Anda di halaman 1dari 28

BAB I PENDAHULUAN Secara fundamental, manusia mempunyai banyak kebutuhan dan juga dorongan.

Di tuntut oleh berbagai kodratnya membuat manusia berbeda dari semua mahluk di dunia ini adalah inteleknya atau akal budinya. Manusia memang mempunyai aspek hewani, tetapi manusia adalah insane paling utama berkat pemikirannya, rohaninya. Pikiran merupakan hal yang sangat penting. Hanya dengan pengertian itu seseorang dapat dikatakan manusia yang dapat menghayati keinsannya. mengerti adalah sesuatu yang langsung menyentuh nilai harkat, martabat dan hakikat manusia. Kepentingan pengertian di katakan manusia adalah realitas rohani jasmani dalam satu kesatuan, tetapi rohanilah yang merupakan dasar dan intinya, seta sumber segala kegiatan dan prinsip hidup. Berpikir lebih dalam berarti mengalami diri sendiri, dunia material, sebagai rohani, sebagai kemungkinan luar biasa dan bukan benda. Berpikir yang baik, yakni berpikir logis ,bukan hanya mengindahkan kebenaran bentuk atau hukum-hukum, tetapi juga harus mengindahkan kebenaran materi pemikiran beserta kriterianya. Hukumhukum tersebut diselidiki dan dirumuskan oleh logika. Sedangkan masalah kebenaran materi dan kriterianya dicari pada masing-masing bidangnya. Hal inilah yang biasa dikatakan sebagai filsafat yakni studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi filsafati, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa, karena filsafat juga berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Lalu, dari berbagai macam pengertian diatas, salah satu yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana secara teori dan praktek manusia dapat berpikir secara filsafati dengan kata lain bagaimana cara

untuk dapat berfikir secara filsafati, yang tentu saja menggunakan atau menyertakan hal-hal seperti logika, akal pikiran, ataupun intelek seorang manusia. Pertanyaan ini yang selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini, yakni bagaimana cara berfikir secara filsafati, yang merupakan komponen yang menjadi tiang penyanggah tubuh suatu pikiran filsafati. RUMUSAN MASALAH Bagaimana cara berfikir filsafati?

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah filsafat Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada (agama) lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lainlainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah Komentar-komentar karya Plato belaka. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Buku karangan plato yg terkenal adalah berjudul "etika, republik, apologi, phaedo, dan krito" B. Pengertian filsafat Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah. Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai

kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang syair dan musik. Makna ini kemudian berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat pencipta kebijaksanaan. Pythagoras menyatakan: cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya. Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai Himbauan kepada kebijaksanaan. Filsafat juga pada dasarnya suatu ilmu yang mempelajari tentang sebuah hakikat yang terkandung dalam suatu hal ataupun suatu pikiran. Filsafat juga berarti sebuah disiplin ilmu yang selalu mencari hakikat sesuatu baik tampak maupun tidak tampak dengan makna yang mendalam untuk mencari hakikat yang sesungguhnya. Dalam filsafat terdapat berbagai macam bidang ilmu yang dikaji, misalnya tentang filsafat pendidikan, filsafat komunikasi, serta bidang ilmu lain. Namun, dalam makalah ini hakikat yang ingin dikaji adalah hakikat hukum sebagai objek kajiannya atau makna yang paling mendalam tentang hukum. C. Pengertian ilmu Ilmu berasal dari bahasa Arab, alama. Arti dasar dari kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan bahasa Asli Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin,

Scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan. Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire yang artinya mengetahui. Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika benar ilmu disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris, maka pengertiannya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa Indonesia, kata dasarnya adalah tahu. Secara umum pengertian dari kata tahu. D. Manfaat mempelajari filafat Filsafat adalah usaha untuk memahami dan mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Ia juga termasuk ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya dan bertujuan untuk memahami (understanding) dan kebijaksanaan (Wisdom). Menurut Wikipedia Indonesia, definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problema falsafi pula. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa falsafah itu kira-kira merupakan studi daripada arti dan berlakunya kepercayaan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal. Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari prosesproses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog. Ada banyak cara untuk memahami filsafat itu sendiri. Filsafat bahkan sering kali dipadukan dengan berbagai cabang ilmu lainnya yang hakikatnya adalah untuk memahami ilmu itu sendiri. a. Filsafat sebagai sikap Sebagai sikap, filsafat mengajarkan kita untuk lebih deasa dalam menyikapi berbagai hal dan permasalahan yang ada. Sikap menyelidiki secara kritis, toleran, dan bersedia meninjau ulang dengan perspektif yang berbeda.

b. Filsafat sebagai metode Adalah cara berpikir secara efektif dan mendalam. Metode ini sangat mendalam dan menyeluruh bersifat inklusif dan synoptic (garis besar). c.Filsafat sebagai kelompok persoalan Terkait dengan persoalan dan pertanyaan-pertanyaan filsafati. Setiap orang (filsuf) berhak menjawabnya dengan argumentsi logis dan kuat. d.Filsafat sebagai sekelompok teori Ini ditandai dengan pemunculan filsafat yang juga seiring dengan munculnya teori-teori besar hasil pemikiran filsuf besar semisal Aristoteles, Socrates, Plato, August Comte, Karl Marx, Thomas Aquinas, dl. Besarnya kadar subyektifitas seorang filsuf dalam memaknai filsafat membuat kita sulit menentukan sistem pemikiran baku filsafat itu sendiri. e.Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa

Mempelajari arti dan hubungan di antara konsep dasar yang dipakai setiap ilmu. Sehingga seorang filsuf berusaha menjelaskan berdasarkan kefilssafatan secara umum dan tidak berhenti pada penjelasan khusus saja. f.Filsafat sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh Berbeda dengan ilmuwan yang memandang hanya pada satu pandangan khusus suatu keilmuan, mala filsuf melihat dunia dengan pemahaman yang menyeluruh dan total. Sehingga akan diperoleh kesimpulan-kesimpulan umum tentang sifatsifat dasar alam semsta dan kedudukan manusia di dalamnya serta mencari hunbungan di antaranya. Adapun manfaat yang didapat ketika mempelajari filsafat adalah terbentuknya sebuah pandangan baru terhadap fenomena keilmuan dan hakikat alam itu sendiri. Jika selama ini kita dihadapkan pada lokus dan focus fenomena tertentu maka

dengan filsafat dinding lokus dan focus tersebut dengan sendirinya hancur bersamaan dengan pemikiran filsafat itu sendiri. Kita lebih memahami bahwa sebuah pandangan memiliki konsekuensi terhadap sikap yang akan kita ambil dalam menyikapi sebuah persoalan. Dengan filsafat, kita akan lebih bijak dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Lebih jauh, manfaat filsafat kembali pada tujuan filsafat itu sendiri. Dalam konteks ini, filsafat berusaha meluruskan kembali pemikiran-pemikiran seluruh bidang kelimuan pada aspek pragmatic kebermanfaatannya yang sangat etis. Sehingga tanggungjawab etis pengamalan ilmu pengetahuan dan hakikat sesuatu menjadi lebih jelas. Karena filsafat merekonstruksi secara interdisiplliner ontologism, potensi epistemologis, dan fungsional etis yang semuanya sangat terkait dengan kepentingan tujuan hidup manusia itu sendiri. E. Cara berfikir filsafati Terdapat tiga komponen atau tiga cara untuk dapat berfikir secara filsafati, yakni dengan cara ontologis, epistimologis, dan aksiologis. 1. ontologis Adalah azas dalam menetapkan ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan (objek ontologi atau objek formal pengetahuan) dan penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari objek ontologis atau objek formal tersebut. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikatdari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapi pada adanya berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang perupa rohani (kejiwaan). Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas; realitas adalah ke-real-an, artinya kenyataan yang sebenarnya. Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab apa yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda-benda Untuk lebih

jelasnya penulisan mengemukakan pengertian dan aliran pemikiran dalam ontologi ini. Dari beberapa pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa: A. Menurut bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani Yaitu, On/ontos = ada, dan logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. B. Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan Ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkrit maupun rohani/absterak Secara istilah ontologi adalah ilmu yang memperlajari tenatng hakikat yang ada (ultimate reality) baik jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Didalam pemahaman ontologi ditemukan pandangan-pandangan seperti monoisme yang menyatakan bahwa hakikat yang asal itu hanya satu. Cabang dari monoisme ini adalah materialisme yang berpandangan bahwa hakikat yang asal adalah satu yaitu dari materi, sementara cabang lainnya yaitu idealisme yang berpandangan bahwa segala yang asal itu berasal dari ruh (yang bersifat ruhani). Pandangan lainnya adalah dualisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari dua unsur yaitu materi dan ruh, jasmani dan rohani. Pandangan lainnya adalah pluralisme yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas yaitu unsur tanah, air, api dan udara. Ada juga faham nihilisme yang nampaknya frustrasi menghadapi relaistas. Realistas harus dinyatakan tunggal dan banyak, terbatas dan takterbatas, dicipta dan takdicipta, semuanya serna kontradiksi, sehingga lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realistas. Pandangan terakhir yang dikemukan oleh penulis adalah agnosticisme yang merupakan pemahaman yang menolak realitas mutlak yang bersifat trancendental. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni Naturalisme (kenyataan yang bersifat kealaman), Meterialisme (kenyataan yang bersifat benda mati), Idialisme (Kenyataan yan bersifat rohani), Hylomorfisme (yang sungguh ada keculai berupa Tuhan dan Malaikat berupa bahan bentuk) Empirisisme logis (segenap pernyataan mengenai kenyataan yang tidak mengandung makna). itulah istilah-istilah penting yang

terkait dengan ontologi. Ontologi tentang yang ada (being), yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Ilmu Pengetahuan di Tinjau Dari Ontologi. Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Dimana awal mula alam pikiran orang Yunani telah menunjukkan perenungan dibidang ontology seperti yang kita kenal Thales atas perenungan terhadap air yang merupakan subtansi terhadap asal mula dari segala sesuatu. Asalnya air dapat di amati dari beberapa bentuknya. Air dapat menjadi benda halus berbentuk uap, ia juga dapat menjadi cair bahkan dapat menjadi benda keras berupa es, Secara totalitas air dapat dijadikan sumber kehidupan seluruh makhluk hidup, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun manusia. Para filosof selalu mencari apa yang pertama yang ada dibelakang yang ada dan bersifat hakikih atau dasar yang dibelakang segala yang ada. Berpijak dari alasan Thales, ontology merupakan cabang filsafat yang mendeskripsikan hakekat wujud. Di mana ilmu pengetahuan dari segi ontology selalu mengkaji yang telah diketahui atau yang ingin diketahui. Dari fenomena yang terjadi disekitarnya manusia melakukan berbagai aktifitas untuk mengetahui apa sebenarnya di balik apa yang diraba oleh pancaindranya, sebab ilmu hanya mengkaji ada bagian yang bersifat empiris yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Ontologi merupakan kawasan ilmu yang tidak bersifat otonom, ontology merupan sarana ilmiah yang menemukan jalan untuk menagani masalah secara ilmiah. Oleh karena itu ontologis dari ilmu pengetahuan adalah tentang obyek materi dari ilmu pengetahuan itu adalah hal-hal atau benda-benda yang empiris. Adapun dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan dengan Pandangan Pokok Pikiran sebagai berikut: 1) Menoisme, Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa meteri atupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah

salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkmbangan yang lainnya. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi kedalam dua aliran. (a).Meterialisme, aliran ini menggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani, aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. (b).Idealisme, Sebagai lawan materialisme adalah aliran idialisme yang dinamakan dengan spritualisme. Idialisme berarti serba cita, sedang spritulisme berarti ruh. 2) Dualisme, setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monisme) baik materi ataupun ruhani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini disebut dualisme. Aliran ini berpendapat bahwa terdiri dari dua macam hakikat sebgai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani. Pendapat ini mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (1770). 3) Pluralisme, paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui semua macam bentuk itu adalah semua nyata. pluralisme dalm Dictionory of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang mnyatakan bahwa keyataan ala mini tersusun dari banyak unsure, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxa goros dan Empedocles yang menyatakan bahwa subtansi yang ada itu berbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. 4) Nihilisme, bersal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui viliditas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Tuegeniev dalam novelnya Fathers and Childern yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novelnya itu Bazarov sebagai tokoh sentral mngatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.. Tokoh aliran ini adalah Friedrich Nietzsche (1844. 1900 M) dilahirkan di Rocken di Prusia, dari kelurga pendeta. 5)Agnosticisme, paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnosticisme

10

berasal dari bahsa Grik Agnostos yang berarti unknown. artinya not artinya know. Timbulnya aliran ini karena belum dapatnya orang menegnal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdidri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini menyagkal adanya kenyataan mutlak yang bersifat transcendent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokohtokohnya seperti, Soren Kierkegaan, Hiedegger, Setre dan Jaspers. yang dikenal sebagai julukan bapak filsafat. 2) Epistimologis Epistemologi adalah bidang kajian filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan. Filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Dalam lingkup filsafat, epistemologi merupakan bidang filsafat yang secara khusus mengupas ilmu pengetahuan dengan menggunakan landasan kajian metodologis. Pada bidang epistemologi, pembahasan secara mendalam terhadap segenap proses yang terlihat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan dinamakan dengan metode ilmiah. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran lainnya. Karena ilmu merupakan bagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge), dipergunakan istilah ilmu untuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini dengan metodologi yang ilmiah lebih banyak menjangkau kebenaran epistemologi dari pada kebenaran subtantif-hakiki. Sejarah panjang filsafat telah menunjukkan bahwa manusia selalu berusaha merumuskan definisi tentang kebenaran dan sifat umum kebenaran. Tiga penafsiran utama manusia yang telah umum dikenal mengenai kebenaran, yaitu: 1. Kebenaran bersifat mutlak; dituntut untuk dapat diterima secara umum dengan dukungan data empiris dan argumentasi ilmiah yang kuat. 2. Kebenaran bersifat subjektif dan relatif; tentunya agak dibatasi oleh pengalaman subjektif tertentu.
11

3. Kebenaran sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dicapai, sesuatu yang tidak mungkin (ketidakmungkinan); kenyataan bahwa sesuatu tidak mungkin terjadi. Kebenaran-kebenaran tersebut didukung oleh argumentasi-argumentasi yang terkandung pada sifat kebenaran itu sendiri. Mencari kebenaran pada hakikatnya adalah tujuan filsafat. Namun, karena sifat kebenaran yang bervariasi, maka kebenaran itu merupakan problema tersendiri dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan. Melalui epistemologi dan logika, filsafat berusaha menetapkan tolok ukur untuk mencari kebenaran. Ini adalah langkah awal untuk mendirikan fondasi ilmu pengetahuan yang akan menjawab hakiki kesempatan untuk dikritik, diperbaiki, dan disempurnakan dengan memperhatikan dan memperhitungkan fenomena yang berkembang di alam semesta. Contoh-contoh dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan membuktikan betapa banyak kebenaran yang tampaknya telah mutlak diterima umum ternyata bisa diubah dan disempurnakan. Manusia tidaklah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan? Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan 1) Empirisme

Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil

12

penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objekobjek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual. 2) Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. 3) Fenomenalisme

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentukbentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

13

4)

Intusionisme

Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis: Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benarbenar mengetahui (we can and do know) selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian. Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premispremis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.

14

Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah doubting Thomas yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa ini kita tahu atau ini adalah kebenaran merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran. 3). Aksiologis Aksiologi adalah bidang kajian filsafat yang membahas nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan. Nilai-nilai itu ditunjukkan oleh aksiologi sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam melakukan penelitian maupun dalam menerapkan ilmu. Aksiologi membagi nilai menjadi dua jenis, yaitu: a. Nilai jasmani; nilai yang terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat, dan nilai guna.

15

b. Nilai rohani; nilai yang terdiri atas nilai intelek, nilai estetika, nilai etika, dan nilai religi. Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki tujuan objektif. Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk memperbaiki atau untuk merusak diri. Dalam penilaian sebuah kebenaran ada dua pandangan yang berbeda. Pertama adalah pandangan bahwa kebenaran bersifat mutlak. Pandangan ini disebut sebagai absolutisme. Pandangan kedua menyatakan bahwa kebenaran bersifat relatif (Relativisme). Pembahasan tentang aksiologi begitu penting karena jika pengetahuan yang didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya, maka bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu?. Bagaimana pula manusia akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain bernilai sama, yaitu relatif? Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5 meter akan relatif panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri. Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah. Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.

16

Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust. Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung, melainkan faust yang menciptakan Goethe. Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (14731543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa

17

bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional. Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik. Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Secara singkat dapat dikatakan, perkataan nilai kiranya mempunyai macam-macam makna seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna; (2) merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3) mempunyai nilai artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan orang mengambil sikap

18

menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu; (4) memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. Nilai ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya. Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan. Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. 1) Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat

Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni : a) Pandangan Aksiologi Progresivisme

Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
19

b)

Pandangan Aksiologi Essensialisme adalah Desiderius Erasmus, John

Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini

Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909). Bagi aliran ini, nilainilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut. (1). Teori nilai menurut idealism Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukumhukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut. (2). Teori nilai menurut realisme Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruhpengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.
20

c)

Pandangan Aksiologi Perenialisme

Tokoh utama aliran ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas supernatular, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatanperbuatannya. d) Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme

Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama. 1. Sumbangan Aksiologi Terhadap Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan sumber daya manusia. SDM ini merupakan derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai
21

konsekuensi logis, perolehan ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada masalahmasalah baru. Masalah yang dihadapi itu demikian luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri, kedua karena usaha manusia harus mengantisipasi hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia. Telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa ilmu bebas nilai, dan hal tersebut menyebabkan banyak penilaian terhadap ilmu pengetahuan. Dalam pemamaham seperti maka keberadaan aksiologi memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Berkaitan dengan itulah, sumbangan aksiologi sebagaimana dalam berbagai aliran filsafat terhadap ilmu pengetahuan dapat dikemukakan sebagai berikut : a) Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar

terhadap ilmu karena telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan problema-problema yang dihadapinya. Oleh karena itu sekolah harus mengupayakan pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual. b) Aliran essensialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak

pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pencarian ilmu

22

pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos. c) Aliran perenialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat

dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan perolehan ilmu adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang. d) Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan

membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensipotensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama. Dengan demikian implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di ilmu pengetahuan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan yakni membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.

23

Konsekuensi dari segi aksiologi adalah ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai, aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Bentuk sumbangannya antara lain dapat dilihat dengan adanya konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi Syed M. Naquib al-Attas yang telah lama memahami secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup Islam di Barat, menegaskan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah rusaknya ilmu pengetahuan (corruption of knowledge) sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Dari kajiannya yang sistematis, maka tokoh ini menawarkan agar ilmu pengetahuan yang telah rusak itu, harus dibenahi secara fundamental yang kemudian dia istilahkan dengan Islamisasi Sains Terkait dengan itu, maka berikut ini dikemukakan beberapa proposisi tentang kemungkinan islamisasi sains, yakni ; 1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan maksud yang luhur. Bila alam dikelola sesuai dengan maksud yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. Maksud alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang emban dari Tuhan. 2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti. 3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai. Dapatlah dipahami bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan pada weltans-chauung
24

(pandangan dunia), mendudukkan weltanschau-ung pada strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauung Islami. Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai berdasarkan asas-asas supernatular, yakni menerima universal yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme memandang nilai adalah untuk memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama. Oleh karena ilmu bebas nilai, maka pentimbangan nilai (aksiologi) memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Sumbangan aksiologi tersebut dapat dilihat dalam berbagai aliran filsafat yang disebutkan di atas. Di samping itu, aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya konsep islamisasi sains dewasa ini. Dengan demikian, secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan dalam Islam.

25

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan


1.

Dalam lingkup kajian filsafat, ilmu bersifat netral. Ilmu tidak mengenal nilai baik atau nilai buruk. Manusialah yang harus mempunyai sikap. Dengan kata lain, netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologinya saja. Jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih. Sedangkan pada sisi ontologi dan aksiologi, ilmuan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskannya untuk menentukan sikap dengan landasan moral yang kuat. Tanpa landasan moral yang kuat, seorang ilmuan tidak lebih dari monster yang menciptakan malapetaka dan momok bagi kemanusiaan.

2.

Manfaat filsafat, yakni terbentuknya sebuah pandangan baru terhadap fenomena keilmuan dan hakikat alam itu sendiri. Jika selama ini kita dihadapkan pada lokus dan focus fenomena tertentu maka dengan filsafat dinding lokus dan focus tersebut dengan sendirinya hancur bersamaan dengan pemikiran filsafat itu sendiri. Kita lebih memahami bahwa sebuah pandangan memiliki konsekuensi terhadap sikap yang akan kita ambil dalam menyikapi sebuah persoalan. Dengan filsafat, kita akan lebih bijak dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Lebih jauh, manfaat filsafat kembali pada tujuan filsafat itu sendiri. Dalam konteks ini, filsafat berusaha meluruskan kembali pemikiran-pemikiran seluruh bidang kelimuan pada aspek pragmatic kebermanfaatannya yang sangat etis. Sehingga tanggungjawab etis pengamalan ilmu pengetahuan dan hakikat sesuatu menjadi lebih jelas. Karena filsafat merekonstruksi secara interdisiplliner ontologism, potensi epistemologis, dan fungsional etis yang semuanya sangat terkait dengan kepentingan tujuan hidup manusia itu sendiri.

26

3.

Ontologi merupakan azas dalam menetapkan ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan (objek ontologi atau objek formal pengetahuan) dan penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari objek ontologis atau objek formal tersebut. Pendekatan Secara ontologis mengartikan ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya berada pada daerah daerah dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman (penciptaan manuasia) dan pasca pengalaman (surga dan neraka) diserahkan ilmunya kepengetahuan lain.

4.

Epistimologis,

merupakan

azas

mengenai

cara

bagaimana

materi

pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Pendekatan secara epistimologis yakni Landasan efistemologis ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya
5.

Aksiologis, merupakan azas dalam menggunakan pengetahuan yang diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut. Pendekatan secara aksiologis yakni Aksiologis keilmuan menyangkut nilai nilai yang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah baik secara internal, eksternal maupun sosial. Nilai internal berkaitan dengan wujud dan kegiatan ilmiah dalam memperoleh pengetahuan tanpa mengesampingkan fitrah manusia.

B. Saran
1. Sebaiknya cara berfikir filsafati ini tidaklah hanya sekedar menjadi teori

semata tapi juga dijadikan sebagai sebuah praktek kebiasaan, sehingga menurut saya, dalam suatu pengajaran, pendidik sebaiknya mengarahkan pelajar untuk berpikir secara filsafati, karena pada dasarnya akan membentuk kepribadian yang intelektual.

27

KEPUSTAKAAN Buku: Irmayanti Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1 Internet: http://oendixsas.blogspot.com/2008/08/logika-sceintifika.html http://wikipediaindonesia.com/2011/28/filsafat.html http://fauzanarrasyid.blogspot.com/2011/28/ Dasar-dasarIlmu(ONTOLOGIEPISTEMOLOGI-AKSIOLOGI).html http://filsafatandibrilin.blogspot.com/2011/28/berbagiilmu.html http://saefulmuslim.blogspot.com/2011/28/HIDUPADALAHPERJUANGANME NUJUKEMENANGANSEJATI.html

28

Anda mungkin juga menyukai