Anda di halaman 1dari 4

Serial How to start It: How To Be a Trainer

CATATAN KECIL UNTUK PARA TRAINER : MELATIH DENGAN HATI


By: Yohanes Bosco Hariyono – Training Ass & People Dev. Manager Sun Motor Group

Pernahkah Anda, sebagai trainer, mendapatkan kritik baik selama maupun pasca
memberikan training? Jika jawabannya ya, beruntunglah Anda! Karena feedback, baik itu
positif maupun negatif, menggambarkan tingkat kepedulian dan apresiatif peserta. Jika
jawabannya tidak, justru para trainer patut bertanya dan mengkoreksi diri dan tanya
kenapa.

Dalam setiap training, apalagi public training, sangatlah penting bagi trainer untuk
mengenali kapasitas peserta dan menyesuaikan diri bagaimana trainer beraksi dan
berinteraksi dalam menanggapi dinamika intelektual dan psikologis peserta. Sebab tidak
jarang trainer terjebak dalam dinamika aksi psikologis yang subjektif menurutnya sendiri
baik, tapi ’tidak berkenan’ dan ’mengganggu’ peserta, terutama bagi mereka yang cukup
paham akan pentingnya ’bahasa hati’ kendati mereka menghargai sepenuhnya kualitas
intelektual trainer.

Soal kualitas intelektual trainer, hampir semua trainer, terutama yang telah berani masuk
dalam percaturan public trainer tentu tidak perlu diragukan lagi. Kapasitas intelektual
pribadi, kekayaan pengalaman dan berbagai persiapan cukuplah membuat para trainer
siap berinteraksi aktif dan meyakinkan di hadapan peserta. Tapi soal ’bahasa hati’, tidak
jarang sebagai trainer kita terjebak dalam bahasa tubuh yang berkesan ’tidaktulus’,
sekurangnya di mata peserta yang cukup matang memahami bahasa non-kata, non verbal.

Dalam hal ini peringatan Mehrabian bahwa non-verbal memiliki pengaruh dominan,
yaitu di atas 50%, menjadi penting untuk diangkat ke permukaan. Maka dalam tulisan ini,
sebagai sesama trainer, saya menghimbau agar para trainer untuk memperhatikan bahasa
tubuh, non-verbal, sebagai langkah menghadirkan bahasa hati dalam setiap training yang
kita bawakan.

Perhatikan non verbal Anda.

Selain sebagai public trainer bbeberapa kali saya mengikuti publik training dan menjadi
peserta. Saya ingin mendapatkan masukan dan penyegaran untuk training-training saya
bahkan saya sangat merindukan pengkayaan dengan mengikutinya. Tapi sekian kali
mengamati, spontan saya terperanjat, atau tepatnya, terganggu dengan bahasa tubuh para
trainer. Ungkapan non-verbal ini membuat saya tidak nyaman, padahal saya menikmati
pengkayaan intelektual, materi dan metode yang disampaikan selama interaksi training.
Saya sangat menghargai kekhasan metode dan inovasi materi maupun pendekatan para
trainer dalam setiap training dan public training yang saya ikuti. Tapi pada saat yang
sama sekaligus saya terganggu dengan komunikasi non-verbal para trainer selama
interaksi pelatihan dan di sela-sela jeda jam santai bersama peserta.

Ada trainer sambil berkomentar betapa bagus dan hebatnya pengalaman peserta sambil
menggosok telinga, atau, mata atau hidung tanpa terkontrol. Memang komunikasi non
verbal itu muncul saat peserta bercerita agak panjang dan/atau beruntun tentang

(c) 2007. Y.Bosco Hariyono – Training Ass & People Dev. Manager Sun Motor Group
Serial How to start It: How To Be a Trainer

permasalahan perusahaan atau pengalaman pribadi yang relevan dengan training itu. Di
sisi lain, ada pula trainer yang cukup pandai mengontrol non-verbal tapi tetap nampak
dipaksakan atau gagal atau terkesan ’tidak tulus’ dalam menyampaikan beberapa pesan
sebagai berikut:
Saya jujur, terbuka, dan terus terang tentang hebatnya kapasitas dan keahlian saya
di bidang ini dan itu
Saya lebih tahu daripada anda atau saya lebih tahu dari apa yang anda bayangkan
Pendapat Saya pasti benar tentang Anda dan persoalan Anda
Saya bisa menjawab setiap persoalan Anda
Persoalan Anda dengan mudah akan saya tuntaskan dengan jawaban simple.
Keahlian saya adalah jawaban atas semua persoalan yang Anda hadapi
Dan pesan-pesan lain yang serupa

Di satu sisi memang perlulah meyakinkan peserta dengan berbagai potensi yang kita
miliki sebagai trainer, problem solver, dan penasihat yang berpengalaman. Tapi di sisi
lain, penting juga memahami intisari persoalan secara benar dan proporsional secara
empatik; sama pentingnya memakai ’bahasa hati’ dalam berinteraksi dan bereaksi
terhadap ungkapan, keluhan, dan opini para peserta yang khas dan bahkan termasuk yang
kadang ’tidak berkenan’ bagi trainer atau yang tanpa disengaja seolah ’mengancam’
otoritas para trainer.

Mengapa bahasa hati penting diterapkan dalam setiap training yang kita bawakan?

Hati adalah intisari dari kehidupan dan sentral manusiawi. Hampir semua orang memakai
hatinya untuk menjalani hidupnya, untuk menilai persoalan, untuk mengukur orang lain
bahkan untuk memutuskan sesuatu yang cukup sulit dan crusial. Ketika problem merumit
dan dilema meruncing, hatilah sumber jawaban dan ’pelabuhan terakhir’. Dengan hatinya
pula orang memahami diri sendiri dan orang lain, juga untuk menghargai relasi dan
mengevaluasi hasil-hasil dialog, yang nota bena adalah pertemuan dua hati yang berbeda.

Jika kita semua percaya dan meyakini semua itu, mengapa justru kita mengabaikan
’bahasa hati’ ketika berdialog dengan orang lain? Mengapa pula ’bahasa hati’ kita
abaikan ketika berusaha memahami dan mencarikan solusi atas persoalan peserta? Atau
ketika mendelivery training? Bahkan ketika mengevaluasi training-training kita?

Memang bahasa hati dan bahasa tubuh tidaklah identik. Tapi justru lewat ekspresi bahasa
tubuh nampaklah di mata peserta bahwa kita, para trainer, memakai bahasa hati secara
tulus atau tidak. Kita satu bahasa atau tidak dengan mereka ketika memahami, menilai,
dan menanggapi ungkapan masalah dan memahami kerinduan mereka. Itulah inti
masalahnya.

Persoalan mendasar dalam setiap training adalah menyelaraskan bahasa hati melalui
ketulusan bahasa tubuh dalam berinteraksi dengan peserta. Sebab kepercayaan akan
kekayaan intelektual, kualitas pengalaman dan superioritas para trainer sudah diandaikan
diakui bahkan sebelum training berlangsung. Maka yang kurang dan perlu ditekankan

(c) 2007. Y.Bosco Hariyono – Training Ass & People Dev. Manager Sun Motor Group
Serial How to start It: How To Be a Trainer

adalah pentingnya bahasa hati. Persoalanya kemudian berkembang ke arah bagaimana


implemenasinya.

Bagaimana menerapkan bahasa hati dalam setiap training kita?

Untuk mempermudah, pertanyaan bisa diformat ulang dengan pertanyaan berikut:


bagaimana menyelaraskan bahasa hati melalui ketulusan bahasa tubuh dalam berinteraksi
dengan peserta?

Jika kita dan ketika kita bisa menjawab pertanyaan di atas, persoalan sebenarnya sudah
terjawab dan masalah terselesaikan. Namun untuk melengkapi tulisan ini saya merasa
perlu menghimbau para trainer tentang beberapa prinsip berikut ini perlu dicermati dan
dicermati ulang:

1. Bangunlah ketulusan sebagai dasar bangunan kompetensi sebagai trainer

Otoritas trainer sebenarnya bekal utama untuk berintegritas. Himbauan ini untuk
memngantisipasi jangan sampai para trainer justru terjebak dalam dua kutub
ekstrem: terlalu pede sehingga terkesan menafikkan atau meremehkan peserta.
Atau terlalu ’grogi’ dan kurang pede sehingga berujung sama: ditutupi dengan
kesombongan berlebihan. Keduanya ’mengurangi’ ketulusan dan jauh dari prinsip
bahasa hati. Padahal justru ketulusan itulah yang menjadi bangunan utama
kompetensi kita sebagai trainer selain kompetensi-kompetensi lainnya.

Dalam situasi modern yang serba pamrih dan serba tidak tulus, bukankah kita
akan menjadi oase dan role model ketika kita berupaya menghadirkan bahasa hati
dengan mengedepankan ketulusan?

2. Memformat ulang disposisi trainer dan perjelas batas-batasnya

Dalam konteks panggilan (vocation) sebagai trainer, sangatlah perlu kita


memformat dan memformat ulang disposisi dasar sebagai trainer. Sebab dari
disposisi atau sikap dasar inilah muncul berbagai manifestasi, yang bisa muncul
kapan saja dan pada kondisi tertentu tak terkontrol. Bagaimana caranya?

Kita bisa bertanya, misalnya, manakah peran yang kupilih sebagai trainer?
Seperti apa peran sejati yang ingin kupilih-terapkan sebagai traner?

Perbedaan-perbedaan akan muncul sesuai dengan peran, pendekatan, dan metode


yang dipilih oleh trainer dalam mendelivey training. Pendekatan dosen berbeda
dengan pendekatan pembimbing, posisi helper berbeda dengan posisi solver, dan
seterusnya.

Jika kondisi menuntut kita untuk memformat dan mereformat disposisi kita
sebagai trainer, apa salahnya jika kita mulai dari sekarang?

(c) 2007. Y.Bosco Hariyono – Training Ass & People Dev. Manager Sun Motor Group
Serial How to start It: How To Be a Trainer

3. Tekankan dengan bukti, bukan dengan klaim untuk menunjukkan kualitas trainer
dan training Anda

Ujian sebagai trainer sebenarnya bukan hanya saat ’jam tayang’ (show time),
ketika kita melakukan publik speaking saja, melainkan juga dalam kesempatan
break-time (coffe break, tea time, makan siang atau waktu jeda lainnya) ketika
peserta berkerumum mencecar trainer dengan pertanyaan protes, debat, dan
berbagai bentuk tanggapan lainnya. Dalam konteks inilah trainer harus
menunjukkan kualitasnya, terutama kualitas bahasa hatinya.

Namun kualitas itu tidak boleh hanya diungkapkan dengan klaim semata,
seyogyanya kualitas jawaban, respon dan feedback kita lengkapi juga dengan
bukti-bukti pendukung. Mengajukan bukti jangan ragu untuk mencantumkan
sumber jika memang itu bukan bersumber dari pengalaman dan pengetahuan dan
riset yang kita miliki. Mencantumkan keterangan sumber justru mengangkat
martabat kita selain bisa juga sebagai bentuk pertanggungjwaban intelektual kita
bahwa kita juga menghargai karya dan hasil jerih payah orang lain.

Ide dasar semua ini adalah dari model pendidikan jawa kuno, yang diistilahkan
dengan ”nyantrik”. Ketika nyantrik (bukan nyentrik lo!), seorang murid belajar
dari gurunya bukan hanya apa yang diucapkan saja melainkan juga dan terutama
mengafirmasikannya dengan tindakan dan hidup nyata dalam keseharian. Para
cantrik belajar dari totalitas dan integritas gurunya.

Pola yang sama terjadi dalam setiap training, dan setiap hubungan trainer dan
peserta. Ingin bukti? Setelah dan di luar training, masih ada beberapa peserta yang
berhubungan secara intensif dengan para trainernya kan?

4. Sesuaikan dan Kembangkan kompetensi trainer menurut dinamika kebutuhan


peserta

Tidak jarang bahasa tubuh yang tidak tulus muncul karena trainer berusaha
menutupi ketidakmampuannya. Untuk itu perlulah trainer setiap kali
mengevaluasi dan mengantisipasi kesesuaian delivery training yang dibawakan
dengan kebutuhan peserta. Jika kebingungan amati aja bahasa tubuhnya. Pesan
yang kaya dan intens terungkap semua dari bahasa tubuh peserta, tinggal kita
sebagai trainer cukup jeli dana peduli atau tidak dengan semua itu.

5. Saran terakhir, last but not least, kembangkan kompetensi Anda tentang apapun
dan lewat media apapun. Salah satunya: Belajarlah dan berlatihlah mengontrol
bahasa tubuh Anda. Niscaya training kita makin mantap dan kkompetensi kita
sebagai trainer makin kredibel.

Sekian saja. Semoga berguna. Viva Trainer! Salam sukses Selalu!

(c) 2007. Y.Bosco Hariyono – Training Ass & People Dev. Manager Sun Motor Group

Anda mungkin juga menyukai