Anda di halaman 1dari 24

Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi

budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi. Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika. A.Revolusi Hijau Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara negara

berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah. B.Pestisida dan Pupuk Buatan Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan. Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada mereka adalah jika ada hama, pakailah pestisida merek A. para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah antekantek pedagang yang mempromosikan keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifatsifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zatzat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun. C.Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan

bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lainlainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat: Berbagai organisme penyubur tanah musnah Kesuburan tanah merosot / tandus Tanah mengandung residu (endapan pestisida) Hasil pertanian mengandung residu pestisida Keseimbangan ekosistem rusak Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni petani berkewajiban berperan serta dalam

mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah. Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang. Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru adalah produksi pangan yang tidak seimbang dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru memasukkan Revolusi Hijau dalam program Pelita. Revolusi Hijau ini dilaksanakan secara nasional. Apa sih Revolusi Hijau itu? Revolusi Hijau adalah perubahan besar berkaitan dengan soal penggarapan tanah dan pertanian. Dampak positif Revolusi Hijau di Indonesia : a. Meningkatkan produktivitas tanaman pangan. b. Peningkatan produksi pangan menyebabkan kebutuhan primer masyarakat industri menjadi terpenuhi. c. Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. d. Kualitas tanaman pangan semakin meningkat. Sedangkan dampak negatif Revolusi Hijau di Indonesia antara lain : a. Penggunaan pupuk buatan dan pwstisida secara berlebihan akan mengakibatkan lahan pertanian menjadi tidak subur lagi. b. Berkurangnya keanekaragaman genetic jenis tanaman tertentu yang disebabkan oleh penyeragaman jenis tanaman tertentu yang dikembangkan. c. Adanya mekanisme pertanian mengakibatkan cara bertani tradisional menjadi terpinggirkan. d. Rasa kegotongroyongan semakin menurun.

e. Hasil panen dari beberapa kawasan Revolusi Hijau mengalami penurunan. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Presiden Soeharto pun mendapatkan gelar Bapak Pembangunan karena berhasil mewujudkan pembangunan nasional. Pembangunan nasional pada masa ini juga menimbulkan sisi negative yang ditandai dengan munculnya gejala crony capitalism yaitu istilah yang merujuk pada kapitalis-kapitalis yang melingkari pemerintahan Orde Baru berdasarkan asas-asas kekerabatan. Adanya crony capitalism tersebut telah memunculkan ketidakmerataan ekonomi yang imbasnya dirasakan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. Kondisi tersebut memunculkan penyakit sosial yang menghinggapi elemen pemerintahan dan masyarakat yang kemudian dikenal dengan praktik KKN. PERKEMBANGAN REVOLUSI HIJAU, TEKNOLOGI dan INDUSTRIALISASI Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut. Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan. Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara : 1. Intensifikasi Pertanian

Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi : a. Pemilihan Bibit Unggul b. Pengolahan Tanah yang baik c. Pemupukan d. Irigasi e. Pemberantasan Hama 2. Ekstensifikasi Pertanian Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb). 3. Diversifikasi Pertanian Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani. 4. Rehabilitasi Pertanian Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan. Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau: Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani. Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan teknologi dan komunikasi. Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja. Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan tertentu. Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR. Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan komersialisasi. Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan industri pupuk nasional.

Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi Unit Desa). Dampak Positif Revolusi Hijau : Memberikan lapangan kerja bagi para petani maupun buruh pertanian. Daerah yang tadinya hanya dapat memproduksi secara terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakatnya dapat menikmati hasil yang lebih baik karena revolusi hijau. Kekurangan bahan pangan dapat teratasi. Sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang beralih usaha ke sektor agrobisnis. Dampak Negatif Revolusi Hijau : Muncullah komersialisasi produksi pertanian Muncul sikap individualis dalam hal penguasaan tanah Terjadi perubahan struktur sosial di pedesaan dan pola hubungan antarlapisan petani di desa dimana hubungan antar lapisan terpisah dan menjadi satuan sosial yang berlawanan kepentingan. Memudarnya sistem kekerabatan dalam masyarakat yang awalnya menjadi pengikat hubungan antar lapisan. Muncul kesenjangan ekonomi karena pengalihan hak milik atas tanah melalui jual beli. Harga tanah yang tinggi tidak terjangkau oleh kemampuan ekonomi petani lapisan bawah sehingga petani kaya mempunyai peluang sangat besar untuk menambah luas tanah. Muncul kesenjangan sosial karena kepemilikan tanah yanmg berbeda menyebabkan tingkat pendapatanpun akan berbeda. Muncul kesenjangan yang terlihat dari perbedaan gaya bangunan maupun gaya berpakaian penduduk yang menjadi lambang identitas suatu lapisan sosial. Mulai ada upaya para petani untuk beralih pekerjaan ke jenis yang lain seiring perkembagan teknologi. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI Perkembangan teknologi memberikan pengaruh positif bagi Indonesia khususnya bagi peningkatan industri pangan: Digunakannya pupuk buatan dan zat-zat kimia untuk memberantas hama penyakit sehingga produksi pertanianpun meningkat. Proses pengolahan lahanpun menjadi cepat dengan digunakan traktor

Proses pengolahan hasil menjadi cepat dengan adanya alat penggiling padi Adapun dampak negatif dari perkembangan teknologi tersebut adalah Timbulnya pencemaran pada air maupun tanah akibat penggunaan pestisida (pupuk kimia) yang berlebih. Sebab jika unsur nitrat maupun fosfat yang terkandung dalam pupuk dalam jumlah banyak masuk ke sungai akan menyebabkan pertumbuhan ganggang biru serta tanaman air lainnya yang menyebabkan pengeringan sungai karena banyaknya tumbuhan air (eutrofikasi). Penggunaan pestisida dapat membunuh hama tanaman, serangga pemakan hama, burung, ikan dan hewan lainnya. Bahkan dari unsur-unsur yang terkandung dalam pestisida dapat berubah menjadi senyawa yang membahayakan kehidupan. Pelaksanaan monokultur menyebabkan hubungan yang tidak seimbang antara tanah, hewan, dan tumbuhtumbuhan sehingga kesimbangan alam akan terganggu yang menyebabkan berjangkitnya hama dan penyakit. Adanya sistem peladangan berpindah atau penebangan pohon dalam jumlah besar yang dilakukan oleh pihak pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) guna dibuat pemukiman baru menyebabkan kerusakan lingkungan kususnya pada ekosistem tanah. Semakin sempit lahan pertanian karena diubah menjadi wilayah pemukiman dan industri. Meningkatnya kegitan penggalian sumber alam, pertambangan liar yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan. Pengurangan jumlah tenaga kerja manusia yang terlibat dalam proses produksi karena telah tergantikan oleh mesin-mesin sehingga bersifat padat modal dan hemat tenaga kerja. Berdampak pada munculnya pengangguran. INDUSTRIALISASI DI INDONESIA Revolusi Hijau ini menyebabkan upaya untuk melakukan modernisasi yang berdampak pada perkembangan industrialisasi yang ditandai dengan adanya pemikiran ekonomi rasional. Pemikiran tersebut akan mengarah pada kapitalisme. Dengan industrialisasi juga merupakan proses budaya dimana dibagun masyarakat dari suatu pola hidup atau berbudaya agraris tradisional menuju masyarakat berpola hidup dan berbudaya masyarakat industri. Perkembangan industri tidak lepas dari

proses perjalanan panjang penemuan di bidang teknologi yang mendorong berbagai perubahan dalam masyarakat. Upaya pemerintah untuk meningkatkan industrialisasi adalah : Meningkatkan perkembangan jaringan informasi, komunikasi, transportasi untuk memperlancar arus komunikasi antarwilayah di Nusantara. Mengembangkan industri pertanian Mengembangkan industri non pertanian terutama minyak dan gas bumi yang mengalami kemajuan pesat. Perkembangan industri perkapalan dengan dibangun galangan kapal di Surabaya yang dikelola olrh PT.PAL Indonesia. Pembangunan Industri Pesawat Terbang Nusantara(IPTN) yang kemudian berubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia. Pembangunan kawasan industri di daerah Jakarta, Cilacap, Surabaya, Medan, dan Batam. Sejak tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang industri dan investasi. Industrialisasi di Indonesia ditandai oleh : Tercapainya efisiensi dan efektivitas kerja. Banyaknya tenaga kerja terserap ke dalam sektor-sektor industri. Terjadinya perubahan pola-pola perilaku yang lama menuju polapola perilaku yang baru yang bercirikan masyarakat industri modern diantaranya rasionalisasi. Meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat di berbagai daerah khususnya di kawasan industri. Menigkatnya kebutuhan masyarakat yang memanfaatkan hasilhasil industri baik pangan, sandang, maupun alat-alat untuk mendukung pertanian dan sebagainya. Dampak positif industrialisasi adalah tercapainya efisiensi dan efektifitas kerja. Dampak negatif dari industrialisasi adalah Munculnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang ditandai oleh kemiskinan serta Munculnya patologi sosial (penyakit sosial) seperti kenakalan remaja dan kriminalitas.

11.24.2009
Revolusi Hijau
Tugas Sejarah SMAN 87 JAKARTA Kelas XII IPA 1 Tahun Ajaran 2009 / 2010 ISFI SALSABILA

A. Apa Itu Revolusi Hijau?


Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di sejumlah negara yang sebelumnya dilanda kelaparan, seperti India, Banglades, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai bapak gerakan ini. Revolusi hijau mendasarkan diri pada tiga pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia dan penerapan pestisida untuk menjamin produksi, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan baku berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi, suatu hal yang tidak dapat dimungkinkan tanpa tiga pilar tersebut. Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena revolusi hijau tetapi karena akses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa revolusi hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.

B. Revolusi Hijau di Indonesia

Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah. ++++ REVOLUSI hijau (green revolution) telah menjadi "icon" dalam pembangunan pertanian pada awal tahun tujuhpuluhan hingga delapan puluhan. Revolusi hijau dianggap sebagai "juru selamat" bagi sektor pertanian, khususnya di negara berkembang yang kala itu dicirikan oleh: produktivitas rendah, umur panjang, pertumbuhan yang rendah serta kesejahteraan petani yang minim. Oleh karena itu, tanpa revolusi hijau sulit dibayangkan bagaimana produksi pertanian akan mampu memberi makan bagi penduduk yang jumlahnya semakin meningkat. Di Indonesia, gerakan revolusi hijau tidak lepas dari peranan Clifford Geerts melalui tulisannya "Involusi Pertanian". Geerts melihat bahwa pertanian di Indonesia saat itu mengalami apa yang disebutnya "involusi", suatu ungkapan untuk menyatakan bahwa perkembangan pertanian seperti "jalan di tempat". Menyadari akan fenomena tersebut disertai gencarnya gerakan revolusi hijau dunia, maka pemerintah orde baru meresponsnya dengan program intensivikasi pertanian. Maka dilaksanakanlah program Bimbingan Massal (Bimas), intensivikasi Massal (Inmas), Intensivikasi Khusus (Insus ), Supra Insus dan seterusnya. Melalui revolusi hijau ini perubahan wajah pertanian sangat kelihatan, mengubah Indonesia dari pengimpor utama hingga berhasil swasembada beras tahun 1994/1995. Ciri yang sangat menonjol dari revolusi hijau adalah penggunaan benih (varietas) unggul. Pada tahun 1967/ 1968 diluncurkan benih PB 5 dan PB 8 yang dikenal sebagai bibit ajaib

karena hasilnya yang spektakuler. Disusul benih-benih unggul yang dikeluarkan oleh International Rice Research Institute (IRRI) yang ada di Filipina seperti IR 36, IR 48, IR 54, IR 64, dan lain-lain menggantikan bibit lokal seperti bengawan, rajalele, unus, mentik, cianjur, dsb. Benih unggul ini membutuhkan sistem pengairan yang teratur sehingga pembangunan infrastruktur irigasi dilakukan secara besar-besaran. Introduksi benih baru juga membawa konsekuensi baru dalam penggunaan input kimia secara besarbesaran dan berlebihan seperti pupuk Urea, TSP, KCL dan pestisida. Sejak tahun 90an, gerakan revolusi hijau seperti mengalami titik balik. Kritik tajam hingga gerakan anti revolusi hijau kemudian bermunculan. Ongkos yang harus dibayar oleh program revolusi hijau ini adalah hilangnya institusi lokal, musnahnya keanekaragaman sumber daya hayati, menurunnya kualitas tanah, serta menurunnya kualitas lingkungan secara keseluruhan. Bahkan, meskipun revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian secara menakjubkan, akan tetapi gagal dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan kemandirian pertanian. Inilah ongkos terbesar yang harus dibayar karena pertanian di Indonesia menjadi sangat bergantung pada industri raksasa pertanian dunia mulai dari pengadaan benih, pupuk, pestisida, hingga mesin-mesin pertanian. Apalagi hampir semua proyek-proyek besar pertanian (seperti pembangunan irigasi, pembelian alat-alat pertanian, dll) harus dibayar dengan utang. Sejak saat itulah kemandirian bangsa menjadi sirna karena bangsa ini tidak lagi mampu menghasilkan sendiri sampai pada iput dasar sekalipun.

C.Dampak Revolusi Hijau


Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat: 1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah 2. Kesuburan tanah merosot / tandus 3. Tanah mengandung residu (endapan pestisida)

4. Hasil pertanian mengandung residu pestisida 5. Keseimbangan ekosistem rusak 6. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah. Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang. Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi

D.Kesimpulan
Penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara-negara berkembang. Keadaan tersebut harus diiringi/didukung oleh peningkatan pangan. Sesuai dengan apa yang dinyatakan Thomas Robert Malthus, perlu disadari bahwa kemampuan sumber daya alam sebagai penghasil pangan adalah terbatas. Untuk itu perlu diupayakan pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan produksi pangan. REVOLUSI HIJAU Merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju.

Diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi diFilipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada SEREALIA: padi, jagung, gandum, dan lain-lain. REVOLUSI HIJAU DI INDONESIA Dilakukan dengan EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal. Terbatasnya areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu: 1. Teknik pengolahan lahan pertanian 2. Pengaturan irigasi 3. Pemupukan 4. Pemberantasan hama 5. Penggunaan bibit unggul DAMPAK POSITIF REVOLUSI HIJAU Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada. PERMASALAHAN DAN DAMPAK NEGATIF 1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah. 2. Penurunan keanekaragaman hayati. 3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk. 4. Penggunaan peptisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten. -sumber: http://kidhopes.blogspot.com/2009/11/revolusi-hijau.html -

Revolusi Hijau, Menjerat Petani dengan Racun


Oleh: Anton Muhajir, dalam kategori: Sekitar Denpasar, Teknologi Oleh Anton Muhajir

Upaya mengusir hama wereng di sawahnya justru mendatangkan kematian bagi Wayan Jojol, petani di Banjar Wang Bung, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Petani palawija dan padi ini jatuh pingsan setelah menyemprot hama wereng di lahannya dengan pestisida. Ketika petani lain hendak menolongnya, Jojol sudah meninggal. Kami menggotongnya dari sawah sudah dalam kondisi meninggal. Tidak jelas penyebabnya. Tapi kemungkinan besar dia keracunan karena pestisida, Ketut Rena, petani di banjar yang sama, mengenang kematian Jojol yang terjadi pada pertengahan 1985 tersebut. Menurut Rena, ketika menyemprot hama tersebut Jojol tidak menggunakan masker. Untuk mengaduk obat tersebut, Jojol juga tidak menggunakan sarung tangan. Angin di

sawah pun kencang sehingga obatnya bisa terhirup nafas penyemprot. Kata dokter yang memeriksa, dia memang keracunan, tambah Rena. Jojol tak sendiri. Petani lain di tetangga desa pun mengalami hal yang sama, keracunan ketika menyemprot pestisida hingga meninggal. Rena tidak ingat nama pestisida yang mereka pakai untuk membunuh hama wereng. Yang dia ingat pestisida itu beracun karena petugas penyuluh lapangan (PPL) mengatakan itu padanya. Dia harus pakai masker agar tidak keracunan ketika menggunakan obat itu untuk mengusir hama. Tapi kami biasa saja mengaduk obat itu tanpa sarung tangan dan menyemprotkannya tanpa masker, katanya. Rena dan petani lain di desa tersebut mulai menggunakan pupuk dan pestisida sejak 1970an. Dia tidak ingat pasti kapan. Saya ingatnya waktu itu ada petugas pemerintah menyuruh kami untuk menggunakan bibit, pupuk, dan pestisida yang diberikan pemerintah, tambahnya. Pada zaman Orde Baru siapa sih yang berani melawan pemerintah, kata Made Muliarta, petani lain. Bagi petani kecil seperti Rena dan Muliarta, tunduk pada pemerintah jadi satu-satunya jalan. Mereka tidak cukup berani melawan pemerintah. Maka dari yang sebelumnya mengandalkan semua asupan pada alam, kini mereka bergantung pada pemerintah. Apalagi semua asupan seperti bibit, pupuk, dan pestisida kimia itu diberikan secara cuma-cuma pada awalnya. Mereka tak pernah sadar bahwa skenario besar bernama Revolusi Hijau tengah menjeratnya. Sejarah Revolusi Hijau diperkenalkan pertama kali oleh William Gaud pada 1968. Mantan Direktur USAID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat, ini membandingkan masifnya perubahan di bidang pertanian itu dengan Revolusi Merah di Soviet dan Revolusi Putih di Iran, dua perubahan besar secara politik di dua negara musuh bebuyutan Amerika Serikat itu. Perubahan yang oleh Gaud disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko. Negara di Amerika Latin ini mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada 1945. Salah satu alasannya adalah karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk dengan kapasitas produksi gandum. Penduduk terus bertambah sementara produksi gandum terus berkurang. Mereka pun menggenjot pertaniannya melalui riset, penyuluhan, dan pembangunan infrastruktur yang didanai Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan beberapa lembaga besar lainnya.

Hasilnya, dari semula mengimpor gandum pada 1943, negara ini bisa memenuhi kebutuhan gandumnya pada 1956. Delapan tahun kemudian, Meksiko bahkan sudah mengekspor gandum ke negara lain. Karena perubahan itu dianggap berhasil maka Ford Foundation dan Rockefeller Foundation kemudian membawa teknologi yang sama ke berbagai dunia. Kalau di Meksiko mereka fokus pada gandum, maka di belahan dunia lain mereka fokus pada padi. Salah satunya dengan mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina. Dari pusat riset padi ini lahir padi varietas baru bernama International Rice (IR) seperti IR 64 dan IR 36 yang disebar ke dunia, termasuk Indonesia. Produk mereka inilah yang menjangkau hampir separuh penduduk dunia dan kemudian menggantikan padi lokal, termasuk di Indonesia. IRRI yang punya kantor perwakilan di 14 negara mulai bekerjasama dengan Indonesia pada tahun 1972, melalui Balai Litbang Pertanian Departemen Pertanian (Deptan). Deptan yang seharusnya jadi kepanjangan tangan pemerintah ternyata kemudian hanya jadi kepanjangan tangan korporasi dan lembaga internasional. Kredit untuk Petani Indonesia mulai menerapkan Revolusi Hijau itu melalui program Panca Usaha Pertanian (PUP). Pemerintah melaksanakannya melalui pendirian beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian industri pestisida. PUP yang memiliki kegiatan Demo Massal kemudian berubah jadi Bimbingan Massal (Bimas) pada 1964. Bimas dimulai setelah pemerintah mengadakan pilot project pada lahan 100 hektar di Karawang setahun sebelumnya. Karena Bimas dianggap kurang berhasil, pemerintah membuat Bimas Gotong Royong yang disponsori dua perusahaan asing seperti Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan produsen obat-obatan kimia BASF di bidang pertanian. Dua perusahaan tersebut sebenarnya hanya memanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memasarkan produknya seperti benih, pupuk, dan pestisida. Revolusi Hijau hanyalah kedok agar produk-produk kimia perusahaan tersebut, terutama CIBA, bisa dijual pada petani. Agar petani mau menerima program ini, pemerintah memberikan bantuan kredit pada petani. Salah satu contoh bentuk kredit Bimas pada tahun 1981 adalah dengan memberikan kredit 250 kilogram pupuk kimia, 2 liter insektisida, dan uang kontan Rp 10.000 dengan buka 1,5 persen sebulan. Pinjaman ini diberikan dalam satu masa tanam selama sekitar tujuh bulan. Tapi kredit ini pun dilakukan dengan paksaan. Petani berhadapan dengan tentara jika mereka menolaknya. Kredit yang diberikan pemerintah memang kemudian jadi alat penting untuk memasukkan program pembangunan pertanian yang disebut juga dengan nama

Intensifikasi Pertanian. Selain melaksanakan Bimas yang berganti-ganti nama sejak 1966 hingga 1985, pemerintah juga memberikan Kredit Usaha Tani (KUT). KUT ini sendiri jadi catatan bahwa kredit untuk petani sudah terbukti gagal. Salah satu riset M Syukur dan teman-temannya pada tahun 1999 menunjukkan bahwa penyaluran KUT selama 1990 hingga 1996 mengalami penurunan dari Rp 108 milyar jadi Rp 34 milyar. Ketika uang yang disalurkan mengalami penurunan, jumlah uang macet alias tunggakan petani justru meningkat. Toh pemerintah tetep keukeuh untuk terus melaksanakan kredit untuk petani dengan alasan agar petani bisa meningkatkan hasil pertanian. Revolusi Hijau seperti membutakan mata pemerintah. Inilah yang membuat banyak pihak menduga bahwa pemerintah sebenarnya ada deal tertentu dengan perusahaan pertanian agar tetap melaksanakan program intensifikasi pertanian, kedok lain dari Revolusi Hijau. Pada perjalanannya, Revolusi Hijau kemudian hanyalah jadi alat perusahaan pertanian untuk menjerat petani, termasuk di Indonesia. Ini terutama ketika perusahaan-perusahaan besar seperti Monsanto dan Syingenta juga masuk di Indonesia. Parahnya ini didukung pula oleh akademisi. Pilot project padi di Karawang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyuluhan ke desa-desa dilakukan pula oleh mahasiswa dan dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Agen Ganda Secara sederhana, pola penyebaran Revolusi Hijau di Indonesia itu dilakukan sebagai berikut. Pertama, lembaga riset membuat penelitian tentang apa saja teknologi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan produksi pertanian. Riset ini didukung oleh akademisi sebagai peneliti dan perusahaan kimia serta lembaga donor sebagai penyokong dana. Kedua, setelah riset dinyatakan berhasil, sponsor penelitian tersebut seperti CIBA dan Ford Foundation menyebarluaskannya ke negara-negara berkembang agar mengadopsi teknologi baru itu. Tentu saja dengan dukungan finansial juga. Dalam kasus di Indonesia, pemerintah kemudian membentuk tim pelaksana yang dilegitimasi oleh tentara. Ketiga, untuk kepanjangan tangan dari pemerintah ke petani ada petugas penyuluh lapangan (PPL). Di lapangan, PPL ini juga bertugas ganda. Selaian sebagai penyuluh yang mewakili pemerintah, mereka juga mengenalkan produk-produk perusahaan pertanian mulai benih sampai pestisida. Namun dalam praktiknya, PPL ini justru identik sebagai agen perusahaan pertanian. Para PPL bertugas dengan target yang ditentukan oleh perusahaan pertanian, kata Made Diarta, petani di Guwang. Bagi Revolusi Hijau lahan pertanian tak lagi menjadi tempat budi daya pertanian tapi pabrik penghasil uang bagi perusahaan pertanian. Lalu di mana posisi petani? Mereka hanya dianggap sebagai ikan yang harus dijaring. Petani tidak perlu diajak untuk membicarakan apa yang mereka perlukan. Pokoknya

berikan asupan kimia dan haruskan mereka untuk menggunakannya. Kalau tidak mereka harus berhadapan dengan tentara seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Atau setidaknya aparat desa akan mencabuti tanaman lain selain yang ditetapkan pemerintah. Tidak ada pilihan bagi petani. Pola pemaksaan di Bali lain lagi. Kalau di Jawa melalui tentara, maka di Bali melalui lembaga seperti subak. Biasanya kelian subak setempat yang dipelihara oleh perusahaan pertanian. Ketika kelian sudah bisa dikendalikan, maka otomatis anggota subak yang lain akan menuruti kemauan kelian. Bila melawan, subak secara kelompok akan memberi sanksi misalnya dengan memutus aliran air ke sawah mereka. Dengan asupan kimia dan teknologi baru, Revolusi Hijau memang terbukti meningkatkan produksi pertanian terutama padi. Salah satunya adalah ketika Indonesia tak lagi mengimpor beras karena sudah memenuhi swasembada beras pada 1984. Jika pada 1972 produksi padi sebesar 20 juta ton dengan produktivitas 3,21 ton per hektar, maka pada tahun 1984 jadi 38,14 juta ton dengan produktivitas 3,91 ton per hektar. Dari yang semula mengimpor beras sebanyak 2,5 juta ton per tahun, pada tahun 1984, Indonesia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Peningkatan produksi padi itu terus terjadi hingga awal 1990. Setelah itu, produksi padi menurun terus. Menurut Badan Pusat Statistik pertambahan produksi padi nasional era 1974-1980 sebesar 4,8 persen per tahun sedangkan pada 1981-1990 sebesar 4,35 persen. Namun pada 1991-2000 turun jadi 1,32 persen. Pada 2005, produksi padi juga menurun 1,75 persen dari 54,06 ton pada tahun 2004 jadi 53,12 juta ton. Petani pun mengakui adanya peningkatan produksi padi yang diakhir dengan penurunan ini. Pada awalnya penggunaan bahan kimia memang membuat hasil panen memang naik. Tapi lama-lama makin turun, ujar Dewa Putu Raka, petani di Desa Pejeng Kawan, Tampaksiring, Gianyar. Seperti petani lain, Raka pun sadar bahwa dia memang menyebar racun dalam lahanlahan sawah miliknya. Kami memang menanam racun mulai dari pupuk sampai pestisida. Tapi memang itu yang disuruh oleh pemerintah, ucapnya. Inilah faktanya. Ketika intensifikasi pertanian terus digenjot, hasil yang dicapai ternyata malah berbanding terbalik. Produksi padi terus menurun. Salah satu kambing hitam dari turunnya produksi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang terlalu intensif. Penggunaan bibit baru justru melahirkan hama baru bagi padi. Menurut Raka, setelah petani menggunakan varietas baru, muncul pula hama-hama baru yang sebelumnya tidak ada. Ini pula yang dialami berbagai petani di Bali. Nah, hama baru ini pun harus diberantas dengan pestisida baru yang dijual perusahaan obat-obat pertanian. Ini mirip satu paket masalah. Semuanya baru: benih, teknologi,

hama, dan pestisida. Parahnya lagi lama-lama hama wereng yang diberantas jadi kebal terhadap pestisida yang dipakai oleh petani.. Jadinya seperti candu, bikin ketagihan,tambah Muliarta. Dampak lain yang terasa selain rusaknya lingkungan adalah hilangnya budaya pertanian. Dari yang semula bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri, petani harus berorientasi pada jual beli. Dari yang semula menanam benih lokal, petani harus menanam benih produksi dari perusahaan pertanian. Petani yang semula menanam padi sebagai selingan dengan komoditas lain kini harus mengutamakan padi. Ini seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Terancam Keracunan Di antara sekian dampak tersebut, kerusakan lingkungan memang yang paling terasa. Petani di banyak tempat mengaku kalau tanah mereka semakin keras, unsur haranya hilang, hewan kecil di sawah makin punah, produksi semakin turun dan seterusnya. Tapi kerusakan tak hanya terjadi pada lingkungan. Intensifikasi pertanian juga ibarat menebar racun pada petani. Dalam salah satu artikelnya, Staf Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan Kusnindar menemukan bahwa keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta orang. Kusnidar melakukan riset tersebut pada tahun 1989 atau 20 tahun lalu. Perkiraan itu berdasarkan pada banyaknya kasus keracunan yang pernah terjadi pada 1985-1986 seperti di di Brebes 85,7 persen, Klaten 54,8 persen, Karo Sumatera Utara 38 persen, dan termasuk Bali. Dari rata-rata kasus di atas diperoleh angka 35 persen petani yang menyemprot pestisida akan keracunan. Menurut Kusnidar pula jumlah petani penyemprot sekitar 37 persen dari jumlah petani. Di sisi lain, per 2007 lalu, berdasarkan catatan Departemen Pertanian jumlah petani Indonesia sekitar 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 110 juta. Dengan perkiraan jumlah petani penyemprot adalah 37,1 persen maka jumlah petani yang rentan terpapar pestisida sebanyak 40 juta orang. Jika 35 persen petani terpapar pestisida mengalami keracunan, maka jumlah petani yang mengalami keracunan kira-kira 14 juta orang. Contoh lebih ekstrim terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Berdasarkan pemeriksaan darah pada 550 petani sayur di tujuh kecamatan, diperoleh fakta bahwa 99 persen petani sudah tercemar darahnya. Penyebabnya adalah penggunaan zat kimia pembasmi hama. Hasil ini diperoleh pada tahun 2006 lalu. Penelitian ini dilakukan setelah sebelumnya 10 petani di kabupaten yang sama meninggal akibat keracunan pestisida. Astrid Widajati Sulistomo, doktor lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang meneliti petani bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah juga menemukan bahwa

petani perempuan yang menggunakan pestisida lebih rentan mengalami keguguran. Penelitian pada tahun 2007 dengan responden 612 petani ini menemukan fakta bahwa petani perempuan pengguna pestisida berisiko mengalami keguguran sebesar 79 persen lebih tinggi dibanding perempuan yang bekerja di ladang pertanian lain. Dikuasai Korporasi Keracunan akibat pestisida sebenarnya hal yang pasti terjadi. Hal ini terjadi karena pemain-pemain besar di bidang Revolusi Hijau pada dasarnya memang perusahaanperusahaan kimia. CIBA, yang mendukung masuknya Revolusi Hijau di Indonesia adalah anak perusahaan BASF, produsen bahan-bahan kimia. Sampai sekarang pun situasinya tak jauh berbeda. Perusahaan benih yang paling besar di Indonesia adalah PT Benih Inti Subur Intani (BISI). Melalui PT Tanindo Subur Tani, PT BISI yang merupakan kepanjangan tangan dari Monsanto Corp, memproduksi benih padi, sayuran, dan jagung. Mereka juga memproduksi pestisida dan pupuk. Sekadar mengingatkan. Monsanto, penguasa 88 persen benih di dunia, adalah perusahaan yang juga menjerat petani jagung di Nganjuk Jawa Timur pada tahun 2005 dengan tuduhan meniru teknologi pembenihan mereka. Perusahaan yang berpusat di Amerika ini pula yang memaksa petani di Bulukumba Sulawesi Selatan untuk menanam kapas jenis Bt yang terbukti merugikan petani pada 2001. Di luar itu kejahatan paling parah dari Monsanto adalah karena dia juga memproduksi agent orange, senjata mematikan yang digunakan tentara Amerika Serikat ketika Perang Vietnam. Bersama lima perusahaan lain, Monsanto memproduksi senjata kimia yang mengakibatkan kanker dan cacat bawaan ini. Ribuan tentara yang pernah menyebarkan obat ini terkena kanker, tumor, dan seterusnya. Kini agent orange menyebabkan ratusan ribu bayi yang baru lahir sudah mengalami cacat bawaan seperti bisu dan tuli. Bisa dibayangkan, ternyata pabrik pembuat racun bernama agent orange inilah pula yang memproduksi benih dan pestisida yang banyak digunakan petani di Indonesia. Selain Monsanto, korporasi yang juga menguasai pertanian Indonesia adalah Syngenta dan Dupont. PT Syngenta menguasai sekitar 15 persen pasar pestisida Indonesia dengan memproduksi 15 juta liter pestisida mereka per tahun. Produksi herbisida, fungisida, dan insektisida mereka terus naik 5 persen tiap tahun. Perusahaan milik Syngenta Corp ini adalah perusahaan pestisida terbesar kedua di Indonesia setelah PT Bayer Crop Science. Dengan jumlah petani yang mencapai sekitar 110 juta orang, maka Indonesia pun jadi pasar yang menggiurkan bagi korporasi-korporasi tersebut. PT DuPont International, misalnya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi pestisida untuk pasar Asia Tenggara. Berbagai pestisida pertanian ini akan diproduksi di dua pabrik DuPont di Sidoarjo dan Pasuruan Jatim. Alasannya, Indonesia memiliki potensi pasar besar dengan total lahan pertanian seluas 11 juta hektare.

Dengan semua produk kimia itulah, korporasi-korporasi tersebut menjerat petani Indonesia. Dari yang semula mandiri, mengandalkan asupan alam mereka kemudian tergantung pada produk-produk kimia yang dipasarkan korporasi. Setelah tergantung pada asupan kimia, para petani baru sadar bahwa mereka terjerat. Tapi mereka pun tak punya banyak pilihan. Negara dan korporasi yang mereka lawan terlalu kuat.. [b] http://www.balebengong.net/denpasar/tetangga/2009/05/28/revolusihijau-menjerat-petani-dengan-racun.html

Ini sebenernya tugasku pas jaman SMA, tapi gpp kali ya aku post di sini.. Heheheh Makalah Revolusi Hijau Nama : Ashika P. Paramita No. Absen : 11 (sebelas) Kelas : XII.IA 2 A.Revolusi Hijau Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi

hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah. B.Pestisida dan Pupuk Buatan Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan. Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada mereka adalah jika ada hama, pakailah pestisida merek A. para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah antek-antek pedagang yang mempromosikan keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun. C.Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:

Berbagai organisme penyubur tanah musnah Kesuburan tanah merosot / tandus Tanah mengandung residu (endapan pestisida) Hasil pertanian mengandung residu pestisida Keseimbangan ekosistem rusak Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah. Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang. Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi http://ashiiqa.wordpress.com/2008/03/01/revolusi-hijau/

Anda mungkin juga menyukai