Anda di halaman 1dari 5

Ibn Taimiyyah dan Pemikirannya

1.

Riwayat Hidup Ibn Taimiyyah Pada paro ke dua abad ke tujuh Hijriah atau abad ke tiga belas masehi, lahir seorang bayi laki-laki yang kelak ditakdirkan tuhan menjadi salah seorang mufakkir (pemikir) islam terkemuka yang paling berpengaruh pada masanya, bayi yang dimaksud adalah Ibn Taimiyyah yang oleh banyak orang disebut sebut sebagai Mujaddid al-Islam (pembaru islam), nama lengkapnya Ahmad ibn Abd al-Halim ibnAbd as-Salam ibn Taimiyyah dilahirkan di Harram Siria1 pada hari senin, 10 Rabiulawal2, 661 H./22 Januari 1263 M.

Dibingkai dengan kesungguhan dan ketekunannya dalam talab a-ilm (menuntut ilmu), kecerdasan otak dan kepribadian baik Ibn Taimiyyah yang dikenal dengan wara, zuhud dan tawadunya ternyata mampu

menghantarkan dirinya kepada manusia besar yang sangat berprestasi. Ibn Taimiyyah bukan saja seorang alim besar yang menguasai banyak ilmu yang kaya pengalaman, melainkan juga seorang pejuang yang tangguh dan pengarang yang produktif. Lebih dari itu ia dapat disebut sebagai seorang tokoh islam yang pemahaman Islamnya boleh dikatakan mandiri, dalam pengertian tidak mau terikat pemahaman siapa dan aliran Islam yang manapun. Namun dengan itu dia tidak menolak ataupun menerima dan membela pendapat siapa dan aliran Islam mana pun jika menurut penilaiiannya sesuai dengan Quran dan Sunnah.

Ibn Taimiyyah menyatakan, bahwa semua orang beriman wajib mengimani seluruh sifat Tuhan yang disebutkan Quran sebagaimana adanya tanpa harus

Muhammad Amin. Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam bidang fikih Islam. Jakarta : Indonesia Nederlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1991, h.7. Terjemahan dari (Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah Hayatuhu waAsyruhu Arauhu wa Fiquhu, Dar al-Arabi, (t.t,), h. 17;Abd as-Salam Hasyim Hafiz, al-Imam Ibn Taimiyyah, Mustafa alBabi al-Halabi, Mesir, 1969, h.8). 2 Muhammad Amin, op.cit., h, 7.

ditakwilkan, karena menakwilkan ayat as-sifat dan menjelaskan daripada adanya tergolong kedalam urusan yang diluar jangkauannya kesanggupan manusia, smentara pada waktu yang bersamaan, kata Ibn Taimiyyah, kita dituntut supaya melakukan Tanzih (memahasucukan Allah dari menyamakan atau menyerupakan-Nya dengan mahluk)3.

2.

Pemahaman Keagamaannya Menurut Ibn Taimiyyah, agama Islam itu adalah agama yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya adapun dasar-dasarnya yang terpokok, beribadah hanya kepada Allah semata-mata, kedua beribadah kepada Allah hanya menurut aturan yang telah disyariatkan oleh-Nya tidak dengan bidah-bidah, dengan firman Allah:
4

sesuai

siapa yang berharap menjumpai tuhannya maka hendaklah dia beramal soleh dan tidak mempersekutukan aeorangpun dalam beribadah kepada tuhan-Nya

Ibn Taimiyyah memandang aspek-aspek keislaman yang disinggung di atas sebagai satu kesatuan yang satu dan menyeluruh dan saling kait-mengkait. Itulah aganya salah satu factor yang mendorong Ibn Taimiyyah melakukan koreksi total dan bahkan mengoreksi keras terhadap berbagai tokoh dan aliran Islam yang ada pada saat itu, seperti kaum filosof muslim yang dinilai olehnya terlalu mendewakan akal dan mendewakan dalil nalq karena kekeliruan mereka dalam memahami kata al-aql dan menempatkan

Muhammad Amin. ,op cit., h.8. Terjemahan dari (Saad Sadiq Muhammad, Ibn Taimiyyah imam as-Saif wa al-qalam, Al majlis al-Ala li asy-Syuun al-Islamiyyah, Kairo-Mesir, (t.th). h.10. 4 Muhammad Amin. ,op cit, h. 23. Terjemahan dari (Ibn Taimiyyah , Qaidah Jalilah fi at- Taawassul wa al wa-sillah, selanjutnya ditulis Qaiddah Jalillah , al maktab al Islami , Beirut Libanon, 1970, h.5 dan 21).

fungsinya dan mengkaitkannya dengan wahyu (agama)5 serta tentang sedikitnya pengetahuan meeka tentang ulum al Hadis.

Faktor lain yang melatarbelakangi Ibn Taimiyyah mengadakan koreksi besarbesaran ke dalam tubuh umat Islam agaknya juga karena bercampuraduknya ajaran Islam yang waktu itu dengan paham-paham dan praktik luar (non Islam) yang dinisbahkan kepada Islam, sehingga agama Islam yang semestinya mudah dipahami dan ringan diamalkan menjadi ruwet dimengerti dan berat dilaksanakan.

Ijtihad itu akan terbuka sepanjang masa atau zaman, karena kondisi manusia selalu berubah-ubah paerubahan itu harus selalu diikuti perubahan hokum yang sumbernya dari wahyu. Dan itulah fungsi ulama, harus membimbing perubahan masyarakatnya sesuai dengan petunjuk wahyu Tuhan. Doktrin pandangan Ibn Taimiyah tentang Negara misalnya, berbeda dengan para pendahulunya misalnya dan sebagainya yang menganggap bahwa system khalifah itu wajib menurut syariat agama, namun demikian menurut mereka khalifah itu tetap wajib adanya sebagai pengikat persatuan dan kesatuan umat islam. Dalam hai ini Ibn Taimiyyah berpendapat lain, bahwa khalifah itu tidak wajib. Yang wajib adalah menjalankan syariat agama, jadi umat boleh mengadakan, mendirikan dua atau lebih khalifah atau Negara. Menurutna yang menjadi pengikat kesatuan dan persatuan umat adalah syariat, bukan khilafah satu-satunya. 6

3.

Sebab-sebab yang diperintahkan itu termasuk Ibadah. Di antara mereka itu ada satu golongan yang dinilai oleh mereka lebih tinggi kedudukannya, yaitu orang-orang uang berpegang pada Agama dalam melaksanakan perintah-perintah yang mansyhur dan menjauhi laranganMuhammad Amin. ,op cit, h. 23. Terjemahan dari (Ibn Taimiyyah, Kita barradd ala al-Mantiqiyyin , Dal al-marifah, Beirut-libanon (t.th), h. 276). 6 Studi Kemuhammadiyyahan,. h,.16
5

larangan pula, yang mereka pilih sendiri berdasarkan hawa nafsunya, tetapi mereka sesat karena meninggalkan perantara (sebab -sebab) yang

diperintahkan padahal sebab-sebab itu sendiri adalah ibadah, karena beranggapan seorang yang arif apabila lebih mempercayai takdir maka ia berpaling daripadanya, misalnya orang yang menganggapnya tawakal dan doa itu adalah orang umum bukan untuk doa tertentu, alasannya karena orang yang yakin adanya takdir itu dia pun sudah mengetahui, bahwa apa yang ditakdirkan itu pasti terjadi, karena itu apa perlunya tawakal dan berdoa. Ini jelas suatu kesesatan yang seterang-terangnya. 7

Dipandangnya anggapan seperti itu satu kesesatan, karena Allah menentukan sesuatu itu dengan sebab, sebagaimana halnya ia menetapkan adanya bahagia dan celaka juga dengan sebab-sebab, sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw: sesungguhnya Allah menjadikan ahli surga dan dijadikannya surga itu untuk mereka, sedang mereka waktu itu masih berada di tulang rusuk ayah-ayah mereka dan dengan perbuatan ahli surga itulah mereka berbuat. Dan Allah menjadikan ahli neraka dan Ia jadikan ahli neraka itu untuk mereka sedangkan mereka waktu itu masih berada di tulang rusuk ayah-ayah mereka, dan dengan perbuatan ahli neraka itu mereka berbuat (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud)

Ketika Rasulullah memberitahukan kepada para sahabat akan halnya takdir ini maka kemudian bertanya: ya Rasulullah! Tidaklah sebaiknya kita tinggalkan saja beramal dan kita cukup menyerah kepada catatan itu

Jawab Rasulullah: Jangan! Bekerjalah, karena semuanya itu akan berjalan sesuai yang telah ditentukan. Orang yang menjadi ahli surga (bahagia) akan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Ubudiyah. Surabaya: Lembaga Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia. 1982., h.67.
7

dimudahkan untuk mengerjakan pekerjaan ahli surga itu, sedang orang yang menjadi ahli neraka akan dimudahkan untuk mengerjakan pekerjaan ahli neraka (HR Bukhari dan Muslim)

Anda mungkin juga menyukai