Anda di halaman 1dari 2

Demokrasi Awang-awang Kesakralan demokrasi semakin terdistorsi dan jauh dari makna vitalnya, yakni dukungan publik dengan

kesadaran dan pengetahuannya untuk turut memberikan legitimasi bagi pemegang kekuasaan. Cita-cita demokrasi yang luhur sebagaimana yang diharapkan di awal kelahirannya, tidak sekedar perolehan kuantitas tanpa pertimbangan kualitas. Pasalnya, suara terbanyak merupakan rasionalisasi publik untuk menghadirkan kebaikan dan kebenaran kolektif. Demos berarti rakyat dan kratos atau cratein berarti pemerintahan, lebih dikenal dengan diktum pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (kepercayaan rakyat kepada negara yang melaksanakan fungsinya untuk keamanan, keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat). Kuatnya orientasi politik anak negeri ini yang terus-menerus terjebak dalam kubangan kuantitas, memungkinkan pelegalan cara-cara manipulatif, sabotase, dan vandalisme selama proses pencapaiannya. Terbukti banyaknya laporan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh rata-rata peserta pemilu, yang berupaya menggenjot perolehan suara mereka dengan berbagai cara.

Mirip dagelan menggelikan yang dulu sering ditayangkan di acara televisi, Baru Bisa Mimpi (BBM). Memimpikan panggung demokrasi yang luas, tapi di tengah-tengahnya jebol seperti panggung kampanye. Berharap bisa menemukan perubahan di pemilu 2009, malahan menyisakan berbagai kendala, pelanggaran, dan kekacauan. Semula warga dapat merasakan senang meskipun sejenak (hanya mampir) dengan iming-iming uang, bantuan TV, karpet, semen dan sebagainya dari caleg, tapi akhirnya hadiah tersebut diminta kembali oleh si pemberi tadi. Di republik ini, demokrasi dalam satu dasawarsa tidak lebih dari sekedar perpanjangan tangan para elit untuk melanggengkan kekuasaan. Slogan dan cek kosong yang selalu disodorkan kepada rakyat, hanya berupa janji-janji perbaikan nasib mereka tanpa realisasi. Para politisi selalu mengedepankan retorika daripada harus bertanggung jawab, mengambil tindakan nyata, mengimplementasikan gagasan berupa tawaran visi-misi mereka, serta menyelesaikan atau mengantisipasi persoalan yang tengah terjadi. Klimaks Perbandingan terbalik jumlah pemilih yang semakin rendah (voters turn out) dengan jumlah golput yang semakin tinggi (abstainers), merupakan fenomena buruk pemilu yang bergulir tiap lima tahunnya. Sebagai wujud kegagalan para politisi dan parpol mempresentasikan wajah politik yang normatif (tanggung jawab moral kepada rakyat atau moral oracle) kepada tataran praktek yang riil (pemegang kebijakan atau policy maker). Angka golput yang semakin tinggi pada parade pemilu tahun ini, disebabkan masyarakat tidak menemukan alternatif lain di antara puluhan kontestan

untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik bagi perubahan nasib mereka. Para politisi memang bukanlah dewa penyelamat (satrio piningit) yang mampu mengatasi kesuluruhan persoalan bangsa. Tapi bila mengacu pada konsep from the people, by the people, to the people ala Abraham Lincoln, maka tuntutan moral selalu inheren dengan kelangsungan sistem politik yang ada. Moralitas merupakan faktor check and balance yang secara de facto melekat pada pribadi politisi maupun parpol. Tanpa aspek tersebut

Anda mungkin juga menyukai