Anda di halaman 1dari 28

BAB I PENDAHULUAN

Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus (bronkokonstriksi) yang berulang tetapi reversibel (dapat kembali), dan di antara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal (Price dan Wilson, 2005). Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Tanda-tanda yang khas pada penderita asma adalah adanya obstruksi (penyumbatan) saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan, adanya inflamasi saluran napas, dan adanya peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas) (Sudoyo, 2006). Obstruksi (penyumbatan) saluran napas memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula mendadak sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus, diameter lumer saluran napas, dan dipengaruhi oleh edema dinding bronkus. Diduga obstruksi dan peningkatan respon terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas (Sudoyo, 2006). Berbagai rangsangan dapat dengan mudah menimbulkan keadaan-keadaan asma seperti penyempitan bronkus pada orang-orang yang rentan terkena asma. Keadaan yang merupakan akibat rangsangan ini menandakan suatu keadaan hiperaktivitas bronkus yang khas (Price dan Wilson, 2005). Pada penderita asma dapat mengalami perubahan jaringan tanpa komplikasi yang terbatas pada bronkus dan terdiri dari spasme otot polos, edema mukosa, dan infiltrasi sel-sel radang yang menetap dan hipereksresi mukus yang kental. Penyempitan saluran pernapasan dan pengelupasan sel epitel kolumner $pseudokompleks bersilia yang kronis dalam keadaan normal membantu membersihkan mukus dapat menghambat mobilisasi sekresi lumen (Price dan Wilson, 2005).

1|Page

BAB II ISI

A. Definisi Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus (bronkokonstriksi) yang berulang tetapi reversibel (dapat kembali), dan di antara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal (Price dan Wilson, 2005). Asma bronkial merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2007) B. Epidemiologi Epidemiologi dari asma sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa anak-anak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding dengan anak perempuan 1,5:1. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di Negara yang sama. Di Indonesia sendiri prevalensi asma berkisar antara 5-7%. Penelitian di Surakarta salah satu kabupaten di Jawa Tengah dengan penduduk sekitar satu juta, banyak rumah, kawasan industri perusahaan, menyebabkan polusi yang tinggi, yang dapat memicu asma pada anak (Lanphear dan Gergen, 2003).

2|Page

C. Etiologi 1. Infeksi saluran pernafasan Infeksi terutama disebabkan oleh infeksi virus. Bayi dan anak-anak dengan persisten wheezing (mengi) dan asma mempunyai IgE tinggi dan responimun eosinofil, saat pertama kali terserang infeksi (Subbarao, Padmaja, Mandhane, et al, 2009). 2. Alergen Terdapat dua respon yaitu, early asthmatic responses (respon dalam waktu singkat) yang terjadi lewat terbentuknya mediator IgE dari sel mast dalam hitungan menit pasca paparan alergen dan berakhir dalam dua puluh hingga tiga puluh menit. Late asthmatic responses (respon lambat) yang terjadi dalam empat hingga dua belas jam pasca paparan alergen dengan gejala berat yang berakhir selama satu jam atau lebih. Alergen dapat berupa makanan, kutu, debu, dan lain-lain (Subbarao, Padmaja, Mandhane, et al, 2009). 3. Iritan Zat iritan berupa asap rokok, udara dingin, bahan kimia, parfum, bau cat, polusi udara yang dapat mencetuskan hiperresponsif bronkial

(mekanisme inflamasi) (Subbarao, Padmaja, Mandhane, et al, 2009). 4. 5. Perubahan cuaca Olahraga Panas dan kehilangan cairan dapat meningkatkan osmolaritas cairan pernafasan dan mengakibatkan terbentuknya mediator-mediator. Dingin mengakibatkan kongesti dan dilatasi pembuluh darah bronkial selama fase penghangatan setelah olahraga sehingga pembuluh darah agak melebar (Subbarao, Padmaja, Mandhane, et al, 2009). 6. 7. 8. Emosi Inflamasi saluran nafas atas seperti rhinitis alergi, sinusitis, dan lain lain. Asma nokturnal yang diakibatkan oleh alergen, sinusitis, refluks gastroesofagus, inflamasi parenkim, dan lain lain (Subbarao, Padmaja, Mandhane, et al, 2009).

3|Page

D. Klasifikasi dan Gambaran Patologi Anatomi Pembagian kategori Asma menurut ada tidaknya penyakit imun (Kumar, Cotran, Robbins, 2007) : 1. Asma ekstrinsik Episode asma biasanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh pajanan ke suatu antigen ekstrinsik. Bentuk asma ini diperantai oleh T CD4+ subset TH2. Tiga jenis asma yang termasuk asma ekstrinsik adalah asma atopik, asma pekerjaan, dan aspergilosis bronkopulmonal alergik. Kadar IgE pada serum biasanya meningkat demikian juga jumlah eosinofil juga meningkat (Kumar, Cotran, Robbins, 2007) 2. Asma intrinsik Pemicu mekanisme asma intrinsik adalah bersifat nonimum. Pada bentuk ini, sejumlah rangsangan yang kecil atau tidak berefek pada orang normal dapat menyebabkan bronkospasme pada pasien. Faktor tersebut meliputi penggunaan aspirin, adanya infeksi paru terutama yang disebabkan virus, dingin, stres psikologis, olahraga, dan inhalasi iritan seperti ozon dan sulfur dioksida. Biasanya tidak terdapat manifestasi alergi pada pasien dan keluarganya, dan kadar IgE serum normal. Pasien tersebut dikatakan mengidap diatesis asmatik (Kumar, Cotran, Robbins, 2007) Asma juga dapat diklasifikasikan menjadi asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut). 1. Asma saat tanpa serangan Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan berdasarkan gambaran klinis dan APE (Angka Puncak Ekspirasi) secara umum terdiri dari: Intermitten, Persisten ringan, Persisten sedang, Persisten berat. Derajat asma Gejala Gejala malam Intermitten Bulanan - Gejala<1x/minggu. - Tanpa gejala diluar serangan. 2 kali sebulan APE80% - VEP180% nilai prediksi APE80% nilai terbaik. Faal paru

4|Page

- Serangan singkat.

- Variabiliti APE<20%.

Persisten ringan

Mingguan - Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari. - Serangan dapat mengganggu aktifitas dan tidur >2 kali sebulan

APE>80% - VEP180% nilai prediksi APE80% nilai terbaik. - Variabiliti APE 20-30%. APE 60-80% >2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai prediksi APE 6080% nilai terbaik. - Variabiliti APE>30%.

Persisten sedang

Harian - Gejala setiap hari. - Serangan mengganggu aktifitas dan tidur. - Membutuhkan bronkodilator setiap hari.

Persisten berat

Kontinyu - Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktifitas fisik terbatas Sering

APE 60% - VEP160% nilai prediksi APE60% nilai terbaik - Variabiliti APE>30%

2. Asma saat serangan Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.

5|Page

Parameter klinis, fungsi faal paru, laboratorium Sesak (breathless)

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti napas

Berjalan Bayi : Menangis keras

Berbicara Bayi : -Tangis pendek dan lemah -Kesulitan menetek/makan

Istirahat Bayi : Tidakmau makan/minum

Posisi

Bisa berbaring

Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

Bicara

Kalimat

Penggal kalimat

Kata-kata

Kesadaran

Mungkin iritabel

Biasanya iritabel Tidak ada Nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi

Biasanya iritabel Ada Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop

Kebingungan

Sianosis Wheezing

Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi

Nyata Sulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorik

Biasanya tidak

Biasanya ya

Ya

Gerakan paradok torakoabdominal

Retraksi

Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah napas cuping hidung Takipnea

Dangkal / hilang

Frekuensi napas

Takipnea

Takipnea

Bradipnea

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :

6|Page

Usia per menit < 2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun 6-8 tahun Frekuensi nadi Normal Takikardi

Frekuensi napas normal

<60 < 50 < 40 < 30 Takikardi Dradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia per menit 2-12 bulan 1-2 tahun 6-8 tahun Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis) Tidak ada (< 10 mmHg) Ada (10-20 mmHg) Ada (>20mmHg) < 160 < 120 < 110 Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator SaO2 % PaO2 >95% Normal (biasanya tidak perlu diperiksa) PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg 91-95% >60 mmHg 90% <60 mmHg >60% >80% 40-60% 60-80% <40% <60%, respon<2 jam Frekuensi nadi normal

7|Page

Selain itu Global Initiative for Asthma (GINA) juga membuat klasifikasi Asma berdasarkan level dari kontrolnya (Bousquet, Clark, Hurd, 2007).

Karakteristik

Terkontrol

Sebagian terkontrol

Tidak terkontrol Tiga atau sering dalam beberapa minggu

Gejala harian Keterbatasan aktivitas Gejala malam Kebutuhan reliever FEV1

Tidak ada Tidak ada

> 2 minggu Sering

Tidak ada Tidak ada

Sering > 2 minggu

Normal atau mendekati normal

< 80 %

Eksaserbasi

Tidak ada

Satu atau lebih dalam 1 tahun

Satu kali dalam beberapa minggu

Gambaran Patologi Anatomi Asma Bronkial Gambaran patologi anatomi meliputi gambaran morfologi, gambran makroskopi dan gambaran miksrokopi di bawah mikroskop. Perubahan morfologik pasa asma diketahui pada pasien yang meninggal akibat serangan berat berkepanjangan (status asmatikus) dan dari spesimen bioosi mukosa pasien yang diberi alergen. Pada kasus yang fatal, secara maksrokopis paru tampak mengalami peregangan berlebihan dan mungkin terdapat daerah kecil atelektasis (Kumar, Cotran, Robbins, 2007).

8|Page

Gambaran makroskopis Adanya onklusi bronkus dan bronkiolus oleh sumbatan mukus yang kental dan lengket. Paru tampak normal, tetapi penuh berisi udara pada penderita status asthmaticus (hiperinflasi) (Kumar, Cotran, Robbins, 2007).

Gambaran Mikroskopis Secara histologis sumba tmukus ini mengandung gelungan epitel yang terlepas (spiral Curshcmann), juga terdapat banyak eosinofil dan kristal

9|Page

Charcot-Leyden (kumpulan kristaloid yang terbentuk dari protein eosinofil (Kumar, Cotran, Robbins, 2007). Selain itu juga ditemukan gambarangambaran :
a. Edema, hiperemia, dan infiltrat peradangan di dinding bronkus, dengan banyak eosinofil yang mungkin membentuk 5% hingga 50% infiltrat. Juga terdapat sel mas, basofil, makrofag, limfosit, sel plasma, dan beberapa neutrofil (Kumar,

Cotran, Robbins, 2007).


b. Peningkatan ukuran kelenjar mukus submukosa dan peningkatan jumlah sel goblet di epitel bronkiolus (Kumar, Cotran, Robbins, 2007). c. d. Bercak nekrosis dan terlepasnya sel epitel (Kumar, Cotran, Robbins, 2007). Peningkatan kolagen yang terletak tepat di bawah membran basal sehingga membran basal tampak menebal. Perubahan ini diperkirakan terjadi karena pengaktifan miofibroblas (yang diperantarain oleh sitokin) penghasil kolagen

(Kumar, Cotran, Robbins, 2007).


e. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos di dinding bronkus (Kumar, Cotran,

Robbins, 2007). E. Patogenesis Pandangan tentang pathogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamine dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus (Elias, Lee, Zheng, 2003). Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mucus dan stimulasi reflek Saraf (Elias, Lee, Zheng, 2003). Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit (Elias, Lee, Zheng, 2003).

10 | P a g e

Asma

merupakan

gangguan

inflamasi

kronik

saluran

napas

yang

berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruks saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan (Elias, Lee, Zheng, 2003). Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibody spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin (Elias, Lee, Zheng, 2003).

Limfosit T

Sel Dendrit IL 12+ IL 12

Imunitas seluler

Ig E

Sel mast

Basofil

Eosinofil

InflamasiNeurofilik

Mediator Inflamasi

Obstruksisaluran

GejalaAsma

11 | P a g e

F. Patofisiologi Perubahan ini terjadi pada pasien dengan karakteristik pembengkakan saluran nafas yang diakibatkan oleh infiltrasi dari dinding saluran nafas dan hyperessponsivness dari sel CD4 + T, eosinofil,dan sel imun bawaan yang mengeluarkan Th2 sitokin,dan juga infiltrasi neutrofil yang mungkin

berperan dalam eksaserbasi akut (Fahy dan Dickey, 2010). Gambar di bawah ini menunjukkan kontribusi berbagai penyakit terhadap morfologi mukosa abnormal akibat hipersekresi lendir. Pada asma, remodeling saluran napas ditandai dengan hyperplasia sel goblet penghasil mucus, akibat proses metaplasia epitel permukaan mukosa yang disertai dengan hiperplasia epitel squamous simpleks. Perubahan morfologi epitel mukosa bronkus pada penderita ini sifatnya persisten, jadi semakin sering dia terkena serangan asma, maka mukosa yang berubah fungsionalnya pun semakin banyak. Sehingga komplikasi kegawatan penyakit pernafasan yang terjadi bisa bertambah berat (Fahy dan Dickey, 2010).

Sumber : Fahy, John V. dan Dickey, Burton F. 2010. Airway Mucus Function and Dysfunction. N Engl J Med, vol.363:2233-47.
12 | P a g e

Ditambah lagi, pembuluh darah kecil pada subepithelial bronkiolus meningkat jumlahnya dan menjadi rentan kebocoran jika penderitanya mengalami inflamasi lain. Sedangkan perubahan asinus pada submukosa tidak terlalu menonjol kecuali pada tingkatan sakit asma berat (Fahy dan Dickey, 2010). Gejala-gejala asma seperti batuk, mengi dan sesak nafas terjadi akibat obstruksi saluran nafas ini berlangsung secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap selama pengobatan, pada suatu ketika dapat pula menjada akut atau mendadak sehingga menimbulkan kesulitan bernafas. Berat ringannya obstruksi saluran nafas tergantung pada diameter lumen saluran nafas. Keluhan batuk / sesak pada penderita asma yang terutama timbul pada malam sampai dini hari, didasari atas mekanisme perubahan suhu yg ekstrim, yang ikut mempengaruhi beberapa fungsi fisiologis tubuh, salah satunya penurunan kadar hormon AdrenoCorticotropin pada waktu-waktu tersebut (Sudoyo, 2006).

Karakteristik Asma : 1. Obstruksi saluran nafas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan. 2. Inflamasi saluran nafas.

13 | P a g e

3.

Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi dari spasme

otot bronkus, sumbat mukosa, edema dan inflamasi dinding bronkus. Sel-sel tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggungjawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya : a. Kontraksi otot polos b. Peningkatan pembentukan lendir c. Perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan

hipereaktivitas bronkus.

Pada stadium awal dijumpai jalan napas terlihat pucat disertai adanya udema dan sekresi mukus bertambah. Lumen bronkhus dan bonkheolus menyempit, terdapat kongesti pembuluh darah dan infiltrasi sel-sel eosinofil dalam lumen saluran napas (Kumar, Cotran, Robbins, 2007).

14 | P a g e

Pada stadium lanjut (bila serangan sering terjadi dan lama), akan terjadi diskuamasi epitel atau pengelupasan epitel, penebalan membran hialin basal, hiperplasti serabut hialin, hiperplasti dan hipertropi bronkus yang disertai dengan penambahan sel goblet pada penderita asma bronkhiale yang menahun atau pada saat terjadi serangan berat, terjadi sumbatan bronkhus ole mukus yang kental yang didalamnya terdapat eosinofil (Kumar, Cotran, Robbins, 2007). Obstruksi bertambah berat selama periode ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas pada fase tersebut. Sehingga udara pada distal terperangkap dan tak dapat di ekspirasikan, kemudian terjadi peningkatan volume residu, kapasaitas residu fungsional dan penderita akan bernafas dengan volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (Sudoyo, 2006). Keadaan ini kita sebut dengan hiperinflasi yang bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaran gas dapat terjadi, hiperinflasi memerlukan bantuan otot bantu pernafasan. Maka dari itu sering kita temukan retraksi suprasternal pada keadaan asma berat (Sudoyo, 2006).

15 | P a g e

Penyempitan saluran nafas ternyata tidak merata pada seluruh lapangan paru, ada daerah paru yang hipoventilasi sehingga mengalami hipoksia. Ditandai dengan penurunan PaO2 merupakan kelainan yang bersifat subklinis pada asma. Untuk mengatasi kejadian ini tubuh berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan ventilasi sehingga terjadi hiperventilasi. Akibat dari

hiperventilasi terjadi pengeluaran CO2 yang berlebihan sehingga PaCO2 menurun akhirnya terjadilah apa yang disebut dengan alkalosis respiratorik (Sudoyo, 2006). Pada serangan asma yang akut terjadi hipersekresi mukus sehingga menutup alveolus dan media pertukaran gas menjadi lebih sedikit. Hipoksia semakin berat dirasakan dan tubuh berusaha mengkompensasi dengan menambah kapasitas hiperventilasinya yang terjadi adalah peningkatan produksi CO2 tetapi terjadi keadaan hipoventilasi sehingga retensi CO2 menyebabkan kadar CO2 menjadi tinggi (hiperkapnia) dan kemudian asidosis respiratorik menyusul kemudian. Hipoksia yang berlangsung lama akan menuju terjadinya asidosis metabolik dan terjadi shunting yaitu peredaran darah paru tanpa melalui sistem pertukaran gas yang baik dan keadaan-keadaan ini memperburuk hiperkapnia yang telah ada (Sudoyo, 2006).

16 | P a g e

G. Penegakkan Diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Penunjang) 1. Anamnesis Mengi, dada rasa penuh (chest tightness) dan sesak nafas merupakan gejala kardinal asma. Karaketeristik gejala asma bervariasi seiring dengan berjalanya waktu. Bahkan ada yang mengatakan keluhan semakin memburuk ketika malam hari. Keluhan menjelang pagi atau episode malam merupakan ciri khas dari asma dewasa (Winarniani, 2010). 2. Pemeriksaan fisik Hasil temuan pemeriksaan fisik dari serangan asma adalah akibat dari : a. Efek langsung penyempitan saluran nafas difus dan hipersekresi mukus b. Tidak langsung akibat dari peningkatan kerja nafas, peningkatan kebutuhan metabolik dan rangsangan saraf simpatik difus. Hasilnya: a. Takipnea dan takikardi b. Wheezing difus c. Ekspirasi memanjang d. Pulsus paradoksus e. Hiperhidrosis f. Sianosis (Winarniani, 2010). 3. Pemeriksaan faal paru Tes fungsi paru penting untuk diagnosis, menilai keparahan, mengevaluasi penyakit dan evaluasi pengobatan (Lazarus, 2010). Diagnosa asma dipastikan dengan ditemukan obstruksi saluran pernafasan pada

pemeriksaan spirometri. Yaitu penurunan kadar FEV1. Adalah penurunan volume ekspirasi paksa selama 1 detik (Winarniani, 2010). 4. Laboratorium Pada penderita asma alergi dan non alergi ditemukan eosinofilia. Sering ditemukan eosinofi 5-15 %. Komponen alergi pada asma dapat diiedentifikasi dengan uji kulit atau mengukur kadar Ig E spesifik serum. Uji kulit dengan alergen adalah yang paling sering digunakan untuk alat

17 | P a g e

diagnostik asma alergi. Uji yang paling sering digunakan adala prick test (Winarniani, 2010). 5. Radiologi Pemeriksaan foto toraks untuk asma tidak begitu penting. Pada sebagian besar menunjukan normal atau hiperinflasi. Pada eksaserbasi berat pemeriksaan toraks berguna untuk menyingkirkan penyakit lain atau menyingkirkan penyulit seperti pneumotoraks, ateletaksis, pneumonia (Winarniani, 2010).

H. Terapi Lama Pada prinsipnya, pengobatan asma adalah dengan mengurangi respons saluran napas, mencegah ikatan alergen dengan IgE, mencegah penglepasan mediator kimia, dan merelaksasi otot-otot pada polos pada bronkus. Hal ini sesuai dengan patogenesis penyakit asma itu sendiri (Sundaru, 2009). 1. Mencegah ikatan alergen-IgE Mencegah alergen, adalah suatu hal yang tampak sederhana, tetapi pada kenyataannya susah untuk dilakukan. Hiposensitisasi, dengan

menyuntikkan allergen dosis kecil dan semakin lama dosisnya makin ditingkatkan. Dengan perlakuan seperti ini, diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan mencegah ikatam allergen dengan IgE pada sel mast. Namun, efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih diragukan (Sundaru, 2009). 2. Mencegah penglepasan mediator Melakukan pengobatan didahului dengan natrium kromolin dapat mencegah terjadinya spasme bronkus yang disebabkan oleh allergen. Mekanisme kerja natrium kromolin adalah mencegah penglepasan mediator dari mastosit. Obat ini tidak mengatasi spasme bronkus yang sudah terjadi, sehingga obat ini hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan. Natrium kromolin efektif untuk asma anak yang disebabkan oleh alergi. Selain itu juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsik dan asma karena kegiatan jasmani. Terdapat obat lain yang dapat

18 | P a g e

mencegah penglepasan mediator, yaitu obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin (Sundaru, 2009). 3. Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator a. Simpatomimetik Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-obat untuk mengatasi serangan asma akut. Obat ini dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metered Dosed Inhaler) atau nebulizer. b. Epinefrin digunakan sebagai pengganti agonis beta 2 untuk serangan asma yang berat. Obat ini diberikan secara subkutan dan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda . c. Aminofilin Digunakan pada serangan asma akut. Cara pemberiannya adalah diberikan dosis awal, kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. d. Kortikosteroid Sistemik Obat ini secara tidak langsung dapat melebarkan saluran napas dan digunakan pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan asma yang berat. e. Antikolinergik (ipatropium bromida) Obat ini digunakan sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma. 4. Mengurangi respons dengan jalan meredam inflamasi saluran napas 5. Asma yang ringan maupun yang berat menunjukkan adanya inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan adanya ilfiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut. Untuk itu perlu meredam indlamasi dengan natrium kromolin atau kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau inhalasi (Sundaru, 2009). Obat-obat anti-asma Obat-obat anti asma digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma dengan fungsi sebagai berikut : a. Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari. Obat ini bertujuan untuk mengendalikan gejala asma yang persisten. Yang
19 | P a g e

termasuk

golongan obat

pencegah adalah

kostikosteroid hirup,

kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol)dan oral, serta obat obatan anti alergi, Falmaterol, antileukotrien, dan anti-IgE (Sundaru, 2009). b. Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Yang termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol). Obat ini dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Kortikosteroid

sistemik, untuk mencegah perburukan gejala lebi lanjut. Antikolinergik hirup atau Ipatropium bromida dipakai sebagai obat alternative pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin dan agonis beta 2 oral dipakai pada pasien yang tidak bisa memakai sediaan hirup (Sundaru, 2009).

I.

Terapi Baru 1. Pengobatan Asma Menurut GINA Di setiap Negara di dunia menerapkan protocol pengobatan asma yang dianjurkan, namun pada kenyataannya cara pengobatan tersebut masih dianggap mahal bagi Negara yang sedang berkembang. Para ahli asma dari berbagai negara berkumpul dalam suatu lokakarya Global Initiative for Asthma (GINA): Management and Prevention yang dikordinasikan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Lokakarya ini diterbitkan pada tahun 1995 dan diperbaharui terus-menerus muali tahun 1998, 2002, 2006, dan yang terakhir 2008. Mengingat perekonomian setiap negara berbeda-beda, maka masing-masing negara dianjurkan untuk membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta lingkungannya (Sundaru, 2009). Selain berdampak pada pasien itu sendiri, asma juga berdampak terhadap kehidupan keluarga dan masyarakatnya. Sampai saat ini belum ada cara untuk menyembuhkan asma, namun dengan penatalaksanaan

20 | P a g e

yang baik dapat memperoleh kontrol asma yang baik. Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai dan

mempertahankan kontrol gejala-gejala asma, mempertahankan aktivitas yang normal termasuk olah raga, menjaga fungsi paru senormal mungkin, mencegah eksaserbasi asma, menghindari reaksi adverse obat asma, dan mencegah kematian 5 karena asma. Oleh yang karena saling itu, GINA dalam

merekomendasikan

komponen

terkait

penatalaksanaan asma untuk mencapai tujuan (Sundaru, 2009). Komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter Kerja sama yang baik antara dokter dengan pasien akan mempercepat tujuan penatalaksanaan asma. Pasien akan mampu mengontrol asmanya dengan bimbingan dokter, seperti akan mengenal kapan asmanya memburuk, mengetahui tindakan

sementara sebelum menghubungi dokter, kapan harus menghubungi dokternya, kapan harus segera mengunjungi instalasi gawat darurat, dan pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan diri dan ketaatan dalam berobat (Sundaru, 2009). b. Identifikasi dan kurangi pemaparan factor resiko Untuk dapat mengontrol asma, maka faktor pencetusnya harus diketahui. Dengan menghindari faktor pencetus diharapkan dapat mengurangi gejala dan serangan asma. Hal yang perlu diidentifikasi antara lain berbagai allergen, baik yang ada di dalam rumah seperti tungan debu, bulu binatang kecoa, atau yang berasal dari luar ruangan seperti polusi udara, lingkungan kerja, pengawet makanan, obat-obatan, virus influenza, ketegangan jiwa, rinosinusitis, refluks gastro-esofagal, dan lain-lain (Sundaru, 2009). c. Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma Kontrol asma mengarah keoada uoaya pencegahan dengan cara mengendalikan gejala klinik penyakit termasuk juga perbaikan fungsi paru. GINA membagi tingkat kontrol asma menjadi tiga tingkatan yaitu terkontrol sempurna, terkontrol sebagian, dan tidak

21 | P a g e

terkontrol. Salah satu caranya adalah dengan Tes Kontrol Asma (TKA) (Sundaru, 2009). d. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma) Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajatya dapat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Serangan bisa terjadi mendadak atau dalam jangka waktu berhari-hari. Serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor pencetus. Tujuan pengobatan serangan asma adalah menghilangkan obstruksi jalan napas dengan segera, mengatasi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru kea rah normal secepat mungkin, mencegah serangan berikutnya, memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara

mengatasi dan mencegah serangan asma. Prinsip pengobatannya adalah dengan cara memberikan oksigen untuk memelihara saturasi oksigen yang cukup, memberikan bronkodilator untuk melebarkan saluran napas, dan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dan mencegah kekambuhan (Sundaru, 2009). e. Penatalaksanaan asma pada kondisi khusus 1. Kehamilan Asma yang tidak terkontrol akan berdampak pada janin, mengakibatkan kematian perinatal, prematuritas, dan berat badan lahir rendah. Oleh karena itu dianjurkan untu memakai obat-obat anti asma untuk memperoleh kontrol asma (Sundaru, 2009). 2. Pembedahan Komplikasi pembedahan juga ditentukan oleh beratnya asma sewaktu operasi, lokasi operasi, serta jenis anestesi. Lakukan penilaian beberapa hari sebelum operasi dan berikan

kortikosteroid sistemik oral apabila fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi (Sundaru, 2009).

22 | P a g e

3.

Rinitis dan sinusitis Pada pasien asma perlu dipikirkan adanya rhinitis, sinusitis, dan polip hidung (Sundaru, 2009).

4.

Refluks gastroesofageal Hal ini perlu diperhatikan terutama pada pasien asma yang sulit dikontrol. Penanganan ini diharapkan mengurangi gejala asma. Pengobatannya antara lain dengan menjaga porsi makanan yang sedikit tapi sering (Sundaru, 2009).

5.

Anafilaksis Kejadian ini bisa terjadi pada pasien asma, sehingga pada serangan asma yang resisten terhadap pengobatan perlu dicari gejala-gejala lain dari anafilaksis. Pengobatan utamanya adalah epinefrin atau adrenalin atai adrenalin 0,3 ml IM yang dapat diulangi beberapa kali (Sundaru, 2009).

2.

Penambahan Terapi Olizumab Pada penelitian terbaru oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), menambahkan terapi Omalizumab pada asma yang diderita anak, remaja, dan dewasa muda dengan asma alergi, terbukti menurunkan gejala klinis asma, mengurangi eksaserbasi, mengurangi angka rawat inap, mengurangi penggunaan glukokrotikoid, dan meningkatkan kontrol asma. Omalizumab sudah diindikasikan untuk pengobatan asma sedang sampai berat pada pasien yang berusia lebih dari 11 tahun (Busse, 2011).

J.

Komplikasi Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 1. Status asmatikus (Kumar, Cotran, Robbins, 2007). Status asmatikus adalah episode serangan asma yang berat, berlangsung dalam beberapa jam sampai beberapa hari, yang tidak memberikan perbaikan pada pengobatan yang lazim. Status asmatikus merupakan kedaruratan yang dapat berakibat kematian,

23 | P a g e

oleh karena itu : Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan diutamakan terhadap usaha menanggulangi sumbatan saluran pernapasan. Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor yang merangsang timbulnya serangan . a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil. b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug. 2. Atelektasis Atelektasis paru menurut definisinya adalah kolapsnya jaringan alveolus paru akibat obstruksi parsial atau total airway. Etiologi terbanyak obstruksi airway adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Instrinsik berupa peradangan intra luminar airway. Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan sekret yang berupa mukus. Selain itu juga terjadi edema di lumen airway sehingga mengakibatkan obstruksi pada airway. Etiologi ekstrinsik atelektasis pada airway adalah pneumothoraks, tumor dan paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening (Kumar, Cotran, Robbins, 2007). 3. Asidosis Respiratorik Asidosis Respiratorik adalah gangguan klinis dimana pH kurang dari 7,35 dan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 42 mmHg.Kondisi ini terjadi akibat tidak adekuatnya ekskresi CO2 dengan tidak adekuatnya ventilasi sehingga mengakibatkan kenaikan kadar CO2 plasma. Jika hal ini berlangsung lama tanpa kompensasi perbaikan tubuh, maka yang terjadi adalah hipoksia jaringan perifer, dan bahkan hipoksia otak yang menyebabkan pecahnya aneurisma otak, stroke, dan sebagainya (Price dan Wilson, 2005).

24 | P a g e

4. Pneumothoraks Pneumotoraks adalah penimbunan udara atau gas di dalam rongga pleura. Terjadi jika paru-paru mendapatkan tekanan berlebihan sehingga paruparu mengalami kolaps. Tekanan yang berlebihan juga bisa menghalangi pemompaan darah oleh jantung secara efektif sehingga terjadi syok (Price dan Wilson, 2005). 5. Emfisema Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya (Price dan Wilson, 2005). 6. Gagal nafas Merupakan gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar paru yang menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami hipoventilasi dapat dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang normal. Hiperkapnia adalah proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat (hipoventilasi global atau general) dan biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia (Brunner dan Sudart, 2002).

K. Prognosis Prognosis asma bronkial pada anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma menghilang dengan bertambahnya umur pada anak. Sekitar 50% asma episodik jarang menghilang pada umur 0-14 tahun dan hanya 15 % yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Sekitar 20 % asma episodik sudah tidak timbul pada masa akil baliq dan 60 % menjadi asma episodik sering dan sisanya menjadi asma episodik jarang. Hanya 5 % dari asma kronik atau persisten yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20 % menjadi asma episodik sering, hampir 60 % tetap menjadi asma episodik atau persisten, dan sisanya menjadi asma episodik jarang (Price dan Wilson, 2005).

25 | P a g e

BAB III KESIMPULAN

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Asma bronkiaL merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Di Indonesia sendiri prevalensi asma berkisar antara 5-7%. Prevalensi asma pada laki-laki berbanding dengan anak perempuan 1,5:1. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Banyak rumah, kawasan industri perusahaan, menyebabkan polusi yang tinggi, yang dapat memicu asma pada anak. Diagnosis Asma Bronkial dapat ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Prinsip penatalaksanaan Asma Bronkial adalah mencegah munculmunculnya tanda-tanda asma yaitu bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, dan hiperaktivitas tubuh terhadap berbagai rangasangan. Caranya yaitu dengan mencegah ikatan alergen IgE, mencegah pelepasan Mediator, dan melebarkan saluran Napas dengan jalan meredam inflamasi saluran napas.

26 | P a g e

DAFTAR PUSATA

Bousquet, J., Clark, T. J. H., Hurd, S., 2007. GINA Guidelines on Asthma and Beyond. Allergy, vol. 62: 102112. Brunner dan Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: AGC. Busse, Willian W. et al. 2011. Randomized Trial of Omalizumab (Anti-IgE) for Asthma in Inner-City Children. The New England Journal of Medicine, vol. 364(11) : 1006-1015. Elias, Jack A., Lee, Chun Geun., Zheng, Tao. et al. 2003. New Insights into The Pathogenesis of Asthma. J Clin Invest. vol.111(3):291297. Fahy, John V. dan Dickey, Burton F. 2010. Airway Mucus Function and Dysfunction. N Engl J Med, vol.363:2233-47. Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta: EGC. Lanphear, Bruce P., dan Gergen, Peter J. 2003. Invited Commentary: Asthma Surveillance in US Children. Am J Epidemiol, vol.158:105107. Lazarus, Stephen C. 2010. Emergency Treatment of Asthma. N Engl J Med, vol.363:755-64. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Perjalanan Penyakit,Volume 1, Edisi 6. Jakarta: EGC. Subbarao, Padmaja., Mandhane, Piush J., Sears, Malcolm R. 2009. Asthma: Epidemiology, Etiology and Risk Factors. CMAJ, vol.181: 181-190. Sudoyo W., Setyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

27 | P a g e

Sundaru dan Sukamto. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 5. Hal 404-414. Jakarta : InternaPublishing. Winarnian, M, Jusuf., S, Hariadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Asma Bronkhial. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR. Hal 5564

28 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai