Anda di halaman 1dari 23

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Daftar isi
[sembunyikan]

1 Latar belakang 2 Surat ultimatum 3 Desersi 4 Kudeta 5 Pranala luar

[sunting]

Latar belakang

Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan. Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya

penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling. [sunting]

Surat ultimatum

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling. Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mmoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di

bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya. Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Gtzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Gtzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST. [sunting]

Desersi

Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta. Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi. [sunting]

Kudeta

Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun. Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total. Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel. Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu. Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di AS, van

Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Pembantaian Westerling II
Kudeta" Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Oleh Batara R. Hutagalung Setelah Persetujuan Renville, anggota pasukan KST ditugaskan juga untuk melakukan patroli dan pembersihan, antara lain di Jawa Barat. Namun sama seperti di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan sewenang-wenang terhadap penduduk di Jawa Barat. Perbuatan ini telah menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) dari Belanda, yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda. Pada 17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya, membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST (Korps Speciaale Troepen) yang dilakukan pada 13 dan 16 April 1948. Di dua tempat di daerah Tasikmalaya dan Ciamis, pasukan KST telah membantai 10 orang penduduk tanpa alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tergeletak di tengah jalan. Pengaduan ini mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan khusus pimpinan Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang kemudian mencuat ke permukaan. Di samping pembunuhan sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di tubuh pasukan elit KST. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers menuding Westerling telah menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia Jerman yang terkenal kekejamannya semasa Hitler, dan hal-hal ini membuat para petinggi tentara Belanda menjadi gerah. Walaupun Jenderal Spoor sendiri sangat menyenangi Westerling, namun untuk menghindari pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan tuntutan ke pangadilan militer, Spoor memilih untuk menon-aktifkan Westerling. Pada 16 November 1948, setelah duasetengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciaale Troepen (DST) kemudian KST, Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek. Setelah pemecatan atas dirinya, Westerling menikahi pacarnya dan menjadi pengusaha di Pacet (Puncak), Jawa Barat. Namun ternyata Westerling tidak berpangku tangan dan menikmati kehidupan seorang sipil, melainkan aktif menjaga hubungan dengan bekas anak buahnya dan menjalin hubungan dengan kelompok Darul Islam di Jawa Barat. Secara diam-diam ia membangun basis kekuatan bersenjata akan digunakan untuk memukul Republik Indonesia, yang direalisasikannya pada 23 Januari 1950, dalam usaha yang dikenal sebagai kudeta 23 Januari. Pada 23 Januari 1950, segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond "si Turki" Westerling, mantan komandan pasukan khusus KST (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Ternyata aksi gerombolan ini -yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)- telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL

dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan. Pada 25 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor yang meninggal secara misterius ada yang mengatakan, bahwa Spoor bunuh diri karena kecewa atas persetujuan Roem-Royen yang membidani Konferensi Meja Bundar). Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan dia (Westerling) melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumors, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut. Bahwa van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling adalah suatu kesalahan, karena kurang dari satu bulan kemudian terbukti, bahwa Westerling melaksanakan niat jahatnya yang membawa malapetaka baru bagi bangsa Indonesia terutama TNI. Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling. Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Hal ini tentu merupakan suatu ironi, karena Hatta sendiri serta banyak pemimpin bangsa Indonesia pernah menjadi korban exorbitante rechten. Sementara itu, pada 10 Januari 1950 Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mmoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya. Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Gtzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Gtzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST. Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau

terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta. Pukul 8.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya, dan pada pukul 9.00 Letkol Sadikin mendatangi Engles. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah melakukan desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi. Di kota Bandung, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. Hari itu, 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun. Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya. Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel. Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu. Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda). Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling Setelah kegagalan "kudeta" yang juga sangat memalukan itu, pemerintah Belanda memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang kabinet tanggal 6 Februari dipertimbangkan,

untuk memindahkan pasukan RST ke Papua Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah lagi. Pada 15 Februari 1950 Menteri Gtzen memberi persetujuannya kepada Hirschfeld untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan pada hari itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RSTdibawa ke kapal Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang ke Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Disediakan tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di sebelah tenggara kota Breda. Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST tiba di tempat penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27 Maret dan 23 Mei 1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan pasukan RST bersama keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600 orang. Sekitar 400 orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar sekitar 200 orang pasukan RST, sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat dalam aksi Westerling, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan militer. Jumlah tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil, dibandingkan dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling, yaitu lebih dari 300 orang. Demikianlah akhir yang memalukan bagi pasukan elit Reciment Speciaale Troepen (RST) yang merupakan gabungan baret merah (1e para compagnie) dan baret hijau (Korps Speciaale Troepen) yang pernah menjadi kebanggaan Belanda, karena "berjasa" menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Namun bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceriteranya belum berhenti di sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda, baik sipil mau pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke Singapura, di mana dia dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Tionghoa. Maka dia kemudian menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di Jakarta. Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia selalu berpindah-pindah tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs. Pada 8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal van Langen, yang kini menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya. Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal Buurman van Vreeden, Hirschfeld dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan. Dipertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun sehari setelah itu, pada 9 Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Weterling. Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen. Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen dan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi

Tentara Belanda. Dan selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld, Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta baik militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab. Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar Indonesia dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst - MLD (Dinas Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W. Kist. Rencana ini disetujui oleh van Langen dan hari itu juga Westerling diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut dengan van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. Pada 18 Februari van Langen menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden. Van der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling. Kerja selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar gelap; mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi (tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek, lahir di Manila. Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah "kudeta" yang gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok. Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga isinya adalah perhiasan. Pesawat Catalina hanya singgah sebentar di Tanjung Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka tiba di perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai Singapura pesawat mendarat di laut dan perahu karet diturunkan. Dalam bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu karetnya ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap ikan Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera menghubungi temanTionghoanya Chia Piet Kay, yang pernah membantu ketika membeli persenjataan untuk Pao An Tui. Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke Indonesia. Namun pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat Chia Piet Kay, Westerling digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi. Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming, seorang wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan ke Eropa. Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita Perancis yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh militer Belanda dengan pesawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah mingguan Amerika, Life. Pemberitaan di media massa tentu sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil dan militer Belanda di Indonesia. Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media massa tersebut, sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden dan Jenderal van Langen mula-mula menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda kepada Westerling untuk melarikan diri dari Indonesia ke Singapura. Keesokan harinya, tanggal 25 Februari Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan itu betul dan ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh van Vreeden, van Langen dan

Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia. Fockema segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol. Pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap atas tuduhan terlibat dalam "kudeta" Westerling bulan Januari 1950. Pada 7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer terhadap 124 anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pada 12 Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang kena hukuman 6 bulan dan hanya Titaley diganjar 1 tahun 8 bulan. Tidak ada yang mengajukan banding. Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda terhadap tentara Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol Lembong, menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, tentara Jerman yang terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya dijatuhi hukuman yang sangat berat, dan bahkan para perwira yang memerintahkan pembunuhan, dijatuhi hukuman mati. Sementara itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling. Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan segera ditahan, namun dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia. Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang mendirikan Stichting Door de Eeuwen Trouw - DDET (Yayasan Kesetiaan Abadi). Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di sana. Di negeri Belanda sendiri secara in absentia Westerling menjadi orang yang paling disanjung. Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Puncak pelecehan Belanda terhadap bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober 1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia. Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab: "Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan." Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut.

Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis. Dengan demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi Selatan tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM, juga "kudeta' APRA pimpinan Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau pemberontakan terhadap satu negara yang berdaulat. Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika. Kemudian bagaimana dengan nasib KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)? Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, atau KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang ingin masuk ke TNI harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian di tahun 70-an mencapai pangkat Jenderal Mayor TNI! Westerling meninggal dengan tenang tahun 1987.
posted by batarahutagalung @ 9:18 AM

1 Comments:

At 7:36 AM, tiurlan sitompul said Hallo Batara, saya membaca di milis apresiasi sastr mengenia artikel mu republik fran lang di mandor. Sebagai orang Pontianak, saya baru tahu mengenai sejarah ini secara komplit. terima kasih atas pencerahannya. saya hanay tahu bahwa banyak orang2 cina kalbar merupakan keturunan suku hakka. Dan hal ini salah satu point yang membuat saya tertarik untuk menginap di rumah hakka waktu ke xiamen. Oh yah, karena baca artike kamu, saya mengunjungi blog kamu dan saya termukan bbrp artikel tentang sejarah batak. Menarik sekali! Saat ini saya sedang tertarik dengan kebudayaan batak dan makananannya. Apakah kamu memiliki daftar buku or literatur batak? Baru2 ini teman saya memberi informasi bahwa ada pengarang jerman yang menulis tentang danau sidhoni di samosir. Saya "takjub". saya aja yang orang batak gak pernah dengar tentang danau ini, lho koq ada orang asing yang menulis bukunya. Saya ikut milis antropolohi batak, hanya sayang, milisnya gak aktif. Mungkin kamu tertarik untuk membuat satu milis diskusi tentang batak. salam dan skali lagi terima kasih untuk info blognya. Tiur

Post a Comment << Home

About Me Name: Batara R. Hutagalung

Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak


Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagangpedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra aivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu. Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X. Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan. Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja. Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan dijual kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir. Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam. Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syiah. Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing. Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk

dididik olehnya. Pada 9 Rabiuulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak! Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar. Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap). Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda. Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran. Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X. Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya. Catatan: Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964. Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman. Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putraputranya. Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut. Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku tersebut.
posted by batarahutagalung @ 10:27 AM

16 Comments:

At 10:32 PM, Baduraman Dorpi P. said Horas, 01. A very descriptive explanation. 02. Terima kasih banyak.

Salam, Baduraman Dorpi P.

At 7:44 AM, Anonymous said Horas, Mauliate ma tu Amang Hutagalung, atas pencerahannya. terus semangat!! GBU, SM.Nainggolan

At 5:46 PM, wadehel said Pak, ini tulisan yang bikin banyak orang bersuara "wah, baru tau gw, itu serius?" Tolong disertakan dong link-link yang mendukung kebenaran cerita ini. Kalau bisa yang ada di internet juga sehingga orang mudah mencarinya...

At 1:19 AM, passya said in my stupid opinion, setelah mencari-cari korelasi judul dengan isi, ada pemutarbalikan fakta oleh boss hutagalung "....Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X..." Siapakah anak hasil incest tersebut? "...Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putraputra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela. Siapakah Pongkinangolngolan ?? Kesimpulan: Judul yang tepat, Tuanku Rao alias Pongkinangolngolan, memperalat Islam untuk membalaskan dendam pribadi

At 5:04 PM, Anonymous said Kalau didukung dengan bukti-bukti yang kuat dan link atau sumber yang ada, akan sangat bagus pencerahan ini, tetapi jika tidak ... jangan-jangan hanya sensasi saja

At 5:06 PM, Mualaf Indonesia said apa benar mazhab hambali itu syiah ? seperti cerita di atas, sehingga bisa membantai utk menyebarkan agama islam di batak selatan ?

At 5:08 PM, Mualaf Indonesia said wah msesti banyak yang dikomentari dan dikritisi, krn penulis blogger menyimpulkan dari sudat pandang sendiri nih. contoh apa benar mazhab hambali itu syiah ... sepertinya tidak deh ... mazhab hambali ya hambali .. syiah ya syiah .... dll

At 7:47 PM, Anonymous said Perkawinan Sumbang (Inses)di Tanah Batak

Si Raja Batak mempunyai dua anak yang diketahui silsilahnya sampai sekarang. Pertama Guru Tatea Bulan dan yang kedua adalah Raja Isumbaon. Ada yang mengatakan bahwa ada bungsunya satu lagi bernama Toga Laut yang mengembara ke arah utara menuju Aceh yang tidak pernah kembali di masa mudanya. Guru Tatea Bulan mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan yaitu, Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja (Malauraja), Boru Pamoras, Boru Pareme, Boru Biding Laut dan Natinjo. Selanjutnya Raja Isumbaon mempunyai tiga orang anak yaitu Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling (Hutagalung, 1991:34) Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkawinan sumbang yaitu antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya si Boru Pareme yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil. Si Boru Pareme tidak putus asa lalu mencarinya ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung. Dalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor. Friksi dalam keluarga kecil ini menyebabkan perpecahan yang panjang antara Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung. Karena itulah dalam kehidupan sosial berikutnya, aliansi keturunan Raja Borbor tersebut menggunakan panggilan "amangboru" yang lebih kurang berarti ipar dan tidak menggunakan tuturan seharusnya, yakni abang terhadap keturunan Si Raja Lontung.

Selanjutnya menurut A. Adnan Situmorang, Si Raja Lontung yang menikah dengan si Boru Pareme, yakni namborunya sendiri mendapat sembilan anak yakni Aritonang, Siregar, Simatupang, Situmorang, Toga Nainggolan, Toga Pandiangan. Toga Sinaga, Si Boru Panggabean, Si Boru makpandan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh W. Hutagalung (1991:63) Dengan terjadinya perkawinan sumbang atau kawin sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "borunya". Dengan kebuntuan ini, muncullah tokoh seperti Sorimangaraja putra dari Raja Isumbaon yang berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang. Keputusan itu adalah: 1. Bahwa sesuatu masalah dapat dipecahkan dalam musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. 2. Bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenalkan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak. 3. Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya. (Rajamarpodang, 1992:14) Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga. (Lihat: Lamhot Simarmata, Skripsi di IAIN Sumatera Utara, Fakultas Dakwah, Medan pada tahun 1997 dengan judul Pendayagunaan Dalihan Na Tolu Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah di Kecamatan Harian Kabupaten Tapanuli Utara) Dalam pemerintahan Sisingamangaraja, dikenal ada tiga pendetaraja yang menjadi penasehat politik dan adat bagi Dinasti Sisingamangaraja. Pertama adalah Ompu Palti Raja (selalu dijabat oleh marga keturunan Si Raja Lontung), Jonggi Manoar (dijabat oleh marga Borbor Bersatu biasanya Limbong atau Sagala) dan Baligeraja (yang selalu dijabat oleh keturunan Raja Isumbaon). Tarik menarik pengaruh politik sering terjadi antara ketiga pendetaraja tersebut dalam hubungan dengan kedaulatan Sisingamangaraja. Pada pemerintahan Sisingamangaraja X terjadi friksi antara Sisingamangaraja X dengan Ompu Palti Raja saat putri Sisingamangaraja X yang bernama Nai Napatihan berkeinginan menikah dengan putra Ompu Palti Raja. Nai Napatihan merupakan putri satu-satunya Sisingamangaraja X, dan putri pertama dari dinasti Sisingamaraja, di mana sejak Sisingamangaraja I sampai dengan yang kesembilan tidak pernah mempunyai anak perempuan. Hal ini dikaitkan sejarah akibat karma yang terjadi kepada Manghuntal, Sisingamangaraja I yang berseteru dengan namborunya yang juga bernama Nai Napatihan boru Sinambela. Perselisihan terjadi akibat kebijakan Sisingamangaraja yang terlalu pro kepada pihak miskin dan yang tertindas. Sebuah kebijakan yang tidak disukai oleh namborunya tersebut. Nai Napatihan akhirnya tewas dalam perang saudara dengan Sisingamangaraja I yang mendapat bantuan dari pasukan kavaleri penunggang gajah dari Kesultanan Barus. Namun akhirnya, Sisingamangaraja dan keturunannya harus menerima kutukan alam saat semua keturunannya tidak pernah mendapat anak perempuan. Kutukan tersebut akhirnya bisa ditanggalkan pada Sisingamangaraja X, yang akhirnya mempunyai seorang putri dan diberi nama Nai Napatihan untuk menghormati Namboru S. M. Raja pertama yaitu Nai Napatihan. Namun sayang, putri satu-satunya dan kesayangan tersebut akhirnya memilih menikah dengan putra Ompu Palti

Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Sisingamangaraja X khawatir dengan keamanan tahtanya apabila generasi Si Raja Lontung menikah dengan putrinya boru Sinambela akan menghasilkan persaingan politik yang berkepanjangan. Ketiga turunan di atas, yakni keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Sumba terlibat dalam persaingan politik di berbagai daerah atau huta di tanah Batak. Lontung menguasai tanah Batak Selatan atau Tapanuli Selatan dan sebagian pulau Samosir, Borbor Bersatu menguasai tanah Batak Pesisir dan Sumba di pusat tanah Batak. Akhirnya Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke tanah Aceh atau tepatnya Singkil, agar tidak menjadi pesaingnya. Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin, sesuai dengan kebiasaaan nama-nama Batak Singkil di sana. Sejarah akhirnya berputar dimana Fakih Amiruddin ditakdirkan menjadi pemimpin sebuah pasukan Batak Padri yang datang dari tanah Batak selatan yang kemudian berseteru dengan Sisingamangaraja X di Bakkara. Fakih Amiruddin akhirnya memenangi pertempuran tersebut setelah seorang pasukannya dari marga Siregar berhasil menewaskan Sisingamangaraja X dan mendirikan pemerintahan Bataknya berpusat di Siborong-borong selama beberapa tahun. Dengan tewasnya Fakih Amiruddin atau yang dikenal dengan Tuanku Rao tersebut dalam pertempuran di Air Bangis melawan penjajah, maka kekuasaannya juga pudar di tanah Batak. Ini adalah satu versi mengenai Fakih Amiruddin. Versi lain mengatakan bahwa dia sebenarnya marga Sinambela dari Ibu yang bernama Gana Sinambela putri Sisingamangaraja IX. Tapi pandangan ini sangat lemah karena putri kerajaan yang boru Sinambela hanya Nai Napatihan boru Sinambela, itupun baru pada era Sisingamangaraja X, akibat karma yang menimpa Dinasti Sisingamangaraja. Versi lain mengatakan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak. Ada juga versi lainnya yang mengatakan, dari sebuah disertasi sarjana Batak di UGM, bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu. Dimana Pongkinangolngolan yang orang batak penganut Islam dan Tuanku Rao bermaksud melakukan pembaharuan agama Islam di tanah Batak yang sudah banyak menganut Islam sejak abad ke-7 tapi berbau syiah, sinkretis dan adat. Pasukan Muslim Batak di bawah pimpinan Syarif Tanjung seorang panglima pasukan Sisingamangaraja X dan dengan dukungan Sisingamangaraja X, berhadapan dengan pasukan Batak Padri. Perang ini terjadi pada abad ke-19.

At 8:01 PM, Anonymous said Pongkinangolngolan adalah Tokoh Batak yang dirusak oleh orang Batak sendiri. Ada tuju versi mengenai dirinya. Bandingkan untuk mengetahui dimana penambahan dan dimana pembohongan. Lihat: Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)

At 9:40 PM, Anonymous said

Lihat: http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinan-inses.html sebagai perbandingan

At 12:44 AM, Anonymous said Pak, tulisan anda saya rasa mengandung unsur SARA dan menyudutkan Pihak Paderi. Perlu dijelaskan bahwa pemberontakan yang dilakukan Kaum Paderi semata-mata untuk menyadarkan Kaum Adat yang telah melakukan banyak hal maksiat. Tidak ada pemaksaan untuk masuk Islam di Tanah Batak oleh Pasukan Paderi. Lagipula jika Pasukan Paderi terdiri dari para ulama, tentu mereka mengetahui bahwa pemaksaan dalam agama dilarang

At 10:29 PM, kunderemp said Sederhana saja... Bisa diedit ulang sehingga enak dibaca, tidak? Gunakan spasi 2 kali untuk memisahkan paragraf.

Terima kasih

At 11:00 PM, kunderemp said Anda menulis: "Pada 9 Rabiuulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!" Sejujurnya aku meragukan pernyataan tersebut karena berbau Kirata (dikira-kira nyata.. atau kira-kira ning nyata.. atau dikira-kira supaya nyata). Seandainya cerita itu benar, tulisan yang digunakan pasti tulisan Arab dan.. sejauh ini aku belum pernah melihat orang yang membaca tulisan arab terbalik. Kalau bisa baca tulisan Arab, pasti menyadari bahwa membaca tulisan Arab terbalik lebih susah daripada membaca tulisan latin terbalik. Selain itu, kalau mau dipaksakan pun, sebenarnya akan dibaca "batakh" bukan "batak". Dan "kh" lebih dekat ke "h" daripada "k". Sebagai contoh, kata "akhlaq" lebih sering diucapkan sebagai "ahlak" daripada "aklak". Kata "makhluq" diserap menjadi "mahluk". Jadi namanya akan menjadi "Batah" bukan "Batak".

At 8:23 PM, Anonymous said napa yak kalo yg komennya negatif selalu pake "anonymous" aka "pengecut" LOL

At 1:57 AM, Coki said Saya sudah membaca buku Tuanku Rao yang kontroversial yang setelah reformasi diterbitkan kembali...menurut saya cerita2 tersebut membuka wawasan dan banyak benarnya, saya sendiri adalah keturunan salah seorang yang namanya terdpt di dalam buku tersebut, banyak kecocokan cerita antara buku tersebut dengan fakta2 barang peninggalan dan cerita2 turun temurun yang disampaikan dari generasi ke generasi di kampung halaman saya..saya menyarankan seandainya bisa dibaca dahulu tersebut karena agak sulit memahami apabila tidak dibaca secara keseluruhan...mudah2an akan membuat persaudaraan antara kita semakin erat.. salam perdamaian S.Lubis

At 12:46 AM, Indra said Amang Hutagalung, maulite!!! Saya bener2 gak bisa ngomong pa2. Speachless...karena sejarah ini cukup mengetarkan. Untuk teman2 yang lain, tulisan ini adalah sebuah sejarah. Di ketengahkan kembali dengan apa adanya. Saya mengerti klo ada teman2 yang lain yang merasa tidak enak membacanya. Apapun yang terjadi, tidak akan merubah apapun kan.

Post a Comment

The British Interregnum di Nusantara


Oleh Batara R. Hutagalung Perang di Eropa juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan di India- Belanda. Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis, Belanda yang kalah perang, berada di bawah kekuasaan Prancis dari tahun 1806 sampai tahun 1813. Napoleon menempatkan adiknya, Louis Bonaparte menjadi Raja di Belanda. Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke kawasan Asia Tenggara, di mana terdapat persaingan dagang antara Belanda dan Inggris. Louis Bonaparte mengangkat salah seorang perwira tingginya, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di India-Belanda. Daendels sebenarnya adalah seorang pengacara Belanda dan memimpin gerakan melawan Willem V dari Oranien. Setelah gerakannya dihancurkan, ia melarikan diri ke Prancis dan bergabung dengan tentara revolusi dan ikut mengambil bagian dalam penyerbuan Prancis ke Belanda tahun 1793. Tahun 1799 ia mencapai pangkat Letnan Jenderal. Untuk memperkuat pertahanan serta mempercepat gerakan pasukannya, Daendels membangun jalan dari Anyer di ujung barat Jawa Barat, sampai Panarukan di ujung timur Jawa Timur. Dalam pembuatan

jalan tersebut, rakyat di pulau Jawa yang menjadi korban, karena pada dasarnya, mereka dipaksa untuk bekerja dengan kondisi yang sangat berat, sehingga pembangunan jalan tersebut yang memerlukan waktu sekitar empat tahun, diperkirakan telah menelan korban jiwa ribuan rakyat di Jawa, dan membawa kesengsaraan bagi keluarga yang ditinggalkan. Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto, Viscount Melgund Of Melgund, di Indonesia dikenal sebagai Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807 1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811, bersama Thomas Stamford Raffles, pasukan Inggris mendarat di Jawa, tanpa suatu perlawanan yang berarti dari tentara Belanda-Prancis, tentara Inggris menduduki pulau Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Pada 11 September 1811 Raffles, yang waktu itu baru berusia 30 tahun, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum. Raffles melakukan sejumlah reformasi atas sistem kolonial Belanda, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun reformasi yang menelan biaya cukup tinggi, tentu tidak disukai oleh British East India Company, yang adalah suatu perkumpulan dagang yang berorientasi pada keuntungan perdagangan, dan bukan suatu organisasi sosial. Raffles tidak hanya melakukan perubahan drastis dalam masalah administrasi, melainkan melakukan sejumlah ekspedisi dan penelitian di Jawa dan Sumatra, termasuk ke wilayah pedalaman. Di masa pemerintahan Raffles, candi Borobudur yang telah tertutup hutan belantara selama ratusan tahun sejak kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha dihancurkan oleh kerajaan-kerajaan Islam- ditemukan kembali dan kemudian mulai dipugar. Selain itu juga ditemukan jenis bunga yang sangat langka, yang kemudian dinamakan Rafflesia. Setelah menderita sakit berat dan meninggalnya sang isteri, Raffles yang waktu itu telah bertugas sekitar 4 tahun dipanggil pulang ke Inggris. Tanggal 25 Maret 1816, Raffles berlayar kembali ke Inggris, dan tentunya tanpa rekomendasi yang positif dari para direktur British East India Company. Namun di Inggris, dia mendapat penghargaan sehingga diangkat menjadi bangsawan dengan gelar Sir. Selain membawa sejumlah perubahan dan perbaikan di India Belanda selama menjadi Letnan Gubernur Jenderal, Raffles juga menulis buku The History of Java, yang diterbitkan tahun 1817. Raffles diganti oleh John Fendall sebagai Letnan Gubernur Jenderal, yang memegang jabatan ini sampai penyerahan kembali India Belanda kepada Belanda. Godert A.G.P. Baron van der Capellen menjadi Gubernur Jenderal India Belanda (1816 1826) setelah British Interregnum. Setelah tentara Prancis pada 18 Juni 1815 di Waterloo dihancurkan oleh tentara koalisi di bawah Jenderal Wellington dan Jenderal Blcher, Napoleon Bonaparte ditangkap dan dibuang ke pulau St. Helena. Di Eropa terjadi perubahan situasi politik, di mana Inggris berdamai lagi dengan Belanda. Sebagai akibat perdamaian ini, pada 19 Agustus 1816 wilayah India-Belanda diserahkan kembali kepada Belanda, tak ubahnya seperti menyerahkan suatu barang. Ini juga merupakan akhir dari British Interregnum. Setelah itu, Inggris hanya menguasai Bengkulu. Pada tahun 1813, Baron Minto (meninggal tahun 1814) digantikan oleh Marques of Hastings (1813 1821) sebagai Gubernur Jenderal di India, sedangkan Sir Thomas Stamford Raffles sendiri ditugaskan di Bengkulu, yang masih dikuasai oleh Inggris. Raffles berpendapat, untuk mengamankan dan memperlancar perdagangan British East India Company di Asia Timur, perlu didirikan pelabuhan yang akan dijadikan basis. Lord Hastings menyetujui gagasan tersebut. Pada 7 Desember 1818 Raffles berlayar dari Calcutta menuju Selat Malaka dan pada 29 Januari 1819, dia mendarat di pantai suatu pulau di sebelah selatan Malaya yang bernama Singapura. Waktu itu wilayah yang dihuni oleh orang Melayu, masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah usai bertugas selama tiga tahun sebagai Letnan Gubernur di Bengkulu, Raflles kembali ke Singapura tahun 1822, dan melanjutkan pembangunan Singapura di mana ia melakukan sejumlah perubahan. Pada bulan Januari 1823, ia menyatakan Singapore sebagai pelabuhan bebas. Pernyataan tersebut berbunyi antara lain: the Port of Singapore is a free Port, and the trade thereof is open to ships and vessels of every nation

. . . equally and alike to all. Belanda dan Inggris sepakat untuk melakukan tukar guling atas Singapura dan Bengkulu. Dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda melepaskan seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris dan sebagai imbalan, Belanda memperoleh Bengkulu. Tak lama setelah perjanjian itu, Raffles berlayar kembali ke Inggris dan tiba di London tanggal 22 Agustus 1824. Dia membantu mendirikan kebun binatang di London, London Zoo, dan diangkat menjadi direktur pertama kebun binatang tersebut. Raffles meninggal bulan Juli 1826 karena tumor otak.

Anda mungkin juga menyukai