Anda di halaman 1dari 7

Dimensi Kepentingan Publik dalam Kerjasama ASEAN Oleh Hendro Martono I Krisis multidimensi yang masih berlangsung dewasa

ini, seiring dengan proses reformasi yang bergerak begitu lamban, membawa efek domino dalam perekonomian nasional kita. Banyaknya modal domestik yang dilarikan ke luar negeri dengan berlindung di balik slogan nasionalisme baru yang dicetuskan oleh mantan sekretaris kabinet pada awal 1998- mengakibatkan stagnasi ekonomi di dalam negeri. Pada gilirannya, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja atas jutaan tenaga kerja domestik akibat banyaknya perusahaan yang gulung tikar. Pada tingkat akar rumput, kenaikan secara drastis jumlah penganggur di perkotaan mendorong terjadinya arus ruralisasi maupun migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Di dalam negeri, salah satu dampak ledakan pengangguran adalah penjarahan dan perusakan lingkungan sebagai upaya mengatasi perut yang lapar. Perambahan dan khususnya pembakaran hutan secara tak terkendali tidak hanya berdampak pada kerusakan ekosistem, tetapi juga menimbulkan gangguan terhadap lingkungan yang lebih luas, yang bahkan melintasi tapal batas negara. Dalam konteks kerjasama ASEAN, krisis yang dialami Indonesia menjadi ironi yang luar biasa. Pelarian modal dalam negeri berikut para konglomerat Indonesia ke Singapura vis a vis ketiadaan pernjanjian ekstradisi kedua belah pihak memberikan kesulitan tersendiri bagi Indonesia. Sementara itu, banyaknya tenaga kerja ilegal Indonesia yang berada di Malaysia dapat diibaratkan sebagai bom waktu yang sedikit banyak akan mengganggu hubungan kedua negara. Dari dalam negeri, ekspor asap yang selalu terjadi sepanjang musim kemarau jelas menimbulkan ketidaksukaan negara-negara tetangga. Jika kepentingan nasional setiap negara anggota ASEAN dapat diklafisikasikan ke dalam ranah kepentingan privat, maka kesepakatan atas pemberlakuan kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) harus diklasifikasikan sebagai wilayah kepentingan publik. Dalam hubungan ini, pemerintah Indonesia sedikitnya memiliki tiga agenda penting yang harus diselesaikan yakni penanganan masalah II Kleden (1992:xvi) pernah mengajukan tesis bahwa masalah kemiskinan menjadi kunci penyelesaian masalah perusakan lingkungan. Dalam banyak kasus yang dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, proses pembangunan selalu menghadapi dilema : memajukan kesejahteraan rakyat dalam banyak kasus cenderung merusak alam; akan tetapi, jika pembangunan tidak dilakukan maka rakyat akan tetap miskin; padahal kemiskinan juga cenderung akan merusak alam. 1 lingkungan hidup, pelarian modal dan konglomeratnya ke Singapura, serta masalah tenaga kerja Indonesia di Malaysia.

Mantan Wakil Gubernur bidang Ekonomi dan Pembangunan Kalimantan Tengah Elieser Gerson pernah menyatakan bahwa sepuluh tahun ke depan suku Dayak akan terancam punah jika masalah pencemaran lingkungan tidak segera diantisipasi sejak dini (Kompas, 6 Maret 2001). Ilustrasi lain yang menggambarkan dilema pembangunan adalah rusaknya lahan bekas penambangan pasir dan logam timah di Provinsi Kepulauan BangkaBelitung yang kini dalam ancaman serius bagi kelestarian lingkungan. Dilaporkan cadangan timah 10 tahun habis dikeruk hanya dalam waktu setahun (Kompas, 24 Juli 2002). Selain kasus ekspor pasir laut dari Kepulauan Riau ke Singapura yang sempat menghebohkan karena begitu banyak kepentingan yang bermain di dalamnya, perambahan dan pembakaran hutan di Indonesia tidak hanya merugikan kepentingan privat, tetapi juga kepentingan publik. Kerusakan hutan di Indonesia yang dikenal termasuk paling parah tingkat kerusakannya (Kompas, 3 Juni 2002)- menjadi salah satu penyumbang meningkatnya efek rumah kaca akibat makin gundulnya permukaan bumi. Dalam 12 tahun terakhir tingkat penggundulan dan kerusakan hutan di Indonesia sudah mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Sekarang, angka kerusakan itu diyakini sudah bertambah dua kali lipat, terutama akibat maraknya penebangan liar (illegal loging) yang dipicu oleh era reformasi yang kebablasan. Dilaporkan oleh Forest Liaison Bureau bahwa pada akhir tahun 2000 hutan-hutan yang tersisa pun mengalami degradasi (Kompas, 16 Februari 2001). Dilihat dari dimensi kepentingan publik, Indonesia mengabaikan dampak kerusakan hutan ini terhadap kelestarian lingkungan dalam skala global. Dampak meluasnya penyebaran asap dari pembakaran hutan yang terjadi setiap tahun tanpa diikuti dengan tindakan tegas dalam penegakan hukum, selain merugikan kepentingan dalam negeri ternyata juga merugikan negara-negara tetangga. Nota diplomatik yang pernah disampaikan oleh Pemerintah Malaysia, Singapura dan Brunei sebagai protes atas kasus pembakaran hutan di Indonesia menunjukkan pentingnya Pemerintah Indonesia memerhatikan dimensi kepentingan publik. Apalagi dampak penyebaran asap ini tidak hanya langsung memengaruhi aspek kesehatan lingkungan dengan timbulnya serangan infeksi pernapasan, tetapi juga kerugian akibat pembatalan jadwal penerbangan dengan segala rentetannya. Kondisi terakhir yang dilansir media massa menunjukkan asap berbahaya masih merajalela di Kalimantan Selatan dan Jambi (Kompas, 7 September 2004). Dalam konteks kerjasama ASEAN, bantuan teknik yang pernah ditawarkan oleh Pemerintah Malaysia guna mengatasi kebakaran hutan harus dilihat dari dimensi kepentingan publik ini karena Malaysia pun berkepentingan atas keselamatan dan kesehatan warga negaranya, di samping kepentingan ekonomi, khususnya yang menyangkut kelancaran lalu lintas udaranya. Jika Pemerintah Indonesia tidak dapat mengatasi masalah penyebaran asap dari kebakaran hutannya, ini jelas akan menimbulkan masalah dalam kerjasama ASEAN. Pada gilirannya hal ini juga akan berdampak pada kerugian bagi Indonesia sendiri.

III Jika masalah kerusakan lingkungan lebih cenderung menyangkut kepentingan domestik yang berdimensi kepentingan publik, masalah pelarian modal beserta para konglomerat Indonesia ke Singapura harus didefinisikan sebagai kepentingan publik yang berdimensi kepentingan domestik. Upaya menarik investor asing yang dapat mendorong aktivitas ekonomi Indonesia yang dilakukan sejak masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid maupun Megawati belum membuahkan hasil menggembirakan, sementara upaya me-repatriasi modal domestik yang diparkir di Singapura terganjal masalah perbedaan hukum kedua negara. Alih-alih mengupayakan hubungan kerjasama bilateral yang lebih menguntungkan melalui perjanjian semacam ekstradisi, misalnya, seorang bekas menteri senior Indonesia menganggap pelarian modal ke luar negeri sebagai bentuk nasionalisme baru. Dengan berlindung di balik slogan relokasi investasi, tidak begitu mudah diharapkan bahwa upaya ini akan memberikan kontribusi pada pemasukan devisa negara. Diperlukan modal investasi langsung guna merangsang bergerak-kembalinya roda perekonomian Indonesia. Meskipun data akurat tidak dapat ditemukan, diperkirakan modal domestik yang diparkir di Singapura cukup memadai untuk menggerakkan kembali roda perekonomian Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan ataupun negosiasi yang memungkinkan modal yang parkir tersebut kembali masuk ke Indonesia; dan bukan sebaliknya, melakukan divestasi dan privatisasi yang justru mengundang banyak pertanyaan dari sejumlah kalangan di dalam negeri. Jika Singapura berkepentingan dengan masuknya aliran modal dari Indonesia itu guna menunjang pertumbuhan ekonominya, seharusnya Indonesia lebih berkepentingan dengan modal itu, dan karenanya bila mungkin memberi tekanan kepada Singapura untuk memperlunak ataupun merevisi kebijakan moneter yang cenderung merugikan Indonesia. Jika kedua belah pihak beritikad baik dalam kerangka kerjasama regional dengan lebih memerhatikan dimensi kepentingan publik, seharusnya Indonesia dapat mencoba pendekatan baru sambil berharap Singapura bersedia melakukan perbaikan atas kebijakan yang kurang menguntungkan dalam konteks kerjasama ASEAN. Meskipun prinsip saling menghormati kedaulatan setiap negara anggota tetap harus ditegakkan, jika kedaulatan itu merugikan dimensi kepentingan publik dalam kerjasama kawasan / regional, mestinya kepentingan bilateral dapat mengakomodasi kepentingan publik itu. Jadi, kesepakatan mengenai AFTA seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kanal yang memungkinkan setiap barang dan jasa bebas bergerak; arus modal dari Indonesia yang diparkir di Singapura pun seharusnya dengan mudah dapat ditarik kembali atas nama keadilan hukum. Contoh kasus gugatan Pertamina atas harta kekayaan Haji Taher beberapa tahun lalu mestinya dapat dijadikan preseden yang baik bagi upaya tersebut. 3

IV Arus migran dari Indonesia ke Malaysia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan timpangnya hubungan kerjasama bilateral. Banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor jasa pertanian, perkebunan maupun konstruksi di Malaysia bukanlah karena kita memiliki keunggulan kompetitif di bidang itu, melainkan pertama-tama pekerja Malaysia sendiri mulai tidak tertarik pada sektor itu akibat tingkat pendidikan yang lebih tinggi dengan keunggulan kompetitif yang lebih baik serta posisi tawar atas tingkat penghasilan yang lebih tinggi daripada migran asal Indonesia. Selain itu, ketidakmampuan Pemerintah Indonesia menyediakan lapangan kerja domestik akibat lambannya proses reformasi ekonomi rekapitalisasi dunia perbankan yang justru melahirkan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, privatisasi sejumlah BUMN yang ditawar dengan harga sangat rendah dan divestasi yang hanya untuk menarik keuntungan guna membiayai APBN- menimbulkan ironi yang lain lagi. Yakni meningkatnya arus migran ke negeri jiran, bukan karena keunggulan kompetitif tenaga kerja Indonesia, melainkan sektor itu benar-benar tidak diminati oleh angkatan kerja Malaysia. Jika untuk sementara arus migran itu dapat mengurangi tekanan atas kebutuhan lapangan kerja domestik, Pemerintah Indonesia mestinya lebih mendorong terciptanya mekanisme keimigrasian para pekerja secara lebih mudah, murah dan cepat dengan disertai perlindungan hukum yang memadai. Untuk itu diperlukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan Pemerintah Malaysia, sebab dalam banyak kasus pihak majikan di Malaysia suka menggunakan kelemahan sisi hukum para migran ini dan menjadikannya sapi perah. Studi yang dilakukan oleh Haris (2002) terhadap migran Indonesia asal Nusa Tenggara Barat menemukan ratusan bahkan ribuan pekerja Indonesia mengalami nasib yang menyedihkan. Bekerja dengan upah rendah, jam kerja amat panjang tanpa memperoleh penghargaan dan perlindungan keamanan yang layak, merupakan hal yang biasa. Ini disebabkan oleh sikap ambivalen Pemerintah Malaysia, yang di satu pihak cenderung melindungi para majikan di dalam negeri dan di pihak lain sangat ketat mengontrol keberadaan para migran asing. Oleh karena masalah pekerja migran mengandung sensitivitas yang tinggi, khususnya sejak Pemerintah Malaysia mengumumkan akan menindak tegas jutaan tenaga kerja asing mulai Januari 2005 (Kompas, 29 Agustus 2004), seyogyanya kedua pemerintah, khususnya Indonesia secara proaktif melakukan pendekatan, tidak hanya dalam konteks kerjasama bilateral, tetapi juga dalam konteks kerjasama multilateral (regional). Di sini aspek kepentingan domestik kedua negara harus mempertimbangkan dimensi kepentingan publik karena kehadiran pekerja migran di Malaysia tidak hanya berasal dari Indonesia. Dari kedua belah pihak ini, Indonesia tidak selayaknya hanya memandang para pekerja migran sebagai penyumbang devisa negara, tanpa mampu memberikan perlindungan 4

hukum dan jaminan keamanan. Pihak Malaysia pun seyogyanya tidak hanya memandang para pekerja asingnya sebagai beban produksi dalam aktivitas industrialnya, tetapi juga memosisikan para pekerja asing ini sebagai faktor produksi yang turut menyumbang pertumbuhan ekonomi domestik Malaysia. Harapan ini terutama diproyeksikan pada prospek hubungan kerjasama yang lebih luas dari AFTA yang meniscayakan pembebasan segala tarif perdagangan, arus barang dan jasa yang memungkinkan setiap pekerja dari semua negara anggota ASEAN bebas bergerak merebut peluang kerja di mana pun. V Masalah lingkungan hidup, pelarian modal dan pekerja asing sesungguhnya belum cukup merepresentasikan dimensi kepentingan publik dalam kerjasama ASEAN. Isu jaringan terorisme internasional yang menjadikan Asia Tenggara sebagai basis gerakan, masalah perbatasan antarnegara, khususnya kasus reklamasi pantai oleh Singapura dengan memanfaatkan impor pasir laut dari Indonesia, masalah penyelundupan berbagai komoditas antarnegara akibat kondisi geografis yang mempersulit patroli laut, merupakan isu penting lainnya yang perlu ditangani secara serius. Akan tetapi, dalam hubungan segitiga antara Indonesia, Singapura dan Malaysia, ketiga masalah yang telah dibahas dapat dijadikan agenda kerja dalam kerangka kerjasama ASEAN. Disadari, atas nama kepentingan nasional masing-masing anggota ASEAN, perbedaan sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya di antara negara-negara anggota ASEAN sedikit banyak masih menjadi batu sandungan. Ini memang berbeda dengan Eropa Barat yang secara relatif memiliki karakteristik homogen sehingga pembentukan Pasar Tunggal Eropa yang dimulai dengan peluncuran mata uang tunggal Euro dapat diwujudkan. Meskipun demikian, kesepakatan atas pemberlakuan AFTA harus dipandang secara optimistis dengan meletakkan dimensi kepentingan publik dalam kerjasama ASEAN sebagai basis bagi pemenuhan kepentingan domestik. ***

Daftar Sumber Haris, Abdul. 2002. Memburu Ringgit Membagi Kemiskinan: Fakta di Balik Migrasi Orang Sasak ke Malaysia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kleden, Ignas. 1992. Ke Arah Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Dalam Suwandi S. Brata (Editor). Pembangunan Berkelanjutan : Mencari Format Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama & Yayasan SPES. Hal. xv xxvii. Kompas, 16 Februari 2001 Kompas, 6 Maret 2001 Kompas, 3 Juni 2002 Kompas, 24 Juli 2002 Kompas, 29 Agustus 2004 Kompas, 7 September 2004

Biodata Peserta Nama lengkap NIP. Pangkat/Golongan/Ruang Tempat/Tanggal lahir Pekerjaan Unit kerja Alamat kantor Alamat rumah : : : : : : : : Drs. Hendro Martono 131675520 Pembina Tk. I / IV-b Sragen, 29 Maret 1964 Guru (Sejarah dan Bahasa Indonesia) SMK Negeri 2 Temanggung Jl. Kartini No. 34 Temanggung Telepon (0293) 491609 Kode Pos 56215 Temanggung Jawa Tengah Jl. Hayam Wuruk No. 19 RT 02 RW 02 Dusun Maron Desa Sidorejo Kecamatan Temanggung KP 56221 Telepon (HP) 0812 2834 684

Anda mungkin juga menyukai