Anda di halaman 1dari 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Definisi Impetigo adalah infeksi piogenik superfisial dan mudah menular yang terdapat dipermukaan kulit.(BUKU MERAH KULKEL) Infeksi ini disebabkan oleh streptokok dan stafilokok, dan berpindah dari manusia ke manusia melalui kontak, terutama antara anak-anak. (Patofisiologi) Terdapat dua bentuk klinis impetigo, yaitu impetigo krustosa (nonbulosa) dan impetigo bulosa. Impetigo bulosa disebabkan oleh Stafilokokus aureus yang masuk kedalam lapisan kulit. B. Epidemiologi Umumnya mengenai anak usia 2-5 tahun. Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Suhu yang panas, lembab, dan higiene yang kurang baik merupakan faktor predisposisi infeksi tersebut. (Patofisiologi) Faktor predisposisi lain adalah menurunnya daya tahan tubuh (kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas, diabetes mellitus) dan telah adanya penyakit kulit lain di kulit (karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi. (BUKU MERAH KULKEL) Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dari kelainan lain (sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, varizela, infeksi herpes simpleks, dermatitis atopi) atau penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh (diabetes melitus, HIV). (Nurdiansyah, E)
C. Sinonim

Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet. (BUKU MERAH KULKEL) D. Etiologi Biasanya Stafilokokus aureus. (BUKU MERAH KULKEL) (Patofisiologi) (Nurdiansyah, E) E. Gejala Klinis

Pada impetigo bulosa keadaan umum tidak dipengaruhi dan tempat predileksinya adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. (BUKU MERAH KULKEL) Awalnya ditandai oleh pembentukan vesikel yang timbul sampai bula dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Lesi berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bula pecah dan meninggalkan gambaran collarette pada pinggirnya. Krusta varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikel/bula telah memecah sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa. (Nurdiansyah, E) F. Diagnosis Diagnosis impetigo dapat ditegakkan dengan melihat perjalanan penyakit dan penampilan klinis dari lesi. Dilihat dari perjalanan penyakit, impetigo non bulosa dan bulosa dapat kita bedakan antara lain pada lesi non bulosa, lesi dimulai dengan adanya pustula kecil yang berkembang cepat menjadi bentuk krusta berwarna kekuningan seperti madu dimana biasanya lesi berukuran dengan d < 2 cm. Bercak-bercak pada kulit biasa ditemukan pada area yang mudah terpajan seperti pada muka dan ekstremitas dimana gigitan, abrasi, laserasi, garukan, luka bakar atau trauma dapat terjadi. Terjadi penyebaran secara cepat dan lesi biasanya bersifat asimptomatik dengan gatal sesekali. Terdapat regional limfadenopati pada 90% pasien impetigo. (Nurdiansyah, E) Pada lesi bulosa, bula memiliki atap yang tipis sehingga mudah untuk pecah secara spontan, lesi bulosa biasanya menyebar lokal pada wajah, ekstremitas, pantat atau perineum dan lesi ini dapat menjadi infeksi sekunder sehingga menambah berat terhadap lesi yang sebelumnya ada dan menjadi lesi yang lebih luas dan regional adenopati tidak terjadi. impetigo bulosa sering disebabkan oleh S aureus grup 2 dengan menghasilkan toxin eksfoliatif A dan B yang akan menyebabkan adhesi sel pada lapisan superfisial dari epidermis, memecah lapisan stratum granulare dan membentuk blister. (Nurdiansyah, E) G. Diagnosis Banding

Jika vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan eritema. Maka mirip dermatofitosis. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisna adalah impetigo bulosa. (BUKU MERAH KULKEL) H. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorik terdapat leukositosis. Pada kasus yang kronis dansukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada kemungkinan penyebabnya stafilokokus atau streptokokus melainkan kuman negatif-Gram. (BUKU MERAH KULKEL) I. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dari impetigo meliputi perawatan luka baik secara topikal maupun pemberian antibiotik sistemik. Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan memperbaiki kosmetik dari lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang lain dan mencegah kekambuhan. Pengobatan harus efektif, tidak mahal dan memiliki sedikit efek samping. (Nurdiansyah, E) Perawatan umum dengan cara higien dengan membiasakan membersihkan tubuh dengan sabun, memotong kuku dan senantiasa mengganti pakaian. Dilakukan perawatan luka. Tidak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan pribadi (handuk, pakaian, dan alat cukur). (Nurdiansyah, E) Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan karena hanya diberikan pada kulit yang terinfeksi sehingga meminimalkan efek samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi sensitifitas pada kulit orang-orang tertentu. Untuk perawatan luka, bersihkan lesi dengan menggunakan larutan antiseptik. Bila lesi basah, lesi bisa dikompres dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000 atau dengan antiseptik lainnya. Terapi antibiotik topikal menjadi pertimbangan sebagai pilihan terapi untuk individu dengan impetigo terlokalisasi yang tidak berkomplikasi diantaranya adalah Mupirocin (bactroban) diketahui dapat membersihkan 52-68% pasien dengan kolonisasi S aureus yang resisten terhadap methisilin. Mupirocin bekerja dengan cara menghambat dari sinteris protein dari bakteri. Selain itu Retapamulin (Altabax) merupakan antimikroba topikal terbaru dan diindikasikan untuk terapi impetigo terlokalisasi pada anak yang memiliki usia > 9 th. Hal ini

telah ditunjukkan dengan aktivitasnya yang sangat baik secara in vitro untuk S.aureus yang resisten terhadap mupirocin. Mekanismenya dengan menghambat sintesis protein dengan mengikat subunit 50S pada ribosom. (Patofisiologi) (Nurdiansyah, E) Untuk penggunaan antibiotik sistemik, ada beberapa golongan antibiotik sistemik yang dapat dipakai antara lain. Antibiotika golongan sefalosporin generasi pertama yang biasa digunakan untuk pengobatan impetigo dan infeksi kulit lainnya. Mekanismenya aksinya adalah dengan menghambat sintesi dinding bakteri. Pada dewasa dapat diberikan 4x500 mg sedangkan pada anak-anak 25-50mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Kemudian Amosisillin dan Klavulanat dimana Amoksisilin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat protein ikatan penisilin. Klavulanat menghambat beta laktamase penghasil bakteri. Dosis dewasa 2x500mg, sedangkan untuk anak 20-45 mg/kgbb/hari. Ada juga diklosasillin yang bekerja dengan mengikat pada satu atau lebih protein pengikat penisilin sekaligus menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosisnya untuk dewasa adalah 4x125-500mg diberikan sebelum makan, sedangkan untuk anak 25mg/kgbb/hari. Eritromisin juga dapat dipakai untuk menghambat pertumbuhan bakteri, dosisnya 4x500 mg per hari. Efektivitasnya kurang dibandingkan dengan obat gol.lainnya. Obat ini cepat menyebabkan resistensi. Sering menimbulkan rasa tidak enak di lambung. Selain itu, Klindamicin dan Linkomisin dapat dipakai juga pada pengobtan kasus impetigo. Dosis linkomisin 3x500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih baik karena itu dosisnya lebih kecil yakni 4x150 mg untuk dewasa dan 10-30 mg/kgbb/hari untuk anak. Efek sampingnya adalah dapat menyebabkan kolitis pseudomembranosa. .(BUKU MERAH KULKEL) (Nurdiansyah, E) J. Prognosis Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak diobati. (Nurdiansyah, E) K. Komplikasi Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi streptokokus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak dan tekanan darah tinggi, pada sepertiga terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.

Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paruparu (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening. (Nurdiansyah, E)

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A. 2002. Pioderma dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 4. Penerbit

FKUI : Jakarta.
2. Price, A.S., Wilson L.M, 20055. Infeksi Kulit dalam Patofisiologi : konsep klinis proses-

proses penyakit volume 2 edisi 6. Penerbit EGC : Jakarta.


3. Nurdiansyah, E. 2010. Diagnosis dan penatalaksanaan impetigo bulosa. Modifikasi

terakhir pada Thu 26 of Aug, 2010 [14:31]. www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page

Anda mungkin juga menyukai