Anda di halaman 1dari 4

Reinventing Government (Catatan Musrenbang Prov.

NAD) Oleh: Jeliteng Pribadi, SE, MM, MAi Musyarawah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi NAD tahun 2008 kembali digelar minggu yang lalu (8/4). Agaknya, ritual ini telah berlangsung sukses dan menelurkan tujuh kebijakan Pemda yang cukup meyakinkan. Namun, Musrenbang saja belumlah cukup. Betapapun cantiknya gagasan yang diusulkan dalam musrenbang, akan kurang bermakna bila tidak diakhiri dengan pengesahan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tepat pada waktunya. Mudah-mudahan saja nasib APBA 2009 bisa lebih baik dari tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, hingga minggu ketiga bulan keempat tahun ini, APBA Aceh tahun 2008 tak jua kunjung disahkan. Kemungkinan, nasib pengesahan APBA tahun ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang baru bisa tuntas pada pertengahan tahun. Tentu saja kondisi ini menjadi tanda tanya publik. Apa permasalahan mendasar dari keterlambatan ini? Apakah karena kelalaian pihak-pihak yang berkompeten, atau ketidakmampuan? Kita memaklumi bahwa ada banyak persoalan teknis dalam proses panjang penyusunan anggaran yang rumit. Namun, pasti ada hal mendasar yang mengakibatkan semua ini. Untuk itu, kita perlu memahami secara objektif kendalakendala beserta konsekuensinya. Memetik hikmahnya, untuk tidak lagi mengulanginya di masa depan. Beban Kerja Satuan Kerja Pemerintah Tidak dapat dipungkiri bahwa pasca implementasi desentralisasi fiskal tahun 2002, Aceh mendadak berlimpah rupiah. Bahkan, pasca tsunami dan perjanjian damai Helsinki, anggaran Aceh semakin bertambah besar saja. Disamping dana APBD, Aceh menerima kucuran dana rehab rekon yang bersumber dari Kementerian/Lembaga, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Badan Reintegrasi Aceh (BRA), organisasi non pemerintah, maupun dari negara-negara donor dan lembaga internasional.

Sejak 2005 sampai 2008, secara berturut-turut DIPA Provinsi NAD tercatat sebesar Rp 18,2 trilyun, Rp 17,5 trilyun, 19,2 trilyun, dan Rp 18,1 trilyun. Angka ini belum termasuk dana-dana yang dikucurkan langsung oleh lembaga donor dan LSM. Berarti, secara rata-rata sejak musibah tsunami terjadi, Aceh mengelola dana sebesar Rp 18,2 trilyun tiap tahunnya. Bandingkan sebelum desentralisasi diberlakukan, dimana Aceh hanya mengelola Rp 2,4 trilyun pada tahun 1999. Setelah desentralisasi angka ini melonjak drastis menjadi Rp 8,7 trilyun pada 2002. Besarnya anggaran pembangunan Aceh secara otomatis mempengaruhi beban kerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Padahal, hampir dapat dipastikan tidak banyak peningkatan kapasitas SKPA yang terjadi selama ini. Mengutip ungkapan Prof. Dr. A. Rahman Lubis, mantan Kepala Bappeda NAD, Ibarat truk dengan kapasitas terbatas, dijejali oleh beban yang sangat besar. Maka ada dua kemungkinannya. Pertama, kalau muatannya tidak tumpah, maka truknya akan hancur berantakan. Reinventing Government Sejatinya, peningkatan anggaran pembangunan merupakan indikasi positif bagi tercapainya sasaran pembangunan. Dana yang sangat besar ini diharapkan dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan yang selama ini selalu menjadi alasan. Sebaliknya, sumber dana yang besar ini justru dapat menimbulkan konflik baru bila salah dalam pengelolaannya. Disamping tidak memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah dan masyarakat, bahkan dapat menjerat pengelola keuangan negara ke dalam masalah hukum. Untuk itu, sumber dana yang besar ini harus pula diimbangi oleh kemampuan manajerial yang baik. Mulai dari perencanaan keuangan, penganggaran, pengarahan, serta pengawasannya. Keterlambatan pengesahan anggaran tentu saja akan berdampak langsung pada realisasi program dan hasil yang diharapkan. Hingga tidak jarang kita dapati, anggaran yang besar tidak mampu terserap dengan optimal. Alhasil, pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi tertunda atau tidak terealisir sama sekali.

Untuk itu, kita membutuhkan suatu lompatan besar dalam tata kelola pemerintahan. Kita membutuhkan reformasi birokrasi, atau yang diistilahkan dengan reinventing government. Konsep reinventing government (membangun kembali tata kelola pemerintahan) mulai dikenalkan di Amerika Serikat pada era pemerintahan Bill Clinton Al Gore yang dikenal dengan the Clinton Administration (1993-2001). Konsep ini diterapkan melalui reformasi cara kerja aparatur pemerintah secara fundamental. Bukan cuma sebatas mengganti kepala dinas. Seorang peneliti Universitas Texas, Robert P Hillmann berkata, It is a disciplined process, lifted from industry, to create "fundamental change, rapid progress toward radical goals" employing the use of "selective" information. Uraian di atas agaknya dapat membuka wacana tentang urgensi reformasi tata kelola pemerintahan di Aceh. Kita menyadari bahwa menyusun APBA yang ideal merupakan sesuatu yang penting (important). Namun, menuntaskan dokumen APBA sesegera mungkin merupakan sesuatu yang mendesak (urgent). Dengan belum tuntasnya APBA tahun 2008, agaknya tepat jika dikatakan pembangunan NAD 2008 sedang memasuki masa-masa kritis. Baik itu dilihat dari segi waktu, kesiapan pemerintah dan masyarakatnya, serta lonjakan ketersediaan dana pembangunan yang menjadi tantangan tersendiri

Penulis adalah Dosen FE Unsyiah dan Manajer Operasional Aceh Recovery Forum, Banda Aceh

Ditayangkan pada Website Aceh Recovery Forum, Selasa, 22 April 2008 www.acehrecoveryforum.org

Anda mungkin juga menyukai