Anda di halaman 1dari 3

Milda S.

Hadi Sekmen Pagi Artikel Tentang Gempa December 12th 2010

10.12 am itulah waktu yang terekam di telepon cellular temanku saat civitas akademika yang berkonsentrasi Universitas Negeri Padang kembali menjadi bagian dari penduduk yang dikagetkan oleh goncangan, yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi hal yang biasa namun tetap meninggalkan traumatik yang mendalam. Gempanya sendiri tidaklah terlalu kuat, hanya 4,2 skala richter saja, namun gempa tersebut seakan mempertegas bahwa Sumatera Barat ada dalam zona tidak aman, juga seakan mendukung ramalan para peramal yang meramalkan bahwa akan terjadi gempa besar dalam waktu dekat ini di Padang. Disebabkan traumatic yang ditinggalkan oleh gempa 30 September 2009 lalu, beberapa mahasiswa yang sedang berkuliah pada tanggal 3 desember 2010 itu menampakkan reaksi yang berlebihan. Ada yang berlari sambil berteriak bahkan tanpa sadar mengangkat roknya untuk memudahkannya dalam berlari menyelamatkan diri. Reaksi yang sebenarnya adalah salah satu penyebab utama jumlah korban dalam peristiwa gempa. Yaitu PANIK! Sehingga terbentuklah slogan bukan gempanya, tapi paniknya. Imajinasipun seketika melompat tinggi ke angkasa. Mahasiswa yang sudah bertebaran keluar dari kelasnya masing-masing mulai membayangkan tentang tsunami yang mungkin akan datang. Memory tentang tsunami aceh yang sering ditampilkan di televisipun kembali

teergambar, dan beberapa mahasiswa pun mencoba menghubungi keluarganya, namun bermasalah dengan jaringan telephon. Wajah pucat, bingung menahan tangis, dan takut mati, langsung menjadi pemandangan yang terlihat. Entah disebabkan oleh gempa ini atau tidak, jalan raya tidak lagi beraktifitas seperti beberapa menit sebelumnya yang bergerak pelan dan dengan suara yang tertahan,melainkan ikut panic, mendukung mendukung kegundahan hati sebagian mahasiswa yang masih berdiri kebingungan di depan balai bahasa Universitas Negeri Padang. Jalan raya spontan bergerak cepat, kendaraan bermotor roda dua dan empat pun langsung saling dahulu mendahului, suara yang tertahan tadipun pecah, sehingga dari jalan raya hanya terdengar suara klakson serta diselingi umpatan dari pengendara seakan mengisyaratkann kepanikan masing-masing pengendara yang ingin cepat kelauar dari kota yang bernama Padang ini. Setelah kebingungan sejenak, antara pulang kampung atau tidak sebagian mahasiswa memutuskan go home right now. Pulang kampong sekarang juga!. Tak ada lagi kata menunggu. Agen travel dan mini bus pun menjadi serbuan. Tak berapa lama pun mini bus yang bertujuan Padangpanjang, Bukittinggi, Payakumbuh pun langsung penuh dan menjadi bagian dari jalan raya yang dari tadi sudah mulai beraktifitas cepat dan berisik. Klakson dibunyikan tiap detik. Umpatan juga menjadi tanda ketidak sabaran pengemudi dengan sibuknya arus lalu lintas pasca gempa itu. Melihat keputusan sebagian mahasiswa yang pulan menimbulkan rasa geli bagi sebagian orang, ah gila aja, gempa dikit aja, langsung pulang atau parno banget sih lo. Tapi tidakkah kita bias memahami apa sebenarnya penyebab keparno-an itu sendiri? Trauma? Ya tulah salah satu penyebabnya, sehingga keputusan gila tadi diambil oleh sebagian orang. Hal diatas juga

merupakan bentuk kewaspadaan dari mahasiswa terhadap bencana yang akan timbul, usaha unutk menyelamatkan diri. Mereka berpikir, setidaknya mereka tidak mati dalam keadaan pasrah dan terlihat konyol. Ayo kembali ke point iamn yang seakan tidak terlihat atau tampak dari rentetan event diatas. Bagaimana kondisi iman kita setelah digncang beberapa kali gempa? Menurunkah? Semakin kokohkah? Lalu bagaimana seorang yang beriman itu harus bereaksi terhadap gempa dan/atau bencana lain? Mari introspeksi diri?

Anda mungkin juga menyukai