Fenomena Kajian Syiah
Bab I ditndonesia:
Catatan Pendahuluan
Oleh: M. Hamdan Basyar dan
Erni Budiwanti
Latar Belakang dan Permasalahan
Scjak kemenangan kaum revolusioner Islam Syiah di Iran
(1979), pengaruh ajaran dan pemikiran mazheb Syiah oukup
beser di kalangan masyarakat Indonesia, Hal ini antara lain bisa
dilihat dari larisnya buku-buku karya para pemikir Syiah
(seperti Ali Syariati dan Murtadha Mutahhari) maupun buku-
buku yang mengkaji mazhab Syiah.
Kelompok-kelompok studi yang mengkhususkan diri pada
kkajian tentang mazhab Syiah juga bermunculan di berbagai
daetah di Indonesia. Di Bandung (fawa Barat) berdiri Yayasan
‘Mutahhari yang mengambil nama tokoh Syiah. Di Pekalongan
(awa Tengah) terdapat Pesantren Al-Hadi yang dipimpin
Ahmad Baragbah, lulusan Qom, Iran. Dia secara jelas mengakui
"Ini pesantren Syiah satu-satunya di Pekalongan". Di Bangil
Gawa Timur) berdiri Yayasan Pesentren Islam (YAPI) yang
secera terbuka juge mengibarkan bendera Syiah, Selain Bangil,
"kantong-kantong" Syiah Jawa Timur yang lain adalah
Surabaya, Sitzbondo, Malang, dan Jember. Alumni YAPI telah
tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan mereka membuke cabang
di Sorong (Irian Jaya) dan Ambon (Maluku). Sementara itu, di
‘Ujung Pandang (Sulawesi Selatan) sejak April 1994 berdiri
Yayasan ALslah, sebuah forum sosial yang secara khusus
mendalami ajaran Syiah.’ Maraknya penyebaran Syiah ini tidak
"Tiras, (15 Pebruati 1996),‘Syiah Dalam Kehidupan Polit Umat Istam indonesia
2 mean Poittk Umat islam indonesia,
hanya di berbagai_pelosok daerah. Di Jakarta pun banyak
terdapat lembaga kajian Syiah. Paling tidak terdapat 25 lembaga
yang khusus mengkaji doktrin-doktrin Syiah ?
Derasnya perkembangan ajaran Syiah sedikit banyak akan
menciptakan suatu “Ketegangan” di kalangen umat Islam
memahami imamah (kepemimpinan). Majelis Ulama Indonesia
(MUD ketika di bawah pimpinan K.H. Sukri Ghazali pernah,
membuat rumusen yang culup tegas mengenai perbedaan
antara Sunni dan Syiah. Salah satunya adalah Syiah pada
lumurnnya tidak mengekui kekhalifahan (empat pemimpin Islam
asea Nabi Muhammad) selain Ali bin Abi Thalib yang
Sekaligus dianggap sebagai imam mereka. Sementara itu, Sunni
mengekui otoritas empat Khalifah (Abu Bakar, Umar bin
Khatiab, Usman bin Affen, dan Ali bin Abi Thalib), Dengan
Perumusan itu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Syiah tidak
Covok “untuk masyarakat Islam Indonesia, Tetapi, dalam
Kenyetaannys, fatwa itu tidak mampu membendung
meningkatnya perkembangan ajaran Syiah. Tidak hanya itu, Di
‘masjid Istiglal, Jakarta, 21 September 1997, diadakan “Seminar
Nasional Schari Tentang Syiah”. Rekomendasi yang dihasilkan
dari seminar tersebut antara lain: mendesak Pemerintah
Indonesia untuk melarang faham Syiah di Indonesia dan
mendesak pemerintah untuk mencabut ijin semua vyayasan yang
‘mengembangken ajaran Syiah,
Walaupun permasalahan di atas mempunyai potensi konilik
yang cukup tinggi, sampai saat ini belum ada kajian yang
mendalam tentang masalah itu dalam wacana agama dan politike
Islam di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sejauh ini kajian
‘mengenai persoalan yang dibahas lebih banyak dilakuken oleh
para penulis asing
Kajien ini ingin menjawab sejumizh pertanyean, seperti
bagaimana sebenarnya perkembangan Syiah di Indonesia?
Mengapa ajaran Syiah begitu populer, terutama di Kalangan
See
7Ulumul Qur'an, No.4,vol.VI,th.1995,Fenomena Kajian Syiah di Indonesia: Catatan Pendahuluan
generasi muda Islam Indonesia? Benarkah kehadiran’ Syiah
merupakan ancaman terhadap kemapanan mazhab Sunni di
Indonesia? Bagaimana kedua mazhab itu bisa hidup
‘berdampingan secara damai di Indonesia?
Kerangka Pemikiran
Hubungan antara agama dan politik akan muncul sebagai suatu
permasalahan hanya pada bangsa-bangsa yang tidak homogen
secara agama.’ Hal ini bisa diartikan, dalam masyarakat yang
homogen secara agama, permasalahan politik dan agama tidak
begitu diperbincangkan. Kehomogenitasan agama akan
menyebabkan pembicaraan masalah politik sudah termasuk
dalam wacana agama itu sendiri. Politik bukanlah suatu wacana
yang terpisah dari agama.
Ketika ada suatu masyarakat tidak homogen secara agama,
make permasalahan politik dan agama kemungkinan akan
menjadi suatu wacana yang terpisah. Ada agama yang berbeda
dalam memahami masalah politik dibandingkan dengan agama
yang lain, Heteroginitas agama ~-yang di sini juga dimaksudkan
dengan heteroginitas kepercayaan dalam suatu agama-- akan
menimbulkan suatu permasalahan sekularisme, — yakni
pemisahan pemahaman keagamaan dan pemahaman politik.
Perbincangan Islam dan politik tidak terlepas dari hal di atas.
Suatu masyarakat dengan pemahaman keislaman yang homogen
~tidak terbagi ke dalam berbagai aliran~ akan lebih mudah
memahami Kepolitikan, Mereka biasanya tidak memisahkan
antara wacana politik dan keagamaan. Akan tetapi, Ketika
masyarakat memabami keislaman dengan lebih heterogen --ada
berbagai aliran keislaman yang dianut oleh masyarakat-- maka
akan timbul suatu wacana baru dalam hubungen agama dan
politik. Ada sekelompok yang memahami hubungan itu dengan
lebih ketat, schingga pemisahan antara keduanya tidak mungkin
terjadi. Ada juga kelompok yang memahami hubungan itu lebih
‘Lihat RR. Alford, “Agama dan Politik,” dalam Roland Robertson (ed),
Agama: Dalam Analisa dan Interprets! Sosiologis (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995), him. 379.