Anda di halaman 1dari 1

Hukuman Cambuk Dan Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Jumat, 24 Juni 2005 mata dan perhatian sebagian masyarakat Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) atau Indonesia pada umumnya tertuju pada halaman Masjid Agung,
Kabupaten Bireun, karena pada lokasi ini akan dilangsungkan eksekusi hukum cambuk
terhadap 27 terpidana yang telah dijatuhi vonis karena terbukti telah melakukan
pelanggaran syariat oleh Mahkamah Syariah Kabupaten Bireun, hal ini merupakan
pertama kalinya dan sejarah baru bagi Aceh dan bagi Indonesia. Dasar dari pelaksanaan
hukuman cambuk tersebut adalah Peraturan Gubernur Provinsi NAD No.10/2005
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uqubat Cambuk yang memberikan kewenangan
kepada Wilayatul Hisbah sebagai eksekutor hukuman cambuk. Saat ini Pemerintah NAD
sudah memberlakukan tiga Qanun terkait Jinayah (hukum pidana) ,yaitu Qanun
No.12/2003 tentang Minuman Khamr dan Sejenisnya, Qanun No.13/2003 tentang Maisir
(judi) dan Qanun No.14/2003 tentang Khalwat (Mesum).
Yang menarik dari kejadian ini adalah timbulnya tentangan keras dari beberapa
pihak terhadap eksekusi cambuk tersebut, hal ini didasari pada pendapat bahwa
pemberian hukuman cambuk dipastikan akan menimbulkan penderitaan yang besar, tidak
hanya luka fisik dan psikologis kepada para terpidana semata tetapi keluarga terhukum
juga akan mendapat malu dan trauma atas perbuatan yang ditimbulkan karena hukuman
tersebut dipertunjukkan di depan khalayak ramai. Hal ini merupakan langkah mundur
dari penegakan HAM di Indonesia karena hukuman cambuk merupakan hukuman yang
masuk kategori perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
perbuatan yang merendahkan martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur
dalam berbagai legislasi nasional meupun konvensi internasional yang berkaitan dengan
HAM. Hanya saja yang perlu diperhatikan dari kejadian ini adalah legal reasoning dari
hukuman cambuk tersebut, pertama; bahwa penerapan syariat islam di NAD adalah
kehendak dari rakyat NAD yang oleh Parlemen direalisasikan melalui UU Nomor.44
Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan ini merupakan konsekuensi dari Demokrasi,
kedua; efek psikologis berupa rasa malu dan trauma akibat hukuman ini memang
merupakan semangat dari penegakan jinayah di dalam Al Qur’an.
Terlepas dari perdebatan ini, harus disadari bahwa hukum bertujuan untuk
mencapai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penerapan hukum harus
mengacu pada ketiga hal tersebut, terlepas dari rejim hukum apa dan nilai-nilai religi apa
yang diadopsi, yang terpenting adalah bagaimana hukum tersebut dapat memiliki daya
keberlakuan untuk ditaati dan diterapkan di Indonesia. Sense inilah yang perlu disadari
oleh seluruh rakyat Indonesia, bahwa hukum tersebut harus terjaga kemurniannya
netralitasnya dari kepentingan politik dan sensitivitas yang berbau SARA demi
tercapainya tujuan hukum. --Theories is Practice—

Teddy Anggoro

Anda mungkin juga menyukai