... dik Ai sudah mengenal nak Awal?”
”Ya, Ustadz,” jawabku, ”kami saling mengenal. Dulu saya sering
mengantar-jemput adik saya kursus bahasa Inggris. Guru les adik, namanya
Ikhlas, adalah teman akh Awal. Beberapa kali saya bertemu dia di sana. Saya
tanyakan pada adik apakah dia salah satu guru les adik juga. Kata adik tidak. Akh
Awal hanya sesekali membantu Akh Ikhlas mengajar anak-anak SD.

Beberapa kali dia mengajari adik saya. Adik saya menyukainya. Adik
sering sekali bercerita tentang Akh Awal. Adik saya lebih senang diajari Akh
Awal. Katanya metode mengajar akh Awal tidak monoton. Sayang, Akh Awal
jarang berada di sini karena harus menyelesaikan kuliahnya di Malang. Selain itu,
adik sering bercerita bahwa Akh Awal sering memberinya nasihat. Saya semakin
penasaran. Siapa, sih, yang bisa membuat adik saya yang super badung itu
menjadi penurut, bahkan menjadi anggota Remas termuda? Dari sanalah tumbuh
rasa simpati saya.

Saya dan akh Awal tidak pernah berkenalan secara formal. Hanya saling
menyapa jika kebetulan bertemu saat mengantar adik. Hanya itu. Namanya pun
saya tahu dari adik.”
”Lantas jika dik Ai menyukai dia, eh, maksud saya menyukai akhlaknya,
mengapa dik Ai menolak saat saya menawarkannya kepada dik Ai?” pertanyaan
Ustadz Abdurrahman terasa seperti tombak menghujam hatiku. Sakit sekali.

”Karena yang saya tahu, ... namanya adalah Heri. Bukan Awal. Itulah
yang saya tahu dari adik saya. Namanya Heri. Saya pikir, mungkin namanya
Herianto seperti nama teman saya.” jawabku.
”Astaghfirullah al ’adzim...” Syaikkh Abdurrahman beristighfar.
”Saya memang bodoh, Ustadz. Sangat bodoh. Seandainya saat itu saya
bisa menjaga hati saya, tidak mencintai seseorang yang belum halal bagi saya,
seandainya saya hanya berharap kepada Allah, ... mungkin kejadiannya tak akan
seperti ini. Saya menyesal, Ustadz. Seharusnya saya tahu bahwa Allah pasti akan
memilihkan jodoh yang baik untuk saya. Dan seharusnya saya sadar bahwa
ikhwan yang Ustadz pilihkan pasti bukan ikhwan sembarangan,” lanjutku.

Ustadz Abdurrahman diam. Aku juga diam. Dadaku seperti sesak dengan
perasaan ini. Beberapa saat lamanya kami sama-sama hanyut dalam pikiran
masing-masing.

Beliau menghela nafas. Sepertinya beliau mengerti perasaanku. Beliau


meyakinkanku bahwa jika Allah telah menetapkan kami sebagai jodoh, pasti ada
cara untuk bersatu. Tentu saja harus dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Aku meminta beliau membantuku kali ini. Aku memintanya menanyakan


sekali lagi pada akh Heri, apakah ia masih berkeinginan untuk mempersuntingku.
Kali ini aku sangat berharap bantuannya. Beliau tersenyum bijak, lalu
menyanggupi permintaanku.

Pagi itu aku mengantar Ustadz Aburrahman sampai pagar depan. Aku
harap beliau bisa menemui akh Heri secepatnya. Aku berharap waktu tiga bulan
tak akan mengubah hati akh Heri. Tidak mengubah keinginannya untuk
mempersuntingku. Amin.
Matahari berjalan cepat sekali. Aku segera membereskan pekerjaan
rumahku; membersihkan rumah, memasak, lalu menyiapkan makanan yang akan
kubawa ke rumah sakit. Abi belum datang. Mungkin hari ini beliau akan menjaga
Ummi sehari penuh. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, jadi Abi bisa lebih
leluasa untuk menggunakan waktunya.

***
Dua hari berlalu sejak Ustadz Abdurrahman datang ke rumah. Hari ini
kondisi Ummi membaik dan dokter telah memberi izin pulang. Tak ingin
berlama-lama, aku segera membereskan barang-barang. Kumasukkan semua
barang Ummi ke dalam tas; baju, selimut, obat-obatan, mukena, al-Quran, dan
tasbih kecil berwarna hijau.

Hari ini kami pulang. Semua bahagia. Terutama Ummi yang tidak betah
berlama-lama di rumah sakit. Kebahagiaan itu terpancar di wajah beliau. Dengan
kursi roda, kami mengantar Ummi ke mobil. Abi memapah dan membantu Ummi
duduk di kursi depan, di sebelah Abi. Aku duduk di belakang. Adik tidak ikut
menjemput Ummi karena hari ini sedang UTS. Dalam perjalanan, Abi sesekali
menggoda Ummi. Katanya, ”Wah, Ummi kayak dioperasi caesar aja.”

Ummi mencubit lengan kiri Abi. ”Iya, tapi nggak ada bayinya,” jawabnya
sambil tersenyum. Aku senang semua bisa kembali seperti semula; tersenyum,
bercanda, tertawa bersama.
Ummi menanyakan tentang pengalamanku menjadi ”ibu rumah tangga”
selama empat hari kemarin. Kujawab: sangat melelahkan! Setiap hari
membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci baju dan piring,
menyetrika pakaian, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Wah, aku sangat lelah
dengan itu. Namun dalam hati aku bersyukur karena dengan kesibukan itu aku
bisa mengalihkan perhatianku. Mengalihkan pikiranku dari masalah akh Heri.
Sampai di rumah, aku memapah Ummi ke kamar. Beliau harus segera
istirahat. Jangan sampai sakit lagi. Setelah membaringkan Ummi di dipan, Abi
berpamitan untuk berangkat ke Surabaya. Ummi dan aku mencium tangan beliau.

Sekarang hanya aku dan Ummi. Aku membujuk Ummi agar mau
beristirahat. Aku khawatir jika beliau terlalu banyak duduk akan membuat bekas
jahitannya sakit lagi.
”Jadi Ummi harus tidur lagi?” tanyanya.
”Yah, kesehatan Ummi ’kan belum pulih. Jadi istirahat saja dulu,” kataku.
”Ummi sudah terlalu banyak tidur. Ummi kangen, ingin ngobrol,”
Aku tersenyum. Kalau sudah begini, aku tidak bisa menolak. Aku juga rindu kata-
kata Ummi yang lugu, tak dibuat-buat. Aku rindu nasihat-nasihatnya yang
bijaksana. Aku rindu senyumnya.
Tangan Ummi menyentuh pipiku.
”Pipimu semakin tirus, nak. Mungkin karena kurang istirahat, berat
badanmu jadi berkurang. Maafkan Ummi, ya. Ummi tidak bermaksud
merepotkanmu.”
”Tirus? Nggak kok, Mi. Biasa saja. Berat badan Ai nggak berkurang, kok.
Ai malah bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk merawat Ummi tercinta”
jawabku sambil mencium pipi kanan Ummi. Sebenarnya aku sangat ingin
menangis di pangkuan Ummi, menceritakan semua yang memberatkan pikiranku
dan membuatku kurus.

Ummi menatapku dalam-dalam. ”Benarkah? Syukurlah kalau bergitu.


Tapi, ... selama tiga hari kemarin, Ummi sering melihatmu menangis saat malam.
Ada apa?” selidiknya. Ya Rabb, jadi Ummi tahu saat aku menangis? Tapi, ...
sepertinya setiap malam Ummi tidur nyenyak. Mengapa beliau bisa tahu?
”Jangan bohongi Ummi,” katanya, ”Ummi tahu kamu selalu menangis saat
malam. Jangan kira Ummi tidur nyenyak. Bagaimana Ummi bisa tidur nyenyak,
jika anak Ummi menangis sesenggukan tiap malam? Ayolah, jujur sama Ummi,
ya?”
Pandanganku mulai kabur tertutup air mata yang menggenang. Ternyata
Ummi tahu aku menangis setiap malam.
”Nggak ada apa-apa kok, Mi.” jawabku lagi.
”Jangan bohong. Ummi sangat mengenalmu. Apa yang memberatkanmu
memberatkan Ummi juga. Bohong itu dosa, nak. Apalagi berbohong pada ibumu,”
Aku diam. Aku tak tahu dari mana harus memulai ceritaku.
”Abi memberitahu bahwa kau bertemu seorang ikhwan malam itu. Dan sejak saat
itu ekspresi wajahmu berubah. Kau tersenyum tapi sorot matamu mengisyaratkan
kebalikannya. Nak, kau bisa saja membohongi semua orang dengan senyummu.
Tapi tidak dengan Ummi. Ummi telah lama mengenalmu, bahkan sejak kau masih
dalam kandungan. Jangan rahasiakan apapun dari Ummi,”

Aku tertunduk. Lama sekali. Ummi hanya diam, menungguku


menceritakan hal itu. Hujan di hatiku membuatku banjir air mata. Aku menangis
sambil menciumi tangan Ummi. Ummi berusaha menenangkanku. Belaian
lembutnya membuat badai di hatiku sedikit mereda. Kutarik nafas panjang, lalu
kuceritakan semuanya; tentang teman guru les bahasa Inggris adik yang bernama
Heri, tentang tawaran Ustadz Abdurrahman, dan tentu saja tentang skripsi yang
telah menguak semua rahasia itu.

Ummi diam mendengar ceritaku. ”Sudah kau ceritakan pada Ustadz


Abdurrahman tentang ini? Sudah kau minta bantuannya?” tanya Ummi.
”Sudah, Mi. Ustadz Abdurrahman bersedia membantu Ai menyelesaikan masalah
ini. Mohon doanya, Mi.” ”Insya Allah Ummi selalu mendoakanmu. Nanti kalau
Abi datang, kita musyawarahkan hal ini ya,” Ummi menasihatiku. Aku
mengangguk.

***
Sore ini gerimis turun tiba-tiba. Heran, padahal tidak ada mendung.
Matahari pun bersinar terang. Sungguh hal yang tak terduga. Aku menutup
jendela kamar sebelah timur tempat Ummi tidur, lalu mengambil keset dan
jemuran di halaman belakang. Setelah itu memasukkan sepeda dan motor yang
berada di halaman depan. Selesai.

Aku baru saja hendak menutup pintu depan, ketika sebuah motor Supra
memasuki halaman. Aku tertegun demi melihat sosok itu. Aku terpatung di pintu.
Kaki dan tanganku terasa kaku. Jantungku berdegup semakin kencang. Keringat
dingin mulai membasahi keningku. Aku terpaku.

Laki-laki yang dibonceng turun dari motor, lalu membuka helmnya. Benar
dugaanku, Ustadz Abdurrahman! Tapi, ... kok tumben minta diantar? Bukankah
biasanya beliau selalu sendiri?

Ustadz Abdurrahman melihat ke arahku. Beliau tersenyum dan


mengucapkan salam. Aku menjawabnya. Laki-laki yang bersama beliau
meletakkan motornya di sebelah timur, lalu membuka sarung tangannya. Aku
terus melihat ke arahnya. Sepertinya aku pernah bertemu orang itu. Tapi dimana?
Aku tak bisa melihat jelas wajahnya yang masih tertutup helm teropong.

Laki-laki itu membuka jok motor, lalu meletakkan sarung tangan yang
sudah dilipatnya. Klik. Jok ditutup kembali. Ia lalu membuka helm teropongnya.

Demi Allah, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Akh Heri! Ya
Rabb, ... bagaimana ini? Aku belum siap bertemu dengannya! Bagaimana nanti
jika kami harus berbicara? Apa yang harus aku katakan? Sebenarnya apa maksud
Ustadz Abdurrahman mengajaknya kemari?

Aku mempersilakan kedua tamuku ini masuk. Ustadz Abdurrahman


menanyakan Abi, kemudian Ummi. Kukatakan bahwa Abi sedang tugas ke luar
kota. Beliau berangkat setelah menjemput Ummi ke Rumah Sakit, sedangkan
Ummi sekarang sedang istirahat. Dan adikku, seperti biasa hari-harinya full
dengan les siang dan malam.
Di ruang tamu, rasa grogiku semakin menjadi. Aku bingung menghadapi
ini. Kalau saja Ustadz Abdurrahman tidak mengajaknya, mungkin aku akan lebih
leluasa berbicara dengan beliau.

Ustadz memulai pembicaraan.


”Maaf dik Ai, saya belum meminta izin pada dik Ai untuk mengajak nak
Awal bersilaturrahim ke rumah dik Ai,” katanya. Aku menjawab, tidak apa-apa.
Toh tujuannya baik, untuk silaturrahim.
Ustadz melanjutkan, ”Langsung ke inti pembicaraan saja, ya, dik Ai. Saya
sudah menyampaikan pada nak Awal tentang apa yang dik Ai ceritakan kepada
saya beberapa hari lalu. Saya sudah menyampaikannya, tapi nak Awal ingin
berbicara sendiri dengan dik Ai. Makanya saya ajak dia sekarang, untuk menemui
dik Ai. Biar masalahnya cepat selesai. Dik Ai dan nak Awal bisa lega kalau
masalah ini selesai, saya pun lega karena sudah berikhtiar untuk membantu kalian
berdua. Nah, sekarang silakan kalian berdua berbicara. Tidak usah malu-malu
lagi. Semua harus clear kali ini.”

Aku menunduk diam, memandangi jari kakiku yang terbungkus kaus kaki.
Sebenarnya tak ada yang menarik dari kakiku ini. Aku hanya mencari sasaran
untuk mengalihkan pandanganku dari akh Heri. Aku malu melihat wajahnya.
Selalu ada sesuatu yang aneh dalam dadaku, yang membuat jantungku berdetak
lebih kencang jika melihat sosoknya.

Beberapa saat kami terdiam. Akhirnya Ustadz Abdurrahman angkat


bicara. ”Baiklah, jika tak ada yang dibicarakan, lebih baik saya pamit pulang saja.
Murid-murid saya sedang menunggu saya di rumah.” katanya.

Aku merasa tidak enak pada Ustadz Abdurrahman. Akh Heri juga
sepertinya merasakan hal itu. Aku melihat sekilas ke arahnya. Deg! Pandangan
kami bertemu. Aku semakin kikuk. Aku segera menunduk.
”Sebentar, Ustadz. Baiklah, saya minta izin untuk berbicara lebih dulu,” Akh Heri
memulai pembicaraannya.
”Saya sudah mendengar dari Ustadz tentang apa yang memberatkan hati
ukhti Aisyah. Saya rasa itu sudah cukup membuat saya mengerti apa yang ada
dalam hati anti. Saya bisa menangkap bahwa anti merasa menyesal atas apa yang
telah terjadi. Benarkah itu?” tanyanya. Aku mengangguk. ”Ukhti, anti tidak perlu
menyesali apapun. Jujur, sebenarnya sayalah yang salah dalam hal ini. Saya
terlalu pengecut. Saya menyerah sebelum berperang. Sebenarnya sudah sangat
lama saya ingin mengkhitbah anti, tapi saya merasa tidak berani
menyampaikannya. Seperti yang anti tahu, saya hanya anak seorang tukang
garam. Tak ada yang istimewa dari saya dan keluarga saya. Sedangkan anti
berasal dari keluarga terhormat. Saya merasa minder. Karena itulah saya berusaha
menghapus perasaan itu. Namun semakin saya berusaha menghapusnya, semakin
kuat perasaan itu tertanam dalam hati saya. Saya tak bisa mengingkarinya.
Namun, sekali lagi, saya terlalu pengecut. Belum berusaha sudah menyerah.

Lama saya mencari solusi untuk masalah ini. Akhirnya saya memutuskan
untuk menceritakan hal ini pada Ustadz Abdurrahman. Saya yakin insya Allah
Ustadz sudah menceritakan tentang hal itu pada anti. Saat itu Ustadz langsung
datang kesini, ke rumah anti, untuk menyampaikan khitbah saya. Saat itu saya
merasa senang sekali. Sebuah kebahagiaan yang belum pernah saya rasakan
sebelumnya. Saya merasa sedikit lega karena beban dalam hati saya sedikit
berkurang. Saat itu saya sangat berharap anti menerima pinangan saya. Tapi
disitulah kesalahan saya. Saya terlalu banyak berharap. Impian saya terlalu tinggi.
Dan ketika impian itu musnah bersama penolakan anti, saya benar-benar hancur.”
Akh Heri diam sejenak. Aku tak bisa berkata sepatah pun. Aku tetap hening
dengan diamku. ”Dan kemarin....” lanjutnya, ”ketika Ustadz Abdurrahman
menyampaikan tentang perasaan anti pada saya, saya merasa tertampar untuk
kedua kalinya”. ”Tertampar? Apakah, ... saya, ... salah?” tanyaku terbata-bata.
”Tidak, anti tidak salah. Sayalah yang salah. Saya sangat ingin menghilangkan
perasaan itu. Dan satu kesalahan lagi saya lakukan. Saya pikir berproses dengan
akhwat lain akan membantu saya melupakan anti,” jawabnya. ”Ber...proses?”
tanyaku.

Akh Heri menarik nafas panjang. ”Ya. Sebulan lalu saya mengkhitbah
seorang akhwat. Saya berharap dengan begitu saya bisa cepat melupakan anti.
Saya egois. Saya ingin menunjukkan pada anti bahwa masih ada wanita yang mau
menikah dengan anak tukang garam seperti saya. Niat saya salah, ukhti. Saya
sadar itu. Dan Allah telah menghukum saya dengan mengirimkan Ustadz
Abdurrahman untuk menyampaikan perasaan anti pada saya. Saya menyesal
dengan apa yang telah saya perbuat. Saya telah menyakiti hati saya sendiri, hati
akhwat itu, dan yang lebih membuat saya menyesal adalah ... saya menyakiti hati
anti”.
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Akh Heri, ... telah
mengkhitbah wanita lain? Aku berharap kali ini pendengaranku salah. Aku
berharap ini hanya mimpi dan aku ingin segera bangun dari mimpi ini. Sungguh,
Ya Rabb, aku tak pernah menyangka ini akan terjadi padaku. Aku menatap tak
percaya ke arah Akh Heri. Dia menunduk. Dari suaranya yang berat, aku tahu dia
sedang menahan sesuatu. Ia tenggelam dalam ketertundukannya, seperti aku tadi.
Ia membungkukkan badannya. Lalu kulihat setetes air jatuh di lantai. Ya Rabb,
dia menangis!

Aku berusaha tegar. Aku tak boleh lemah kali ini. ”Insya Allah dia yang
terbaik untuk antum, akh. Semoga Allah memberkahi pernikahan antum
dengannya,” aku berusaha setegar mungkin.

Akh Heri masih diam. Ustadz Abdurrahman juga tak berucap apa-apa. Aku
mengalihkan pandanganku ke arah jendela. Gerimis masih turun. Pemandangan
seperti ini akan menjadi kenangan seumur hidupku; dedaunan yang basah, wangi
rumput, bau tanah yang menguap bersama butir-butir hujan, dan, ... Heri. Atau
Awal, …?

Anda mungkin juga menyukai